Share

Bab 5

"Sudah tenang?" ucap Aulia sewaktu-waktu setelah tangisku mereda. Kuurai pelukan itu, setelah kutumpahkan sesak, kecewa dan sakit hati yang ada di dadaku bersamaan dengan air mata yang keluar. 

Aku mengangguk. Terasa tangan meremas genggaman tangan. 

"Ceritalah. Akan kudengarkan segala beban yang ada di dalam benakmu." Aku mengangguk mendengar ucapan Aulia. Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan sebelum kumulai bercerita.

"Mas Pandu meminta izin untuk menikah lagi," ucapku dengan singkat tapi mampu membuat raut wajah perempuan yang ada di hadapanku ini terkejut. Terbukti dengan kedua bola matanya yang mendelik dan bibir yang melongo.

"Alasannya?" Satu kata yang keluar dari bibir Aulia.

"Katanya karena aku nggak bisa memenuhi kebutuhan biologinya untuk sempat puluh hari ke depan. Semua lelaki pasti senang kalau istri habis melahirkan?" bertanya dan Aulia mengangguk.

"Hanya karena itu, Pandu ingin menikah lagi?" tanya Aulia dengan wajah heran, tak percaya. Aku mengangguk. Aulia beranjak dari tempat duduknya. 

"Tidak! Nggak mungkin kalau hanya soal itu. Aku yakin pasti ada sesuatu yang dari kamu. Rasa-rasanya nggak masuk akal saja kalau seorang lelaki ingin menikah lagi hanya soal urusan ranjang. Ya kali, kalau si istri memang sengaja tidak mau memberikan haknya . Lah ini kan karena habis melahirkan. Mana ada suami yang haknya di saat istri belum selesai nifas?" Dengan geram Aulia berucap. 

"Gila! Benar-benar gila!" lanjut Aulia.

"Tapi selamat aku berumah tangga dengan Mas Pandu menurutku kepuasan biologis merupakan hal nomor satu baginya," jawabku.

"Iya aku tahu, hal itu memang sangat penting entah untuk perempuan ataupun laki-laki. Tapi tidak masuk akal aja sih kalau hanya karena dia mau menikah lagi. televisi ...." Aulia ucapannya.

"Kecuali kenapa?" seruku tak sabar menantikan kelanjutan yang ingin dikatakan oleh Aulia.

"Kecuali jika sebelum ini Pandu bermain di belakangmu. Lalu menggunakan alasan itu agar kamu menyetujui pernikahan keduanya. Istilahnya menemukan pembenaran untuk menikah lagi. Iya nggak sih? Iya kan?" ucap dan tanya Aulia. Perempuan itu kini kembali duduk.

"Begini loh, Vit. Jika Pandu menikah lagi hanya kamu tidak bisa melayaninya untuk sementara waktu. Lantas apa kelak ia akan menikah lagi jika istri keduanya juga lahir?"

"Entahlah. Aku juga tidak tahu," ucapku seraya mengedikkan kedua bahuku.

Sesaat kemudian keadaan terasa hening. Tak ada yang bersuara. Hanya suara detak jam yang terdengar dan menembus gendang telinga.

"Aku juga sempat menemukan seperti kamu, kalau Mas Pandu sebelumnya telah berselingkuh. Mas Pandu pun sudah menyebutkan satu nama. Nama perempuan yang akan menjadi adik maduku." 

Wajah itu terlihat begitu tak terlupa, ia bertanggung jawab atas kepala. Mungkin ia benar-benar tidak menyangka. 

"Siapa nama perempuan itu?" tanya Aulia.

"Lidya," lirihku.

"Sepertinya mereka memang sudah lama berhubungan. Mana mungkin secepat itu mendapatkan calon istri. Tidak suka itu kan, Vit? Apalagi hanya untuk dijadikan istri kedua. Dan ya ... hanya dibandingkan satu seratus dari sekian perempuan yang dijadikan istri kedua," dia. 

Setelah kupikir-pikir, yang dikatakan oleh Aulia ada benarnya. status sebagai istri kedua sangat dihindari oleh kebanyakan perempuan. Lantas mana mungkin dalam hitungan hari Mas Pandu berhasil mendapatkan calon madu untukku. 

"Lalu apa rencanamu selanjutnya?" Kuangkat kedua bahuku sebagai jawaban atas pertanyaan Aulia. Karena jujur, aku pun masih bingung dengan langkah apa yang akan kuambil.

"Jangan gegabah. Biar kuselidiki suamimu itu," ucapnya dengan raut wajah yang terlihat serius.

"Beneran? kamu serius?" bertanya tak percaya.

"Iya aku nggak mau rumah tangga kamu hancur begitu saja. Tapi aku lebih nggak rela Jika kamu disakitin dan disia-siakan begitu saja. Aku nggak mau itu terjadi!" dia dan aku mengangguk. Sungguh kali ini saya merasa beruntung sekali memiliki sahabat yang begitu baik.

"Boleh aku bertanya?"

"Ya. Katakan saja!"

"Untuk aset-aset yang seperti rumah, mobil, dan rumah kontrakan yang kamu sewakan itu, semua dipegang siapa?"

"Aku yang Pegang. Semua atas namaku." Mendengarkan ucapanku membuat senyum tercetak jelas di bibir Aulia.

"Kenapa kamu tidak memilih memilih bercerai saja, Vit? Toh semua harta, kamu yang menguasai. Untuk membagi apa yang ingin diungkapkan oleh suami yang ingin berbagi cinta dan memiliki? Biarkan dia keluar dari rumah ini hanya membawa pakaian yang menempel di tubuhnya," yang sepertinya menahan geram.

"Tidak ada itu, Lia. Selama menjadi suami, Mas Pandu baik dan aku pantas menjadi istri. Apalagi dia lelaki yang bertanggung jawab dan juga menyayangiku. Bukan hal yang mudah untuk melepaskannya begitu saja."

"Vit,… lelaki yang memang mencintai istrinya, dia tidak akan rela melihat wanitanya terluka apalagi dengan teganya sampai membagi cinta," ucap Aulia penuh penekanan.

"Sekarang aku minta tolong sama kamu, selidiki saja Mas Pandu. Untuk kedepannya, jujur ​​saja... aku belum mengetahuinya. Hanya satu tujuanku, aku ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di belakangku. Apakah Mas Pandu memang bermain api atau ada alasan lain, mungkin...."

"Ya! Aku pasti akan melakukannya," balasnya cepat.

"Vit...,"

"Ya?"

"Coba bayangkan saja jika kemungkinan terburuk akan terjadi, misalnya suamimu– Pandu memang serius ingin menikah lagi. Langkah apa yang akan kamu lakukan? Aku yakin suamimu sudah menikah, pernikahan itu akan dilakukan tak lama lagi. Mengingat alasan yang diucapkan pada Anda itu. "

Kuhela nafas panjang dan kuhembuskan secara kasar.

"Tidak... aku belum tahu. selamanya aku bertahan atau pergi meninggalkan. Jika memang benar menakdirkan cukup sekian rumah tangga kami, kurelakan Mas Pan kami bersama wanitanya. Tentu saja beserta waktunya."

"Maksud kamu? ucap Aulia dengan kening berkerut.

"Ya... jika aku memilih melepaskan, tentu akan kulepaskan pula. Biar Mas Pandu yang merawat," ucapanku kali ini membuat wajah Aulia kembali terkejut.

"Setelah kejadian malam di mana Mas Pandu mengatakan ingin menikah lagi, setiap melihat wajah Daffa membuat hati ini kembali terasa sakit, Lia. Gara-gara melahirkan Daffa membuat Mas Pandu akan menikah lagi," ucapku dengan kepala menunduk. 

Tak mengangkat lama punggung tangan Aulia menempel di keningku, mengangkat punggung tangan. Sedetik kemudian kedua tangan Aulia mengusap wajahnya dengan kasar.

"Kenapa?"

"Astaga... apa saat ini ada jin yang menempel di tubuhmu?" ucapan Aulia membuatku bingung. aku goyang.

"Bagaimana mungkin kamu merelakan anak yang telah kamu lahirkan dengan mempertaruhkan nyawa, lalu dengan mudahnya kau berikan pada orang lain?" ucap Aulia. 

"Kamu yakin mereka berdua akan merawat putramu dengan baik? Kamu yakin putramu akan bahagia bersama. Dan satu lagi, apa kamu siap kehilangan sosok yang telah lama kamu tunggu-tunggu. Kamu siap?" lanjut Aulia. Perempuan itu melihat dengan tajam.

"Lah, gimana lagi? Jika wajah Daffa membuat hati ini terasa terasa, Lia. Kamu tidak tahu bagaimana. Kamu tidak tahu melihat ingin tahu dalam hatiku. Kau tahu... sakit duniaku hancur, Lia. Hancur!" Nada suaraku kali ini kembali terdengar serak.

"Aku benar-benar tak menyangka kamu akan mengatakan ini, Vit," ucap Aulia dengan menggelengkan-gelengkan kepalanya.

"Apa kamu lupa berapa lama kamu menanti kehadirannya? Apa kamu masih mengingat ucapanmu? Oke. sekarang aku ingatkan. Dengarkan!" Aulia menghembuskan napas panjang.

"Lia, ada satu doa yang tak pernah pernah kupanjatkan. Aku berharap Tuhan segera memberiku momongan, aku berharap agar Tuhan segera menitipkan janin di dalam rahimku. Aku selalu membayangkan bahagianya aku, saat melihat bayi berada di pelukanku. hati ini saat melihat mata jernih pada wajah mungil itu kuberikan ASI untuknya.Ketika kucium, aroma khas bayi akan menguar di hidung seorangku.Kelak, jika Tuhanku habiskan hari-hariku untuk melewati masa tumbuh kembangnya.Kau tahu, Lia, aku akan menerima tak akan kusewa baby sitter dan aku tidak mau memberikan susu formula untuknya, kelak." ucapan dari bibir Aulia terngiang-ngiang di telingaku.

Masih dengan jelas kapan dan di mana saya mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang kuucapkan saat usia pernikahanku sudah menginjak lima tahun, dan saat itu aku begitu menghitung bayi mungil sebagai pelengkap kebahagiaanku. 

"Kau mengingatnya sekarang? Kau mengatakan hal itu dengan mata terpejam dan bibir tersenyum, seolah-olah kamu sedang terbuai di dalam anganmu."

dada ini terasa sesak, seperti ada bongkahan batu besar yang menghimpit dadaku. Rasa sesak kian terasa, hingga ciptakan cairan bening yang memenuhi kelopak mata. Sedetik kemudian, cairan bening itu menjadi buliran-buliran bening yang bersarang di sudut mata. Hingga akhirnya...,

Tes!

Air mata terjatuh dengan sendirinya.

"Kini Tuhan telah memberimu apa yang kamu inginkan dan Nantikan. Lantas, mengapa kamu sia-siakan? Ya, aku tahu. Kamu kecewa karena suamimu. Tapi apa dengan menyia-nyiakan anak yang kamu lahirkan lantas rasa kecewamu akan hilang? kecewanya Sang Maha Pemberi setelah permintaan permintaanmu, lalu dengan mudahnya kau memperbaiki kepercayaan yang diberikan-Nya?"

aku goyang.

"Dulu kamu rela mengkonsumi obat setiap hari sebagai ikhtiar agar kamu segera diberi keturunan. Bahkan apa yang orang katakan, langsung kamu lakukan. Vit, sadar! Jadikan anak kamu sebagai kekuatan, bukan menjadikan dia sebagai tempat pelampiasan!"

Aku beringsut dari ranjang tidur, lalu melangkah ke arah pintu.

"Vit...." Langkahku terhenti mendengar panggilan Aulia. Aku menoleh ke arahnya.

"Kamu mau ke mana?" 

"Aku mau ambil Daffa," ucapku yang dibalas anggukan dan senyuman oleh Aulia.

Kali ini aku benar-benar menjadi seorang Ibu yang bod*h dan egois. Untung saja kedatangan Aulia tepat pada waktunya. Andai kata ia tak datang hari ini, mungkin hanya ada penyesalan yang akan kurasakan.

Bersambung ya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sumi Yati
banyaknya kalimat nya yang salah tolonglah dikoreksi ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status