Share

Bab 5

"Mel, Melia, bangun!" Aku merasakan seseorang menepuk-nepuk pipi sambil memanggil. Segera kubuka mata dan langsung beringsut duduk. Kurasakan detak jantung yang berpacu cepat dengan keringat yang membanjiri tubuh. Napasku tersengal dengan dada naik turun.

"Alhamdulillah. Kamu sadar, Mel!" Senyum tersungging dari wajah Mas Aryo yang tampak lelah. Ia mengucapkan syukur sambil mengusap punggungku memberi ketenangan.

"Ini minum dulu, Mel." Ibu menyodorkan segelas air putih, tapi aku bergeming masih shock dengan mimpi yang terasa nyata. Mas Aryo mengambil alih gelas tersebut dan mencoba membantuku untuk meminumnya.

"Alhamdulillah, Mel, kamu sadar!" ucap ibu. "Hampir dua jam kamu pingsan!" lanjutnya lagi.

"Dua jam?" Aku memastikan.

"Iya, Dik. Tadi sudah dipanggil dokter klinik juga. Katanya ga apa-apa, hanya kelelahan," sahut Mas Aryo. "Tapi, ya, kami khawatir juga, kamu pingsannya agak lama." Ada nada sedih dalam suaranya.

Aku bergeming. Memikirkan hal yang baru kualami. Bukankah tadi aku sudah sadar dan mendengarkan pembicaraan mereka. Lalu, tiba-tiba ada yang membekap wajahku dengan bantal. Dan rupanya itu hanya mimpi. Apa artinya obrolan yang aku dengarkan itu juga mimpi.

"Duh!" Aku meringis merasakan sakit di kepala. Kupijit pelipusku mencoba meredakan nyeri yang mendera sekaligus mengaburkan pikiran yang membuat lelah.

"Kenapa, Mel?" Mas Aryo beringsut mendekat. "Pusing, ya?" Aku memgangguk.

"Mungkin karena belum makan istrimu, Yo. Kamu terakhir makan pas sarapan aja, ya, Mel?" tanya Ibu. Aku mengangguk.

"Nah, kan, Melia kecapean itu, Yo, terus perutnya kosong, makanya pusing," ucap ibu lagi. "Lain kali ga usah bebenah sendirj, Mel. Nunggu yang lain aja. Untung aja tadi Aryo bawa kunci cadangan. Coba kalau ga bawa kunci. Kamu bisa ngegelatak aja sampe pagi di sini." Aku tersenyum getir, mendengar ibu bicara panjang lebar dengan nada menyalahkan membuat hatiku teriris.

"Ya udah, kamu makan dulu ya, Mel. Mas ambilkan nasinya." Melihat air mukaku yang terlihat muram, Mas Aryo mengambil alih obrolan.

"Udah biar ibu yang ambil! Kamu jagain Melia aja di sini!" Perempuan paruh baya itu segera berbalik badan dan melangkah keluar.

"Maafin Ibu, ya, Mel!" ucap Mas Aryo terlihat tak enak hati. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk.

"Jam berapa sekarang, Mas?" Aku teringat jika belum salat Dzuhur.

"Jam tiga, Mel." Aku mengaduh tertahan. Sudah hampir masuk waktu Ashar.

"Mas aku mau salat dulu, ya." Kugerakkan kaki untuk turun ranjang. Mas Aryo sigap membantu.

"Ayo, Mas anter ke kamar mandi. Kamu masih lemes." Aku hanya mengangguk.

Setelah salat dan makan, ingin rasanya menceritakan yang kualami hari ini, tetapi ragu karena ada bapak dan ibu. Mungkin nanti saja jika sedang berdua.

***

Hembusan angin malam langsung menerpa wajah ketika kubuka jendela. Kupandangi guratan indah di angkasa yang menampilkan kilauan bintang-bintang yang terletak tak tentu arah, tetapi tetap terlihat indah. Sinar yang terpancar di antara pekatnya malam seolah menyihir mata yang memandangnya. Aku merasakan kedamaian ketika memandangnya.

"Dik, kamu belum tidur?" Aku tersentak mendapat sentuhan di punggung. Menoleh ke arah suara, ternyata Mas Aryo. Sejak kapan ia ada di belakang. Apa karena aku terlalu terpesona dengan angkasa di malam hari sampai suara pergerakan suamiku yang turun dari ranjang tak terdengar.

"Eh, belum, Mas." Kutampilkan senyum semanis mungkin menghalau rasa gugup yang mendera.

"Ngelamun, ya. Ga baik loh anak gadis ngelamun tengah malam. Mana jendela dibuka. Entar masuk angin!" Keningku berlipat mendengar ucapannya.

"Aku, kan, bukan gadis lagi, Mas!" Kunaik- turunkan alis. Menggodanya. Tangan kekarnya mengacak lembut rambutku.

"Ish, ini bocah." Selalu seperti itu ucapannya. Perbedaan usia sepuluh tahun membuat ia selalu menganggapku masih bocah. Namun, memang hal ini yang kuinginkan, menikah dengan lelaki dewasa. Mungkin karena dilahirkan sebagai anak pertama aku ingin memiliki suami yang usianya jauh lebih tua. Berharap suamiku menyayangi dengan tulus menuntun ke arah kebaikan, peduli terhadap keluarga dan sekitar, soleh, dan baik hati. Bersyukur aku mendapatkannya dari Mas Aryo.

"Dik, Mas laper, nih!" Kulirik benda persegi yang menempel di atas ranjang. Pukul satu malam.

"Ya, udah, Mas. Aku bikinin susu dan roti bakar, ya!" Mungkin tidur Mas Aryo terganggu karena perutnya yang lapar, sebab tadi makan malam hanya terisi sedikit makanan.

"Oke." Kuambil karet di meja dan mengikat rambut yang terurai. Mas Aryo terlihat membuka laptop. Sambil menunggu sepertinya ia akan menonton.

Kutuntun kedua kaki ini menuju ke arah dapur. Namun, ketika baru saja menutup pintu kamar, kulihat bapak mertua yang sedang menaiki tangga sambil membawa nampan. Netraku tak dapat melihat jelas apa yang ada dibawa. "Apa itu, ya, yang di dalam nampan?" Aku mencoba menyipitkan mata, tapi tetap tak terlihat.

Aku hendak menyapa tetapi, melihat gelagat bapak yang mencurigakan membuatku urung untuk memanggilnya. Sebenarnya ada keperluan apa bapak di tengah malam seperti ini ke lantai dua.

Dengan langkah pelan kudekati tangga setelah bapak tiba di atas. Menimbang apa yang harus kulakukan? Mengikuti atau berusaha tak peduli? Ah, mana bisa! Rasa ingin tahuku begitu dalam. Akhirnya aku mengendap-endap menaiki tangga. Kuedarkan pandangan menyusuri setiap sudut ruangan. "Kok merinding!" Aku mengusap lengan yang terasa dingin.

Lantai dua cukup luas, ada aula yang bisa digunakan untuk berkumpul dan menonton televisi, terdapat empat kamar dan dua kamar mandi. Dan di depan ada balkon untuk bersantai sambil memandangi kondisi di luar. Lantai dua ini -menurut ibu- memang dibangun untuk keluarga besar yang sedang berkumpul di Jakarta. Biasanya setahun dua kali. Karena ibu anak pertama dari sembilan bersaudara, jadi adik-adiknya sepakat jika hari raya berkumpul di rumah anak tertua.

Meskipun jarang ditempati. Namun, lantai dua tetap terlihat bersih dan terawat karena ada Bik Asih yang membersihkan tiga kali seminggu. Tetapi sepertinya sudah beberapa hari ini aku tak melihat keberadaannya. "Kemana ya Bik Asih?" Aku bergumam dalam hati.

Indera penciumanku mulai merasakan aroma yang menyengat. Kulangkahkan kaki mulai menyusuri kamar. Pandanganku terhenti pada ruangan paling belakang. Pintunya terbuka dan dari arah sana juga keluar asap. Ah, rasanya aku tahu bau ini. "Ini, kan, bau kemenyan. Untuk apa bapak membakar benda itu di tengah malam seperti ini." Aku tak habis pikir dengan perilaku mertuaku saat ini.

Bulu-bulu halus di tubuhku tiba-tiba meremang. Sedikit bergetar akhirnya aku memilih untuk turun ke bawah dengan perlahan. Untung saja bapak tidak menyadari jika aku mengikutinya.

"Mas, ini rotinya." Kusodorkan segelas susu dan dua buah roti diolesi selai cokelat.

"Loh, ga jadi bikin roti bakar?" Aku menggeleng. Setelah turun tadi aku memutuskan membuat susu dari air panas yang masih ada di termos dan membuat roti tanpa dibakar. Aku khawatir jika menyalakan kompor bapak akan menyadari jika aku di dapur.

"Kok, lama, sih?" tanya Mas Aryo sambil mengunyah roti pertama.

"Maaf, Mas, tadi mules." Aku berbicara sambil menatap ke sembarang arah. Hatiku gusar. Mau berbicara sejujurnya atau tidak. Apa mungkin nunggu waktu yang tepat?

"Mas, di atas itu bukannya ada empat kamar, ya. Kok tadi pagi aku lihat ada lima kamar. Memang, sih, yang satunya lebih kecil." Aku berbohong lagi. Aku baru menyadari di lantai dua ada ruang yang lebih kecil baru malam ini.

Gerakan memasukkan roti kedua terhenti. Alisnya bertaut memikirkan sesuatu. "Oh, ruangan itu. Itu ruangan bapak. Ruangannya digembok dan hanya bapak yang punya kuncinya. Lagipula, bapak juga melarang kita untuk masuk ke sana." Mas Arya menghabiskan roti dan mulai meminum susunya.

"Kenapa dilarang masuk ke ruangan itu, Mas?" Mas Arya membersihkan sisa-sisa susu yang menempel di sekitar bibirnya dengan tisue setelah menandaskam cairan berwarna cokelat itu.

"Kata bapak, sih, itu tempat penyimpanan barang-barang berharga bapak." Aku menggigit bibir. Andaikan aku tak melihat sendiri, mungkin aku akan percaya saja dengan alasan itu. Tapi melihat kejadian tadi, ada keraguan yang menyusup. Apa yang sebenarnya bapak sembunyikan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status