Share

Bab 3

Author: Maya Har
last update Last Updated: 2023-09-17 03:01:16

"Ayo! Buat keluarga udah boleh lihat untuk yang terakhir kalinya, ya. Sebelum ditutup mukanya," ucap salah satu bapak yang mengurus jenazah. Tampak beberapa orang yang sudah berkerumun di luar memanggil nama-nama yang kuperkirakan adalah keluarganya.

Tatapanku kini tertuju pada sosok yang sebagian besar telah terbungkus kain putih, kecuali wajah yang masih dibuka. Kehidupannya telah berakhir di dunia. Mau tidak mau, suka tidak suka, kematian pasti akan terjadi pada setiap makhluk bernyawa.

Inilah hidup, tidak akan abadi. Semuanya akan berakhir dengan tubuh yang tiada daya. Terbujur kaku dengan mata terpejam, karena nyawa sudah diambil pemilik-Nya. "Ya Rabb, ampunkan segala khilafnya dan berikan tempat yang terbaik di sisi-Mu." pintaku dalam hati, memohon kebaikan untuk Lik Paino.

Kembali kulihat jenazah itu. Tubuh kaku yang awalnya tak berani kulihat. Mencoba menepis ketakutan, akhirnya memberanikan diri berada di hadapan, bahkan menatap wajahnya. Wajah yang sebentar lagi menghadapi kehidupan barunya.

Kelak, akupun akan berada di posisi ini. Benarlah bahwa kematian adalah pengingat bahwa hidup hanya sekedar singgah. Harus banyak mencari bekal agar siap jika waktunya tiba. "Ya Rabb, ampunkan segala dosa dan kesalahanku." Membayangkan nanti akan merasakan kematian, tubuhku bergetar mengingat segala kesalahan.

Satu persatu anak, menantu dan cucu datang menghampiri untuk melihat yang terakhir kalinya. Sang istri sudah sejak tadi duduk bersimpuh di samping jasad pasangan hidup yang lebih dulu meninggalkannya. "Ayo, Bu," ajak seorang perempuan bertubuh gempal membantu Bu Paino untuk lebih mendekat.

Perempuan yang diperkirakan berusia sama dengan ibu mertua itu berusaha tegar. Tatapannya sendu melihat ayah dari anaknya kini telah terbalut kain putih. Menandakan bahwa sang suami tidak akan pernah terlihat lagi raganya. "Pak yang tenang, ya," ucap ibu tersebut dengan suara bergetar sambil mengusap pipi yang terlihat pucat itu.

Suasana menjadi haru. Terlihat beberapa orang meneteskan airmata. Kehilangan seseorang merupakan suatu hal yang paling meyakitkan. Namun, semuanya harus diterima dengan lapang dada. Akan tetapi, tetap saja menyisahkan kepedihan yang mendalam. Tidak hanya keluarganya, melainkan teman dan tetangganya juga. "Boleh dicium, ya. Tapi jangan sampai menangis!" Bapak pengurus jenazah mengingatkan.

Bu Paino mencium kening suaminya, setelah itu dilanjutkan oleh keluarga yang lain. Secara bergantian mereka mencium, mengusap, dan menatap bagian tubuh yang belum terbungkus kain itu. Wajah yang mungkin akan selalu dirindukan. "Ada lagi?" Terdengar kasak-kasuk dari luar jendela. Sepertinya ada yang sedang mereka tunggu.

"Satu lagi adik saya, Pak, tapi dari tadi dihubungi ga bisa-bisa," sahut perempuan bertubuh gempal.

"Sebentar lagi, ya, Pak," pinta Bu Paino yang terlihat gelisah.

"Baik, kita tunggu sebentar lagi." Namun, selang lima belas menit orang yang diharapkan belum juga datang. Akhirnya, pihak keluarga memutuskan untuk segera menutup kepala jenazah dan mengikatnya. Kemudian memanggil beberapa orang untuk menggotongnya ke masjid.

"Bang, bawa ke sini kerandanya," panggil Ketua RT kepada orang di depan gang. Setelah itu, tampak keranda memasuki halaman rumah. Dengan sigap beberapa orang mengambil posisi untuk mengangkat jenazah ke dalam pengangkut jenazah yang terbuat dari besi itu dan menutupinya dengan kain hijau.

"Satu, dua, tiga. Bismillah! Allahu Akbar!" Setelah terdengar aba-aba, mereka mulai mengangkat keranda secara bersamaan, kemudian membawanya keluar gang. Mengingat gang yang sempit, diambil empat orang yang terlihat agak kuat untuk memegang empat posisi pegangan keranda. Dua di depan dan dua di belakang.

Satu persatu orang yang tadi berkerumun keluar pintu gerbang mengiring kepergian jenazah yang akan disalatkan di Masjid terdekat.

"Dik, nanti ga usah diberesin dulu! Tunggu Mas pulang dari nguburin aja, ya. Kamu langsung masuk kamar aja!" Mas Aryo memberi pesan sebelum pergi mengikuti iringan jenazah.

"Siap!" Aku berkata dengan gaya seorang prajurit. Mas Aryo tertawa. Setelah itu, ia menekankan kembali agar aku langsung ke kamar.

"Ingat, ya, diberesinnya nanti aja!" Mas Aryo mengingatkan sekali lagi. Aku mengangguk dengan menampilkan senyum termanis.

"Iya, Mas." Aku melambaikan tangan sambil memintanya untuk berhati-hati di jalan. Ibu dan bapak sudah berada di masjid lebih dahulu.

Setelah semuanya berlalu, aku langsung menutup gerbang kemudian menguncinya dari dalam. "Duh, aku sendiri lagi!" Aku mengeluh ketika berbalik badan, kemudian melihat tempat pemandian jenazah yang masih berada di halaman rumah.

Ibu mertua memintaku untuk menjaga rumah. Awalnya aku agak sedikit takut, tetapi tak mungkin meminta Mas Aryo untuk menemani. Bisa diceramahi nanti. Kuedarkan pandangan ke halaman dan ruang tamu dari depan jendela. Semua nampak berantakan. "Kayaknya beresin yang di ruang tamu dulu, deh!" Aku mengabaikan pesan suamiku, selain karena tak betah jika berantakan juga karena tak merasa tak enak dengan mertua.

Lagipula, suamiku mungkin hanya merasa khawatir jika aku kelelahan. "Bismillah! Semangat!" Aku memutuskan untuk langsung bergerak, agar ketika yang lain pulang menguburkan nanti, rumah tidak terlalu berantakan.

Meski ada keraguan, aku mulai memasuki ruang tamu. Berhenti perlahan, kemudian mengamati sekitar. Ada ketakutan menyelusup di hati. Bagaimanapun juga beberapa menit yang lalu ruangan ini dipakai untuk mengurusi jenazah. "Kok bulu kudukku berdiri, sih!" Tubuhku bergidik merasakan aura yang berbeda.

Kutengok kanan kiri berharap kisah-kisah seperti di film tidak kualami. Apalagi mengingat hampir semua warga satu gang ikut menguburkan. Sedangkan Mbak Resti dan beberapa ibu-ibu sibuk membantu memasak di tetangga depan gang, untuk makan orang -orang yang ikut menguburkan. "Waduh, berarti di gang ini cuma aku aja, dong!" Hatiku semakin menciut.

Aku memundurkan langkah hingga keluar pintu utama, terlebih ketika angin sepoi menerpa kulit wajah. Biasanya aku selalu menikmati terpaan udara di siang hari itu. Terasa sejuk dan mengusir rasa gerah yang melanda. Namun, kali ini rasanya begitu berbeda. Sedikit mencekam dengan aura suram.

Kluntang!

"Astagfirulloh." Aku berjingkat mendengar suara benda terjatuh di dapur. "Ish, apa itu, ya?" Sambil menahan napas aku mencoba menengok ke belakang. Terlihat seekor kucing kuning tengah melintas dengan bangkai tikus di mulutnya.

"Duh, ngagetin aja!" Aku menghembuskan napas merasa lega. "Ga bisa kaya gini terus ini mah! Aku harus berani!" Aku menyadari bisa saja ketakutan yang kurasakan karena aku sendiri yang menciptakan. Padahal sudah sering mendengar ceramah ustaz, jika mahkluk halus itu lemah. Meskipun begitu, ketika ada manusia yang takut mereka akan semakin menggoda.

"Bismillah. Harus berani!" Aku memberi semangat untuk diri sendiri dan mulai menata hati, memasukkan pikiran-pikiran positif yang membuat keberanian itu singgah dalam sukma dan raga.

Aku kembali memasuki ruang tamu dan mulai memunguti satu persatu beberapa sisa guntingan kain, merapikan bungkus kapur barus dan beberapa pernak pernik lainnya. "Nah, taruh di sini aja. Nanti tinggal diserahkan sama keluarganya." Aku mengumpulkan semuanya dalam wadah plastik.

Selesai itu, kulipat karpet yang dipakai sebagai alas. Selanjutnya menyapu dan mengepel lantai. "Akhirnya selesai juga. Tinggal beresin yang di halaman." Aku berencana istirahat sejenak. Namun, ketika hendak duduk di lantai, aku dikejutkan oleh sesuatu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 18

    POV Tini***Aku terdiam sejenak ketika berada di depan kamar Bu Sumi. Udara di kamar terasa panas dengan aura yang membuat hati merasa tak nyaman. Bau amis menguar menyapa indera penciuman. Kesiur angin yang masuk dari jendela terbuka, menyapa kulit, tetapi tak membuat udara menjadi sejuk. Aku membulatkan mata dengan apa yamg terlihat di hadapan. Bukan? Yang kulihat bukan darah yang melekat ditubuh Pak Karso ataupun seprai di sekitarnya. Bukan pula Bu Sumi yang sedang menangis, khawatir dengan kondisi sang suami, melainkan sosok menyeramkan yang berada di samping mertua Melia itu.Ia menatap tajam kepadaku, ada aura permusuhan yang dikibarkan. Ketidaberhasilanku mencegah pembongkaran kamar khusus di lantai dua membuat sosok hitam besar dengan mata merah menyala itu terlihat sangat marah. Bahkan, ia mengusirku dan meminta untuk tidak memcampuri urusan keluarga ini.Aku bergeming, masih terpaku dengan apa yang diucapkan makhluk mengerikan tersebut. "Pergi!" pinta sosok tersebut. Ia me

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 17

    Masih dalam balutan mukena aku mengambil mushaf dan hendak membacanya. Biasanya setiap salat fardhu aku selalu mewajibkan diri untuk tilawah minimal dua lembar sehingga ketika selesai ibadah terakhir maka aku sudah menyelesaikan satu juz. Akan tetapi beberapa waktu terakhir ini perasaan terasa berat ketika membuka lembaran Al-quran. Entah mengantuk atau ada saja yang tiba-tiba mengalihkan pikiran sehingga terkadang sampai tidak jadi tilawah.Setelah mendapat peringatan dari Mas Aryo, saat ini dalam kondisi apa pun aku berusaha tetap melaksanakan ibadah yang sebelumnya sudah rutin kukerjakan. Kami membuat program mengaji bersama selepas salat maghrib dan isya. Namun, saat ini Mas Aryo sedang menghadiri tahlilan Pak Tarmo. yang ke tujuh hari.Tangan kananku mulai membuka lembaran dalam kitab suci dengan sampul berwarna hitam itu dan mulai melantunkan beberapa ayat dalam surah Al Maidah. Beberapa menit membaca tengkukku terasa sangat dingin kemudian disusul kepala yan

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 16

    Setelah selesai membawa Bapak ke Puskesmas Mas Aryo membersihkan tubuh lelaki yang telah membesarkannya. Bapak pun sama seperti Ibu, suka dengan kebersihan. Jadi, walaupun sakit ia selalu meminta dimandikan dua kali sehari. Tidak betah katanya jika berkeringat dan hanya dilap saja tubuhnya.Mas Aryo sangat telaten mengurus Bapak. Dengan menggunakan kursi untuk tempat duduk Bapak di kamar mandi, ia mulai memberi sabun dan sampo. Jika hari kerja Mas Aryo akan bangun lebih awal untuk memandikan Bapak sebelum berangkat. Untuk sore hari Ibu meminta bantuan suami Tini ketika datang menjemput untuk membawa ke kamar mandi dan ibu yang akan memandikan."Makan, Pak!" Aku menyodorkan sendok berisi nasi dengan lauk dan sayur yang direbus."Sudah," katanya setelah masuk tiga sendok."Lagi ya, Pak. Baru sedikit." Aku sedikit membujuk Bapak. Dalam kondisi seperti ini asupan makan Bapak harus dijaga agar tubuhnya tidak semakin lemah."Ga enak m

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 15

    Desakan dalam kandung kemih membuatku terjaga. Kedua mata yang masih terasa lengket seolah enggan terbuka membuatku mencoba untuk terlelap kembali. Namun, hentakan cairan bening sepertinya sudah tidak bisa tertahan lagi.Dengan mata terpejam aku meraba keberadaan suamiku di samping. Namun, beberapa kali berpindah tempat tak kutemukan juga sosoknya. "Mas Aryo." Tak ada sahutan."Mas Aryo." Hening."Mas Aryo." Kedua netraku langsung terbuka dan menatap kasur yang tak ada penghuninya. Kemana Mas Aryo? Dengan malas kuturunkan kaki dan duduk di bibir ranjang. Kesadaranku belum pulih sepenuhnya.Karena keasikan membaca tanpa sadar sudah terlewat tengah malam dan aku baru tertidur. Saat ini kulihat waktu telah menujukkan pukul tiga pagi. Itu artinya aku baru saja tidur selama dua jam. Pantas saja rasanya berat sekali mataku untuk terbuka.Aku beranjak berdiri dan menekan saklar untuk menyalakan lampu. Kutatap lagi keliling ruangan men

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 14

    Pov Karso ---Bapak---Mendengar kegaduhan di luar membuatku terjaga dari alam mimpi. Kugerakkan kaki perlahan mencoba untuk menuruni ranjang. Akan tetapi rasa sakit itu semakin menjadi.Aneh! Padahal dokter memgatakan kakiku hanya terkilir saja. Tetapi kenapa rasanya sesakit ini dan belum mengalami perubahan yang lebih baik. Semua obat luar dan dalam yang diberikan lelaki berbaju putih itu selalu rutin aku meminumnya. Berharap agar segera bisa sembuh dan beraktivitas kembali.Kutengok benda bulat di atas pintu kamar. Pukul dua siang. Sebenarnya ada apa di luar? Kenapa terdengar seperti suara seseorang yang sedang marah. Beberapa kali aku mencoba memanggil istriku dan Melia. Namun, tak ada yang menyahut. Kemana mereka?Kuhela napas kasar. Rasanya sungguh tidak enak sekali sakit seperti ini. Seluruh kegiatan benar-benar terhambat dan membutuhkan bantuan orang lain. Mau melihat keadaan di luar pun harus menunggu penghuni yang lain datang untuk menany

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 13

    POV Melia***"Ya Allah, Mbak, di dalam ada yang marah." Nani ---istri Mang Karman--- beringsut mundur setelah menengok ke dalam ruangan dimana tempat suaminya bekerja. "Masa, sih, Nan?" Aku yang hendak menuruni tangga langsung berbalik arah dan menghampiri kembali kamar pojok yang sedang dibongkar. Sejak awal aku mengamati suaminya bekerja semua terlihat baik-baik saja. Dan tidak ada siapa pun di sana selain Mang Karman."Ga ada, Nan!" Kutelusuri setiap sudut ruangan. Di sana hanya ada puing-puing bebatuan yang telah berhasil di hancurkan Mang Karman. Aku menghela napas. Mungkin saja Nani salah melihat. "Ada, Mbak. Matanya merah, kepalanya ada tanduk. Dan tadi dia ngusir saya. Dia kaya lagi marah." Aku mengernyit. Bulu kudukku jadi berdiri, sehingga aku pun memundurkan langkah menjauhi kamar yang sudah rubuh dinding penutupnya. Aku tertegun ketika menoleh ke arah perempuan yang sebaya denganku. Buliran bening banyak meng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status