Siang itu suasana di dalam kantor Edward terasa tenang. Di luar, matahari bersinar cerah, menembus kaca jendela besar dan menerangi ruangan yang penuh dengan furnitur mewah dan modern. Edward duduk di sofa bersama ketiga sepupunya, Ronand, Bobby, dan Jemy. Menunggu kedatangan Asisten Aksa untuk memesan makan siang untuk mereka."Ed, kapan terakhir kali kita makan siang bareng?" tanya Ronand sambil melemparkan senyum lebar. “Gue lupa, Bro!” sahut Edward singkat."Waduh, parah! Masa Lo lupa? Ya sudah kalau begitu. Siang ini Lo harus mentraktir kita!" tutur Ronand.Bobby dan Jemy mengangguk setuju, wajah mereka penuh harap. Edward pun berkata,"Baiklah, baiklah. Kalian ini selalu saja membuat keributan," ucap Edward. Bersamaan dengan itu, Aksa masuk ke dalam ruangannya. Edward pun segera memerintahkan sang asisten."Aksa, bisakah kamu pesan makan siang untuk kita di kafetaria? Pastikan makanannya yang enak, ya."Aksa, sang asisten yang setia, segera mengangguk dan mengeluarkan ponselny
Setelah selesai mengobrol dengan Edward di ruangan pribadinya, Ronand dan Jemy berdiri dan merapikan pakaian mereka.Keduanya tahu bahwa pertemuan berikutnya adalah rapat penting bersama Edward, yang akan menentukan arah proyek besar yang sedang mereka kerjakan. Mereka berdua saling mengangguk, mengisyaratkan kesiapan keduanya, lalu keluar dari ruangan Edward."Bro … sepertinya kita harus segera ke ruang rapat," ucap Ronand sambil melirik jam tangannya. "Rapatnya dimulai dalam lima menit," seru Edward mengingatkan kedua sepupunya."Benar, Bro." jawab Jemy sambil mengikuti langkah cepat Ronand. "Aku harap semua berjalan lancar," tukas Edward lagi.Mereka pun berjalan menyusuri koridor yang lebar dan modern, dengan lantai marmer mengkilap dan dinding berlapis panel kayu elegan. Suasana kantor terasa sibuk namun tertata rapi. Karyawan berlalu-lalang, masing-masing sibuk dengan tugas mereka, namun tetap memberikan senyum dan sapaan hormat Edward, Ronand, Bobby dan Jemy, para petinggi pe
Jemy segera keluar dari ruang meeting setelah rapat yang berlangsung lebih lama dari yang dia pikirkan.Edward dan Bobby yang sedang fokus dengan materi meeting hanya bisa melongo melihat kepergian Jemy yang terlihat bagai sedang dikejar makhluk halus.Dengan langkah cepat, pria itu berjalan melalui koridor gedung EK Corp yang modern dan penuh dengan karyawan yang sibuk. Jemy tahu bahwa dia harus bertemu Zuri secepat mungkin. Mereka sudah lama tidak bertemu, dan Jemy ingin memanfaatkan waktu senggang yang langka ini untuk berbincang dengan sahabatnya.Dengan sepatu kulit hitamnya yang berkilau, Jemy bergegas menuju lift. Dia menekan tombol panah bawah dengan cemas, berharap lift segera tiba. Sambil menunggu, Jemy memeriksa jam tangannya dan menghela napas lega ketika pintu lift terbuka. Sang pria lalu masuk ke dalam lift yang kosong dan menekan tombol satu menuju ke lantai dasar gedung. Perjalanan lift terasa lambat, meski hanya beberapa detik.Begitu pintu lift terbuka, Jemy segera
"Ya, aku kerja di divisi umum bagian pengarsipan dan penghancuran dokumen. Lumayan sibuk, tapi aku menikmatinya," jawab Zuri."Kerjaan kamu pasti banyak tantangannya. Aku kagum sama orang yang bisa bekerja dengan rapi dan teratur seperti itu," puji Bobby, berusaha menunjukkan kekagumannya.Jemy semakin tak suka melihat interaksi antara Zuri dan Bobby. Dia pun ikut memuji sahabatnya,"Bobby, Zuri ini sangat berbakat di bidangnya. Aku selalu bangga sama dia."Zuri tersipu dan menatap Jemy dengan rasa terima kasih. "Kamu selalu mendukung aku, Jem. Aku beruntung punya sahabat seperti kamu."“Iya, dong! Segalanya untukmu, Zuri!” ucap Jemy sambil terus menatap Bobby tajam mengisyaratkan ketidaksukaannya.Bahkan Jemy beberapa kali mengirim sinyal kepada Bobby untuk segera meninggalkan kafe itu. Namun sang sepupu malah sama sekali tidak menggubris keinginannya.Sehingga percakapan mereka terus berlanjut dengan topik yang beragam. Bobby mulai merasa lebih nyaman dan menikmati momen tersebut. D
Edward baru saja menyelesaikan rapat yang melelahkan di ruang konferensi kantornya. Pria itu terlihat merapikan berkas-berkas di atas meja sambil menghela napas panjang. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai proyek dan deadline yang menumpuk dan hendak keluar dari ruang meeting itu.Namun, dari sudut matanya, Edward kembali menangkap sosok yang sudah beberapa kali mengusik perhatiannya.“Gadis cantik berkacamata itu lagi?” gumam Edward.Sang gadis terlihat membawa banyak berkas di tangannya, dan berjalan cepat di lorong kantor. Rambut panjangnya tergerai rapi, dan penampilannya selalu terlihat profesional. Edward memperhatikannya sejenak, tapi segera mengalihkan pandangannya kembali ke berkas-berkas di depannya. "Bos Edward, Anda sudah bisa keluar sekarang," ucap Asisten Aksa, sambil melongokkan kepala ke dalam ruangan."Oh, terima kasih, Aksa. Aku akan segera menyusul," jawab Edward dengan senyum tipis.Namun, pikirannya tetap tertuju pada gadis itu. Edward sudah beberapa kali melihat
Edward Kenneth seorang CEO tampan, pemimpin perusahaan EK Corp. Berencana untuk melakukan penyamaran demi untuk memuluskan rencananya mencari tahu siapakah perempuan misterius yang selalu ada dan terlihat nyata di depan matanya namun tidak dapat dijangkau olehnya, sedikitpun. Hari ini Edward berangkat ke kantor sendiri tanpa sang asisten, Aksa yang selalu mengikutinya. Pagi itu, Edward keluar dari mobilnya nya dengan tergesa-gesa. Dia sudah terlambat beberapa menit dari jadwal biasanya. Matahari pagi yang baru saja menyingsing memberikan cahaya lembut yang menerangi trotoar yang mulai ramai oleh orang-orang yang bergegas menuju tempat kerja masing-masing. Edward menyipitkan mata melihat arlojinya dan mempercepat langkah menuju gedung kantornya yang menjulang tinggi di tengah kota.Sesampainya di lobi gedung, Edward mendapati kerumunan karyawan yang juga menunggu lift. Dia berdiri di belakang beberapa orang, mencoba untuk tetap tenang meskipun rasa gelisah karena keterlambatan mulai
“Gawat apanya, woi! Yang jelas Lo kalau ngomong Aksa!” kesal Edward kepada asistennya.“Ya … gawat banget lah, Bos! Lagian, Anda kok baru muncul sekarang? Dari tadi saya juga menghubungi Anda, tapi tidak dijawab,” ujar Aksa mengeluarkan uneg-uneg hatinya.“Suka-suka gue, dong! Mau kapan saja gue masuk kantor. Apa Lo lupa? Gue adalah CEO EK Corp! Jadi gue punya wewenang tertinggi! Termasuk untuk memecat Lo! Karena dari tadi bawel mulu!” seru Edward tajam.“Ta … tapi, Bos.” Aksa mencoba menjelaskan semuanya namun Edward tidak memberinya kesempatan.“Tidak ada kata tapi! Minggir Lo! Gue mau masuk ke dalam ruangan gue!”“Tapi, Bos. Di dalam ….”“Minggir gue bilang Aksa! Lo ngapain berada di depan ruangan gue? Kek gosokan saja Lo! Mondar-mandir nggak jelas! Apa Lo mau gue pecat?” seru Edward marah.Karena takut dengan ancaman Edward, Aksa pun segera menyingkirkan dari hadapan sang atasan dan berlalu dari tempat itu dengan cepat.“Cih! Dasar gak jelas Lo Aksa!” kesalnya kepada asistennya.K
Opa Bram keluar dari ruangan Edward dengan langkah tegap dan senyum puas menghiasi wajahnya yang berkeriput namun tetap karismatik. Di balik senyuman itu tersirat rasa puas karena segala rencana yang sudah dipikirkannya matang-matang selama berbulan-bulan mulai menunjukkan hasil yang diharapkannya. Edward, cucu yang paling dicintainya, akan segera terjerat dalam rencana pernikahan yang disusunnya dengan hati-hati.“Semoga semua terwujud dengan cepat!” seru Opa Bram dalam hatinya.Opa Bram lalu menutup pintu ruangan Edward dengan lembut, berusaha tidak membuat kegaduhan yang bisa mengganggu cucunya yang masih sibuk dengan pekerjaannya. Pria tua itu lalu berjalan menuju lift dengan langkah yang tak terburu-buru, menikmati momen kemenangan kecilnya itu. Dalam hati, Opa Bram berdoa agar rencananya bisa terlaksana sesegera mungkin. Setelah beberapa menit menunggu, lift pun tiba di lantai tempat Opa Bram harus menghadiri rapat penting. Rapat itu melibatkan beberapa petinggi perusahaan ya
Di suatu pagi,Suasana di rumah Edward dan Zuri dipenuhi kegembiraan. Liburan anak-anak telah tiba, dan janji Edward untuk membawa mereka keliling Kota London semakin mendekati kenyataan. Zuri tampak sibuk di kamar, mengemas barang-barang untuk perjalanan panjang mereka."Nasya, Sayang, jangan lari-lari! Kita akan berangkat sebentar lagi," ujar Zuri sambil tersenyum melihat putri bungsunya yang berlari-lari kecil di sekitar tempat tidur.Nasya, yang baru berusia tiga tahun dan duduk di playgroup, menghentikan langkahnya dan menatap Zuri dengan senyum lebar. "Mommy, Nasya boleh bawa boneka nggak?" tanyanya dengan mata berbinar-binar."Boleh, Sayang. Tapi cuma satu, ya? Jangan kebanyakan barang," sahut sang ibu.Sementara itu, di ruang tamu, Edward sedang membantu kedua anak laki-lakinya, Edzhar yang berusia tujuh tahun dan Ben yang berusia enam tahun, mengemasi mainan yang akan mereka bawa."Daddy, nanti di London kita naik bus tingkat, ya?" Edzhar bertanya sambil memasukkan mobil mai
Sore yang mendebarkan,Saat sore menjelang, langit Jakarta memancarkan semburat jingga yang indah, namun hati Edward, sang CEO EK Corp terasa tak tenang. Baru saja dia selesai menandatangani berkas terakhir di kantornya ketika ponselnya berdering. Dengan cepat pria sibuk itu menjawab panggilan tersebut.Edward :”Hallo, Maid. Ada apa?”Maid :"Tuan, Nonya Zuri sudah dibawa ke rumah sakit. Sepertinya sudah waktunya melahirkan!" suara maid-nya terdengar di ujung telepon.Edward langsung berdiri, rasa panik mulai menyeruak di dadanya. “Baik, saya segera ke sana,” jawabnya sebelum memutus panggilan dari sang asisten rumah tangga. Pria itu lalu meraih jasnya dengan cepat, berlari menuju lift, dan segera melangkah ke mobilnya yang ada di parkiran.Perjalanan dari kantor Edward di kawasan pusat Jakarta menuju rumah sakit keluarga langganan keluarganya, biasanya memakan waktu lama karena kemacetan yang tak terelakkan. Namun, sore itu, keajaiban seolah berpihak kepadanya. Jalanan tampak lebi
Di suatu pagi,Suasana di rumah Edward dan Zuri sangat tenang dan damai. Sinar matahari di hari Sabtu pagi menyelinap di antara dedaunan pohon yang rimbun, menerangi halaman rumah yang luas, termasuk kolam renang pribadi mereka. Di sana, Edward tampak sedang berenang dengan putra-putranya, Edzhar dan Jacob Benedict yang biasa dipanggil Ben yang juga telah dikaruniai oleh Tuhan kepada mereka dan ikut meramaikan keluarga kecil Edward dan Zuri.Edward dengan sabar mengajarkan kedua putranya cara berenang gaya bebas saat ini.“Lihat, Daddy! Aku bisa melakukannya!” teriak Edzhar, anak sulung mereka yang baru berusia lima tahun, sambil mencoba menggerakkan tangannya dengan gaya bebas.“Bagus, Nak! Teruskan! Ben, kamu juga harus mencoba, ya,” seru Edward sambil mengawasi kedua putranya dengan penuh perhatian.Ben yang masih berusia empat tahun mencoba mengikuti, namun gerakannya masih kaku. “Daddy, aku agak susah berenang, airnya malah masuk ke dalam hidungku,” rengek Ben sambil mengusap wa
Beberapa bulan kemudian,Hari ini adalah hari istimewa bagi Zuri dan Edward. Tepat tujuh bulan sudah usia kandungan Zuri, dan mereka baru saja pulang dari rumah sakit setelah pemeriksaan USG yang menunjukkan bahwa mereka akan dikaruniai seorang anak laki-laki. Hasil pemeriksaan itu membuat mereka semakin antusias untuk menyambut kehadiran sang buah hati. Edward, yang selalu memperhatikan setiap detailnya, sudah lama merencanakan acara tujuh bulanan untuk merayakan momen istimewa ini. Acara tersebut digelar di ballroom hotel Fairmont, Jakarta, dengan dekorasi elegan dan suasana yang penuh kehangatan.Ballroom yang luas itu dihiasi dengan bunga-bunga berwarna putih dan biru pastel, mencerminkan tema kebahagiaan menyambut putra mereka. Di tengah ballroom, tampak panggung kecil dengan meja panjang yang dihiasi kue tujuh bulanan dan berbagai hadiah untuk Zuri. Para tamu mulai berdatangan, dan suasana semakin meriah dengan kehadiran keluarga dan teman-teman dekat pasangan ini.Zuri mengena
Zuri terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, wajahnya terlihat pucat akan tetapi tampak lebih tenang setelah beberapa jam dirawat di UGD. Setelah dipastikan kondisinya stabil, tim dokter memutuskan untuk memindahkannya ke ruang perawatan yang berada di lantai atas. Keadaannya mungkin sudah lebih baik, namun kekhawatiran masih menggelayuti wajah setiap orang yang menunggunya di luar.Bunda Ayu, Opa Bram, Jemy, Mirah, dan Bobby sudah menanti dengan penuh harap di depan pintu ruang perawatan. Ketika perawat memberitahu bahwa mereka diperbolehkan masuk, Bunda Ayu segera melangkah masuk, diikuti oleh yang lainnya. Dengan langkah tergesa, Bunda Ayu menghampiri menantu kesayangannya yang masih terbaring di ranjang, sambil menggenggam erat tangan Zuri."Zuri, syukurlah kamu baik-baik saja, Nak," ucap Bunda Ayu dengan suara penuh kelegaan. “Bunda sangat khawatir tadi.”Zuri tersenyum lemah, akan tetapi senyum itu cukup untuk menenangkan hati Bunda Ayu. "Terima kasih, Bunda. Saya juga ber
Jemy melangkah cepat di tepian Pantai Ancol, langkah-langkahnya teratur namun tegang. Dia memeluk tubuh Zuri yang pingsan dengan erat, tubuh perempuan itu terasa ringan di pelukannya, akan tetapi beban yang dirasakan Jemy di hatinya jauh lebih berat. Pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran. Untungnya Tadi, sebelum dia menggendong Zuri, dia sempat menelepon Bobby, yang juga merupakan sepupu Edward, yang baru saja selesai mengikuti rapat penting di gedung yang sama yang ada di area Pantai Ancol."Bobby, aku sudah menemukan keberadaan Zuri. Tapi dia sedang pingsan! Sekarang aku sedang menggendongnya, cepat siapkan mobil di parkiran. Kita harus segera ke rumah sakit!" Suara Jemy terdengar panik di telepon.Tanpa banyak bicara, Bobby langsung bergegas menuju parkiran dan menyiapkan mobilnya.Sesampai di parkiran, Bobby melihat Jemy datang dengan langkah cepat, Zuri berada dalam gendongannya. Bobby segera membuka pintu penumpang yang ada di belakang, memberikan ruang bagi Jemy untuk memasuk
Beberapa saat yang lalu,Angin pantai Ancol berhembus lembut, membawa aroma asin laut yang memenuhi area itu. Zuri berjalan dengan langkah pelan, menyusuri garis pantai. Hatinya terasa berat, penuh dengan kekesalan yang belum juga hilang setelah pertengkarannya dengan Edward, suaminya. Kata-kata tajam dari Edward tadi, masih terngiang-ngiang di telinganya, membuatnya sulit untuk menenangkan diri.Dia berhenti sejenak, menatap riak kecil yang menggulung di permukaan air. Pasir halus di bawah kakinya terasa dingin dan menenangkan, namun rasa sakit di hatinya tetap tidak berkurang. Edward jarang sekali marah, tapi kali ini, pertengkaran mereka begitu hebat hingga Zuri memutuskan untuk menjauh sementara waktu.Dia tak ingin kembali ke apartemen yang terasa begitu sempit dengan ketegangan.Perempuan cantik itu semakin kesal kepada Edward karena sang suami tidak mau mendengarkan penjelasannya sedikitpun.Bahkan Edward malah pergi meninggalkannya di apartemen sendiri. Hal itu semakin membuat
Di sebuah apartemen,Sore yang cerah perlahan berubah menjadi kelabu di langit Jakarta ketika Ranti, seorang wanita karier yang sukses, baru saja tiba di apartemennya. Setelah melalui hari yang panjang dan melelahkan di kantor, Ranti berharap bisa menemukan ketenangan di rumahnya. Namun, langkah cepatnya begitu memasuki apartemen seolah menggambarkan keresahan yang sejak tadi melanda pikirannya. Ada hal lain yang jauh lebih penting mengisi benaknya saat ini yaitu tentang sepupunya, Tari.Tari sejak beberapa bulan yang lalu tinggal bersamanya di apartemen ini. Setelah sebelumnya sang sepupu dirawat di sebuah rumah sakit jiwa di salah satu sudut Kota Jakarta.Tari mengalami gangguan jiwa saat Edward, mantan kekasih dari sang sepupu memutuskan hubungan dengannya. Hal tersebutlah yang membuat Ranti ingin membalaskan dendam Tari terhadap Edward, yang juga merupakan mantan kekasih pengusaha sukses itu.Namun sayangnya, Ranti yang awalnya hanya ingin memainkan perasaan Edward. Malah benar-b
Kedatangan Bunda Ayu,Nyonya Rahayu Kenneth, dengan gaun hijau lumutnya yang menambah wibawanya, turun dari mobil mewahnya di depan kediaman megah Opa Bram. Tangannya menggenggam tas kulit elegan, sementara langkahnya mantap memasuki halaman yang asri, dipenuhi oleh pepohonan tua dan bunga-bunga yang tertata rapi. Sejak suaminya meninggal, Opa Bram, ayah mertuanya, menjadi salah satu tumpuan hidupnya dalam menghadapi berbagai situasi. Dia merasa perlu bertemu dengannya hari ini.Begitu pintu besar kayu jati terbuka lebar, Asisten Geri, pria berwajah dingin yang selalu setia melayani Opa Bram, menyambutnya dengan senyum hangat.“Selamat pagi, Nyonya Rahayu,” sapa Asisten Geri dengan sopan, membungkukkan badannya sedikit. “Opa Bram sudah menunggu Anda di ruang kerjanya, Nyonya.”“Terima kasih, Asisten Geri,” jawab Nyonya Rahayu. Namun, sebelum sempat melangkah lebih jauh, telinganya menangkap suara keras yang berasal dari lantai dua.Suara itu sangat dikenalnya, suara putranya, Edward