Share

Bab 7

Aku berjalan agak ke depan jalan untuk mencari ojek yang biasa mangkal di pasar. Melihatku yang celingak-celinguk salah seorang pengemudi menghampiri.

"Ojek, Neng?" tanya lelaki bertopi hitam menawarkan.

"Iya, Pak. Antar ke Gang F, ya!" pintaku pada lelaki berkisar usia empat puluhan.

"Siap, Mbak." Aku memberikan beberapa kantung plastik untuk diletakkan di depan motor dan selebihnya aku menjijingnya di belakang. Kutengok benda bulat di pergelangan tangan. Baru pukul sembilan.

Setelah posisi siap, lelaki dengan kaus biru itu mulai melajukan motor maticnya menuju arah yang yang kupinta. Letak rumah Bi Asih sebenarnya tidak jauh dari pasar hanya saja beberapa barang yang kubawa agak menyulitkan jika harus berjalan kaki. Setelah berbelok ke arah kiri aku mulai menunjukkan rumah di posisi sebelah  kanan dengan cat berwarna hijau tua.

"Di sini, Mbak?"

"Iya, Pak." Dengan perlahan kuturunkan kaki sebelah kiri kemudian disusul sebelah kanan. Setelah dalam posisi sempurna, aku melangkah ke arah rumah yang pintunya tertutup.

"Bentar, ya, Pak!" Sengaja aku meminta Bapak tersebut untuk menunggu sebentar.

Rumah kontrakan yang terdiri dari tiga ruang itu tampak sepi. Sebelah kanan kiri tetangganya juga tak kelihatan ada orang. Terbersit keraguan untuk singgah, takut sang empunya tidak ada di rumah. Namun, kucoba mengetuk pintu, hendak memastikan apakah Bik Asih ada di dalamnya.

"Assalamu'alaikum. Bi Asih!" Kuucapkan salam dengan sedikit mengencangkan suara. Udara yang panas, terlebih membawa beban yang berat membuat tubuhku berkeringat dan kerongkongan terasa kering. Karena terburu-buru aku lupa memberi minuman.

"Bi Asih, Assalamu'alaikum." Karena belum mendengar jawaban, aku mencoba memanggil sekali lagi. "Apa lagi ga di rumah, ya?" Aku melirik ke sekitar mencari seseorang yang mungkin saja bisa memberi informasi. Namun, sepi.

"Lagi pergi kali, Neng," ucap lelaki yang masih menungguku.

"Iya mungkin, Pak. Ya udah besok aja ke sini lagi." Aku hendak berbalik badan. Namun, langkah kaki yang terdengar dari dalam diiringi jawaban salam mengurungkan niatku. Aku menyunggingkan senyum.

"Wa'alaikummussalam. Eh, Neng Melia. Habis belaja mingguan, ya?" tanya Bi Asih setelah membuka pintu. Aku mengangguk. "Maaf, tadi Bibi habis nidurin cucu."

"Ga apa-apa, Bi." Aku tersenyum tidak mempermasalahkan. "Bi, saya mau mampir sebentar, boleh?" Dua alis hitam Bi Asih bertaut. Sedetik kemudian ia tersenyum dan mengangguk.

"Boleh, Neng." Setelah mendapat persetujuan. Kuletakkan beberapa kantong plastik di lantai kemudian menghampiri lelaki yang masih menunggu di sepeda motornya, lalu kuambil beberapa belanjaan yang diletakkan di depan setelah menyerahkan sebuah lembaran berwarna hijau. 

"Kembalinya, Mbak."

"Ga usah, Pak. Ambil aja."

"Makasih, Mbak." 

"Iya, Pak."

Bi Asih sudah lama bekerja di rumah Ibu. Selama ini ia bekerja dengan sangat baik. Oleh karena itu mertuaku sangat berat melepas asisten rumah tangganya itu. Hal yang disukai Ibu, katanya Bi Asih tidak macam-macam juga tidak  banyak menuntut serta bisa menjaga rahasia tentang kondisi di rumah.

Pekerjaannya pun sangat sesuai dengan keinginan Ibu yang memiliki standar kebersihan yang begitu apik. Berdasarkan informasi dari Mas Aryo, beberapa kali Ibu tidak cocok dengan orang yang bekerja di rumahnya. Sehingga jika bukan karena Ibu yang memberhentikan, para pekerja itu yang berhenti sendiri karena tidak sanggup mengikuti standar kebersihan mertuaku itu

Melihat Bi Asih berhenti secara tiba-tiba membuatku sedikit curiga. Namun, kutepis ketika perempuan yang kini tinggal dengan anak bungsunya itu mengatakan alasannya. Akan tetapi setelah mendengar penuturan kedua orang yang kutemui di pasar membuat keingintahuanku kembali bergejolak. Sebenarnya ada apa di rumah itu? Akupun sering merasakan hal-hal yang aneh.

"Bi, coba jelaskan yang sebenarnya!" Aku menceritakan tentang kejadian di pasar. Tampak Bi Asih salah tingkah.

"Pasti itu si Encum." Bi Asih menghela napas. "Bibi ga pernah cerita sama Encum, sepertinya ia mendengar ketika Bibi berbicara dengan Ifa." Karena merasa tak enak Bi Asih menjelaskan permasalahannya terlebih dahulu. Mungkin agar tidak terjadi salah paham.

Sebenarnya aku sempat merasa tidak suka karena Bi Asih berbicara pada orang lain tentang kondisi rumah yang berakhir menjadi bahan ghibah. Ternyata aku telah salah menduga.

"Iya, Bi, ga apa-apa." Aku kembali menyunggingkan senyum dan meminta maaf atas kesalahpahaman yang sempat terlintas di hati. Kemudian, aku mulai menanyakan kembali kondisi rumah yang saat ini kutempati kini. Terlihat wajah Bibi agak berubah, seperti orang yang ketakutan. Sejenak, ia melihat ke ke arah pintu yang terbuka lalu menutupnya sebelum bercerita.

"Dulu, Neng, banyak yang bilang rumah Bu Sumi banyak dedemitnya. Memang udah ada yang pernah lihat. Beberapa kali malahan." Bi Sumi menjeda.

"Ada yang pernah lihat pas lagi jemur malam. Orang itu bilang, melihat sosok seperti bantal sedang melompat. Terus di depan gerbang ada yang sedang berdiri memakai gaun putih dengan rambut panjang. Ada oranng seperti menir di zaman Belanda, sosok hitam tinggi besar, dan ada beberapa cerita lainnya." Mataku tak berkedip mendengar penjelasan Bi Asih.

Kurasakan bulu-bulu halus di tubuh berdiri, terlebih ketika hembusan angin menyentuh kulit yang membuat hawa terasa dingin. Kegelisahan mulai merambati hati mengingat tempat yang kutinggali dihuni selain keluarga suami.  

"Tapi Bibi waktu itu ga ambil pusing, Neng. Bibi butuh uang buat biaya sekolah si bontot. Dan kebetulan Bu Sumi lagi nyari orang. Ya mau ga mau, Bibi berusaha masa bodo dengan berita yang beredar."

"Awalnya Bibi agak takut juga. Cuma ya terpaksa. Jadinya diberaniin." Bi Asih menghela napas. " Cuma jadi takut lagi pas ada yang numpang ngurusin jenazah. Untung aja pas ngeberesin dibantu Ibu sama yang lainnya, jadi lama-lama terbiasa juga."

"Alhamdulillah Bibi selama dua tahun itu ga pernah dikasih lihat aneh-aneh. Kalau merasa ada yang ngawasin atau ngikutin sih sering. Cuma ya Bibi baca doa aja dalam hati. Tapi-." Bibik terlihat ragu untuk bicara.

"Kenapa, Bi?" Aku merubah posisi duduk lebih mendekat dengan perempuan yang wajahnya kini terlihat pucat.

Aku menuang air putih di gelas dan memberikannya pada Bi Asih agar lebih tenang. Dengan perlahan Bi Asih mulai menceritakan kejadian yang dialaminya.

"Kemarin itu Bibi pertama kalinya ditampakin wujudnya, Neng. Rambutnya panjang, bajunya putih. Tapi Bibi ga lihat mukanya soalnya ia ngebelakangin Bibi." Kulihat bulu-bulu halus di tangan Bi Asih mulai berdiri setelah menceritakan sosok perempuan yang menampakkan diri ketika ia sedang membersihkan lantai dua.

"Itu orang lain mungkin, Bi." Aku berusaha mencari beberapa kemungkinan.

"Atuh, bukan, Neng. Di rumah waktu itu cuma ada Bibi sama Ibu. Makanya waktu itu langsung tegang, Bibi sampe istighfar berkali-kali dan langsung turun ke bawah."

"Barangkali ada tamu yang datang, terus Bibi ga tahu."

"Nah, itu, Neng. udahannya Bibi sempat kepikiran gitu. Eh, pas tanya Ibu, katanya ga ada," jelas Bi Asih antusia.

"Apa karena itu Bi Asih minta berhenti bekerja?" Kulihat kesedihan di wajah tua yang usianya lebih muda dari Ibu. Mungkin sekitar 50 tahun.

Bi Asih menggeleng.

"Yang bikin Bibi minta berhenti itu, Neng.  Karena-."

Prang ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status