Share

Bab 3

"Ayo! Buat keluarga udah boleh lihat untuk yang terakhir kalinya, ya. Sebelum ditutup mukanya," ucap salah satu bapak yang mengurus jenazah. Tampak beberapa orang yang sudah berkerumun di luar memanggil nama-nama yang kuperkirakan adalah keluarganya.

Tatapanku kini tertuju pada sosok yang sebagian besar telah terbungkus kain putih, kecuali wajah yang masih dibuka. Kehidupannya telah berakhir di dunia. Mau tidak mau, suka tidak suka, kematian pasti akan terjadi pada setiap makhluk bernyawa.

Inilah hidup, tidak akan abadi. Semuanya akan berakhir dengan tubuh yang tiada daya. Terbujur kaku dengan mata terpejam, karena nyawa sudah diambil pemilik-Nya. "Ya Rabb, ampunkan segala khilafnya dan berikan tempat yang terbaik di sisi-Mu." pintaku dalam hati, memohon kebaikan untuk Lik Paino.

Kembali kulihat jenazah itu. Tubuh kaku yang awalnya tak berani kulihat. Mencoba menepis ketakutan, akhirnya memberanikan diri berada di hadapan, bahkan menatap wajahnya. Wajah yang sebentar lagi menghadapi kehidupan barunya.

Kelak, akupun akan berada di posisi ini. Benarlah bahwa kematian adalah pengingat bahwa hidup hanya sekedar singgah. Harus banyak mencari bekal agar siap jika waktunya tiba. "Ya Rabb, ampunkan segala dosa dan kesalahanku." Membayangkan nanti akan merasakan kematian, tubuhku bergetar mengingat segala kesalahan.

Satu persatu anak, menantu dan cucu datang menghampiri untuk melihat yang terakhir kalinya. Sang istri sudah sejak tadi duduk bersimpuh di samping jasad pasangan hidup yang lebih dulu meninggalkannya. "Ayo, Bu," ajak seorang perempuan bertubuh gempal membantu Bu Paino untuk lebih mendekat.

Perempuan yang diperkirakan berusia sama dengan ibu mertua itu berusaha tegar. Tatapannya sendu melihat ayah dari anaknya kini telah terbalut kain putih. Menandakan bahwa sang suami tidak akan pernah terlihat lagi raganya. "Pak yang tenang, ya," ucap ibu tersebut dengan suara bergetar sambil mengusap pipi yang terlihat pucat itu.

Suasana menjadi haru. Terlihat beberapa orang meneteskan airmata. Kehilangan seseorang merupakan suatu hal yang paling meyakitkan. Namun, semuanya harus diterima dengan lapang dada. Akan tetapi, tetap saja menyisahkan kepedihan yang mendalam. Tidak hanya keluarganya, melainkan teman dan tetangganya juga. "Boleh dicium, ya. Tapi jangan sampai menangis!" Bapak pengurus jenazah mengingatkan.

Bu Paino mencium kening suaminya, setelah itu dilanjutkan oleh keluarga yang lain. Secara bergantian mereka mencium, mengusap, dan menatap bagian tubuh yang belum terbungkus kain itu. Wajah yang mungkin akan selalu dirindukan. "Ada lagi?" Terdengar kasak-kasuk dari luar jendela. Sepertinya ada yang sedang mereka tunggu.

"Satu lagi adik saya, Pak, tapi dari tadi dihubungi ga bisa-bisa," sahut perempuan bertubuh gempal.

"Sebentar lagi, ya, Pak," pinta Bu Paino yang terlihat gelisah.

"Baik, kita tunggu sebentar lagi." Namun, selang lima belas menit orang yang diharapkan belum juga datang. Akhirnya, pihak keluarga memutuskan untuk segera menutup kepala jenazah dan mengikatnya. Kemudian memanggil beberapa orang untuk menggotongnya ke masjid.

"Bang, bawa ke sini kerandanya," panggil Ketua RT kepada orang di depan gang. Setelah itu, tampak keranda memasuki halaman rumah. Dengan sigap beberapa orang mengambil posisi untuk mengangkat jenazah ke dalam pengangkut jenazah yang terbuat dari besi itu dan menutupinya dengan kain hijau.

"Satu, dua, tiga. Bismillah! Allahu Akbar!" Setelah terdengar aba-aba, mereka mulai mengangkat keranda secara bersamaan, kemudian membawanya keluar gang. Mengingat gang yang sempit, diambil empat orang yang terlihat agak kuat untuk memegang empat posisi pegangan keranda. Dua di depan dan dua di belakang.

Satu persatu orang yang tadi berkerumun keluar pintu gerbang mengiring kepergian jenazah yang akan disalatkan di Masjid terdekat.

"Dik, nanti ga usah diberesin dulu! Tunggu Mas pulang dari nguburin aja, ya. Kamu langsung masuk kamar aja!" Mas Aryo memberi pesan sebelum pergi mengikuti iringan jenazah.

"Siap!" Aku berkata dengan gaya seorang prajurit. Mas Aryo tertawa. Setelah itu, ia menekankan kembali agar aku langsung ke kamar.

"Ingat, ya, diberesinnya nanti aja!" Mas Aryo mengingatkan sekali lagi. Aku mengangguk dengan menampilkan senyum termanis.

"Iya, Mas." Aku melambaikan tangan sambil memintanya untuk berhati-hati di jalan. Ibu dan bapak sudah berada di masjid lebih dahulu.

Setelah semuanya berlalu, aku langsung menutup gerbang kemudian menguncinya dari dalam. "Duh, aku sendiri lagi!" Aku mengeluh ketika berbalik badan, kemudian melihat tempat pemandian jenazah yang masih berada di halaman rumah.

Ibu mertua memintaku untuk menjaga rumah. Awalnya aku agak sedikit takut, tetapi tak mungkin meminta Mas Aryo untuk menemani. Bisa diceramahi nanti. Kuedarkan pandangan ke halaman dan ruang tamu dari depan jendela. Semua nampak berantakan. "Kayaknya beresin yang di ruang tamu dulu, deh!" Aku mengabaikan pesan suamiku, selain karena tak betah jika berantakan juga karena tak merasa tak enak dengan mertua.

Lagipula, suamiku mungkin hanya merasa khawatir jika aku kelelahan. "Bismillah! Semangat!" Aku memutuskan untuk langsung bergerak, agar ketika yang lain pulang menguburkan nanti, rumah tidak terlalu berantakan.

Meski ada keraguan, aku mulai memasuki ruang tamu. Berhenti perlahan, kemudian mengamati sekitar. Ada ketakutan menyelusup di hati. Bagaimanapun juga beberapa menit yang lalu ruangan ini dipakai untuk mengurusi jenazah. "Kok bulu kudukku berdiri, sih!" Tubuhku bergidik merasakan aura yang berbeda.

Kutengok kanan kiri berharap kisah-kisah seperti di film tidak kualami. Apalagi mengingat hampir semua warga satu gang ikut menguburkan. Sedangkan Mbak Resti dan beberapa ibu-ibu sibuk membantu memasak di tetangga depan gang, untuk makan orang -orang yang ikut menguburkan. "Waduh, berarti di gang ini cuma aku aja, dong!" Hatiku semakin menciut.

Aku memundurkan langkah hingga keluar pintu utama, terlebih ketika angin sepoi menerpa kulit wajah. Biasanya aku selalu menikmati terpaan udara di siang hari itu. Terasa sejuk dan mengusir rasa gerah yang melanda. Namun, kali ini rasanya begitu berbeda. Sedikit mencekam dengan aura suram.

Kluntang!

"Astagfirulloh." Aku berjingkat mendengar suara benda terjatuh di dapur. "Ish, apa itu, ya?" Sambil menahan napas aku mencoba menengok ke belakang. Terlihat seekor kucing kuning tengah melintas dengan bangkai tikus di mulutnya.

"Duh, ngagetin aja!" Aku menghembuskan napas merasa lega. "Ga bisa kaya gini terus ini mah! Aku harus berani!" Aku menyadari bisa saja ketakutan yang kurasakan karena aku sendiri yang menciptakan. Padahal sudah sering mendengar ceramah ustaz, jika mahkluk halus itu lemah. Meskipun begitu, ketika ada manusia yang takut mereka akan semakin menggoda.

"Bismillah. Harus berani!" Aku memberi semangat untuk diri sendiri dan mulai menata hati, memasukkan pikiran-pikiran positif yang membuat keberanian itu singgah dalam sukma dan raga.

Aku kembali memasuki ruang tamu dan mulai memunguti satu persatu beberapa sisa guntingan kain, merapikan bungkus kapur barus dan beberapa pernak pernik lainnya. "Nah, taruh di sini aja. Nanti tinggal diserahkan sama keluarganya." Aku mengumpulkan semuanya dalam wadah plastik.

Selesai itu, kulipat karpet yang dipakai sebagai alas. Selanjutnya menyapu dan mengepel lantai. "Akhirnya selesai juga. Tinggal beresin yang di halaman." Aku berencana istirahat sejenak. Namun, ketika hendak duduk di lantai, aku dikejutkan oleh sesuatu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status