Home / Urban / Old Colony / Chapter 12

Share

Chapter 12

Author: Laksana Juang
last update Last Updated: 2021-07-31 12:25:21

Entah sudah berapa lama aku pingsan. Aku tidak bisa menebak. Dari rasa pegal yang mendera otot lengan dan kakiku menunjukkan aku sudah disekap cukup lama. Kepalaku masih berdenyut-denyut. Terasa seperti ditusuk-tusuk seribu jarum kecil bersamaan. Semoga bukan cidera besar. Namun, agak konyol juga mengharapkan kalau cidera yang aku alami tidak serius, mengingat nasibku ke depannya bisa saja lebih mengkhawatirkan dari itu.

Aku benar-benar tidak menyangka akan berakhir seperti ini. Aku pikir kejadian seperti ini hanya ada dalam film saja. Siapa menyangka kejadian seperti ini malah menimpaku? Dunia memang tidak bisa ditebak. Sejak sadar tadi, aku bisa merasakan jantungku terus berdegub kencang. Aku sudah berusaha menenangkan diri, tetapi membayangkan apa yang mungkin terjadi padaku nanti sungguh membuatku tidak tenang.

Aku makin yakin bahwa pingsan cukup lama karena merasa sangat haus. Sejak tadi aku hanya menelan ludahku sendiri. Akan tetapi, semakin aku melakukan hal itu malah semakin membuatku haus.

Tempatku disekap ini sangat gelap, tetapi tidak pengap. Sirkulasi udaranya cukup baik. Aku tidak kegerahan maupun kedinginan. Namun, menyadari bahwa ada orang yang berbahaya di luar sana yang membawaku ke tempat ini dan sewaktu-waktu bisa muncul dan melakukan hal buruk padaku membuatku susah bernapas.

Mungkin sekarang sudah pagi atau siang atau mungkin sudah lewat satu hari. Sejauh yang aku coba dengar, di luar sepi sekali. Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Mungkin saja Nelson meninggalkanku di sebuah gudang tua atau di suatu tempat yang sangat sepi sampai aku mati. Akan tetapi, gudang tua akan berudara pengap, sedang di sini tidak.

Bayangan tentang bagaimana mayatku ditemukan berkelebat begitu saja. Dalam imajinasiku, tubuhku yang telah membusuk ditemukan segerombolan remaja yang sedang bermain di gedung kosong. Mereka akan menemukan seonggok mayat dengan tangan dan kaki terikat dan mulut dilakban. Mataku mungkin melotot. Tikus-tikus besar keluar masuk dari dalam mulutku yang menganga dan perutku yang berlubang. Sungguh menyeramkan membayangkannya. Remaja-remaja itu akan muntah karena bau busuk mayatku. Oh, mengerikan sekali.

Tiba-tiba aku mendengar suara pintu berdebam. Suaranya betul-betul membuatku terkejut. Jika mulutku tidak dilakban mungkin aku sudah berteriak saking terkejutnya. Akan tetapi, itu artinya pikiranku salah. Aku makin yakin tidak ditempatkan di sebuah gudang tua. Kemungkinan besar aku disekap di dalam ruangan sebuah rumah atau mungkin apartemen seseorang. Atau, mungkin mereka membawaku ke markas mereka.

Suara berdebam itu menunjukkan seseorang tengah marah. Seseorang itu sepertinya keluar dengan kesal atau malah masuk dengan amarah. Pertanyaannya, marah pada siapa? Mungkinkah ia marah padaku? Hal itu tidak menguntungku sama sekali.

Ah ... pikiranku sendiri malah membuatku makin takut.

Aku mendengar langkah-langkah kaki yang menghentak-hentak. Aku mendengar pecakapan. Lalu, lamat-lamat percakapan itu menjadi sebuah pertengkaran. Aku menyimpulkan begitu karena aku mendengar suara-suara yang saling meneriaki satu dengan yang lain. Semakin lama semakin keras. Mungkin mereka bertengkar di depan ruangan tempat aku disekap sehingga suara mereka terdengar sangat jelas.

Aku yakin itu suara Nelson dan Wendy.

“Stop di sana Wendy! Jangan pernah berpikir kau akan mendapatkan pria itu. Ia bukan hakmu!” Itu suara teriakan Nelson. Aku kaget sekali mendengar kalimat itu. Pria yang dimaksud Nelson bisa saja aku. Jika benar begitu, apa maksudnya? Mungkin aku dianggap seonggok harta rampasan perang.

Jawaban dari Wendy tidak terdengar. Namun, tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar. Suara tawa menggelegar itu terdengar serak. Aku tidak yakin suara tawa seperti itu keluar dari seorang wanita. Sangat tidak enak didengar: menyeramkan dan meremehkan lawan bicaranya. Jika aku menilai suasana di luar kamar tempat aku disekap dari suara-suara yang terdengar, sepertinya hanya dua orang saja di luar sana.

“Jangan membuatnya menjadi rumit bagiku, Wendy. Jika hal ini menjadi makin runyam, semuanya salahmu. Kau sudah mendapatkan bagianmu, tapi kau masih ingin lebih. Kau terlalu serakah!” Lagi-lagi aku mendengar teriakan si Tua Nelson. Nada suaranya terdengar sangat emosional, tetapi sekaligus putus asa.

 Apa maksud Nelson dengan terlalu serakah? Apakah mungkin Wendy mengambil keuntungan yang terlalu besar untuk dirinya sendiri? Mungkin saja itu yang terjadi. Aku makin yakin jika Wendy, Nelson, dan Nyonya Borden berada dalam satu kelompok. Mungkin Nelson memang benar-benar bekerja di apartemen ini. Tugas pria tua itu adalah memastikan unit-unit kosong bisa ditempati dan mengawasi orang-orang yang menempatinya. Lalu, Nyonya Borden bertugas menawarkan unit-unit kosong itu pada orang-orang tanpa sepengetahuan pengelola resmi. Mendengar percapakan mereka, aku yakin mereka ini semacam sindikat. Mungkin wanita bernama Wendy itu meminta jatah lebih banyak. Hal-hal seperti ini biasa terjadi dalam sebuah kelompok ketika salah satu anggotanya tiba-tiba menjadi lebih rakus dari yang lain.

Sepertinya gadis itu memang benar bernama Wendy. Wendy bukan nama seorang nenek melainkan cucu dari seorang nenek. Atau mungkin perempuan tua di samping apartemenku adalah bagian dari kamuflase atau hal-hal yang mereka persiapkan. Mungkin aku sekarang disekap di dalam unit Wendy. Jika benar, ada kemungkinan Yui mendengar suara keributan mereka. Aku berharap hal itulah yang terjadi.

Aku cukup senang—tidak juga sebenarnya—hanya mendengar dua suara orang bertengkar saja. Akan lebih rumit jika aku mendengar banyak suara karena itu artinya mereka memiliki kawanan yang lebih banyak.

“Aku berhak. Akulah yang memiliki semua ini. Kalian mungkin masih menjadi sampah di jalanan jika tidak ada aku. Oh, tidak. Itu masih lebih baik. Kalian mungkin sudah habis dimakan cacing sekarang.”

Mungkin Nelson dan orang-orang yang ikut dalam komplotan itu dulunya bukan siapa-siapa. Nelson dan Nyonya Borden diambil dari jalanan, diajak ikut sindikat ini oleh Wendy. Wendy sepertinya dalang dari semua ini.

“Aku lebih buruk dari cacing!”

“Apa yang kau inginkan, Nelson? Sesuatu yang lebih baik? Kalau kau menginginkan hal itu, tunjukkan loyalitasmu padaku. Amelia sudah berkhianat. Bila aku tidak bisa lebih kuat lagi, aku tidak bisa melindungimu.”

Apa yang sedang mereka bicarakan? Siapa Amelia? Apakah semua percakapan itu ada kaitannya dengan aku? Atau dengan apartemen ini? Sebenarnya siapa mereka ini  dan apa tujuannya? Apakah semata-mata karena uang? Bukankah tindakan mereka padaku terlalu berlebihan kalau semua ini hanya tentang uang saja?

“Jika aku memberikan pria itu padamu, aku akan dihajar. Tidak, tidak, tidak. Aku akan dibunuh. Kalian semua sama saja, hanya memikirkan diri kalian sendiri.”

“Kau tetap akan dibunuh, Nelson. Tetapi, kau tidak akan mati jika aku melindungimu. Dan aku akan melakukannya. Aku akan melindungi orang-orang yang loyal padaku.”

Gadis yang dipanggil Wendy itu terdengar sangat mengintimidasi. Sepertinya posisinya berada jauh di atas Nelson. Lagipula, siapa yang akan menghajar si Tua Nelson? Pri tua itu tidak terlihat seperti seseorang yang bisa takut pada manusia lain. Ah, hal ini sungguh membingungkan. Lalu, apa yang akan terjadi padaku? Apakah aku akan mati?

Pintu kamar tempat aku disekap terbuka. Bau harum yang tajam menyeruak. Cahaya dari lampu di luar kamar langsung menerjang mataku. Susah payah aku menyesuaikan diri. Aku melihat siluet seorang wanita berdiri di ambang pintu. Seorang pria berdiri di belakangnya.

Itu Wendy dan Nelson. Aku sangat yakin.

Bunyi “klik” hampir bersamaan dengan ruangan yang menjadi terang. Nelson menyalalakan lampu. Meskipun mataku agak silau karena secara mendadak terkena cahaya terang, aku sempat melihatnya menarik tangannya dari saklar.

Aku tidak bisa menutupi kegugupanku; beradu pandang dengan Wendy bukan sesuatu yang menyenangkan. Sorot matanya sangat tajam, belum lagi caranya tersenyum. Di belakangnya, Nelson berdiri dengan tegap. Pria tua  penjaga apartemen itu sekarang tidak lagi seperti pria tua biasa bagiku. Aku melihat Nelson seperti monster banteng yang bisa mengamuk kapan saja.

Wendy mendekat. Aku menahan napas. Ia membungkuk di depanku. Aku sedikit menarik wajahku darinya. Dengan pelan, wanita itu membuka lakban yang merekat di mulutku. Rasanya perih sekali.

“Oh, Mikky yang malang. Seharusnya nasibmu bisa lebih baik dari ini,” kata Wendy. Wendy memainkan telunjuknya di sekitar wajahku seperti sedang menulis di atas kulitku. Telunjuknya menyusuri telingaku, dahiku, turun ke mataku, menuju puncuk hidungku dan berakhir di bibirku yang gemetar.

“Aku memilihmu. Tapi wanita tua pendek itu dengan semaunya mengambilmu dariku, Mikky.” Wendy memasukkan telunjuknya ke dalam mulutnya seolah-olah ia sedang mencicipiku. “Jangan marah, Mikky. Aku hanya mengambil hakku saja.”

“Apa maksudmu? Kenapa kau memilihku? Untuk apa?” tanyaku putus asa.

Wendy tertawa mendengar pertanyaanku. Suara tawa yang menyeramkan. Entah kenapa, semakin sering aku mendengar tawanya semakin terdengar menyeramkan. Aku menjadi lebih takut saat mendengarnya langsung tanpa terhalang pintu. Apalagi sambil melihat ekspresinya.

“Apakah kita akan mengatakan apa yang akan kita lakukan padanya, Nelson Tua?” Wanita itu menoleh pada Nelson yang diam mematung di belakangnya.

“Aku tidak bisa membiarkanmu melakukan sesuatu padanya, Wendy. Sebelum kau memberikan jaminan keselamatanku,” jawab Nelson.

Wendy tiba-tiba berbalik pada Nelson. Gerakannya sungguh cepat. Mataku hampir tidak bisa menangkap gerakannya. Tangan kanan wanita menyeramkan itu sudah berada di leher Nelson.

“Bagaimana jika jaminannya adalah nyawamu sendiri, Pria Tua? Apakah itu cukup?”

“Tidak!” Suara Nelson tercekik. Cekikan Wendy sepertinya sangat kencang.

“Apa?”

Aku tercengang. Aku yakin mulutku menganga sangat lebar saat ini. Tubuh Nelson diangkat Wendy hanya dengan satu tangan yang mencekik lehernya. Nelson yang menghantamku layaknya seekor banteng seperti tidak berbobot. Aku mendengar suara napas Nelson yang makin tercekik.

Nelson mungkin berusaha berbicara tapi tangan Wendy sudah mencekik dengan erat. Suara tercekiknya sungguh menyedihkan. Aku pikir Pria tua itu akan mati. Namun, Wendy menurunkannya dan melepas cekikannya.

Nelson langsung terduduk sambil terbatuk-batuk. Ia menatap ke arah Wendy yang berdiri menjulang di depannya. “Kenapa kau hentikan? Kau takut, Wendy?” tanya Nelson. Ternyata ia tidak gentar.

“Bajingan!” hanya itu yang dikatakan Wendy. Ia lalu melangkahi Nelson yang terduduk dan pergi dari ruangan tempatku disekap. Aku mendengar suara berdebam sekali lagi.

Melihat semua itu membuatku berpikir ulang. Tidak mungkin mereka hanya sindikat penipu biasa. Kekuatan Wendy bukan kekuatan wanita, tidak, itu kekuatan monster. Apakah mereka ini monster? Apakah apartemen ini gudang monster?

Aku melotot karena terkejut. Nelson menatapku. Ia berdiri lalu berjalan ke arahku. Pria itu membungkuk sebentar. Ternyata, ia mengambil lakban yang tergelatak di lantai. Kemudian, ia kembali memasangkannya kepadaku dengan kasar. Pria itu menghadiahkan sebuah tamparan keras padaku. Aku meringis, kepalaku makin terasa berat dan sakit. Lalu, sebuah pukulan keras menghantam perutku. Dan, aku kembali kehilangan kesadaran.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Old Colony   Chapter 30

    “Kau ingat iklan bir yang kita buat di Cheko, David? Bukankah tempat ini mirip?” tanyaku setelah memerhatikan dengan seksama ruang bawah tanah tempat aku disekap. Ruanganku adalah ujung dari sebuah lorong—yang aku yakin cukup panjang—dengan langit-langit berbentuk lonjong. Dindingnya terbuat dari bata merah setinggi tiga meter. Lorong itu cukup lebar untuk bisa dilalui empat orang sekaligus.“Maksudmu Pilsen? Yeah, lorongnya memang mirip. Kalau kau ingat kata-kata Benjamin, tidak seharus kau terkejut. Bangunan ini sama tuanya.”Aku tidak pernah menyangkan akan ada ruangan seperti ini di bawah apartemenku. Selain ruangan tempat aku disekap terdapat dua ruangan lain yang pintunya tertutup. Sepertinya, aku akan menemukan banyak ruangan seperti itu sepanjang perjalanan keluar.Lorong panjang di depanku diterangi oleh lampu-lampu neon yang dipasang di atasnya. Andaikata neon-neon itu dimatikan pastilah tempat ini akan gelap-g

  • Old Colony   Chapter 29

    Kematian Wendy membuat Nelson menyerah. Setelah gadis itu lenyap menjadi debu, Nelson langsung berlutut dan mengangkat tangannya.“Semua penyihir di dunia ini akan mengejarku. Dan, karena Wendy telah mati, aku tidak bisa berlindung lagi di balik punggungnya. Lebih lagi, sebenarnya Wendy Orsey telah melanggar hukum yang ditetapkan oleh Hareruha dengan berusaha mengambil persembahan dengan sihir hipnotis. Ini adalah kesempatan besar bagi Nyonya Borden untuk menghabisi seluruh penyihir yang mengikuti Wendy,” kata Nelson panjang lebar. Aku tidak benar-benar mengerti apa yang dikatakannya. “Aku menyerah, lebih baik mati di tangan kalian daripada di tangan mereka.”Setelahnya, pria itu menuruti semua perintah dari Willy dan Benjamin Black. Nelson didudukkan di tempat aku diikat sebelumnya. Namun, tangannya tidak diikat seperti aku. Hanya saja, Willy mengarahkan sebuah pistol tua—seperti pistol milik Van Helsing di film—ke tempurung kepalan

  • Old Colony   Chapter 28

    Mataku terbuka dengan pelan bersamaan dengan sayup-sayup nada lembut yang menggelitik indera pendengaranku. Aku seperti bayi yang sedang dibuai agar tertidur dengan lelap. Ditambah lagi desir angin yang sepoi membasuh wajahku, membuat mataku ingin segera kembali terpejam. Namun, entah apa yang mendorongku untuk menahan kantuk itu dan meyakinkan diri untuk terjaga.Aku mencium bau laut. Mendengar debur ombak dan desis pantai yang tergerus. Rasa hangat yang nyaman merayapi sekujur tubuh. Terang mentari yang mencerahkan segalanya memenuhi mataku yang berusaha mengenali di mana aku berada.Dengan pelan, aku bangkit dan terduduk. Pada akhirnya aku bisa mengenali dimana aku saat ini. Sebuah pantai tropis yang sangat indah membentang di depanku.Aku yakin bahwa aku tak pernah sekalipun menginjakkan kaki di tempat ini, tetapi entah kenapa aku merasa mengenali suasananya. Tubuhku tidak bereaksi seperti orang yang pertama kali datang, tetapi laksana orang ya

  • Old Colony   Chapter 27

    Saat membuka mata, aku langsung diserang rasa sakit di perut yang menusuk-nusuk. Aku sampai meringis karena berupaya menahan rasa sakitnya. Belum selesai dengan rasa sakit itu, bau busuk menyerangku dengan membabi-buta. Aku menerka bahwa sekamar dengan bangkai anjing.Aku langsung mual. Apa pun yang hendak keluar dari mulutku sudah mencapai ujung tenggorokan. Mati-matian aku menahannya, tetapi sia-sia. Jadi, dengan penglihatan yang masih samar, aku muntah sejadi-jadiya. Semua masakan Benjamin keluar dari perutku, menambah bau busuk di ruangan ini. Lalu, bersama bau busuk sebelumnya, mereka menyerang penciumanku dengan membabi-buta.Sambil terengah-engah, aku menatap muntahanku yang membanjiri lantai. Aku jijik sendiri sehingga muntah kembali. Tampaknya aku tidak mengunyah spagetiku dengan benar karena sebagaian muntahanku masih menunjukkan bentuk asli dari makanan itu. Sialnya, celana dan sepatuku terkena muntahanku sendiri.Setelah isi perutku hampir seluruhnya

  • Old Colony   Chapter 26

    Yui melempar ransel ke punggungnya sedangkan aku langsung mengangkat tas tenis sembari menyambar tangannya. Aku berbalik dan melangkah menuju pintu. Namun, aku merasakan Yui menolak tarikan tanganku. Saat menoleh, aku mendapatkan Yui bergeming di tempatnya dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. Jari tangan Yui saling meremas. Aku menatap matanya dan merasakan binarnya meredup.“Kita akan ke mana?” tanya gadis itu. Aku menangkap getar dalam suaranyaAku menjatuhkan tas tenis lalu mendekat pada Yui. Dengan pelan, aku mengelus pipinya. Kulit pipinya terasa lembut di tanganku. “Ke tempat aman sampai semuanya selesai. Setelah semuanya selesai, kita akan mengurus semua masalahmu,” jawabku. “Percayalah padaku. Aku tidak akan meninggalkanmu.”Yui menatapku tajam sebelum mengangguk. Kedua tangannya meraih lenganku lalu menggenggamnya dengan erat. “Aku percaya padamu, Mikky. Aku akan selalu menggenggam tanganmu seerat ini dan ta

  • Old Colony   Chapter 25

    Benjamin dan Willy entah berada di mana karena aku tidak melihat mereka di mana-mana: di ruang depan, di ruang televisi, di dapur, kamar mandi, dan ruang-ruang lain yang pernah aku masuki. Aku kembali ke kamar. Di dalam kamar sudah ada David dengan sweater yang agak kebesaran. Karena penghangat rumah ini tidak dinyalakan, hawa dingin sehabis hujan yang menyelinap masuk terasa menusuk.“Benjamin dan Willy tidak ada di ruang depan,” kataku pada David yang sedang duduk di ranjangku. Aku berdiri di depannya sedangkan David melihat arloji di tangannya. Kalau tidak salah, ini sudah pukul sebelas malam. Aku sempat melirik jam dinding di ruang televisi sebelum mendaki tangga ke lantai dua. “Sepertinya pintu depan juga tidak terkunci. Ini saatnya aku pergi,” lanjutku.“Kau benar-benar yakin akan pergi ke sana, Mikky?” tanya David. Aku menangkap rasa khawatir pada suaranya.“Iya. Aku tidak bisa membiarkan Yui sendirian.”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status