Hari berikutnya, Sandy sudah diperkenankan pulang dari rumah sakit. Seperti biasa Mak Ijah akan menjemput anak itu dengan sepeda motor matic miliknya. Jujur saja selama Mak Ijah mengurus berkas kepulangan, Sandy terus mengekor di belakang ibunya karena dia terus mendengar seseorang memanggil namanya.
Sandy yakin kalau suara itu milik suster berdarah yang mengganggunya beberapa hari kemarin. Karena terus berada di samping ibunya, Sandy pun tidak melihat hantu itu lagi. Pada akhirnya dia berhasil pulang ke rumah. Hal yang tak disangka-sangka, kepulangan Sandy disambut dengan adanya empat wanita yang berdiri di teras rumahnya. Keempat wanita itu langsung tersenyum begitu melihat Sandy datang. "Sayangku." "Ayang!" "Sayang." "Sandy." Keempat wanita itu menyapa dengan sebutan yang berbeda-beda. Sandy yang mendengarnya hanya bisa menelan ludah karena sekarang dia dihadapkan dengan masalah baru. Lain lagi dengan Mak Ijah yang nampak biasa saja, wanita itu justru cengengesan sendiri. "Makan tuh, makanya jangan jadi playboy kayak bapakmu!" ucap Mak Ijah sambil menoyor kepala putranya. Sandy merengut karena tak bisa meminta bantuan ibunya. Alhasil dia pun memilih untuk mengajak empat wanita itu masuk ke dalam rumah dengan perasaan canggung. Usut punya usut, mereka adalah keempat pacar Sandy. Ya, Sandy memang seorang playboy yang setia alias setiap tikungan ada. Hal itu terjadi sudah sangat lama sejak Sandy menjadi anak motor. Ngomong-ngomong soal motor, Sandy jadi teringat pada motor Kawasaki kesayangannya. Di mana gerangan motornya? "Sayangku, jangan bilang mereka adalah pacarmu juga?" Wanita berambut sebahu bernama Kirana bertanya seraya mengarahkan pandangannya pada ketiga wanita di depannya. Kirana adalah anak kepala desa tempat Sandy tinggal, tentulah dia yang menjadi pacar pertama Sandy sejak SMP mula. Sandy terlihat salah tingkah sehingga duduknya menjadi tak nyaman. "Maaf semuanya," ucap Sandy sembari menunduk. Dia tak bisa mengatakan apapun selain meminta maaf. Suasana di ruang tengah itu menjadi hening seketika. Semuanya sama-sama diam tak tahu harus berbicara apa. Suasana kembali mencari saat Mak Ijah datang dengan membawa nampan berisi lima gelas air minum. Minuman itu diletakkan di meja untuk menyuguhi tamunya. Setelah itu, Mak Ijah ikut duduk di sebelah Sandy. "Jadi, sekarang mau bagaimana?" tanya Mak Ijah sambil melirik ke arah putranya. Yang ditanya balik menatap emat pacarnya secara bergantian. Keempat-empatnya kompak menggelengkan kepala mereka. "Aku enggak mau putus karena aku pacar pertamanya Sandy," ucap Kirana. "Aku juga nggak mau putus. Terserah Ayang Sandy mau kayak gimana, pokoknya aku enggak mau putus." Wanita berambut panjang ikal bernama Rahayu sama kukuh tak mau hubungannya dengan Sandy berakhir. Sekarang giliran si wanita berkacamata, wanita bernama Angel itu juga tidak mau diputuskan. "Selama belum ada janur kuning melengkung, Angel mau tetap jadi pacarnya Sandy," ucap wanita itu. "Aku juga tidak mau putus," wanita cantik bernama Silvia turut berkomentar. "Kalau begitu kita sepakat untuk membagi waktu dengan Sandy, ya? Aku mau Sandy bersamaku setiap hari Senin, kalian bertiga terserah hari apa!" Celetuk Kirana. Tiga pacar Sandy yang lain pun mulai menyemburkan nama hari yang akan menjadi jatah apel Sandy dengan mereka. Kekompakan mereka justru membuat Sandy pusing. Selama ini dia selalu berkencan dengan mereka secara diam-diam dengan membagi jarak waktu. Namun, ketika para wanita itu bertemu dan membuat kesepakatan tak terduga, Sandy justru merasa resah. Rasanya lebih baik putus dari kaca harus terang-terangan berpacar empat. Mak Ijah sendiri ikut geleng-geleng kepala dengan kelakuan empat wanita itu. Pikirnya, anaknya tidak memiliki apapun untuk diperebutkan. Setelah kepulangan keempat pacarnya. Sandy termenung sendiri di meja makan. Dia mengaduk makanan di piring dan belum memakannya satu sendok pun. "Masih ngelamunin pacar-pacarmu?" Mak Ijah bertanya seraya menggeser kursi dan duduk di sana. Sandy menatap ke arah ibunya. "Aku harus gimana, Mak?" tanyanya. "Mana emak tahu, ya tanggung jawab, lah!" sahut Mak Ijah tak acuh. "Ya elah, Mak. Bantuin mikir napa? Aku malah takut setelah mereka saling bertemu," ucap Sandy. "Ya kamu cari kesibukan saja supaya tidak ada kesempatan untuk bertemu dengan mereka," timpal Mak Ijah. "Lagian mereka ini aneh, kayak nggak ada laki-laki lain saja!" sambungnya. Itulah asal muasal seorang Sandy banting setir dari pembalap jalanan menjadi tukang ojek. Beberapa hari setelah kepulangannya dari rumah sakit, Sandy sudah bergabung dengan tukang ojek online lain di pangkalan. Tanpa diduga, di pangkalan ojek juga menganut sistem senioritas. Krena dia lebih good looking dan paling muda, Sandy tidak diizinkan untuk menarik penumpang dan diberi jatah sore atau malam dari pada siang hari. Tentunya hal itu sedikit menyulitkan karena semakin malam, pelanggan semakin berkurang. Meskipun demikian, Sandy tidak berburuk sangka maupun berkecil hati. si playboy itu memilih untuk manut dan tak mau protes. Malam itu, Sandy tengah menyeruput sisa kopi yang sudah dingin. Di sebelahnya masih ada satu tukang ojek pangkalan bersamanya. "Kang Ujang, mau ke mana?" Sandy bertanya dengan dahi berkerut. "Saya mau pulang, ah. Udah malem, istri saya sudah kirim W******p, tuh!" Pria bernama Ujang itu menunjukkan pesan dari istrinya kepada Sandy. Sandy cemberut, itu artinya dia akan sendirian di pangkalan. Dan Sandy tidak mau itu terjadi. "Kalau begitu, saya juga mau pulang bareng Kang Ujang, deh," ucapnya. Kang Ujang cengengesan. "Kamu pasti takut di sini sendirian," gumamnya. "Emang!" Sandy tidak membantah sama sekali. "Tapi itu kayak ada pelanggan, San." Kang Ujang memicingkan mata ke ujung jalan. Sandy turut melihat ke arah yang sama. Di sana memang terlihat siluet seseorang yang berjalan ke arah mereka. Nampaknya karyawan yang baru pulang bekerja lembur, hal biasa karena daerah itu memang ada pabrik dengan tiga shift kerja. "Kamu yang ambil saja ya, San..." ucap Kang Ujang. Sandy pun sumringah. "Makasih, Kang!" serunya senang. Dia senang karena mendapat penumpang sebagai penutup mengojek malam itu. Kang Ujang sudah melaju pergi meninggalkan pangkalan ojek. Sama halnya dengan Sandy, pemuda itu bersiap naik ke atas motor agar lebih cepat pergi begitu pelanggan datang. Tak lama, kok motor terasa lebih berat. Sandy juga merasakan sentuhan di pundaknya. "Ke Dano, ya..." Suara seorang wanita terdengar menyebutkan satu daerah di kampungnya. "Siap, Neng!" Sandy menjawab dengan penuh semangat. Motor pun melaju pergi meninggalkan pangkalan. Suasana hampir tengah malam itu terasa dingin. Sandy yang mengenakan jaket saja masih bisa merasakan dinginnya. Pemuda itu tiba-tiba merasa aneh karena penumpangnya nampak santai seperti tidak merasa kedinginan sedikitpun. "Neng, nggak kedinginan?" Sandy yang kepo pun bertanya. "Enggak, 'kan ada Abang Sandy," jawab si penumpang wanita. Sandy merasa sedang digombali oleh penumpangnya pun tersenyum canggung. "Ah, si Neng bisa aja. Dari mana aja atuh Neng, jam segini baru pulang? Kerja shift dua, ya?" tanya Sandy lagi. "Enggak, kok. Saya memang sengaja nyari Abang Sandy karena tiba-tiba pulang dari rumah sakit," jawab wanita itu. Kening Sandy pun berkerut. "Rumah sakit? Kok bisa orang dari rumah sakit nungguin saya?" tanya Sandy penasaran. "Bisa atuh, Bang. 'Kan kita pernah ketemu malam itu, ingat saat Abang sampai ngompol di celana?" Kali ini suara si wanita berubah. Lebih datar dan sangat mendayu berbeda dengan suara wanita pada umumnya. Sandy mengingat suara itu, suara yang mirip sekali dengan suster berdarah yang ia lihat di rumah sakit. Mengingat itu, perut Sandy pun mules seketika. Laju motor mulai oleng dan Sandy sudah merengut hampir menangis.Sandy semakin ketar-ketir ketika hidungnya mencium bau anyir khas darah. Dia tahu kalau penumpangnya sudah berubah menjadi hantu menyeramkan sama seperti yang ia lihat di rumah sakit. "Abang mau baca surah An-Nas lagi , enggak?" Hantu suster berdarah itu bertanya dengan nada mengejek. Sandy biasanya akan mudah terprovokasi, tetapi kali ini nyali untuk adu bacot sudah menghilang dan tergantikan dengan rasa takut yang luar biasa. "T-tolong jangan gangguin saya," ucap Sandy tergagap. "Aku enggak mau ganggu, kok. Aku cuma mau diantar pulang ke rumah," jawab hantu wanita. "Saya nggak kenal kamu, saya nggak mau kenal juga. Tolong cari orang lain saja buat nganterin kamu pulang," ucap Sandy masih dengan bibir yang gemetar. "Aku maunya sama Abang Sandy." Hantu wanita melingkarkan kedua tangannya di perut Sandy. Perut Sandy semakin mules merasakan hawa dingin yang menembus jaketnya. "Y-ya udah, di mana makam kamu?" Sandy akhirnya menyerah dan berniat untuk mengantarkan saja hantu itu k
Keesokan harinya, Sandy hanya berbaring di atas sofa berbalutkan selimut bulu. Pria itu langsung demam setelah pulang dari kediaman Dinda semalam. "Ini anak, ampun deh! Dulu pulang subuh kelayapan balap motor. Sekarang disuruh ngojek sampai kebablasan pulang subuh juga. Bingung emak sama kamu, San!" Mak Ijah mengomel ketika datang dengan membawa segelas teh hangat untuk putranya. "Sandy habis nganterin hantu, Mak. Kasihan banget loh, Mak. Dia dibunuh tetangganya sendiri sampai tiga tahun jasadnya belum ditemukan," Sandy bercerita. "Makin ngaco aja omongan kamu ini, Nak. Ini pasti gara-gara kepala kamu yang terbentur pas kecelakaan itu." Mak Ijah geleng-geleng kepala. "Sandy nggak ngaco, Mak! Coba aja pantau berita hari ini, pasti kasus Dinda di-up lagi." Sandy berdecak karena ibunya tak mempercayai dirinya. Siapa pula yang mau percaya jika Sandybercerita sesantai itu? Mak Ijah menghembuskan napas panjang. "Sudah lah, minum saja ini, habis itu sarapan. Emak sudah buatkan bubur bua
Wanita itu terus muncul di beberapa kesempatan. Pandangannya selalu tertuju pada Sandy . Sandy juga sebenarnya selalu melihat wanita itu, tetapi dia tidak berbuat apa-apa, bahkan sekadar bertanya pun tidak dia lakukan.Sandy yang over percaya diri itu malah menduga bahwa wanita itu naksir padanya. Itulah sebabnya dia tidak mau merespon. Pacarnya sudah ada empat dan Sandy tidak mau menambah lagi, begitu pikirnya.Malam harinya, Sandy masih berada di pangkalan ojek. Dia sedang menunggu Kirana menghubunginya. Pria itu bergidik begitu angin malam berhembus. Meskipun pernah menjadi anak motor, tetapi sebenarnya Sandy cukup lemah bila terkena angin malam."Gila, cepat banget malam tiba. Perasaan tadi langit masih terang," gumam Sandy sembari menggosokkan kedua tangannya."Yang lain pada ke mana, sih? Kok nggak ada yang balik lagi sejak tadi?" Sandy bertanya-tanya karena rekan sesama tukang ojek belum kembali ke pangkalan. Padahal seingatnya, tujuan pelanggan mereka tidak jauh-jauh d
Sandy mengemudikan motornya dengan kecepatan sedang malam itu. Di belakangnya, pocong Aisyah nampak terus berbicara."Kenapa Abang Sandy pulang lagi? Padahal tadi Abang Sandy sudah lihat bapaknya Aisyah!" Pocong itu bertanya dengan nada manja bak remaja perempuan.Sandy hanya mendengarkan tanpa mau menjawab pertanyaan tersebut. Kenapa? Sudah jelas karena dia banyak berpapasan dengan pengendara lain di jalan. Sandy tidak mau dianggap gila karena berbicara sendiri, secara pocong Aisyah sudah pasti tidak terlihat kala itu.Ketika motor tiba di rumah, barulah Sandy berbicara. "Jangan ngajak aku bicara di jalan, nanti aja kalau aku sendirian," ucapnya.Pocong Aisyah menganggukkan kepalanya. Lantas dia mengikuti Sandy yang berjalan mendekati pintu masuk rumahnya."Assalamualaikum," ucap Sandy seraya mengetuk pintu."Mak? Sandy pulang!" seru Sandy setelah beberapa saat tak terdengar jawaban dari dalam rumahnya.Tak mau lama menunggu karena mengira ibunya sudah tertidur, Sandy pun merogoh sa
Beberapa hari setelah memulangkan pocong Aisyah ke rumah aslinya, Sandy kini bisa bernapas lega setelah beberapa kali harus melayani hantu sebagai penumpang ojeknya. Selama ini dia selalu merasa ketakutan dan cemas, tapi kini dia bisa kembali merasakan kebebasan dan ketenangan saat beraktivitas. Beban pikirannya terasa ringan karena tidak lagi merasa terintimidasi oleh wajah seram dan kasus para makhluk halus yang sering meminta bantuan padanya.Kehidupan pribadinya pun kembali normal, di mana dia bisa kembali menjalin hubungan dengan keempat pacarnya. Terutama Kirana, pacar pertamanya yang masih merajuk karena Sandy menolak mengantarnya bekerja beberapa waktu lalu. Sandy sadar bahwa dia harus segera meluruskan perasaan Kirana agar hubungan mereka kembali harmonis tanpa banyak drama.Di suatu Minggu pagi yang cerah, Sandy sudah mendapatkan panggilan telepon dari Rahayu, pacar keduanya. Wanita itu menelpon hanya untuk menyapa serta memberitahukan bahwa dia sudah hampir sampai ke rumah
Sandy duduk bersila sambil mendengarkan si hantu basah bercerita. Dari penuturannya, hantu itu merupakan seorang remaja berusia 15 tahun bernama Syarif yang tewas tenggelam di sungai yang jaraknya cukup dekat dengan kampung Sandy. Sandy nampak heran karena sebenarnya sungai itu tidaklah dalam, rasanya tidak mungkin ada orang meninggal tenggelam di sana."Kamu nggak meninggal tenggelam, 'kan?" tanya Sandy seraya menatap lekat lawan bicaranya.Syarif si hantu basah nampak bingung bagaimana menjelaskannya. "Kematian saya memang karena tenggelam, Kak. Tapi sebelumnya saya memang sempat pingsan dulu," jawabnya."Pingsan kenapa? Karena kalau tenggelam sangat tidak mungkin. Sungai itu mah dalamnya juga cuma selutut aku doang," kata Sandy.Syarif menganggukkan kepalanya. "Seingat saya, saya sedang dalam perjalanan pulang selepas main malam itu. Saya nggak tahu penyebab pastinya apa, tapi motor yang kami tumpangi tiba-tiba ditendang dari samping sampai kami jatuh bersamaan. Teman saya langsung
Tubuh Sandy melayang di udara dan jatuh dengan keras ke atas aspal jalan. Sebelumnya, pria 22 tahun itu tengah mengikuti balap liar yang biasa diadakan oleh pemuda-pemuda yang mengaku sebagai geng motor. Sialnya, Sandy justru bertabrakan dengan pembalap lain yang melaju berlawanan arah. Sandy masih sadar saat itu, dia juga bisa melihat orang-orang berlarian ke arahnya. Namun, fokusnya hanya tertuju pada seorang wanita yang berdiri di pinggir jalan sembari menatap ke arahnya. Sandy bertanya-tanya, siapakah wanita itu? Belum sempat pertanyaan yang berputar di benaknya terjawab, Sandy sudah keburu diangkat oleh rekannya dan dibawa pergi. Ketika membuka mata, Sandy telah berbaring di ranjang perawatan. Tangannya diinfus dan kepalanya juga diperban. Sandy celingukan seperti orang bingung karena hanya dia seorang yang ada di ruangan itu. Oh, salah. Sandy ersenyum ketika melihat pergerakan di ranjang depan. Dia tidak sendiri. Meski ranjang perawatan itu ditutup tirai, tetapi Sandy bisa m
Sandy duduk bersila sambil mendengarkan si hantu basah bercerita. Dari penuturannya, hantu itu merupakan seorang remaja berusia 15 tahun bernama Syarif yang tewas tenggelam di sungai yang jaraknya cukup dekat dengan kampung Sandy. Sandy nampak heran karena sebenarnya sungai itu tidaklah dalam, rasanya tidak mungkin ada orang meninggal tenggelam di sana."Kamu nggak meninggal tenggelam, 'kan?" tanya Sandy seraya menatap lekat lawan bicaranya.Syarif si hantu basah nampak bingung bagaimana menjelaskannya. "Kematian saya memang karena tenggelam, Kak. Tapi sebelumnya saya memang sempat pingsan dulu," jawabnya."Pingsan kenapa? Karena kalau tenggelam sangat tidak mungkin. Sungai itu mah dalamnya juga cuma selutut aku doang," kata Sandy.Syarif menganggukkan kepalanya. "Seingat saya, saya sedang dalam perjalanan pulang selepas main malam itu. Saya nggak tahu penyebab pastinya apa, tapi motor yang kami tumpangi tiba-tiba ditendang dari samping sampai kami jatuh bersamaan. Teman saya langsung
Beberapa hari setelah memulangkan pocong Aisyah ke rumah aslinya, Sandy kini bisa bernapas lega setelah beberapa kali harus melayani hantu sebagai penumpang ojeknya. Selama ini dia selalu merasa ketakutan dan cemas, tapi kini dia bisa kembali merasakan kebebasan dan ketenangan saat beraktivitas. Beban pikirannya terasa ringan karena tidak lagi merasa terintimidasi oleh wajah seram dan kasus para makhluk halus yang sering meminta bantuan padanya.Kehidupan pribadinya pun kembali normal, di mana dia bisa kembali menjalin hubungan dengan keempat pacarnya. Terutama Kirana, pacar pertamanya yang masih merajuk karena Sandy menolak mengantarnya bekerja beberapa waktu lalu. Sandy sadar bahwa dia harus segera meluruskan perasaan Kirana agar hubungan mereka kembali harmonis tanpa banyak drama.Di suatu Minggu pagi yang cerah, Sandy sudah mendapatkan panggilan telepon dari Rahayu, pacar keduanya. Wanita itu menelpon hanya untuk menyapa serta memberitahukan bahwa dia sudah hampir sampai ke rumah
Sandy mengemudikan motornya dengan kecepatan sedang malam itu. Di belakangnya, pocong Aisyah nampak terus berbicara."Kenapa Abang Sandy pulang lagi? Padahal tadi Abang Sandy sudah lihat bapaknya Aisyah!" Pocong itu bertanya dengan nada manja bak remaja perempuan.Sandy hanya mendengarkan tanpa mau menjawab pertanyaan tersebut. Kenapa? Sudah jelas karena dia banyak berpapasan dengan pengendara lain di jalan. Sandy tidak mau dianggap gila karena berbicara sendiri, secara pocong Aisyah sudah pasti tidak terlihat kala itu.Ketika motor tiba di rumah, barulah Sandy berbicara. "Jangan ngajak aku bicara di jalan, nanti aja kalau aku sendirian," ucapnya.Pocong Aisyah menganggukkan kepalanya. Lantas dia mengikuti Sandy yang berjalan mendekati pintu masuk rumahnya."Assalamualaikum," ucap Sandy seraya mengetuk pintu."Mak? Sandy pulang!" seru Sandy setelah beberapa saat tak terdengar jawaban dari dalam rumahnya.Tak mau lama menunggu karena mengira ibunya sudah tertidur, Sandy pun merogoh sa
Wanita itu terus muncul di beberapa kesempatan. Pandangannya selalu tertuju pada Sandy . Sandy juga sebenarnya selalu melihat wanita itu, tetapi dia tidak berbuat apa-apa, bahkan sekadar bertanya pun tidak dia lakukan.Sandy yang over percaya diri itu malah menduga bahwa wanita itu naksir padanya. Itulah sebabnya dia tidak mau merespon. Pacarnya sudah ada empat dan Sandy tidak mau menambah lagi, begitu pikirnya.Malam harinya, Sandy masih berada di pangkalan ojek. Dia sedang menunggu Kirana menghubunginya. Pria itu bergidik begitu angin malam berhembus. Meskipun pernah menjadi anak motor, tetapi sebenarnya Sandy cukup lemah bila terkena angin malam."Gila, cepat banget malam tiba. Perasaan tadi langit masih terang," gumam Sandy sembari menggosokkan kedua tangannya."Yang lain pada ke mana, sih? Kok nggak ada yang balik lagi sejak tadi?" Sandy bertanya-tanya karena rekan sesama tukang ojek belum kembali ke pangkalan. Padahal seingatnya, tujuan pelanggan mereka tidak jauh-jauh d
Keesokan harinya, Sandy hanya berbaring di atas sofa berbalutkan selimut bulu. Pria itu langsung demam setelah pulang dari kediaman Dinda semalam. "Ini anak, ampun deh! Dulu pulang subuh kelayapan balap motor. Sekarang disuruh ngojek sampai kebablasan pulang subuh juga. Bingung emak sama kamu, San!" Mak Ijah mengomel ketika datang dengan membawa segelas teh hangat untuk putranya. "Sandy habis nganterin hantu, Mak. Kasihan banget loh, Mak. Dia dibunuh tetangganya sendiri sampai tiga tahun jasadnya belum ditemukan," Sandy bercerita. "Makin ngaco aja omongan kamu ini, Nak. Ini pasti gara-gara kepala kamu yang terbentur pas kecelakaan itu." Mak Ijah geleng-geleng kepala. "Sandy nggak ngaco, Mak! Coba aja pantau berita hari ini, pasti kasus Dinda di-up lagi." Sandy berdecak karena ibunya tak mempercayai dirinya. Siapa pula yang mau percaya jika Sandybercerita sesantai itu? Mak Ijah menghembuskan napas panjang. "Sudah lah, minum saja ini, habis itu sarapan. Emak sudah buatkan bubur bua
Sandy semakin ketar-ketir ketika hidungnya mencium bau anyir khas darah. Dia tahu kalau penumpangnya sudah berubah menjadi hantu menyeramkan sama seperti yang ia lihat di rumah sakit. "Abang mau baca surah An-Nas lagi , enggak?" Hantu suster berdarah itu bertanya dengan nada mengejek. Sandy biasanya akan mudah terprovokasi, tetapi kali ini nyali untuk adu bacot sudah menghilang dan tergantikan dengan rasa takut yang luar biasa. "T-tolong jangan gangguin saya," ucap Sandy tergagap. "Aku enggak mau ganggu, kok. Aku cuma mau diantar pulang ke rumah," jawab hantu wanita. "Saya nggak kenal kamu, saya nggak mau kenal juga. Tolong cari orang lain saja buat nganterin kamu pulang," ucap Sandy masih dengan bibir yang gemetar. "Aku maunya sama Abang Sandy." Hantu wanita melingkarkan kedua tangannya di perut Sandy. Perut Sandy semakin mules merasakan hawa dingin yang menembus jaketnya. "Y-ya udah, di mana makam kamu?" Sandy akhirnya menyerah dan berniat untuk mengantarkan saja hantu itu k
Hari berikutnya, Sandy sudah diperkenankan pulang dari rumah sakit. Seperti biasa Mak Ijah akan menjemput anak itu dengan sepeda motor matic miliknya. Jujur saja selama Mak Ijah mengurus berkas kepulangan, Sandy terus mengekor di belakang ibunya karena dia terus mendengar seseorang memanggil namanya.Sandy yakin kalau suara itu milik suster berdarah yang mengganggunya beberapa hari kemarin. Karena terus berada di samping ibunya, Sandy pun tidak melihat hantu itu lagi. Pada akhirnya dia berhasil pulang ke rumah.Hal yang tak disangka-sangka, kepulangan Sandy disambut dengan adanya empat wanita yang berdiri di teras rumahnya. Keempat wanita itu langsung tersenyum begitu melihat Sandy datang."Sayangku.""Ayang!""Sayang.""Sandy."Keempat wanita itu menyapa dengan sebutan yang berbeda-beda. Sandy yang mendengarnya hanya bisa menelan ludah karena sekarang dia dihadapkan dengan masalah baru.Lain lagi dengan Mak Ijah yang nampak biasa saja, wanita itu justru cengengesan sendiri. "Makan tu
Tubuh Sandy melayang di udara dan jatuh dengan keras ke atas aspal jalan. Sebelumnya, pria 22 tahun itu tengah mengikuti balap liar yang biasa diadakan oleh pemuda-pemuda yang mengaku sebagai geng motor. Sialnya, Sandy justru bertabrakan dengan pembalap lain yang melaju berlawanan arah. Sandy masih sadar saat itu, dia juga bisa melihat orang-orang berlarian ke arahnya. Namun, fokusnya hanya tertuju pada seorang wanita yang berdiri di pinggir jalan sembari menatap ke arahnya. Sandy bertanya-tanya, siapakah wanita itu? Belum sempat pertanyaan yang berputar di benaknya terjawab, Sandy sudah keburu diangkat oleh rekannya dan dibawa pergi. Ketika membuka mata, Sandy telah berbaring di ranjang perawatan. Tangannya diinfus dan kepalanya juga diperban. Sandy celingukan seperti orang bingung karena hanya dia seorang yang ada di ruangan itu. Oh, salah. Sandy ersenyum ketika melihat pergerakan di ranjang depan. Dia tidak sendiri. Meski ranjang perawatan itu ditutup tirai, tetapi Sandy bisa m