Share

part 2 pertemuan pertama

Keesokan hari, di sebuah hotel ternama, Max terbangun akibat cahaya yang memancar dari celah tirai jendela kamar.

Tring!!!

Dering ponsel tiba-tiba berbunyi. Max meraba-raba meja untuk meraih ponsel dengan segera.

"Halo," ucap Max dengan suara serak, bahkan matanya masih tertutup tak mau terbuka.

"Papa tunggu di kafe Dellie jam 8, tak ada alasan untuk kau telat," ucap dari seberang sana.

Max langsung menutup panggilan tersebut, tak ada yang penting dari perintah pria tua itu. Dia menjatuhkan kepalanya lagi, melanjutkan kembali tidur paginya dengan tenang.

Ting...

Sebuah bunyi pesan tiba-tiba muncul. Seperti biasa mungkin Laura telah mengirimi foto cantik kepadanya, lantas Max mengambil ponsel lagi untuk membuka pesan tersebut.

Matanya memicing, namun saat dilihat tak ada satupun pesan yang dapat diterima dari sang kekasih. Berlainan dengan sang ayah, puluhan pesan berjejer di layar ponsel. Dengan asal Max menggulir pesan tersebut sampai tiba matanya menangkap satu pesan yang berhasil membuatnya terduduk dengan cepat.

"Dia bersama papa, cepat temui Papa di kafe Dellie, Papa tidak akan berbuat apa-apa padanya," dengan di sertai sebuah kiriman foto wanita berbaju hitam dengan rambut lurus, tengah duduk sambil meminum kopi.

Melihat wanita yang dicintai berada bersama sang ayah, Max dengan cepat menyingkap selimut, berlari memakai kaos dengan di balut jaket hitam. Tak lupa topi serta masker hitam dia kenakan sebagai alat penyamaran.

...

Tak membutuhkan waktu lama, Max telah tiba.

"Hosh...hosh..."

Ketika sampai di pintu masuk sebuah lambaian tangan dari seorang pria tua tiba-tiba menyambutnya dengan gembira. Begitu pun gadis di sampingnya senantiasa tersenyum hangat, ikut menyambut kehadirannya.

Max cukup tersentak saat melihat siapa tamu di depan sang ayah, ada rasa tidak nyaman saat melihat wajah tersebut. Namun Max mengabaikan sejenak pikiran itu, lalu dengan cepat menghampiri Jun.

"Di mana dia?" tanya Max pada intinya.

"Duduk, jika kau menurut, Papa akan memberitahu di mana wanita itu," bisik Jun, matanya seakan menyuruh Max untuk patuh.

Dengan malas pria itu duduk tepat di hadapan wanita yang akan menjadi calon istrinya sebagaimana yang telah sang ayah beritahukan padanya. Dia melipat kaki dan kedua tangan, hingga terasa aura mendominasi yang sangat kuat dari sosok dirinya.

Berbeda dengan Vivian, wanita itu tetap memberikan senyum ramah, menyambut hangat kedatangan Max.

"Ayo, kalian berkenalan lah." William membuka obrolan.

"Benar, Willi bukankah kita harus mendiskusikan proyek produk kita yang baru, bagaimana kalau kita pergi saja, biarkan mereka berkenalan tanpa kita?"

William melirik putrinya. Seakan mengerti, Vivian membalas dengan anggukan kepala.

"Baiklah, kalau begitu kami pergi dulu, nikmati waktu kalian berdua."

Dalam waktu singkat William dan Jun hilang dari pandangan. Max menatap intens wanita didepannya. Tidak terlihat ada yang menarik, wajah pasaran, rambut coklat bergelombang, pakaian tertutup dan sederhana. Tak ada satu pun yang dapat menarik perhatiannya.

Berlainan dengan Vivian, dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Ada rencana yang harus dia tuntaskan.

"Aku..."

"Tolak pernikahan ini, kau bisa melakukannya kan?" Belum sempat Vivian berbicara, Max langsung menyela.

Tiba-tiba alis Vivian menaik "kenapa?" Wanita itu bertanya dengan spontan.

"Kenapa? Kau masih belum mengerti situasinya ya." Max merubah posisi kaki menjadi sejajar, tampak tawa remeh terdengar sampai tiba saat dimana mata biru berkilau milik Max menatapnya begitu dalam.

"Kau pikir kau pantas menikah denganku?" tanya Max meremehkan.

Deg!

Mendengar pertanyaan tersebut seketika jantung Vivian berhenti sejenak. Walaupun sejak awal dia sadar ada yang aneh dengan sikap pria didepannya kini, namun Vivian tak pernah tahu percakapan pertama mereka akan berlangsung seburuk ini.

Vivian melihat wajah Max yang hanya memperlihatkan bagian mata, tampak tajam lekat dengan keangkuhan.

"Ini tidak akan mudah," batin Vivian.

Mereka menghabiskan waktu dalam diam cukup lama. Rencana menjalin kerjasama seketika urung untuk sementara.

"Akh...aku ingin segera pulang," gerutu Vivian, kesal karena tak mampu menjawab pertanyaan tersebut.

Setelah William dan Jun tiba, kedua orang tua itu tampak senang setelah berbincang, terutama masalah pekerjaan. Namun berbeda dengan Vivian, gadis itu ingin segera pergi sejak Max melontarkan kata-kata yang menyakitkan padanya.

"Pa ayo pulang," bisik Vivian menarik kain lengan William kala pria itu datang.

"Baiklah, sekarang kita pulang ya," balas Willi sembari mengusap rambut Vivian.

"Jangan lupa, seminggu lagi pernikahan akan dimulai, siapkan diri kalian baik-baik." Jun mengingatkan.

"Apa?" Vivian terkejut, matanya membulat tak percaya. Sementara Max tampak biasa, diam bagai patung tak bernyawa.

"Bukankah begitu Willi?" Jun melemparkan pertanyaan seakan meminta persetujuan.

"Ya, memang begitu." William pasrah.

Pertemuan berakhir singkat. Vivian membungkuk hormat untuk berpamitan. Sementara Jun tak lelah memandang putri temannya itu dengan pandangan bangga.

"Dia sudah tumbuh dewasa sekarang," gumam Jun.

Setelah William dan Vivian pergi, Jun merapikan jas hendak pergi mengisi jadwal pertemuannya lagi. Ketika langkah kaki Jun kian menjauh, tiba-tiba Max menahan sang ayah dengan lontaran pertanyaan singkat.

"Di mana dia?" tanya Max pada sang ayah.

Langkah Jun terhenti, terdengar sebuah helaan nafas berembus berat dari hidungnya.

"Dia tidak di sini."

"Papa!" bentak Max, dia langsung membalikkan badan menatap sang ayah yang hendak pergi.

"Dia akan baik-baik saja, selama kau menuruti keinginan papa," jawab Jun tanpa peduli, lalu melanjutkan langkahnya.

Mendengar jawaban tersebut, Max langsung terdiam dan tertunduk. Bola matanya kian menampakkan guratan merah di sekelilingnya. Tangannya yang indah mulai mengerucut membentuk kepalan kuat hingga samar-samar terlihat guratan hijau membentang di punggung tangannya.

"Aku? Harus menurut?" pekiknya.

Bak!

Meja ditampar hingga menimbulkan suara menggelegar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status