Share

part 3 malam tak terduga

Keesokan hari, dikediaman Windsor ...

Brak!

Sebuah kendi berhasil dilempar dengan sempurna hingga pecahannya berserakan di mana-mana.

"Pa, bisakah Papa diam saja, jangan urusi kehidupanku!" bentak Max. Nafasnya terengah-engah dengan emosi yang tertahan. Luka akibat pecahan kaca di tangannya bahkan masih meneteskan darah kental, menggenang di lantai.

Jun hanya duduk sembari menyaksikan amukan sang anak.

"Kehidupanmu? Kau tahu, nama Windsor hampir ternodai karena siapa?" Jun mulai berdiri, mendekati sang putra dengan langkah pasti.

"Tck, itu karena Papa yang selalu mencampuri urusanku!" Max tak kalah mengeraskan suaranya.

"Kau pikir Papa begini karena apa? Kau pasti lebih tahu tentang bagaimana keluarga Laura. Seperti ini kah caramu menjatuhkan nama Windsor!"

Bola mata yang tampak membara tak lepas tertuju pada Jun, seiring langkah demi langkah yang semakin dekat dengan sang anak.

Tak... Tak...

Langkah tenang terhenti tepat didepan Max. Kedua tangan Jun dilipat di depan dada sambil melihat mata Max yang kian menunjukkan sorot tajam padanya.

"Dengarkan Papa baik-baik. Nama Windsor ada di belakang namamu, orang-orang mengenalmu sebagai Aktor kebanggan dari keluarga ini. Jadi jika kau kabur esok saat pernikahan berlangsung, jangan salahkan papa jika terjadi sesuatu pada Laura. Kau yang membuat ulah, maka Papa akan pastikan Laura yang akan menanggung akibatnya." Suara Jun begitu kental akan ancaman, bahkan Max yang mendengarkan, berkali-kali menahan diri untuk tidak mendaratkan pukulan pada pria tua itu.

Melihat sorot mata biru itu, Jun sudah tahu kesabaran Max tidak tersisa banyak. Pria tua itu mendaratkan satu tepukan di bahu sang anak lalu dia akhiri pertemuan kali ini dengan satu bisikan singkat.

"Ini perintah."

...

Keesokan harinya, di sebuah vila bernuansa klasik, berlangsung acara pernikahan yang sederhana. Seorang pria bertubuh jangkung dengan bahu yang indah dan rambut tertata rapi, duduk berdampingan dengan sang permaisuri satu malam. Wanita cantik itu, bagai bidadari, ikut duduk di singgasana, menyambut para tamu yang datang dengan wajah yang berseri-seri.

"Terima kasih." Kalimat tersebut diucapkan berulang-ulang oleh kedua mempelai sepanjang hari.

Hingga pukul 15.00, para tamu masih berdatangan, membuat Vivian, wanita cantik yang menjadi tokoh utama hari ini, merasa lelah dan memilih untuk duduk sejenak. Dia merasakan otot-otot kakinya yang mulai menegang dan memutuskan untuk meregangkannya.

Vivian melirik pria yang kini telah sah menjadi suaminya. Wajah tampan itu tersenyum tenang dan ramah, sesuatu yang tidak pernah terbayangkan oleh Vivian sebelumnya. Terlebih setelah berita tentang kerusuhan besar di kediaman Windsor terjadi, Vivian tidak pernah membayangkan bahwa Max bisa bersikap baik pada hari pernikahan mereka.

"Aku kira dia akan membuat ulah," batin Vivian.

...

Malam menjelang, kedua pihak keluarga memutuskan untuk menginap satu malam. Hal ini membuat Vivian lega, sepertinya malam pertama yang akan dia lewati bersama pasangan politiknya itu akan berlalu begitu saja.

Setelah membersihkan diri, Vivian kini tampak bersih dan rapi dengan setelan pakaian tidur sehari-harinya. Dia berjalan pelan dari lantai atas, menuruni tangga satu per satu mendekati sang ibu yang sedang berada di dapur untuk menyeduh kopi.

Tak... Tak...

Mendengar suara langkah kaki lantas Evelyn menoleh.

"Kamu belum tidur, Nak?" tanya Evelyn.

"Hm.. Ma, aku belum mengantuk," jawab Vivian sambil mendekati.

"Mau kopi? Mama buatkan, ya," tawar Evelyn sambil menyiapkan segelas kopi.

"Ma, aku ingin mengobrol sebentar," pinta Vivian kepada sang ibu dengan wajah ragu.

Namun, sebelum Evelyn sempat menjawab, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar mendekat.

"Maaf, Ma. Bolehkah aku mengambil istriku? Aku membutuhkannya malam ini," ucap Max, yang tiba-tiba datang menghampiri mereka.

"Oh, iya tidak apa-apa. Ambil saja, Mama pergi ke kamar dulu ya. Kalian semangat!" jawab Evelyn sembari mengepalkan kedua tangan untuk menyemangati pengantin baru melewati malam pertama mereka. Setelah itu, Evelyn langsung pergi menuju kamar yang telah disiapkan.

"Akh... Mama..." gerutu Vivian dengan nada kecewa, memandang punggung sang ibunda yang kian menghilang.

Setelah Evelyn benar-benar pergi, kini hanya menyisakan mereka berdua. Suasana menjadi sepi, tidak terdengar sedikit pun suara. Dalam situasi itu, tiba-tiba Max menarik pergelangan tangan istrinya dengan kasar, menarik paksa menuju lantai atas hingga Vivian terseret dengan keras.

"Argh..."

Kepalan tangan Max yang kuat terus menariknya, hingga sampai di kamar pengantin...

Bak!

Max melempar tubuh kecil Vivian dengan kasar hingga terhampar di atas ranjang. Pria itu langsung mencengkeram lengan Vivian dengan sangat keras.

"Wanita murahan!" bentak Max sambil mengimpit Vivian dan mencengkeram lengan wanita itu dengan kuat.

Vivian hanya bisa diam, terimpit kesakitan tanpa bisa melawan.

"Akh..." rintihnya menahan rasa sakit.

Tindakan Max benar-benar diluar sangkaan Vivian, seolah-olah sisi lain dari dirinya tiba-tiba muncul. Baru beberapa detik yang lalu, wajah pria itu masih tersenyum. Namun sekarang, bahkan untuk berwajah datar saja sepertinya tidak mungkin terjadi.

"Arghh..." Max melepaskan cengkeraman kasar pada lengan istrinya, terdengar suara rintihan samar yang mengilukan. Seperti tulang yang kokoh tiba-tiba hancur dengan kasar.

Vivian perlahan bangkit, sambil menahan lengan yang sangat sakit. Apa pun kebencian yang dimiliki pria itu terhadapnya, amarahnya saat ini mungkin hanya permulaan dari kekejaman yang sebenarnya.

Dengan ketakutan yang melanda, Vivian bergegas meninggalkan kamar. Max terlihat menggerutu kesal, berlalu di belakangnya. Saat Max lengah...

Secepat mungkin, Vivian berlari menuju pintu untuk menyelamatkan diri.

Cklek...

Ketika Vivian mencoba membuka pintu, nasib tidak berpihak padanya. Pintu itu tidak bisa terbuka, semakin dia berusaha, suara yang dihasilkan semakin jelas, membuat Max segera berbalik dan menatap tajam ke arahnya.

Tak... Tak...

Bulu kuduk Vivian berdiri tegak. Dalam keheningan, detak jantung terdengar semakin keras. Napas tersengal-segal seolah berhenti sejenak. Hingga akhirnya, hembusan napas panas terasa di bahunya, barulah Vivian benar-benar kehilangan napas.

"Hah? Mau kabur?" tanya Max, membuat bulu kuduk Vivian merinding.

Vivian terdiam di tempat, merasakan aura menusuk serta ketakutan yang sangat dalam. Tubuhnya gemetar, dengan keringat yang mengalir membasahi tubuh.

Sejenak, keheningan menjalar dan...

Bak!

Tangan yang kuat menghantam pintu dengan keras, menimbulkan suara gemuruh hingga terbentuk retakan kecil di sekitarnya. Seketika itu juga, Vivian langsung menciut ketakutan dan memejamkan mata tanpa daya.

"Mau melarikan diri?" bisik Max dari belakang. Di sisi lain, Vivian terdiam membeku, berusaha menahan getaran yang tiba-tiba tak terkendali.

Max semakin mendekat, tersenyum dengan pahit sambil berbisik dengan nada ancaman. "Kau tak akan bisa lolos dariku."

Set...

Max mengangkat tubuh kecil wanita itu, melemparnya ke arah sofa hingga terdengar suara benturan antara tulang dan kayu.

Pria itu seakan kehilangan kendali, dengan sigap, dia mengambil sebuah benda tajam dari salah satu laci, sambil mengusapnya pelan-pelan silih berganti.

Melihat itu, seketika Vivian terkejut. Dalam bayangannya, apakah ini akhir dari kehidupannya? Sesal dirasakannya ketika dia mengabaikan ucapan Max pada pertemuan pertama dahulu.

"Tolak pernikahan ini, kau bisa melakukannya kan?"

Mengapa Vivian tidak mendengarkan perintahnya? Apakah ini bentuk balas dendam atas ketidakpatuhannya terhadap perintahnya?

Kilauan cahaya mulai terlihat samar di kejauhan. Tetesan air mata mengalir membanjiri wajah, membuat wajah cantik itu berubah sembab dan menyedihkan.

Max mendekati wanita yang berlumur keringat dan air mata.

"Jangan!" jerit Vivian kehilangan suara.

Sret...

Bagian bawah baju wanita itu tersayat hingga membentuk sebuah tali.

Vivian tidak bisa berkata-kata lagi, bahkan satu kata pun terasa tersengal dan tidak mampu keluar dengan jelas. Max langsung memaksa istrinya berdiri, mengikat pergelangan tangan Vivian hingga kedua tangannya menggantung pada batang tumpuan tirai. Untungnya, Max masih membiarkan kaki wanita itu menyentuh lantai. Jika tidak, maka malam ini benar-benar akan menjadi malam terakhir wanita itu menghembuskan nafas.

Dalam keadaan yang penuh ketakutan, Max mengangkat dagu istrinya yang begitu menyedihkan.

"Kau, nikmatilah malam ini," ucap Max dengan senyuman miring diujung bibirnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status