Sandy semakin ketar-ketir ketika hidungnya mencium bau anyir khas darah. Dia tahu kalau penumpangnya sudah berubah menjadi hantu menyeramkan sama seperti yang ia lihat di rumah sakit.
"Abang mau baca surah An-Nas lagi , enggak?" Hantu suster berdarah itu bertanya dengan nada mengejek. Sandy biasanya akan mudah terprovokasi, tetapi kali ini nyali untuk adu bacot sudah menghilang dan tergantikan dengan rasa takut yang luar biasa. "T-tolong jangan gangguin saya," ucap Sandy tergagap. "Aku enggak mau ganggu, kok. Aku cuma mau diantar pulang ke rumah," jawab hantu wanita. "Saya nggak kenal kamu, saya nggak mau kenal juga. Tolong cari orang lain saja buat nganterin kamu pulang," ucap Sandy masih dengan bibir yang gemetar. "Aku maunya sama Abang Sandy." Hantu wanita melingkarkan kedua tangannya di perut Sandy. Perut Sandy semakin mules merasakan hawa dingin yang menembus jaketnya. "Y-ya udah, di mana makam kamu?" Sandy akhirnya menyerah dan berniat untuk mengantarkan saja hantu itu ke rumahnya. "Aku pun tak tahu di mana makamku, tapi kalau rumah... rumahku ada di ujung Dano, rumah kedua setelah jembatan." Hantu wanita menjelaskan. Sandy dibuat heran dengan perkataan si hantu suster berdarah. Bagaimana ceritanya hantu tak tahu di mana makamnya? "Maksudnya gimana? Kamu mau diantar ke rumah?" tanya Sandy meminta kepastian. "Iya," Hantu wanita menjawab sembari mengangguk. Tanpa basa-basi lagi, Sandy pun memacu motornya ke tempat yang disebutkan oleh si hantu wanita. Sandy juga sedikit merenung memikirkan satu kasus yang sempat booming hingga ke kampungnya. Tiga tahun lalu, ada berita tentang satu keluarga yang kehilangan anak gadisnya. Kalau tidak salah, anak gadis itu bekerja di rumah sakit. Berita itu sempat membuat Mak Ijah menjadi over protective dan melarang Sandy untuk ke luar malam karena takut anaknya hilang juga. "Kamu yang masuk berita karena hilang itu, ya?" Sandy memberanikan diri untuk bertanya. "Kok, Abang Sandy tahu?" Si hantu wanita balik bertanya. Dari suaranya, dia terdengar sangat antusias. "Pernah dengar beritanya," jawab Sandy singkat. "Iya! Aku yang hilang waktu itu. Sebenarnya aku sudah mati dibunuh teman kerja karena masalah percintaan. Abang tahu? Dinda dibanting ke lantai dan perut Dinda diinjak-injak kencang sekali. Dinda sempat muntah dan meminta agar Bang Ilham berhenti, tapi suara Dinda tidak didengar. Bang Ilham terus memukuli Dinda sampai berdarah-darah." "Dinda masih hidup saat itu, tapi Bang Ilham kemudian membawa Dinda ke basemen dan menyimpan Dinda di satu gudang yang tidak terpakai. Dinda mati beberapa jam setelahnya." Sandy merinding mendengar penuturan hantu bernama Dinda yang menceritakan kematiannya. "S-saya turut berdukacita," ucap Sandy. "Dinda mau pulang, itulah sebabnya Dinda minta diantar oleh Abang Sandy." "Kenapa harus saya? Bukannya banyak tukang ojek lainnya?" Sandy bertanya-tanya. "Mereka nggak bisa lihat Dinda." Jawaban singkat dari Dinda membuat Sandy terdiam. Dia pun tidak lagi berkata-kata hingga motornya melintas di jembatan, itu artinya, rumah Dinda sudah dekat. "Bener ini rumahnya, Din?" Sandy bertanya setelah motor berhenti di rumah kedua setelah jembatan. Sandy juga memanggil hantu itu dengan sebutan yang lebih akrab, padahal sebelumnya dia ketakutan setengah mati. "Benar, itu rumah Bapak Ruslan. Bapakku," jawab Dinda. Sekarang Sandy merasakan jok motornya menjadi ringan. Dia pun terkesiap kaget saat melihat Dinda sudah berada di depannya. Bajunya merah karena darah yang masih menetes, rambutnya acak-acakan dan Dinda hanya mengenakan sebelah sepatu saja. Sandy pun turun dan berjalan ke dekat Dinda. "Saya bantu, ya?" tanyanya dengan serius. Sekarang Sandy tidak takut lagi pada Dinda, Sandy justru kasihan dan melihat Dinda sebagai seorang anak yang ingin pulang kepada orang tuanya. Setelah memantapkan hati, Sandy pun melangkah mendekat ke arah pintu rumah dan mengetuknya tiga kali. "Assalamualaikum," ucap Sandy. Beberapa saat kemudian, Sandy melihat pergerakan dari dalam rumah. Gorden jendela disingkap oleh seorang pria dan Sandy pun memasang senyumannya. Pintu kayu pun terbuka menampakkan pria paruh baya dan seorang wanita berkerudung di belakangnya. "Waalaikumussalam, adek ini siapa, ya?" tanya pria itu. Pastilah heran melihat ada anak muda bertamu malam-malam begitu. "Nama saya Sandy, Pak. Apakah benar ini adalah rumahnya Pak Ruslan?" jawab Sandy. Pria itu pun mengangguk dengan perasaan heran. "Benar, saya sendiri." Sandy menghembuskan napas lega karena tidak salah alamat. Dia pun melirik ke arah Dinda dan tersenyum padanya. "Begini, Pak. Saya datang kemari untuk mengantarkan Dinda pulang," ucap Sandy. Ucapan itu membuat wajah sepasang suami istri di depan Sandy menampakkan keterkejutan luar biasa. Pak Ruslan berjalan mendekat dan memegangi kedua bahu Sandy dengan erat. Begitupun dengan Bu Ruslan, wanita itu sudah menangis saja. "Di mana? Di mana Dinda anak saya?" Pak Ruslan bertanya dengan suara bergetar. Sandy jadi berkaca-kaca melihat kerinduan di mata pria paruh baya di depannya. "Dinda ada di sini, Pak. Dinda sudah meninggal katanya." Sandy mengarahkan tangannya ke tempat di mana Dinda berada. "Jangan bercanda kamu! Tidak ada siapa-siapa di sana dan anak saya tidak mungkin meninggal!" Pak Ruslan menyangkal dengan suara yang mulai meninggi. "Dinda yang bilang, Pak," ucap Sandy. Sandy pun menceritakan apa yang tadi dikatakan oleh Dinda di jalan. Agar keluarga Pak Ruslan percaya, Sandy juga mengatakan tentang Dinda yang selalu dibangunkan pagi-pagi oleh Pak Ruslan dengan cara dicium pipinya. Mendengar itu, Bu Ruslan merosot ke lantai dan mulai menangis tergugu. Pak Ruslan juga menangis meski tak sehisteris tangisan istrinya. Tak lama, Pak Ruslan berjalan cepat ke rumah tetangganya. Pria itu menggedor pintu sembari berteriak-teriak penuh kemarahan. "Ke luar kamu Ilham!" "Ke luar kau pembunuh!" Pintu rumah terbuka dan Ilham muncul bersama ayah dan ibunya. Mereka jelas membantah tudingan Pak Ruslan. Suara teriakan Pak Ruslan pun membuat warga lain terbangun dan berbondong-bondong menghampiri. "Ada apa ini, Pak? Kenapa teriak-teriak tengah malam begini?" tanya Pak RT. "Ilham, dia yang membunuh putri saya. Dia membunuh Dinda dan menyimpan mayatnya di gudang rumah sakit," ucap Pak Ruslan menggebu-gebu. "Bohong, Pak. Saya sama sekali tidak terlibat atas meninggalnya Dinda," sahut Ilham. "Jangan asal nuduh, Pak! Bisa jadi fitnah, lagian siapa yang bilang, Pak?" Pak RT berusaha menenangkan. Warga lain juga sependapat dengan Pak RT. Ilham sendiri bahkan terus mengelak dengan tuduhan yang dilayangkan kepadanya, pria itu dengan tega menuduh Pak Ruslan sakit jiwa karena kehilangan anaknya. "Ini, Nak Sandy yang bilang. Dia membawa Dinda pulang dan mengatakan apa yang terjadi pada Dinda. Saya percaya padanya," ucap Pak Ruslan sembari menggandeng lengan Sandy. "Benar sekali, saya diminta Dinda untuk mengantarkannya pulang," ucap Sandy. Saat itu dia merasa deg-degan karena takut warga tak akan percaya dan nantinya akan mengeroyok dirinya karena menyebarkan fitnah. Namun, Sandy dikuatkan oleh Dinda. "Dinda bilang kalau Ilham mengambil cincinnya, dan cincin itu bisa terlihat ada di jari kelingking Ilham sendiri." "Ngarang! Aku tidak terlibat dalam kasus kematian Dinda. Dari mana kamu tahu? Jangan mengada-ada, ya! Kamu bisa dipenjara sudah menuduh tanpa bukti!" sentak Ilham. "Saya nggak bohong, kok. Lagian dari mana kamu tau kalau Dinda meninggal? Padahal keluarga Dinda hanya menganggap anaknya hilang, bukan meninggal!" sahut Sandy. Ilham gelagapan. "Bapak-bapak coba lihat cincin yang dipakai oleh Ilham, di dalam cincin itu ada inisial nama Dinda dan Imran. Cincin itu diambil dari tangan Dinda setelah Ilham membunuhnya." Sandy menjelaskan. Perkataan Sandy membuat Ilham tak bisa mengelak lagi, pria itu nyaris kabur jika tidak ditahan oleh warga yang lain. Bahkan Imran juga turut hadir dan mengambil cincin di kelingking pria itu. "Benar, ini cincin yang aku beli untuk Dinda. Kami membelinya satu pasang waktu itu." Imran menyamakan cincin milik Dinda dengan cincin yang tersemat di jarinya. Sepasang cincin murah yang dibeli di pasar malam bertuliskan inisial nama mereka. Malam itu juga, beberapa warga pergi ke kantor polisi untuk melaporkan kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Ilham. Sandy sendiri masih berada di rumah Dinda dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepadanya. "Dinda, tugas saya sudah selesai. Sekarang saya mau pulang, ya?" ucap Sandy seraya melirik ke arah Dinda. Keluarga Pak Ruslan dan tetangga sampai terbengong-bengong melihat Sandy yang berbicara sendiri. Meski Pak Ruslan percaya pada Sandy, tetapi tetap saja adegan bicara sendiri itu terlihat aneh. "Apa ada yang mau kamu sampaikan lagi?" Sandy bertanya. "Ada apa, Nak Sandy? Apa anak saya mau bilang sesuatu?" tanya Bu Ruslan. Sandy mengangguk. "Katanya begitu," jawabnya. Sandy pun melirik ke arah Dinda lagi untuk memastikan. Namun, Sandy menjadi kikuk setelah mendengar perkataan Dinda. Sandy pun menggelengkan kepalanya. "Gak usah, saya ikhlas," ucap Sandy. "Kenapa, Nak?" Pak Ruslan menyentuh pundak Sandy. Sandy terdiam sejenak dan kemudian tersenyum canggung. "Dinda minta tolong supaya bapak bayarin ongkos ojek," ucap Sandy. Pak Ruslan pun buru-buru beranjak pergi ke kamarnya dan kembali dengan membawa dompetnya. Dia mengeluarkan seluruh uang yang ada di sana dan menyerahkannya pada Sandy. "Ambil, Nak. Bapak akan berikan lagi besok sebagai ucapan terimakasih," ucap Pak Ruslan. Sandy mengambil selembar uang dua puluh ribuan. "Ongkos dari pangkalan kemari hanya segini, Pak. Iky ambil sesuai aturannya." "Saya turut berdukacita. Mudah-mudahan Dinda bisa tenang setelah ini," ucap Sandy. Tak lama setelah itu, Sandy pulang ke rumahnya. Pria itu menempuh perjalanan pulang sembari berderai air mata. Dia merasa sedih atas nasib Dinda yang begitu tragis.Keesokan harinya, Sandy hanya berbaring di atas sofa berbalutkan selimut bulu. Pria itu langsung demam setelah pulang dari kediaman Dinda semalam. "Ini anak, ampun deh! Dulu pulang subuh kelayapan balap motor. Sekarang disuruh ngojek sampai kebablasan pulang subuh juga. Bingung emak sama kamu, San!" Mak Ijah mengomel ketika datang dengan membawa segelas teh hangat untuk putranya. "Sandy habis nganterin hantu, Mak. Kasihan banget loh, Mak. Dia dibunuh tetangganya sendiri sampai tiga tahun jasadnya belum ditemukan," Sandy bercerita. "Makin ngaco aja omongan kamu ini, Nak. Ini pasti gara-gara kepala kamu yang terbentur pas kecelakaan itu." Mak Ijah geleng-geleng kepala. "Sandy nggak ngaco, Mak! Coba aja pantau berita hari ini, pasti kasus Dinda di-up lagi." Sandy berdecak karena ibunya tak mempercayai dirinya. Siapa pula yang mau percaya jika Sandybercerita sesantai itu? Mak Ijah menghembuskan napas panjang. "Sudah lah, minum saja ini, habis itu sarapan. Emak sudah buatkan bubur bua
Wanita itu terus muncul di beberapa kesempatan. Pandangannya selalu tertuju pada Sandy . Sandy juga sebenarnya selalu melihat wanita itu, tetapi dia tidak berbuat apa-apa, bahkan sekadar bertanya pun tidak dia lakukan.Sandy yang over percaya diri itu malah menduga bahwa wanita itu naksir padanya. Itulah sebabnya dia tidak mau merespon. Pacarnya sudah ada empat dan Sandy tidak mau menambah lagi, begitu pikirnya.Malam harinya, Sandy masih berada di pangkalan ojek. Dia sedang menunggu Kirana menghubunginya. Pria itu bergidik begitu angin malam berhembus. Meskipun pernah menjadi anak motor, tetapi sebenarnya Sandy cukup lemah bila terkena angin malam."Gila, cepat banget malam tiba. Perasaan tadi langit masih terang," gumam Sandy sembari menggosokkan kedua tangannya."Yang lain pada ke mana, sih? Kok nggak ada yang balik lagi sejak tadi?" Sandy bertanya-tanya karena rekan sesama tukang ojek belum kembali ke pangkalan. Padahal seingatnya, tujuan pelanggan mereka tidak jauh-jauh d
Sandy mengemudikan motornya dengan kecepatan sedang malam itu. Di belakangnya, pocong Aisyah nampak terus berbicara."Kenapa Abang Sandy pulang lagi? Padahal tadi Abang Sandy sudah lihat bapaknya Aisyah!" Pocong itu bertanya dengan nada manja bak remaja perempuan.Sandy hanya mendengarkan tanpa mau menjawab pertanyaan tersebut. Kenapa? Sudah jelas karena dia banyak berpapasan dengan pengendara lain di jalan. Sandy tidak mau dianggap gila karena berbicara sendiri, secara pocong Aisyah sudah pasti tidak terlihat kala itu.Ketika motor tiba di rumah, barulah Sandy berbicara. "Jangan ngajak aku bicara di jalan, nanti aja kalau aku sendirian," ucapnya.Pocong Aisyah menganggukkan kepalanya. Lantas dia mengikuti Sandy yang berjalan mendekati pintu masuk rumahnya."Assalamualaikum," ucap Sandy seraya mengetuk pintu."Mak? Sandy pulang!" seru Sandy setelah beberapa saat tak terdengar jawaban dari dalam rumahnya.Tak mau lama menunggu karena mengira ibunya sudah tertidur, Sandy pun merogoh sa
Beberapa hari setelah memulangkan pocong Aisyah ke rumah aslinya, Sandy kini bisa bernapas lega setelah beberapa kali harus melayani hantu sebagai penumpang ojeknya. Selama ini dia selalu merasa ketakutan dan cemas, tapi kini dia bisa kembali merasakan kebebasan dan ketenangan saat beraktivitas. Beban pikirannya terasa ringan karena tidak lagi merasa terintimidasi oleh wajah seram dan kasus para makhluk halus yang sering meminta bantuan padanya.Kehidupan pribadinya pun kembali normal, di mana dia bisa kembali menjalin hubungan dengan keempat pacarnya. Terutama Kirana, pacar pertamanya yang masih merajuk karena Sandy menolak mengantarnya bekerja beberapa waktu lalu. Sandy sadar bahwa dia harus segera meluruskan perasaan Kirana agar hubungan mereka kembali harmonis tanpa banyak drama.Di suatu Minggu pagi yang cerah, Sandy sudah mendapatkan panggilan telepon dari Rahayu, pacar keduanya. Wanita itu menelpon hanya untuk menyapa serta memberitahukan bahwa dia sudah hampir sampai ke rumah
Sandy duduk bersila sambil mendengarkan si hantu basah bercerita. Dari penuturannya, hantu itu merupakan seorang remaja berusia 15 tahun bernama Syarif yang tewas tenggelam di sungai yang jaraknya cukup dekat dengan kampung Sandy. Sandy nampak heran karena sebenarnya sungai itu tidaklah dalam, rasanya tidak mungkin ada orang meninggal tenggelam di sana."Kamu nggak meninggal tenggelam, 'kan?" tanya Sandy seraya menatap lekat lawan bicaranya.Syarif si hantu basah nampak bingung bagaimana menjelaskannya. "Kematian saya memang karena tenggelam, Kak. Tapi sebelumnya saya memang sempat pingsan dulu," jawabnya."Pingsan kenapa? Karena kalau tenggelam sangat tidak mungkin. Sungai itu mah dalamnya juga cuma selutut aku doang," kata Sandy.Syarif menganggukkan kepalanya. "Seingat saya, saya sedang dalam perjalanan pulang selepas main malam itu. Saya nggak tahu penyebab pastinya apa, tapi motor yang kami tumpangi tiba-tiba ditendang dari samping sampai kami jatuh bersamaan. Teman saya langsung
Tubuh Sandy melayang di udara dan jatuh dengan keras ke atas aspal jalan. Sebelumnya, pria 22 tahun itu tengah mengikuti balap liar yang biasa diadakan oleh pemuda-pemuda yang mengaku sebagai geng motor. Sialnya, Sandy justru bertabrakan dengan pembalap lain yang melaju berlawanan arah. Sandy masih sadar saat itu, dia juga bisa melihat orang-orang berlarian ke arahnya. Namun, fokusnya hanya tertuju pada seorang wanita yang berdiri di pinggir jalan sembari menatap ke arahnya. Sandy bertanya-tanya, siapakah wanita itu? Belum sempat pertanyaan yang berputar di benaknya terjawab, Sandy sudah keburu diangkat oleh rekannya dan dibawa pergi. Ketika membuka mata, Sandy telah berbaring di ranjang perawatan. Tangannya diinfus dan kepalanya juga diperban. Sandy celingukan seperti orang bingung karena hanya dia seorang yang ada di ruangan itu. Oh, salah. Sandy ersenyum ketika melihat pergerakan di ranjang depan. Dia tidak sendiri. Meski ranjang perawatan itu ditutup tirai, tetapi Sandy bisa m
Hari berikutnya, Sandy sudah diperkenankan pulang dari rumah sakit. Seperti biasa Mak Ijah akan menjemput anak itu dengan sepeda motor matic miliknya. Jujur saja selama Mak Ijah mengurus berkas kepulangan, Sandy terus mengekor di belakang ibunya karena dia terus mendengar seseorang memanggil namanya.Sandy yakin kalau suara itu milik suster berdarah yang mengganggunya beberapa hari kemarin. Karena terus berada di samping ibunya, Sandy pun tidak melihat hantu itu lagi. Pada akhirnya dia berhasil pulang ke rumah.Hal yang tak disangka-sangka, kepulangan Sandy disambut dengan adanya empat wanita yang berdiri di teras rumahnya. Keempat wanita itu langsung tersenyum begitu melihat Sandy datang."Sayangku.""Ayang!""Sayang.""Sandy."Keempat wanita itu menyapa dengan sebutan yang berbeda-beda. Sandy yang mendengarnya hanya bisa menelan ludah karena sekarang dia dihadapkan dengan masalah baru.Lain lagi dengan Mak Ijah yang nampak biasa saja, wanita itu justru cengengesan sendiri. "Makan tu
Sandy duduk bersila sambil mendengarkan si hantu basah bercerita. Dari penuturannya, hantu itu merupakan seorang remaja berusia 15 tahun bernama Syarif yang tewas tenggelam di sungai yang jaraknya cukup dekat dengan kampung Sandy. Sandy nampak heran karena sebenarnya sungai itu tidaklah dalam, rasanya tidak mungkin ada orang meninggal tenggelam di sana."Kamu nggak meninggal tenggelam, 'kan?" tanya Sandy seraya menatap lekat lawan bicaranya.Syarif si hantu basah nampak bingung bagaimana menjelaskannya. "Kematian saya memang karena tenggelam, Kak. Tapi sebelumnya saya memang sempat pingsan dulu," jawabnya."Pingsan kenapa? Karena kalau tenggelam sangat tidak mungkin. Sungai itu mah dalamnya juga cuma selutut aku doang," kata Sandy.Syarif menganggukkan kepalanya. "Seingat saya, saya sedang dalam perjalanan pulang selepas main malam itu. Saya nggak tahu penyebab pastinya apa, tapi motor yang kami tumpangi tiba-tiba ditendang dari samping sampai kami jatuh bersamaan. Teman saya langsung
Beberapa hari setelah memulangkan pocong Aisyah ke rumah aslinya, Sandy kini bisa bernapas lega setelah beberapa kali harus melayani hantu sebagai penumpang ojeknya. Selama ini dia selalu merasa ketakutan dan cemas, tapi kini dia bisa kembali merasakan kebebasan dan ketenangan saat beraktivitas. Beban pikirannya terasa ringan karena tidak lagi merasa terintimidasi oleh wajah seram dan kasus para makhluk halus yang sering meminta bantuan padanya.Kehidupan pribadinya pun kembali normal, di mana dia bisa kembali menjalin hubungan dengan keempat pacarnya. Terutama Kirana, pacar pertamanya yang masih merajuk karena Sandy menolak mengantarnya bekerja beberapa waktu lalu. Sandy sadar bahwa dia harus segera meluruskan perasaan Kirana agar hubungan mereka kembali harmonis tanpa banyak drama.Di suatu Minggu pagi yang cerah, Sandy sudah mendapatkan panggilan telepon dari Rahayu, pacar keduanya. Wanita itu menelpon hanya untuk menyapa serta memberitahukan bahwa dia sudah hampir sampai ke rumah
Sandy mengemudikan motornya dengan kecepatan sedang malam itu. Di belakangnya, pocong Aisyah nampak terus berbicara."Kenapa Abang Sandy pulang lagi? Padahal tadi Abang Sandy sudah lihat bapaknya Aisyah!" Pocong itu bertanya dengan nada manja bak remaja perempuan.Sandy hanya mendengarkan tanpa mau menjawab pertanyaan tersebut. Kenapa? Sudah jelas karena dia banyak berpapasan dengan pengendara lain di jalan. Sandy tidak mau dianggap gila karena berbicara sendiri, secara pocong Aisyah sudah pasti tidak terlihat kala itu.Ketika motor tiba di rumah, barulah Sandy berbicara. "Jangan ngajak aku bicara di jalan, nanti aja kalau aku sendirian," ucapnya.Pocong Aisyah menganggukkan kepalanya. Lantas dia mengikuti Sandy yang berjalan mendekati pintu masuk rumahnya."Assalamualaikum," ucap Sandy seraya mengetuk pintu."Mak? Sandy pulang!" seru Sandy setelah beberapa saat tak terdengar jawaban dari dalam rumahnya.Tak mau lama menunggu karena mengira ibunya sudah tertidur, Sandy pun merogoh sa
Wanita itu terus muncul di beberapa kesempatan. Pandangannya selalu tertuju pada Sandy . Sandy juga sebenarnya selalu melihat wanita itu, tetapi dia tidak berbuat apa-apa, bahkan sekadar bertanya pun tidak dia lakukan.Sandy yang over percaya diri itu malah menduga bahwa wanita itu naksir padanya. Itulah sebabnya dia tidak mau merespon. Pacarnya sudah ada empat dan Sandy tidak mau menambah lagi, begitu pikirnya.Malam harinya, Sandy masih berada di pangkalan ojek. Dia sedang menunggu Kirana menghubunginya. Pria itu bergidik begitu angin malam berhembus. Meskipun pernah menjadi anak motor, tetapi sebenarnya Sandy cukup lemah bila terkena angin malam."Gila, cepat banget malam tiba. Perasaan tadi langit masih terang," gumam Sandy sembari menggosokkan kedua tangannya."Yang lain pada ke mana, sih? Kok nggak ada yang balik lagi sejak tadi?" Sandy bertanya-tanya karena rekan sesama tukang ojek belum kembali ke pangkalan. Padahal seingatnya, tujuan pelanggan mereka tidak jauh-jauh d
Keesokan harinya, Sandy hanya berbaring di atas sofa berbalutkan selimut bulu. Pria itu langsung demam setelah pulang dari kediaman Dinda semalam. "Ini anak, ampun deh! Dulu pulang subuh kelayapan balap motor. Sekarang disuruh ngojek sampai kebablasan pulang subuh juga. Bingung emak sama kamu, San!" Mak Ijah mengomel ketika datang dengan membawa segelas teh hangat untuk putranya. "Sandy habis nganterin hantu, Mak. Kasihan banget loh, Mak. Dia dibunuh tetangganya sendiri sampai tiga tahun jasadnya belum ditemukan," Sandy bercerita. "Makin ngaco aja omongan kamu ini, Nak. Ini pasti gara-gara kepala kamu yang terbentur pas kecelakaan itu." Mak Ijah geleng-geleng kepala. "Sandy nggak ngaco, Mak! Coba aja pantau berita hari ini, pasti kasus Dinda di-up lagi." Sandy berdecak karena ibunya tak mempercayai dirinya. Siapa pula yang mau percaya jika Sandybercerita sesantai itu? Mak Ijah menghembuskan napas panjang. "Sudah lah, minum saja ini, habis itu sarapan. Emak sudah buatkan bubur bua
Sandy semakin ketar-ketir ketika hidungnya mencium bau anyir khas darah. Dia tahu kalau penumpangnya sudah berubah menjadi hantu menyeramkan sama seperti yang ia lihat di rumah sakit. "Abang mau baca surah An-Nas lagi , enggak?" Hantu suster berdarah itu bertanya dengan nada mengejek. Sandy biasanya akan mudah terprovokasi, tetapi kali ini nyali untuk adu bacot sudah menghilang dan tergantikan dengan rasa takut yang luar biasa. "T-tolong jangan gangguin saya," ucap Sandy tergagap. "Aku enggak mau ganggu, kok. Aku cuma mau diantar pulang ke rumah," jawab hantu wanita. "Saya nggak kenal kamu, saya nggak mau kenal juga. Tolong cari orang lain saja buat nganterin kamu pulang," ucap Sandy masih dengan bibir yang gemetar. "Aku maunya sama Abang Sandy." Hantu wanita melingkarkan kedua tangannya di perut Sandy. Perut Sandy semakin mules merasakan hawa dingin yang menembus jaketnya. "Y-ya udah, di mana makam kamu?" Sandy akhirnya menyerah dan berniat untuk mengantarkan saja hantu itu k
Hari berikutnya, Sandy sudah diperkenankan pulang dari rumah sakit. Seperti biasa Mak Ijah akan menjemput anak itu dengan sepeda motor matic miliknya. Jujur saja selama Mak Ijah mengurus berkas kepulangan, Sandy terus mengekor di belakang ibunya karena dia terus mendengar seseorang memanggil namanya.Sandy yakin kalau suara itu milik suster berdarah yang mengganggunya beberapa hari kemarin. Karena terus berada di samping ibunya, Sandy pun tidak melihat hantu itu lagi. Pada akhirnya dia berhasil pulang ke rumah.Hal yang tak disangka-sangka, kepulangan Sandy disambut dengan adanya empat wanita yang berdiri di teras rumahnya. Keempat wanita itu langsung tersenyum begitu melihat Sandy datang."Sayangku.""Ayang!""Sayang.""Sandy."Keempat wanita itu menyapa dengan sebutan yang berbeda-beda. Sandy yang mendengarnya hanya bisa menelan ludah karena sekarang dia dihadapkan dengan masalah baru.Lain lagi dengan Mak Ijah yang nampak biasa saja, wanita itu justru cengengesan sendiri. "Makan tu
Tubuh Sandy melayang di udara dan jatuh dengan keras ke atas aspal jalan. Sebelumnya, pria 22 tahun itu tengah mengikuti balap liar yang biasa diadakan oleh pemuda-pemuda yang mengaku sebagai geng motor. Sialnya, Sandy justru bertabrakan dengan pembalap lain yang melaju berlawanan arah. Sandy masih sadar saat itu, dia juga bisa melihat orang-orang berlarian ke arahnya. Namun, fokusnya hanya tertuju pada seorang wanita yang berdiri di pinggir jalan sembari menatap ke arahnya. Sandy bertanya-tanya, siapakah wanita itu? Belum sempat pertanyaan yang berputar di benaknya terjawab, Sandy sudah keburu diangkat oleh rekannya dan dibawa pergi. Ketika membuka mata, Sandy telah berbaring di ranjang perawatan. Tangannya diinfus dan kepalanya juga diperban. Sandy celingukan seperti orang bingung karena hanya dia seorang yang ada di ruangan itu. Oh, salah. Sandy ersenyum ketika melihat pergerakan di ranjang depan. Dia tidak sendiri. Meski ranjang perawatan itu ditutup tirai, tetapi Sandy bisa m