Terima kasih sudah membaca cerita saya 😊🙏
Aku terbangun dengan kepala yang masih terasa sedikit pusing. Belum sepenuhnya sadar aku mengerjap perlahan, mengamati sekeliling sembari merapikan kepingan ingatan sebelum aku tertidur disini. Lalu, mencoba menggerakkan tangan dan bangun."Syukurlah, Ai kamu sudah sadar!" Aku menoleh, ternyata Mas Arya, sejak kapan dia ada disini? ia tersenyun seraya beranjak dari kursinya, dan langsung membantuku bangun, dengan memegangi tanganku.Rasanya tetap terasa sama, hangat. Tetapi mengingat luka yang ditorehkannya membuatku langsung menarik tanganku.Bersamaan itu, Bi Jana pun datang sambil membawa nampan berisi satu gelas teh hangat di atasnya, terlihat dari asapnya yang masih mengepul."Bi, aku kenapa?" tanyaku, setelah Bi Jana menaruh tehnya di atas nakas."Alhamdulillah syukurlah, Non sudah sadar. Tadi, Non pingsan di garasi, Bibi panik dan segera menelpon Den Arya." Bi Jana menjelaskan. "Untung, Den Arya segera datang," lanjutnya."Pi-pingsan, Bi?" Aku mengulang kalimat yang sama."Iya
Hari ini aku masih belum masuk kerja, setelah pingsan kemarin. Tubuhku masih terasa lemas, urusan Butik sudah kuserahkan pada Abel asistenku. Sementara pagi-pagi sekali, Mas Arya sudah berangkat kerja. Aku tidak menghiraukannya, terserah dia mau sarapan atau tidak, bukan urusanku. Semalam dia pun tidur di atas sofa.Saat bangun, mataku menangkap sesuatu di depan cermin, secarik kertas dengan tulisan 'Selamat pagi, perempuan cantik. Sehat selalu ya! I Love U' huh, Mas Arya selalu saja romantis, dasar bucin. Dia pikir aku akan luluh? Hatiku sudah kebal dengan rayuan receh seperti ini, sejak tahu ia telah membaginya dengan wanita lain, rasanya mulai terasa hambar.Aku beranjak dari atas tempat tidur, perlahan menuruni ranjang, setelah salat subuh aku tidur lagi, bangun-bangun sudah jam 07. Aku menuju kamar mandi, untuk membersihkan diri dan menggosok gigi."Bi, tolong buatin susu ya!" ucapku pada Bi Jana saat aku telah duduk di kursi meja makan."Baik, Non!" Sembari menunggu tanganku be
"Mbak Elma, tadi ke sini?" Mas Arya bertanya sambil melepas dasinya."Ya begitulah," jawabku acuh tak acuh dengan posisi berbaring di atas sofa, sembari memainkan ponsel."Apa, Mbak Elma ada menggangumu lagi?" Mas Arya masih bertanya, kini ia menghentikan aktivitasnya dan menatapku."Tidak, dia cuma ingin pinjam uang, dan aku tidak memberinya," ucapku santai, toh aku bukan lagi Aini yang dulu yang selalu nurut dengan keluarga Mas Arya. Mbak Elma pun ternyata tau prihal pernikahan Mas Arya dengan perempuan itu. Bahkan dia sendirilah yang terang-terangan memberitahuku.Sejak ia mengatakan bahwa Mas Arya sudah menikah lagi, sejak itu pula aku menganggapnya orang asing."Mas, minta maaf!" Suara Mas Arya terdengar menyesal. Ah, menyesalpun percuma nasi sudah menjadi bubur."Buat apa?" tanyaku, sambil terus memainkan ponsel. Biasanya saat Mas Arya pulang kerja aku selalu menyambutnya dengan hangat, membantunya melepas sepatu, dasi bahkan baju kemeja yang dikenakannya. Tetapi, itu dulu saat
Tiba di rumah, suasana nampak sepi dan lenggang. Sepertinya Mas Arya belum pulang. Aku segera menuju lantai atas, ingin segera melepas lelah dan penat dengan berendam di bathup. Saat membukakan pintu betapa terkejutnya aku, melihat pemandangan yang membuat emosiku seketika mendidih.Kulihat Anita dengan santainya sedang bersandar di kepala ranjang , sambil memakai baju tidurku. Menyadari kedatanganku, ia segera bangkit dan menghampiriku sambil melipatkan tangan di dada, dan tersenyum sinis. Pamandangan yang sangat wow bukan?"Mulai sekarang kamar ini, Butik jadi milikku, dan kamu harus angkat kaki dari rumah ini!" Telunjuknya mengarah ke wajahku, ia berucap begitu percaya diri, tanpa rasa malu.Ha, rasanya aku ingin tertawa melihat tingkahnya yang sudah seperti seorang bos, dan apa katanya aku harus angkat kaki dari rumah ini? Benar-benar lelucon."Atas dasar apa kamu menyuruhku pergi?" tanyaku santai.Anita tertawa seolah pertanyaanku terdengar lucu. "Jelas saja. Karena mulai sekara
Setelah Mas Arya dan Anita pergi aku terduduk lemas di atas sofa. Termenung memikirkan hal yang baru saja terjadi, kenapa Mas Arya begitu tega. Padahal jika dia benar-benar memikirkanku dia bisa meninggalkan perempuan itu. Tapi, nyatanya dia malah memilih perempuan itu.Apa kurangku selama ini, bahkan aku tak pernah menuntut untuk dinafkahi secara materi. Aku pun tak pernah menanyakan perihal keuangan kantor yang saat ini sepenuhnya kuserahkan padanya. Kenapa, Mas Arya tetap ingin bertahan dengan perempuan itu, jika benar ia merasa pernikahannya adalah sebuah keterpaksaan? Sebuah tanya memenuhi kepala, Pikiranku meracau tak karu-karuan, dan membuat pening."Non, Bibi minta maaf ya!" Bi Jana datang, pelan ia berjalanmenghampiriku, dengan wajah takut-takut, dan tak enak.Aku tersenyum, berusaha mengurai sesuasana yang terasa tegang. lalu, menggenggam tanga Bi Jana. "Gak apa-apa, Bi. Ini bukan salah, Bibi." ucapku berusaha untuk tegar, agar terlihat baik-baik saja."Tapi, gara-gara, Bib
Berawal dari niat hanya ingin menolong, tetapi malah terjebak dalam perangkap Anita. Malam itu kebetulan aku lembur, kulihat Anita juga belum pulang. Karena merasa kasian akhirnya aku mengantarnya pulang."Mampir dulu, Mas!" ajak Anita sambil tersenyum saat kami tiba di apartemennya."Gak usah, aku masih ada urusan," kilahku."Sebentar saja, kran air saya mati. Tolong bantu benerin Mas!"Akhirnya aku turun dari mobil dan mengecek kran air yang disebutkan Anita. Setelah selesai aku buru-buru pamit."Minum dulu, Mas! Mas pasti capek."Aku ingin menolak, tetapi Anita malah menyodorkannya ya sudahlah cuma air putih. Aku pun meneguknya. Tidak berapa lama kepalaku terasa pusing dan pandanganku terasa gelap. Setelah itu aku tidak lagi ingat apa-apa.Menjelang subuh, aku terbangun. Betapa terkejutnya aku, melihat Anita terisak. Pintu depan di gedor seperti akan lepas dari engselnya. Anita beranjak membukakan pintu, setelahnya lelaki yang tak kukenal tiba-tiba memukulku. Sementara yang kuyaki
Saat tengah mengangkat telpon, aku begitu kaget melihat mobil Aini terparkir di depan gedung kantor. kupikir saat ini ia pasti tengah menuju ruanganku. Panik bercampur cemas seketika memenuhi kepala, bagaimana tidak sementara di dalam sana ada Anita.Aku pun buru-buru menyudahi sambungan telpon dan segera kembali ke ruangan. Tiba disana aku tidak mendapati Aini berada di sana, syukurlah. Tapi, kenapa Anita menangis? Anita bahkan terlihat seperti orang yang sedang ketakutan. Begitu melihatku datang ia langsung menghambur ke dalam pelukan, dan menceritakan hal yang baru saja terjadi."Apa kamu mengenalinya?" tanyaku saat Anita mulai tenang, ia hanya menggeleng. Karena Anita bilang orang tersebut menggunakan masker dan menutupi kepalanya dengan topi baju. Aku sangat yakin kalau itu adalah Aini. 'Gawat' batinku.Ternyata benar setelah pulang dari kantor sikap Aini begitu dingin ia tidak menyambut kepulanganku seperti biasanya.Bahkan saat tengah makan malam pun ia masih tetap memilih di
Setelah Bi Jana pergi, aku mencoba berbicara dengan Aini. Memberi perhatian seperti biasanya. Tetapi, Aini masih bergeming tidak menanggapi. Ia kembali berbaring, sambil membelakangiku. Rasanya aku hampir putus asa melihat Aini diam seperti itu."Maafkan, Mas, Ai. Apa yang harus, Mas lakukan agar kamu mau memaafkan, Mas?" tanyaku sedih. "Maafkan, Mas telah mengkhianati pernikahan kita, dan menyakiti hatimu." Aku kembali berucap, mataku terasa berkaca-kaca. Aini tergugu, membuatku semakin bersalah.Aku pun menceritakan panjang lebar pada Aini kenapa aku sampai bisa menikah dengan Anita. Semua karena kebodohanku. Hanya isak yang semakin jelas terdengar dari bibir Aini. Akhirnya ia berkata lirih dan ingin minta cerai. Seketika aku memeluk tubuhnya dari belakang, air mataku jatuh mengenai wajahnya. Tidak! Aku tidak ingin bercerai darinya sampai kapanpun dia tetap Ainiku. Kami pun menangis bersama dalam guguan yang semakin pilu.***Aini kembali tertidur, mungkin ia kelelahan karena terlal