Share

Merasa Hina

Author: Valend
last update Last Updated: 2023-12-27 21:35:15

Aluna memegang kepalanya yang masih terasa berat, masih ada sedikit rasa mual. Namun tidak separah sebelumnya. Mata Aluna terbelalak melihat tubuhnya tertutup selimut tanpa sehelai pakaian pun di atas ranjang hotel. Air matanya mengalir, dadanya terasa sesak, bahkan rasanya sulit untuk bernapas. Hari ini, kehormatan yang ia jaga selama dua puluh tiga tahun musnah begitu saja.

"Ya Allah, kenapa ini semua terjadi kepadaku? Apa dosaku ya, Allah, sehingga aku harus diuji dengan ujian seperti ini?"

Gadis bermata bulat itu mengambil selembar kain hitam penutup wajahnya. Ia meremas kain itu kuat-kuat, Aluna tidak tahu apa yang harus ia katakan kepada kedua orang tua dan calon suaminya nanti. Dengan langkah gontai, Aluna berjalan menuju balkon hotel, tangannya mencengkeram erat pagar besi setinggi dada orang dewasa. Ia pun memejamkan mata, memantapkan diri untuk menyudahi segalanya.

"Mungkin ini jalan terbaik, aku tidak mampu menanggung semua ini."

Dengan berbalut selimut putih, Aluna mengangkat sebelah kakinya untuk memanjat pagar besi. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sakit di bagian berharga miliknya. Air matanya masih saja tidak berhenti mengalir. Ia merasa ujian ini terlalu berat.

“Allahu Akbar ... Allahu Akbar ....” Gema suara adzan berkumandang. Tangan Aluna gemetar, ia pun menurunkan kakinya dan duduk lemas bersabar pada pagar. Tubuhnya tersungkur meringkuk di atas lantai balkon hotel.

“Ya Allah, seandainya aku mati sebelum ini, aku tidak perlu takut menghadapi hari esok. Aku sudah kotor, menjijikan, dan ternoda. Ya Rabbi, apakah engkau benar-benar ada? Kenapa engkau limpahkan ini padaku? Dosa apa yang membuat-Mu mengujiku dengan ujian seberat ini? Aku menghamba kepada-Mu, aku hamba-Mu, aku mencintai-Mu, tapi apa yang engkau takdirkan padaku? Aku menjaganya karena-Mu, tapi kenapa engkau mengijinkan seseorang menodaiku?” Aluna berbicara pelan dengan terisak, ia terus saja menyalahkan takdir yang menimpanya. Bahkan ia tidak terlalu yakin jika Tuhan benar-benar ada dan peduli dengannya. Hidupnya kini sudah hancur, sudah tidak ada lagi harapan. Ia yakin, Hamzah tidak akan menerimanya, dan keluarganya mungkin akan mengusirnya karena malu.

Gerimis pun turun membasahi tubuh Aluna yang masih meringkuk di atas lantai dengan berbalut selimut hotel. Langit sepertinya ikut bersedih dengan apa yang dialami gadis itu. Rasa dingin mulai menusuk tubuh mungil Aluna, gadis itu pun menyerah dan kembali masuk ke dalam kamar dengan langkah yang sedikit gontai. Ia berjalan pelan, menahan rasa sakit setiap kali kakinya melangkah. Bahkan, sore itu, langit pun ikut menangis.

Aluna melepaskan selimut basah yang membalut tubuhnya. Ia berjalan masuk ke kamar mandi kemudian menyalakan shower. Gadis itu hanya terdiam di bawah guyuran air panas, yang semakin lama semakin panas. Uang air panas membuat kaca kamar mandi menjadi buram. Namun, gadis itu tidak peduli sama sekali dengan keadaan itu. Padahal sebelumnya ia selalu membuat goresan di permukaan kaca yang berembun. Ia masih tidak bisa menerima dengan apa yang terjadi pada dirinya.

Aluna menatap kedua belah telapak tangannya yang mulai keriput, kemudian mengepalkannya kuat-kuat. “Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri!” bisiknya dengan senyum penuh kemarahan tersungging di bibir Aluna.

Gadis itu pun bertekad untuk membalas dendam dengan semua yang terjadi kepadanya hari ini. Namun sayangnya, ia pun tidak tahu kepada siapa ia harus menuntut balas. Apakah kepada Hendra? Atau kepada siapa?

“Selamat malam!” ucap seseorang dari luar kamarnya diikuti suara ketukan pintu sebanyak tiga kali. Suara itu membuat Aluna segera bangkit dan menyambar handuk yang ada di bagian luar kabin mandi. Ia segera berpakaian rapi, lengkap dengan cadar yang menutupi wajah cantiknya.

Aluna berjalan menuju pintu kamar hotel dan membukanya. Seorang petugas hotel berdiri di depan pintu dengan sebuah buket bunga dan coklat kesukaannya di tangan kiri. Perempuan paruh baya itu tampak cantik dengan seragam hotel yang berwarna hitam, membuat wajah sawo matangnya tampak lebih bercahaya. Cepol harnet membuat rambut wanita itu tampak sangat rapi.

“Iya selamat malam, ada apa?” tanya Aluna tegas. Gadis itu menyembunyikan kehancurannya. Ia tidak ingin jika orang lain melihatnya lemah. Bahkan orang yang tidak ia kenal sekalipun.

“Ada seorang laki-laki menitipkan ini kepada saya untuk Anda!” ucap perempuan paruh baya yang masih saja berdiri di depan pintu. Aluna tidak mempersilahkan petugas itu masuk sama sekali.

“Siapa?” Aluna menerima buket bunga yang disodorkan oleh wanita berbaju hitam itu.

“Saya tidak tau, hanya saja laki-laki itu bilang, ada surat di sana. Mungkin Anda bisa melihat nama pengirimnya di surat itu. Sepertinya dia sangat perhatian kepada Anda. Beliau meminta saja membantu Anda jika ada yang dibutuhkan. Apa ada yang perlu saya bantu?” tanya petugas hotel dengan intonasi cara yang jelas dan lembut. Aluna hanya menjawab dengan menggelrng kepala. “ Oh, ya sudah, saya pamit dulu, Nona!” lanjutnya. Wanita paruh baya itu pun bergegas pergi meninggalkan kamar Aluna.

“Bu ...,” ucapnya pelan. Gadis itu mengurungkan niatnya untuk memanggil petugas hotel yang memberikan buket bunga pada beberapa detik lalu. Ia pun bingung, apalagi yang akan ia tanyakan kepada wanita paruh baya itu. Apalagi dia baru saja menolak tawaran bantuan darinya.

Aluna berjalan pelan sambil menahan rasa sakit. Ia meletakan buket bunga di atas meja, kemudian gadis itu duduk di atas sofa dan mengambil sebuah surat yang dibalut dengan amplop berwarna biru muda. Warna yang paling ia sukai. Aroma amplo itu sama persis dengan aroma parfum yang ia pakai setiap hari, lembut, dan menenangkan.

Aluna membuka surat itu dan membacanya pelan, “Manis coklat ini memang tak semanis madumu yang kuteguk semalam, bahkan kamu tidak memberikan perlawanan. Aku yakin, semalam kamu pasti menikmatinya. Aku melihat guratan senyum dari wajahmu, walau kamu selalu menutup mata saat kita melakukannya. Lun, aku yakin kamu saat itu sedang menahan rasa sakit karena perbuatan kita semalam. Namun, rasa sakit yang kamu rasakan saat ini, aku pun ikut merasakannya. Hanya aku yang berhak membahagiakanmu, jika aku tidak bisa memilikimu, maka tidak ada satu orang pun yang boleh menerimamu. Maafkan aku Aluna, aku sangat mencintaimu.”

Suara gemeretak gigi beradu terdengar cukup keras. Aluna mengambil buket bunga itu dan melemparkannya ke atas lantai dengan sekuat tenaga. “Iblis kau!” teriak Aluna.

Aluna kembali duduk dan membolak-balik kertas dan amplop biru muda itu, tidak ada keterangan apa pun. Ia tidak tau siapa pengirimnya, apalagi surat itu tidak ditulis tangan.

“Ya Allah, siapa yang berbuat semua ini?” ucap Aluna diikuti isak tangis. “Apa Hendra yang melakukannya padaku? Tapi kenapa? Ini tidak mungkin.” Gadis itu kembali tersungkur di atas lantai kamar hotel. Setelah membaca surat itu, kini perasaannya semakin hancur. Aluna mengambil kembali buket bunga itu dan kembali melemparkannya sekuat tenaga, hingga cokelat-cokelat itu berantakan di atas lantai.

"Manusia Biadab!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ahmad Rivaldi
hendra kamu kenapa si
goodnovel comment avatar
Radens
Aluna terlalu naif kayaknya ya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Noda di Balik Cadar Aluna   Pendarahan

    Aluna mencoba menghalangi kopernya agar tidak terlihat oleh Hamzah. Wanita itu menyibukkan diri memainkan ponselnya, mengecek pesan yang mungkin terlewat saat dia salat Subuh tadi. "Lun, aku akan segera ke sana jam enam, tunggu di situ, jangan kemana-mana, aku sudah menyiapkan tempat tinggal sementara!" Aluna membaca pesan dari Umar. Laki-laki itu memang selalu tampil menjadi malaikat penyelemat dalam hidup Aluna. Aluna melihat ke arah langit yang sudah mulai menguning, dan tersenyum dalam tangisnya. Aluna mengabaikan Hamzah yang pergi meninggalkan masjid dengan menaiki mobil pribadinya, di belakang mobil laki-laki itu, ada sebuah mobil pengawal pribadinya yang memang hampir setiap hari mengikutinya kemana pun ia pergi, kecuali memang Hamzah menolak. Aluna duduk di tangga yang untuk naik ke teras masjid, perempuan itu melihat ke arah mobil yang bagus saja datang. Dari bentuk dan warna mobilnya saja, Aluna sudah paham sapa yang datang. Aluna langsung bangkit dari tempatnya duduk dan

  • Noda di Balik Cadar Aluna   Subuh Buta

    Aluna yang enggan berbicara lagi tentang urusan perasaan pun lahirnya memilih untuk kembali ke kamar Matilda dan Sonya untuk beristirahat. Setelah sampai di kamar, Aluna mendapati Matilda yang sedang beribadah. Saat itu, Aluna pun sontak merasa tertohok, seharusnya, dalam masa sulit seperti ini ia mencari Tuhan, bukan mencari orang lain untuk berlindung. "Ya Allah, maafkan atas segala kebodohanku, aku sudah terlalu banyak menyakiti diriku sendiri!" ucap Aluna pelan kepada Tuhannya. "Hi Lun, tidur lah, aku sudah menyiapkan tempat tidur untukmu. Aku tidur bersama Sonya." Matilda menyapa Aluna yang masih melamun di depan pintu sambil berdiri. "Eh, iya, Da. Maaf aku merepotkanmu!" ucap Aluna yang masih dalam kekacauan pikiran. Kali ini ia merasa sedikit gugup, ia merasa kedatangannya ketempat ini, justru menambah masalah baru, setelah dia tau jika Brian ternyata jatuh hati kepadanya. "Jangan sungkan, sudah sewajarnya kita saling menolong satu sama lain. Kita sama-sama diciptakan oleh

  • Noda di Balik Cadar Aluna   Brian Menyukai Aluna

    Aluna menyeret kopernya, berjalan tanpa tau arah mana yang akan dia tuju. Wanita bercadar itu merasa malam itu langit kembali runtuh, gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Ia bahkan nyaris hampir tidak bisa bernapas. "Ya Allah, kuatkan aku!" ucapnya lirih. Air matanya kembali mengalir ketika mengingat betapa banyak kenangan yang ia lalui bersama suaminya. Ia bahkan ingat sekali, betapa bahagianya rencana masa depan mereka berdua. Bahkan dulu Hamzah selalu memohon kepadanya untuk tetap tinggal dan tidak boleh pergi. Namun saat ini, justru Hamzah lah yang mengusirnya. Aluna sejenak berhenti dan jongkok di pinggir jalan, sekedar berteriak tanpa suara, mencoba meluapkan emosinya yang sedari tadi ia coba tahan. Wanita itu sejenak menatap langit malam yang kelabu tanpa bintang. Ia berpikir, akan kemana dia kali ini. Aluna membuka ponselnya, hanya ada pesan dari Umar. Ia membuka pesan laki-laki itu. Banyak hal yang ia tanyakan kepada Aluna, terutama keadaannya dan di mana dia saat ini. Nam

  • Noda di Balik Cadar Aluna   Harus Pergi ke Mana

    "Lun, orang tuamu sudah datang!" panggil ibu mertuanya. Wanita itu hanya membuka sedikit pintu kamar Hamzah, ia bahkan tidak berani masuk ke dalam kamar anak tirinya itu. "Iya, Ummi!" ucap Aluna sambil berjalan keluar, kali ini dia sudah memiliki sedikit tenaga tambahan setelah menghabiskan roti maryam dan kari pemberian Sofiyah."Ukh, maaf aku tidak bisa menemanimu, aku takut!" Sofiyah memeluk Kaka iparnya. Ia memilih kembali ke kamarnya sendiri dan mengurung diri. Gadis itu tidak berani, ia takut jika akan ada pertengkaran di antara mereka. "Doakan yang terbaik untuk Ukhti, ya!" "Pasti, Ukh, apa pun yang terjadi, aku akan terus menyayangimu. Inni Ukhi buki fillah, sungguh aku mencintaimu karena Allah." Tangan Sofiyah sedikit gemetar dan dingin, ia merasa sangat takut jika akan ada sesuatu yang buruk yang mungkin terjadi kepada Aluna. "Doakan aku akan baik-baik saja!" Aluna berjalan keluar kamar, ia sebenarnya merasa takut, lututnya terasa lemas dan kakinya gemetaran. Ia berjalan

  • Noda di Balik Cadar Aluna   Sedikit Bercerita Kepada Sofiyah

    Umar mengangkat telpon dari pamannya. Musa mengatakan bahwa sudah menghubungi HRD perihal keadaan Aluna saat ini. Umar sebenarnya sangat menyayangkan kenapa Musa harus bercerita kepada HRD tentang semua yang terjadi, padahal tanpa memberi tahu alasan yang sebenarnya pun, Aluna tidak masalah tidak masuk kerja hari itu. "Bagaiman Umar?" tanya Mira lagi. Wanita itu tau betul bagaiman sifat ayah mertua Aluna. pasalnya gadis itu sudah pernah bersangkutan langsung dengan orang itu saat ia mendekati Hamzah saat SMA dulu. "Kacau!" ucap Umar sambil memukul mejanya. "Kacau kanapa, coba bicarain pelan-pelan!" pinta Mira kepada Umar. "Musa malah cerita semau aib Aluna ke HRD, aku khawatir kalau cerita itu bakal jadi konsumsi publik di kantor ini." Umar tampak sangat gusar. "Astaga, kenapa itu orang nggak mikir dulu sebelum ngomong." Mira pun merasa sangat kesal kepada Ayah Hamzah. "Gini aja deh, lebih baik kamu kabarin Aluna dulu aja!" pinta Mira kepada Hamzah, ia berpikir bahwa ketidak hadir

  • Noda di Balik Cadar Aluna   Sudah Enggan

    Aluna menelpon orang taunya, dan memintanya untuk segera datang saat itu juga. Sayangnya orang tua Aluna sedang dalam perjalanan dari luar kota. Mereka akan segera datang setelah sampai di Jakarta. "Bi, orang tuaku belum bisa datang sekarang, paling nanti kalau sudah sampai jakarta, mereka akan segera ke sini," ucap Aluna dengan nada gemetar. "Selama orang tuaku belum datang, kamu tidak boleh keluar kamar sama sekali! Nanti Sofiyah akan mengantarkan semau urusanmu!" ucap Abu Hamzah kepada menantunya. "Tapi, Luna harus bekerja, Abi!" "Tidak, aku akan telpon Umar, hari ini kamu tidak boleh melangkahkan kakimu keluar dari rumah ini. Aku akan memgembalikanmu kepada orang tuamu. Aku tidak Sudi memiliki menantu rendahan sepertimu." Aluna membuka matanya lebar, ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Pasalnya selama ini ayahnya Hamzah selalu bersikap lemah lembut dan sangat menyayanginya. Saat ini, Aluna baru menyadari, ternyata perubahan drastis Hamzah, sama persis sepert

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status