Tidak pernah sama sekali terlintas di kepala Juan, bahwa identitasnya akan diketahui oleh mahasiswanya sendiri. Memang identitas diketahui manusia bukanlah suatu pantangan bagi grim reaper. Lagi pula, kalaupun Chloe tahu, lalu dia menyebarkan fakta itu pada banyak orang, apa akan ada yang percaya? Toh yang mampu melihat Juan dalam sosok grim reaper hanyalah Chloe, karena sebelumnya dia sudah sempat meninggal dan arwahnya berada dalam tanggung jawab Juan. Terlebih Chloe juga tidak memegang bukti apa pun yang benar-benar bisa membuktikan pada siapa pun bahwa Juan adalah grim reaper. Paling-paling buruknya, Chloe dianggap sedang sakit.
Lantas, kal
Chloe melangkah lambat dari arah kamar mandi. Rambut panjangnya masih basah akibat keramas. Kusut, karena tidak menemukan sisir tergeletak di area kamar Juan. Meski Juan mengizinkan Chloe menggunakan kamar mandinya, bukan berarti Chloe bisa seenaknya mengubrak-abrik lemari ataupun laci meja Juan hanya untuk mencari sebuah sisir. Jadi, Chloe biarkan saja rambutnya tergerai apa adanya.Chloe menemui Juan selagi lelaki itu sedang menyesap secangkir, mungkin kopi atau teh, di sebuah meja bermodel mini bar. Bertanya-tanya apakah dia pernah menguncir rambutnya? Sebab selama ini Chloe selalu melihatnya dengan rambut terurai. Atau, pernahkah dia memotong rambutnya? Pasti kelihatan aneh jika itu terjadi.Juan melirik kehadiran Chloe dari balik cangkir minumannya. Sedikit berpaling saat perempuan itu bergerak semakin mendekat ke arahnya. Sementara Chloe, yang masih
“Jadi, apa yang sebenarnya terjadi sama saya semalam?”“Ya ampun. Pakai dulu seat belt-mu. Perjalanan tiga puluh menit ke Seirios pasti cukup untuk jelasin semuanya,” tutur Juan yang tengah memakai sabuk pengamannya sendiri.Menyadari kesulitan yang Chloe hadapi saat menggunakan sabuk pengaman, Juan menghela napas pendek. Membuka sabuk pengamannya lagi dan menjulurkan badannya ke arah Chloe.“Minggir,” ujar Juan berniat mengambil alih sabuk dari tangan Chloe.Namun, Chloe tidak membiarkannya. “Ngga usah. Saya bisa sendiri.”Bukan bermaksud tidak menghargai bantuan yang ditawarkan oleh Juan, Ch
Mengetahui selama ini bertemu dan bicara dengan seseorang yang tidak pernah ada, jelas lebih menakutkan dibanding dengan bertemu hantu dalam satu kali kesempatan. Bayangkan saja sudah berapa kali Chloe berbicara empat mata dengan Mike? Tapi kenyataannya lelaki itu bukanlah manusia. Pantas saja namanya tidak ada di dalam daftar absen kelas kalkulus. Chloe ingat betul dia sempat mencari nama Mike sewaktu pengumpulan lembar jawaban kuis pertama. Awalnya Chloe pikir memang ada kesalahan cetak pada absen mata kuliah itu, karena Chloe sendiri tidak sampai mengecek daftar absen di mata kuliah lain. Dan rupanya, semua itu bukanlah kesalahan.“Kamu ngga apa-apa?” tanya Juan bertukar pandang dari jalanan di depan kemudian ke Chloe. Memastikan mahasiswanya itu tidak mendapat serangan jantung atau semacamnya sehabis memperoleh kabar yang tak terduga.
Suara benturan keras tiba-tiba hadir di tengah-tengah kesunyian di dalam mobil. Sontak Chloe menoleh ke samping kirinya. Hampir saja terlonjak kalau saja dirinya tidak dengan cekatan sadar bahwa seseorang yang tengah menggedor-gedor kaca jendelanya adalah Grace. Juan yang tahu mobil kesayangannya diserang oleh seorang perempuan yang dipenuhi rasa khawatir akan nasib sahabatnya, hanya bisa mengedikkan bahu saat Chloe melempar tatapan padanya.Chloe membuka pintu mobil. Perlahan berdiri dan seketika Grace langsung menyambar dirinya.“Grace, hei.” Chloe berupaya melepas pelukan Grace. Beruntung masih ada mobil yang menahan tubuhnya agar tidak terjatuh.“Ngga mau! Sumpah gue khawatir banget sama lo, Chloe!” pekik Grace yang lebih tampak seperti ingin meremukkan tubuh mungil sahabatnya.
Terlebih dulu Chloe menyiapkan hati serta jantungnya sebelum benar-benar membuka chat dari Juan. Ditariknya napas panjang, diembuskannya perlahan, lalu dengan yakin dibukanya chat tersebut.Pak Grim: Chloe, besok pagi saya minta tolong kamu untuk ambil laptop saya di ruangan dan kamu siapkan presentasi materi perkuliahan yang udah saya sediakan di desktop. Materi pertemuan ke-6.Pikiran Chloe melayang. Isi kepalanya mendadak kosong. Ingin merasa kesal, tapi kepada siapa? Juan? Setiap kata yang dia tulis di dalam chat itu adalah haknya dia. Dia bebas mengetik apa pun di sana dan p
“Dasar jorok!” pekik Grace menggetarkan seisi kamar.“Hmmph.” Chloe mengelap sekitaran mulutnya. “Sorry, sorry. Lagian pertanyaan lo ada-ada aja.”“Lagian juga Pak Juan sampai segitunya khawatirin lo.”“Wajar kali, Grace. Gue itu lagi ikut kegiatan himpunan dimana dia adalah pembinanya. Ya, kalau ada apa-apa sama gue, bukannya wajar kalau dia panik?” tutur Chloe berupaya menormalkan segala sesuatunya.Grace menopang dagu. Berpikir. “Iya juga, sih,” jawabnya dan Chloe menghela napas lega. “Tapi, kalaupun dia beneran suka sama lo, kalian berdua cocok kok.”
“Oy, Chloe. Hari ini lo ada kuliah jam berapa?”Kedua telinga Chloe menangkap jelas pertanyaan Grace barusan, tapi apa daya kelopak matanya belum siap untuk terbuka. Rasa-rasanya masih ingin terpejam lebih lama lagi.“Chloe?” tanya Grace kembali. “Gue ada kuliah jam delapan nih. Udah mau jalan,” paparnya sambil memasukkan laptop ke dalam tas ranselnya. “Terus lanjut sampai siang.”“Hmm,” gumam Chloe semakin beringsut di dalam selimut. Memiringkan badannya menghadap jendela yang mana gordennya telah dibuka oleh Grace. “Gue kuliah jam sepuluh kok. Kelasnya Pak Juan,” ujarnya dengan volume suara yang seadanya.&
“Perbaiki analisis datanya sesuai dengan yang saja jelaskan tadi.”“Baik, Pak. Lalu, kira-kira saya bisa bimbingan lagi dengan Bapak kapan ya?”Juan menyandarkan punggungnya pada kursi. Tangannya menyilang di depan dada.“Ya, seselesainya kamu dan seyakinnya kamu ketemu saya.”Mahasiswa di depannya merapatkan bibir. Tatapannya lesu. “Baik kalau begitu, Pak Juan. Saya permisi dulu,” ujarnya membungkuk sopan, kemudian berbalik pergi keluar dari ruangan.Usai mahasiswa bimbingannya pergi, Juan menenggelamkan diri pada posisinya. Wajahnya mendongak dengan mata terpejam. Bimbingan skripsi adalah momen yang paling melelahkan juga paling menguras pikiran serta emosiny