"Aku ingin bercerai!" Vivian berteriak.
"Bercerai? Hahaha...kau milikku sayang," balasan yang terdengar renyah tersebut terlontar dari bibir Maximilian Windsor, seorang aktor sekaligus suami di depannya.Max menatap bola mata coklat yang selalu terlihat membara. Sementara Vivian beberapa kali menelan Saliva, kesal karena tubuhnya terus dihimpit disudut yang sempit."Sudah kukatakan lepaskan aku! Tidakkah kau sadar sikap obsesimu itu hampir membunuhku!""Membunuh? Kau tidak boleh terbunuh, permainannya akan jadi membosankan tanpamu."Vivian benar-benar emosi, pikirannya berkali-kali menyuruhnya untuk memberi tamparan pada suaminya.Disamping itu jari-jemari Max perlahan meraba ujung kening Vivian, sembari menggerakkan ibu jari dengan pandangan yang saling terkunci."Dengarkan aku baik-baik, malam ini dan seterusnya, kau akan terus bersamaku. Jika kau mencoba kabur, tunggu saja hadiah apa yang akan ku berikan padamu."DegMendengar ancaman itu, dada Vivian terasa di dobrak. Pikirannya tiba-tiba melintasi waktu, teringat saat-saat dimana rencana pernikahan disampaikan padanya.Tiga setengah bulan yang lalu...Malam ini, setelah mengikat rambut dengan tali, Vivian berniat mengerjakan tugas kuliah sambil menikmati secangkir kopi. Namun saat gadis itu hendak membuka laptop, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Di sana, sang ibu muncul dengan wajah tertunduk lesu."An, papa mau bicara sebentar, tidak apa-apa?" tanya Evelyn dengan selendang yang melingkar dipundaknya."Tidak ma, sebentar, aku akan segera kesana," jawab Vivian, dia langsung menutup kembali laptopnya secepat kilat.Di ruang tengah, William duduk dengan wajah serius. Vivian mendekati kedua orang tuanya yang sedang menunggu, lalu duduk dihadapan mereka.Terlihat William mengusap beberapa kali wajahnya, ada kekhawatiran dan ketidakmampuan yang tergambar dalam raut wajah sang ayah."An, kamu ingin cuti kuliah tidak?" tanya William."Enggak pa, memangnya kenapa?" Vivian secara bergantian melihat ayah dan ibunya."Sebelumnya Papa minta maaf, Papa bukan sengaja membuatmu menderita atau apapun itu, Papa hanya..." William tak kuat meneruskan kalimatnya. Evelyn lantas mengusap tangan sang suami untuk menguatkan."Pah, mah ada apa?" Alis Vivian berkerut bingung.William mengusap kedua ujung matanya beberapa kali, terlihat berusaha kuat."Papa mendapat perintah untuk menjadikanmu menantu seseorang," ucap William dengan berat hati."Apa?" Sontak mendengar ucapan tersebut, bola mata gadis itu membulat sempurna."Tapi aku kan sedang kuliah pah, kenapa Papah tidak menolaknya saja?" Tanpa sadar Vivian meninggikan suara."Sayang, hanya dua sampai tiga bulan saja, setelah itu kamu bisa bebas sesukamu." Evelyn menambahkan."Papa mempunyai utang kepadanya untuk pengobatan Van dahulu, Papa jadi tidak bisa menolaknya sembarangan, jika seandainya kamu tidak mau, untuk sementara Papa akan meminjam dulu dari teman papa yang lain untuk melunasinya."Lagi-lagi pinjaman, Vivian tak setuju dengan solusi itu. "Memang berapa jumlah utang Papa? aku punya sedikit tabungan di rekeningku, mungkin cukup untuk melunasinya.""Cukup besar, mungkin kita bisa membayarnya hanya dengan menjual rumah ini."Mendengar hal itu Vivian langsung termenung, jelas tabungannya tak akan mampu menutupi utang itu."Sudahlah ini memang tidak masuk akal, Papa akan bicarakan lagi dengan atasan Papa.""Pah, apakah dengan aku menikah, utang papa akan lunas?""Hanya setengah utang papa yang akan lunas, sisanya Papa akan mencicil semampu Papa, Papa akan bekerja keras untuk meningkatkan produk perusahaan kita, Papa hanya membutuhkan sedikit waktu saja." Suara William terdengar pasrah.Setelah berpikir sejenak, Vivian telah mengambil keputusan."Papa aku akan menikah saja, tapi apakah Papa bisa berjanji padaku satu hal?"William mengangguk, dia tak berani memandang putrinya."Jangan berutang lagi, Papa bisa berjanji satu hal itu kan?" Vivian menodongkan jari kelingkingnya, sama seperti dulu saat Vivian membuat janji dengan setiap anggota keluarga.William membalas jari kelingking tersebut dengan wajah penuh haru. "Papa janji."Sementara Evelyn telah berada di samping Vivian bersiap untuk memeluk putrinya. Sambil meraih tubuh kecil Vivian, Evelyn berbisik pelan."An, tunggulah sampai dua atau tiga bulan, jika kamu tidak menyukai pria itu, langsung ceraikan saja dia, Mama akan selalu mendukungmu apapun keputusanmu, tapi tolong untuk dua bulan setidaknya kamu harus bertahan, kami disini akan berusaha membebaskan mu," ucap Evelyn sambil mengusap rambut putrinya."Ya, aku akan melakukan sesuai kemauanku, jangan berutang lagi!" tegas Vivian kembali sembari membalas pelukan sang ibu."Besok, kita akan menemui calon suamimu, tidurlah sekarang kamu pasti lelah."Vivian mengangguk, lalu meninggalkan kedua orang tuanya menuju kamar.Setelah malam penuh kebimbangan itu berlalu, di ruang kamar, Vivian sedang memikirkan rencana mendadak untuk menyelamatkan hidupnya."Menikah."Dalam pikiran Vivian, pernikahan hanyalah sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan perempuan, tak lebih dari itu. Rencana awal yang sempat Vivian pikirkan ketika menjalin hubungan dengan calon suaminya adalah usaha untuk menjalin kerja sama yang akan menguntungkan kedua belah pihak. Lantas Vivian mengambil pena lalu mencoret kertas dalam bentuk poin-poin berisi rangkaian rencana yang akan dia lakukan nanti."Sempurna, esok akan ku jalankan rencana ini."Keesokan hari, di sebuah hotel ternama, Max terbangun akibat cahaya yang memancar dari celah tirai jendela kamar.Tring!!!Dering ponsel tiba-tiba berbunyi. Max meraba-raba meja untuk meraih ponsel dengan segera. "Halo," ucap Max dengan suara serak, bahkan matanya masih tertutup tak mau terbuka."Papa tunggu di kafe Dellie jam 8, tak ada alasan untuk kau telat," ucap dari seberang sana. Max langsung menutup panggilan tersebut, tak ada yang penting dari perintah pria tua itu. Dia menjatuhkan kepalanya lagi, melanjutkan kembali tidur paginya dengan tenang. Ting... Sebuah bunyi pesan tiba-tiba muncul. Seperti biasa mungkin Laura telah mengirimi foto cantik kepadanya, lantas Max mengambil ponsel lagi untuk membuka pesan tersebut. Matanya memicing, namun saat dilihat tak ada satupun pesan yang dapat diterima dari sang kekasih. Berlainan dengan sang ayah, puluhan pesan berjejer di layar ponsel. Dengan asal Max menggulir pesan tersebut sampai tiba matanya menangkap satu pesan yang berha
Keesokan hari, dikediaman Windsor ...Brak! Sebuah kendi berhasil dilempar dengan sempurna hingga pecahannya berserakan di mana-mana."Pa, bisakah Papa diam saja, jangan urusi kehidupanku!" bentak Max. Nafasnya terengah-engah dengan emosi yang tertahan. Luka akibat pecahan kaca di tangannya bahkan masih meneteskan darah kental, menggenang di lantai.Jun hanya duduk sembari menyaksikan amukan sang anak. "Kehidupanmu? Kau tahu, nama Windsor hampir ternodai karena siapa?" Jun mulai berdiri, mendekati sang putra dengan langkah pasti."Tck, itu karena Papa yang selalu mencampuri urusanku!" Max tak kalah mengeraskan suaranya."Kau pikir Papa begini karena apa? Kau pasti lebih tahu tentang bagaimana keluarga Laura. Seperti ini kah caramu menjatuhkan nama Windsor!" Bola mata yang tampak membara tak lepas tertuju pada Jun, seiring langkah demi langkah yang semakin dekat dengan sang anak.Tak... Tak...Langkah tenang terhenti tepat didepan Max. Kedua tangan Jun dilipat di depan dada sambil m
PAGI HARI...Suara merdu kicau burung menyapa dari balik jendela. Bersamaan dengan itu, seorang wanita cantik baru terbangun dari tidurnya dengan tangan yang masih menggantung, disertai rasa sakit dan pegal di sekujur tubuh."Akh..." rintih Vivian. Wanita itu melihat pergelangan tangannya yang masih menggantung sambil berusaha melepas ikatan kain itu secara perlahan.Cklek...Seorang pria keluar dari kamar mandi dengan dibalut sehelai kain handuk yang melingkar di pinggangnya. Sambil mengeringkan rambut dengan acak, tiba-tiba pandangan pria itu langsung tertuju pada wanita yang masih menggantung di sudut ruangan, terlihat sedang berusaha dengan tubuh lemas dan kelelahan.Melihat pemandangan itu, tiba-tiba sudut bibir Max terangkat, melihat istrinya menderita, membuatnya puas dan bangga."Pfftt...dia berusaha?" batin Max ingin tertawa.Dengan langkah panjang, Max mengambil pengering rambut tanpa menghiraukan Vivian sedikit pun, membiarkan tubuh wanita yang lemah itu berusaha sekuat ten
Pagi hari...Kicau burung pipit terlantun indah dalam dinginnya suasana pagi. Tirai putih berkibar membangunkan seorang wanita yang terbaring lemah di atas ranjang."An! An!"Perlahan Vivian membuka mata, ketika matanya memicing, terlihat samar beberapa wajah yang tengah mengerumuninya. Dengan pelan dia menarik badan lalu membenarkan posisinya."Akh..." rintih Vivian merasakan denyutan di kepala."Tidurlah, jangan bergerak, nanti kamu pusing lagi,...haish...kamu ini bagaimana di hari pertama sudah sakit begini," ucap Evelyn sambil memberikan perhatian.Vivian menyandarkan kepala sambil memejamkan mata untuk beberapa detik.Bagai pelangi yang datang setelah badai, Vivian menghembuskan nafas lega setelah melihat sang ibunda yang tengah mengkhawatirkan dirinya. Entah ke mana hilangnya rasa takut yang kian menghantui setiap kali melihat pria yang berstatus sebagai suaminya itu, sekarang tak ada yang perlu Vivian takuti lagi, semua penderitaan ini sudah selesai sampai di sini.Air mata Viv
Vivian termenung sembari memainkan ibu jari, dia benar-benar yakin apa yang dirasakan kemarin adalah nyata, bukan sekedar mimpi bahkan ilusi, semuanya nyata dengan rasa yang begitu jelas.Vivian menatap pergelangan tangan yang tiba-tiba terlihat baik-baik saja, masih belum percaya dengan semua yang dia lihat saat ini."Rasa sakitnya bahkan masih terasa," batin Vivian sembari menatap pergelangan tangan.Tanpa terasa berjam-jam berlalu, namun kesimpulan yang mesti Vivian dapatkan masih belum dia temukan.Cklek...Wanita itu menoleh menatap seseorang di awang pintu, tengah melangkah menghampirinya. "Vivian Mama pulang dulu ya, cepat sembuh ya sayang, Mama akan merindukanmu," ucap Evelyn sembari memberi kecupan di kening sebagai tanda perpisahan.Setelah memberi hujan kecupan, Evelyn membenarkan tasnya sembari berbalik meninggalkan Vivian sendiri duduk di atas ranjang dengan tatapan kosong."Mama..." Mendengar satu kata itu Evelyn menoleh melihat putri tercintanya terdiam dengan tetesan
Vivian terbelalak mendengar ucapan suaminya. Seketika wanita itu merangkak mundur, berusaha menjauhkan diri dengan degup dada yang berpacu semakin cepat.Bagaimana pun dia harus menemukan celah untuk pergi. Dia coba menoleh kanan kiri berharap ada sedikit ruang untuk bisa keluar, namun naas pria itu sudah menunjukkan seringai di wajahnya, senyum smirk has yang terukir, benar-benar mengingatkannya pada kejadian kelam beberapa hari lalu."Bodoh!" pekik Vivian dalam hati.Set!Max menarik lengan Vivian dengan kasar, menyeret wanita itu menuju toilet.Bugh!Vivian terbanting membentur dinding."Akh!" Senyum puas terukir kembali di wajah Max. Tanpa ragu Max menekan shower hingga semburan air mengucur deras tepat di pucuk kepala istrinya. Tubuh Vivian kini terasa sakit lagi. Perih dia rasakan di pergelangan tangan dan sedikit demi sedikit, luka itu mulai terlihat lagi. Memar ungu terlihat mengerikan menggenang di kedua pergelangan tangan."Ini..." gumam Vivian.Apa yang wanita itu lihat d
Tawa dan canda ringan terlontar di antara mereka. Rayuan dan tingkah manis kerap didengar Vivian, bergema di sekitar telinganya."Dia siapa?"Vivian menatap nanar lantai toilet dengan wajah sembab. Ternyata, di luar dugaan, Max bisa bersikap manis, namun jika seandainya Max bisa bahagia hanya dengan bertemu wanita itu saja, mengapa pria itu harus menyiksa Vivian yang tak tahu apa-apa?Kesal dan marah sekilas terbersit, begitu pun malaikat maut, mungkin merasakan hal yang sama, menanti Vivian yang hendak mati namun tak jadi, dan semua hal itu tentu berkat pria biadab bernama Maximilian Windsor."Huh...bodoh."Vivian menekuk kedua lututnya, menenggelamkan wajah sedalam-dalamnya. Rasa tubuh kian tak beraturan, dingin, panas, gerah, bersatu dalam satu rasa. Saluran pernafasan terus mengeluarkan hembusan panas, namun tubuh kecilnya tak bisa merasakan udara panas itu, dari ujung kepala hingga ujung kaki semua rata pucat, bagai seorang yang enggan hidup mati pun tak mau."Aku ingin pulang."
Suara lemah, terucap halus dari bibir kecil wanita cantik yang tengah terbaring."Mah."Suara yang nyaris tak terdengar, terlantun samar. Ketika menantu satu-satunya berucap, pandangan Sophie langsung berbalik tertuju pada wanita itu. Dengan cepat Sophie mendekati Vivian untuk melihat kembali kondisinya."Vivian," panggil Sophie dengan halus, sembari meraba kening, memastikan apakah menantunya telah sadar atau hanya sekedar mengigau."Mah..." panggil Vivian kembali, sambil menunjukkan sedikit kerutan kening seperti merasakan nyeri dari dalam."Max pegang ini, ambilkan kompres nya, Mama mau liat Vivian dulu," ucap Sophie sigap memberikan mangkuk yang dia pegang kepada putranya.Max menerima mangkuk tersebut dan langsung mengambil alih menyiapkan kompresan.Tak... Tak...Langkah panjang terdengar jelas menggema di penjuru ruangan. Max memegang hendel pintu toilet, dan ketika pintu itu sedikit terbuka, sekilas mata elangnya menoleh ke arah sang ibu. Bagai kilat, pandangan singkat itu lan