Share

Bab 6

Aku memiringkan tubuh ke kiri dan kanan, sambil melihat pantulanku di cermin. Memastikan pakaian yang kukenakan sudah pas dan rapi. Aku sengaja memilih bahan kaos untuk saat ini agar lebih mudah menyerap keringat. 

Hari libur seperti ini tentunya pasar akan semakin ramai karena terdapat penjual dadakan yang menjajakan beraneka ragam barang dagangannya. Banyaknya  orang yang berdesakan membuat udara menjadi lebih panas.

"Oke." Aku mengambil tas tangan di meja rias. Gerakan tanganku mengambang di udara ketika dari pantulan cermin, aku seperti melihat orang yang melintas. Dengan cepat aku berbalik ke belakang untuk memastikan, kemudian melangkah ke pintu dan melihat ke luar. Tidak ada siapa-siapa.

"Masih pagi, udah ada yang iseng aja." Aku berbicara sendiri. Menatap ke setiap sudut kamar dengan tatapan menyalang. Seolah marah, tapi entah kepada siapa.

Angin berhembus melintasi ventilasi yang terbuka. Bukan rasa dingin yang menerpa, melainkan hawa panas yang singgah dengan aura tak biasa. Semakin lama, suasana terasa mencekam. Padahal hari baru menampakkan terangnya.

"Kok, seperti ada yang mengawasi!" Perlahan aku menoleh ke samping. Dari sudut mata, aku melihat seperti ada yang berdiri, tetapi tak ada siapa pun.

Aku menghela napas. Mencoba mengabaikan perasaan tak nyaman. Aku memilih untuk langsung ke luar kamar. Ketika melangkah, aku mendengar suara ibu yang sedang berbicara dengan seseorang. Kedua sudut bibirku mengembang setelah mengenali suara tersebut. Segera kuhampiri ke arah keduanya.

"Eh, Bi Asih. Baru kelihatan." Aku menyapa perempuan paruh baya yang duduk berhadapan dengan ibu. Ia menoleh dan tersenyum. Hampir satu minggu Bik Asih tidak datang ke rumah. 

Di hari ketiga asisten rumah tangga yang sudah bekerja selama dua tahun itu tak memberi kabar, ibu memintaku untuk mendatangi rumahnya. Tetapi ternyata pintunya terkunci dan tetangga sebelah menginformasikan jika Bik Asih sedang ke rumah anaknya di kelurahan sebelah. 

"Iya, Neng Mel. Bibik mau ngobrol sama ibu." Aku menggeser kursi dan duduk tepat di samping ibu. Ingin ikut mendengarkan pembicaraan keduanya.

"Bi Asih mau berhenti kerja, Mel," sambar ibu. Aku menatap Bi Asih heran.

"Beneran, Bi?" Ia mengangguk. "Kenapa, Bi? Kok tiba-tiba ingin keluar." Aku meminta penjelasan. Selama ini semua terlihat baik-baik saja. Bi Asih tak pernah mengeluh atau kami yang kurang peka.

Jika dirunut mengenai tugasnya, semenjak  kedatanganku tugas perempuan yang sudah memiliki tiga cucu itu menjadi lebih ringan. Mencuci piring dan mencuci baju sudah kuambil alih, terkadang aku juga membantu menyikat kamar mandi. Untuk memasak ibu tak mau diganggu gugat. Harus beliau yang memasak untuk satu keluarga. Kecuali jika ibu sedang ada keperluan atau mengaji. Sedangkan masalah penghasilan? Ibu memberikan gaji lebih dari cukup.

"Itu, Neng. Ifa mau kerja. Jadi Bibi diminta menjaga anaknya," ucapnya yang terlihat ragu sambil sesekali mencuri pandang ke arah tangga. Aku pun ikut melihat ke sana.

"Ga apa-apa toh, Sih. Cucumu ikut ke sini. Kan, sudah empat tahun, jadi ga terlalu repot. Ntar pas kamu beberes kasih nonton tv aja," bujuk ibu yang masih terlihat berat melepas Bi Asih. Tidak mudah bagi ibu menemukan asisten rumah tangga yang cocok dengannya.

"Ndak bisa, Yu. Lah wong anaknya aktif banget. Lari sana lari sini. Harus ditemani," jelas Bi Asih yang disambut Helaan napas ibu. Bi Asih tetap pada pendiriannya.

"Yo weslah, mau gimana lagi," ujar ibu. Meskipun berat tapi ibu tak ingin mempersulit jika Bi Asih yang akan mengundurkan diri. Dengan langkah tertatih ibu masuk ke kamar dan beberapa saat keluar kembali dengan membawa sesuatu.

"Ini gaji bulan ini, Sih. Aku tambahin juga satu bulan gaji sebagai tanda terima kasih kamu mau urus rumah ini." Ibu menyodorkan sebuah amplop putih di hadapan Bi Asih. "Dan ini, titip buat cucumu, yo." Sekantung plastik berisi makanan ringan juga diletakkan ibu.

"Makasih, Yu." Ragu Bi Asih mengambil pemberian ibu. Entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan asisten rumah tangga ini. Terlihat dari gerak-geriknya yang selalu melihat ke arah tangga seperti takut dengan sesuatu.

"Bu, Melia ke tukang sayur dulu, ya," pamitku setelah Bi Asih pulang. 

"Iya, jangan lupa catatannya." 

"Siap." Aku berlalu setelah mengecup punggung tangan ibu. 

Suasana pasar masih terlihat ramai. Aku memilih ke tempat pedagang menjual daging, ayam, ikan dan membeli sesuai catatan yang ibu berikan untuk stok seminggu ke depan. Kemudian aku mengayunkan langkah menuju pedagang yang menjual sayur-sayuran yang menjadi langganan ibu.

"Bu, beli cabe setengah kilo, ya," ucapku pada perempuan pedagang sayur. Tangannya lihai mengambil benda berwarna merah itu, menimbang, kemudian membungkus. Setelah itu  kujabarkan kembali bahan yang akan kubeli. 

"Bi Asih sekarang di rumah, ya?" Aku menoleh ke arah perempuan gempal yang sedang bertanya pada perempuan di sebelahnya. Mereka juga sedang memilih sayuran.

"Iya. Udah berhenti kerja dia." Nama yang disebut mengusik pikiran. Ah, tapi bisa saja kebetulan sama. Kembali aku memilih kentang dengan ukuran sedang.

"Kenapa berhenti, ya?" tanya ibu gempal itu lagi. "Padahalkan, kerja di rumah Bu Sumi itu enak loh. Gajinya gede terus orangnya ga pelit." Gerakanku terhenti setelah mendengar nama ibu di sebut. Sepertinya mereka tidak mengenaliku. 

"Tapi banyak hantunya." Aku menoleh ke arah ibu satunya yang terlihat lebih kurus. Aku mengerutkan kening berusaha mengingat sesuatu. Ah, ya. Ibu itu adalah tetangganya Bik Asih yang menjelaskan jika rumah yang kudatangi waktu itu sedang kosong. Apa katanya? Banyak hantu? 

Pandanganku kembali teralihkan memilih sayur. Namun, kali ini tidak fokus karena mencoba mendengarkan pembicaraan mereka terlebih lagi kata 'hantu' mulai mengusik pikiranku. 

"Tahu darimana?"

"Bi Asih yang bilang sendiri."

"Masa, sih?"

"Iya. Bi Asih pernah bilang ia ngelihat perempuan pake baju putih di lantai dua. Padahal penghuni rumah lagi pergi semua."

"Ih, serem dong." Orang itu mengangguk.

"Ya mungkin karena rumahnya sering ditumpangi buat memandikan dan mengafani jenazah. Jadi, pada tinggal deh arwahnya."

"Hush, Ibu-ibu. Ga boleh ghibahin orang," tegur ibu pedagang sayur. "Rumah ditumpangi untuk mengurus jenazah itu malah rejeki," jelas ibu yang sedang menimbang kentang milikku. Walaupun sambil berbicara kedua tangannya tetap lihai melayani. 

Aku tertegun dengan ucapan ibu itu. Apa iya ditumpangi mengurus jenazah adalah rezeki? Bukannya malah jadi menakutkan seperti yang kedua ibu pembeli itu katakan. Aku menghela napas. Membuang beban pikiran yang sedikit mengusik dada. 

Ternyata Bik Asih mengundurkan diri bukan karena ingin menjaga cucunya. Melainkan ada hal menakutkan yang ia alami di rumah. Kenapa Bik Asih tak memberitahukan kami? Sepertinya aku harus mencari tahu pada Bik Asih sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status