Aku dikejutkan oleh suara pintu gerbang yang dipukul-pukul seseorang. Dari suara yang terdengar memanggil-manggil, diketahui jika orang di luar tersebut adalah laki-laki.
"Budeh! Budeh! Tolong bukain pintu. Saya mau lihat bapak!" Suara berat namun terdengar serak, teriak memanggil ibu mertua. Sepertinya ia habis menangis atau bahkan masih menangis. "Budeh! Cepet, Budeh!" desaknya sambil kembali menggedor pintu pagar. "Duh, itu siapa, ya?" Aku meremas kedua telapak tangan yang mengeluarkan keringat. Seperti inilah jika cemas melanda. Saat ini aku seorang diri di rumah dan di luar sana ada orang asing yang datang."Iya, Mas, ada apa?" Akhirnya aku memutuskan keluar dan dengan langkah cepat menghampiri lelaki itu seiring dengan suara besi yang digedor semakin keras. Untung saja pagar sudah digembok."Mbak, saya mau lihat Bapak!" ucapnya dengan linangan air mata. Siapa orang ini? Usianya kuperkirakan sekitar dua puluh tahunan. Rambutnya panjang terurai berantakan, wajahnya seperti habis bangun tidur dengan mata sedikit merah. "Bapak?!" Alisku bertaut. "Oh, maksudnya Lik Paino?" Aku memastikan dan dijawab dengan anggukan. "Sudah dibawa ke Masjid At-Taufik, Mas." Ia melebarkan mata sayunya. Namun, sedetik kemudian membalikan badan dan bergegas pergi tanpa pamit. Kudekatkan diri ke arah pintu gerbang menatap kepergian laki-laki kurus dengan pakaian yang terlihat lusuh. Gerakannya terlihat seperti agak sempoyongan. Apakah ini anak laki-laki Lik Paino yang dibicarakan ibu?"Semoga saja ia kelak bisa berubah dan membahagiakan orangtua satu-satunya yang kini tertinggal." Selalu ada harapan untuk orang-orang terdekat kita termasuk tetangga. Jika tak bisa berbuat apa-apa cukup doakan.Kini, saatnya membersihkan halaman. Kukosongkan sisa air di dua ember besar, kemudian meletakkannya di pojok samping tempat pemandian jenazah. Setelah itu menyingkap semua kain pembatas. "Kainnya nanti biar Mas Aryo dan Haris aja yang buka." Aku bergumam sendiri. Beberapa kain kupinggirkan dan ada juga yang disampirkan di atas tali tambang.Kucopot selang yang masih menggantung di kran air kemudian menggulungnya dan meletakannya di atas tempat pemandian. Aku menghela napas kemudian melengkungkan kedua bibir. Terkenang ketika masih kecil dulu. "Kadang hidup itu memang penuh teka teki. Sesuatu yang paling kuhindari malah sekarang ada di depan mata." tanpa sadar senyumku tersungging menertawakan diri.Saat kecil, yang paling aku takutkan adalah melihat tempat pemandian jenazah dan keranda mayit, karena hal itu juga yang membuatku tidak mau tinggal di rumah yang dekat dengan masjid. Sebab, pada saat itu yang kutahu, di mana ada masjid pasti di salah satu ruangannya ada dua benda yang kutakutkan itu. Namun, aku justru dihadapkan dua benda itu di tempat yang aku tinggali kini. "Alhamdulillah selesai." Kuedarkan pandangan keliling halaman. Semua sudah tertata rapi. Kualihkan kedua mata pada benda bulat di tangan. Sudah pukul satu siang. Sebaiknya aku segera mandi dan melaksanakan salat dzuhur. "Eh, Mbak Resti, udah selesai masaknya?" Kulihat kakak iparku tengah duduk di meja makan. Posisi tubuhnya membelakangi. Tampak rambut hitam kakak iparku tergerai hingga ke pinggang. "Tahu ga, Mbak. Aku tadi, tuh, agak ketakutan di rumah sendiri. Apalagi habis ada pengurusan jenazah begini. Untunglah Mbak Resti dah pulang!" Aku mulai berkeluh-kesah menceritakan yang kurasakan setelah orang-orang pergi."Oh, iya, tadi anaknya Lik Paino yang laki-laki datang ke sini. Nangis-nangis, loh, Mbak. Kayaknya dia nyesel banget. " Aku menarik kursi kemudian duduk di sebelah kakak iparku "Moga aja, ya, anak itu bisa berubah." Aku menoleh ke samping, melihat tubuh yang sejak tadi tak merespon. Tak biasanya kakak iparku yang terkenal ceriwis hanya terdiam ketika di ajak bicara.Aku mengerutkan kening. Dari samping aku melihat jika Mbak Resti terus menatap ke arah meja makan. Sekilas, wajahnya terlihat pucat. Apakah perempuan di hadapanku ini sedang sakit? "Mbak Resti sakit, ya?" Aku bertanya khawatir, tetapi tak ada sahutan. Mba Resti tetap bergeming.Sedetik kemudian aku membulatkan mata dengan mulut ikut terbuka dan tubuh yang bergetar. Ingatanku melayang pada pintu gerbang yang dikunci, sedangkan hanya Mas Aryo dan aku yang memegang kuncinya. Lalu darimana Mbak Resti bisa masuk?"Astaghfirulloh!" Aku tersentak ketika orang di sebelahku menoleh. Gemetar tubuhku dengan hati dipenuhi ketakutan. Terlebih melihat sorot tajam yang memandang dengan kemarahan. Dia bukan Mbak Resti."Ka-kamu siapa?" Melihat kedua mata yang tampak putih semua membuatku terpaku, ada kekuatan yamg berusaha menarikku untuk memasuki dimensi lain. Pandanganku melayang-layang menyisakan denyut di kepala. Perlahan pengelihatanku berbayang bahkan semakin memudar kemudian menggelap sempurna. ***Ketiga orang yang berada di dekatku belum tahu jika aku sudah terbangun. Awalnya, aku sudah membuka mata dan ingin memanggil Mas Aryo. Namun, mendengar Bapak mengucapkan sesuatu, kuurungkan untuk berbicara."Aryo, kamu perhatikan istrimu! Jangan sampai ia melakukan kesalahan!" Terdengar suara bapak berbicara."Iya, Pak." Suara Mas Aryo menimpali."Dia orang baru di sini, kamu harus benar-benar menuntunnya dan memastikan ia mematuhi segala peraturan di rumah ini. Sepertinya istrimu itu melakukan kesalahan!" Suara Bapak terdengar mendengkus kasar. Sebenarnya apa yang tengah mereka bicarakan? Kenapa menyebut sebuah kesalahan. Seingatku, aku tak melakukan hal yang buruk."Iya, Pak." Seperti biasa hanya kalimat pendek yang terucap dari Mas Aryo jika Bapak terlihat agak marah. Terdengar dari suaranya yang tegas penuh penekanan."Sudahlah, Pak! Melia tidak sengaja! Maklumi saja!" Suara ibu bergetar. Nadanya terdengar khawatir dan seperti ketakutan."Tapi, kan, tadi kata Aryo, ia sudah memperingatkan istrinya, Bu! Harusnya kan diikuti!" Suara bapak terdengar agak meninggi. "Ini malah ngeyel!" lanjutnya dengan nada kesal.Tak ada sahutan. Sepertinya Mas Aryo dan ibu memilih untuk diam. Setahuku bapak memang tidak suka dibantah. Itu yang Mas Aryo pernah utarakan ketika masa perkenalan. "Ya sudah! Pokoknya Bapak ga mau kejadian ini terulang lagi! Dengar Aryo!" "Baik, Pak. Nanti Aryo akan menuntun Melia." Helaan napas berat keluar dari lelaki paruh baya itu, kemudian terdengar langkah kaki yamg menjauh."Udah, Yo, ga usah dipikirkan! Kamu mandi aja dulu, Melia biar ibu yang jaga. Nanti gantian!" Suara ibu terdengar serak. "Titip sebentar ya, Bu," pinta Mas Aryo.Aku masih memejamkan mata, entah apa yang sebenarnya terjadi. Terakhir kali kuingat jika melihat Mbak Resti di dapur, tetapi ternyata itu adalah sosok yang mengerikan. Setelah melihat mata putihnya, aku tidak mengingat apa-apa lagi. "Yang kulihat tadi itu mimpi atau nyata, sih!" Aku bergumam dalam hati. Kejadian tadi itu benar-benar mengerikan. Rasanya aku ingin segera pergi dari rumah ini.Terdengar langkah kaki menuju ranjang, kemudian suara kursi yang ditarik dan helaan napas berat dari seseorang. Sepertinya ia sedang duduk memperhatikanku. Apakah ibu? Kumerasakan pergerakannya mengambil sesuatu di pinggir ranjang, tetapi kemudian sesuatu dihentakkan ke wajahku kemudian ditekan sekuat tenaga. "To-tolong!"POV Tini***Aku terdiam sejenak ketika berada di depan kamar Bu Sumi. Udara di kamar terasa panas dengan aura yang membuat hati merasa tak nyaman. Bau amis menguar menyapa indera penciuman. Kesiur angin yang masuk dari jendela terbuka, menyapa kulit, tetapi tak membuat udara menjadi sejuk. Aku membulatkan mata dengan apa yamg terlihat di hadapan. Bukan? Yang kulihat bukan darah yang melekat ditubuh Pak Karso ataupun seprai di sekitarnya. Bukan pula Bu Sumi yang sedang menangis, khawatir dengan kondisi sang suami, melainkan sosok menyeramkan yang berada di samping mertua Melia itu.Ia menatap tajam kepadaku, ada aura permusuhan yang dikibarkan. Ketidaberhasilanku mencegah pembongkaran kamar khusus di lantai dua membuat sosok hitam besar dengan mata merah menyala itu terlihat sangat marah. Bahkan, ia mengusirku dan meminta untuk tidak memcampuri urusan keluarga ini.Aku bergeming, masih terpaku dengan apa yang diucapkan makhluk mengerikan tersebut. "Pergi!" pinta sosok tersebut. Ia me
Masih dalam balutan mukena aku mengambil mushaf dan hendak membacanya. Biasanya setiap salat fardhu aku selalu mewajibkan diri untuk tilawah minimal dua lembar sehingga ketika selesai ibadah terakhir maka aku sudah menyelesaikan satu juz. Akan tetapi beberapa waktu terakhir ini perasaan terasa berat ketika membuka lembaran Al-quran. Entah mengantuk atau ada saja yang tiba-tiba mengalihkan pikiran sehingga terkadang sampai tidak jadi tilawah.Setelah mendapat peringatan dari Mas Aryo, saat ini dalam kondisi apa pun aku berusaha tetap melaksanakan ibadah yang sebelumnya sudah rutin kukerjakan. Kami membuat program mengaji bersama selepas salat maghrib dan isya. Namun, saat ini Mas Aryo sedang menghadiri tahlilan Pak Tarmo. yang ke tujuh hari.Tangan kananku mulai membuka lembaran dalam kitab suci dengan sampul berwarna hitam itu dan mulai melantunkan beberapa ayat dalam surah Al Maidah. Beberapa menit membaca tengkukku terasa sangat dingin kemudian disusul kepala yan
Setelah selesai membawa Bapak ke Puskesmas Mas Aryo membersihkan tubuh lelaki yang telah membesarkannya. Bapak pun sama seperti Ibu, suka dengan kebersihan. Jadi, walaupun sakit ia selalu meminta dimandikan dua kali sehari. Tidak betah katanya jika berkeringat dan hanya dilap saja tubuhnya.Mas Aryo sangat telaten mengurus Bapak. Dengan menggunakan kursi untuk tempat duduk Bapak di kamar mandi, ia mulai memberi sabun dan sampo. Jika hari kerja Mas Aryo akan bangun lebih awal untuk memandikan Bapak sebelum berangkat. Untuk sore hari Ibu meminta bantuan suami Tini ketika datang menjemput untuk membawa ke kamar mandi dan ibu yang akan memandikan."Makan, Pak!" Aku menyodorkan sendok berisi nasi dengan lauk dan sayur yang direbus."Sudah," katanya setelah masuk tiga sendok."Lagi ya, Pak. Baru sedikit." Aku sedikit membujuk Bapak. Dalam kondisi seperti ini asupan makan Bapak harus dijaga agar tubuhnya tidak semakin lemah."Ga enak m
Desakan dalam kandung kemih membuatku terjaga. Kedua mata yang masih terasa lengket seolah enggan terbuka membuatku mencoba untuk terlelap kembali. Namun, hentakan cairan bening sepertinya sudah tidak bisa tertahan lagi.Dengan mata terpejam aku meraba keberadaan suamiku di samping. Namun, beberapa kali berpindah tempat tak kutemukan juga sosoknya. "Mas Aryo." Tak ada sahutan."Mas Aryo." Hening."Mas Aryo." Kedua netraku langsung terbuka dan menatap kasur yang tak ada penghuninya. Kemana Mas Aryo? Dengan malas kuturunkan kaki dan duduk di bibir ranjang. Kesadaranku belum pulih sepenuhnya.Karena keasikan membaca tanpa sadar sudah terlewat tengah malam dan aku baru tertidur. Saat ini kulihat waktu telah menujukkan pukul tiga pagi. Itu artinya aku baru saja tidur selama dua jam. Pantas saja rasanya berat sekali mataku untuk terbuka.Aku beranjak berdiri dan menekan saklar untuk menyalakan lampu. Kutatap lagi keliling ruangan men
Pov Karso ---Bapak---Mendengar kegaduhan di luar membuatku terjaga dari alam mimpi. Kugerakkan kaki perlahan mencoba untuk menuruni ranjang. Akan tetapi rasa sakit itu semakin menjadi.Aneh! Padahal dokter memgatakan kakiku hanya terkilir saja. Tetapi kenapa rasanya sesakit ini dan belum mengalami perubahan yang lebih baik. Semua obat luar dan dalam yang diberikan lelaki berbaju putih itu selalu rutin aku meminumnya. Berharap agar segera bisa sembuh dan beraktivitas kembali.Kutengok benda bulat di atas pintu kamar. Pukul dua siang. Sebenarnya ada apa di luar? Kenapa terdengar seperti suara seseorang yang sedang marah. Beberapa kali aku mencoba memanggil istriku dan Melia. Namun, tak ada yang menyahut. Kemana mereka?Kuhela napas kasar. Rasanya sungguh tidak enak sekali sakit seperti ini. Seluruh kegiatan benar-benar terhambat dan membutuhkan bantuan orang lain. Mau melihat keadaan di luar pun harus menunggu penghuni yang lain datang untuk menany
POV Melia***"Ya Allah, Mbak, di dalam ada yang marah." Nani ---istri Mang Karman--- beringsut mundur setelah menengok ke dalam ruangan dimana tempat suaminya bekerja. "Masa, sih, Nan?" Aku yang hendak menuruni tangga langsung berbalik arah dan menghampiri kembali kamar pojok yang sedang dibongkar. Sejak awal aku mengamati suaminya bekerja semua terlihat baik-baik saja. Dan tidak ada siapa pun di sana selain Mang Karman."Ga ada, Nan!" Kutelusuri setiap sudut ruangan. Di sana hanya ada puing-puing bebatuan yang telah berhasil di hancurkan Mang Karman. Aku menghela napas. Mungkin saja Nani salah melihat. "Ada, Mbak. Matanya merah, kepalanya ada tanduk. Dan tadi dia ngusir saya. Dia kaya lagi marah." Aku mengernyit. Bulu kudukku jadi berdiri, sehingga aku pun memundurkan langkah menjauhi kamar yang sudah rubuh dinding penutupnya. Aku tertegun ketika menoleh ke arah perempuan yang sebaya denganku. Buliran bening banyak meng