Mag-log inBima Satya, berumur 10 tahun, kehilangan keluarga tercinta saat melakukan pesta di kapal pesiar, seluruh keluarganya dibunuh. Ia selamat berkat Ibunya, didorong ke dalam air laut dan terdampar di pulau kematian. Nenek Badar menyelamatkan Bima Satya dan mengajarinya tentang beladiri serta... racun! Racun yang membunuh! Racun yang menyembuhkan! Pilihan ada di tangannya! Ikuti keseruan cerita Bima Satya dalam membalaskan kematian kedua orangtuanya dan membuktikan diri, jika ia bisa mengguncang dunia dengan racunnya. Bima Satya. Pembalasan Dendam, Racun sang Tabib!!
view more“Jangan bunuh ibuku!”
Di tengah-tengah kobaran api yang melahap hampir seluruh badan kapal pesiar yang tengah berada di tengah laut, seorang bocah lelaki berdiri berhadap-hadapan dengan seorang pria bertopeng misterius. “Bocah tengik! Kamu pikir orang sepertimu bisa melawanku?!” Pria bertopeng itu mendengus, menatap Bima dengan senyum penuh olokan. Tangannya kini menjambak rambut wanita yang Bima panggil ibu. “Bunuh bocah itu!” Sekelompok orang dengan penampilan yang sama lantas berjalan ke arah Bima yang hanya mematung dengan gemetar. “Brengsek! Jangan sentuh anakku bajingan!” Plak! “Diam! Atau tubuhmu akan dijadikan santapan anak buahku—setelah mereka membunuh anakmu lebih dulu! Hahaha!” Mendapati ibunya ditampar, Bima tersentak. “Lepaskan tanganmu dari Ibu—” “Bima! Lari Nak!” Teriakan ibunya seketika membuat Bima sadar. Sekali lagi, ia menatap mata ibunya yang penuh permohonan. I—ibu! Maafkan aku! “Jangan lari bocah!” Teriakan orang-orang itu menggema tatkala Bima berlari tak tentu arah. Sampai akhirnya ia terpojok di ujung dek kapal. Di hadapannya, terbentang laut berwarna hitam di tengahnya gelapnya malam. “Hai bocah, mau lari ke mana? Tamat riwayatmu!” Tanpa berpikir Panjang, Bima memanjat pembatas di dek itu dan seketika menceburkan diri. Ombak membuat tubuhnya tenggelam sedikit demi sedikit. A—aku anak yang tidak berguna! Bima bisa merasakan air mulai masuk ke paru-parunya. Ibu! Ibu! Ibu! Byur! Gelombang hitam itu menelannya. Tubuhnya terombang-ambing, dingin menusuk tulang, hingga ia tak lagi tahu apakah dirinya hidup atau mati. “Bi… ma… lari, Nak…” Suara ibunya bergema di kepalanya, semakin jauh, semakin samar. Lalu… Byur!! Tubuhnya basah kuyup, tapi anehnya terasa hangat, tidak asin. “Hahhh!” Bima terlonjak, matanya terbuka lebar. Bukan laut, bukan api, bukan wajah ibunya. Yang ada hanya atap bambu reyot, bau obat-obatan tajam menusuk hidung, dan seorang perempuan renta berdiri dengan ember kosong di tangannya. “Mau tidur sampai kapan kamu bocah sialan!?” Seorang Perempuan renta kini berada di hadapan Bima, menatapnya dengan tajam dengan tangannya yang bersiap melempar ember ke arahnya jika Bima tak segera berdiri. Nenek Badar, ahli beladiri yang menguasai racun. Keberadaannya pernah mengguncang dunia. Ada banyak pengusaha aliran hitam yang ingin merekrutnya. Ada banyak ahli beladiri yang ingin menjadi muridnya. Ketika ia berada di puncak karirnya, ia menghilang bagai ditelan bumi. “Nek! Bu—bukankah hari ini aku libur Latihan?!” Nenek Badar mendengus. Ia meletakkan ember itu ke bawah seraya mendekat ke arah Bima. “Usiamu kini sudah 18 tahun, Bima…” Bima mengernyit, “Lalu, kenapa Nek? Nenek mau mencarikanku istri?! Hahaha-” Plak! Sebuah hantaman mendarat di kepala Bima. "Aduh! Sakit Nek..." "Itu untuk perkataan bodohmu barusan...” Bima hendak tertawa, karena memang ia selama ini sering bercanda dengan nenek itu. Namun, kali ini Nenek Badar tak membalas candaannya. “Kamu harus lekas pergi dari sini, Bima…” Bima menatap nenek Badar dengan bingung, “Ne—nenek mengusirku?” "Aku tidak mengusirmu, tapi bukankah mimpi itu datang lagi? Kamu harus mendapatkan keadilan pada hidupmu.” Bima tersentak. Bayangan wajah orang tuanya kembali menyeruak di benaknya. Tangannya mengepal, urat-urat menegang, rahangnya terkunci keras. Pria itu… sosok yang menghabisi ibunya. Dia masih ingat jelas bagaimana tangan berdarah itu merobek hidupnya sambil perlahan membuka topeng hitamnya. Dan sebelum tubuhnya terhempas ke laut, pandangan Bima sempat terkunci pada wajah itu—penuh bekas luka, dengan sepasang mata hijau yang dingin bagai racun. Wajah terkutuk yang tak akan pernah bisa dia lupakan. "Nenek, jika aku pergi bagaimana denganmu? Tubuhmu yang tua itu apa bisa hidup tanpa bantuan-" Nenek Badar mengangkat tangannya lagi, Bima sangat hapal gerakan itu. Gerakan yang siap memukul dirinya. Jadi ia lari sebelum Nenek Badar berhasil memukulnya. "Mau kemana kamu bocah?!" "Tentu saja lari!" "Awas kamu!! Beraninya mengejekku!" teriak Nenek Badar sembari mengacungkan tongkat di tangannya. Bima sudah lari menjauh ke arah bibir pantai, pandangannya terlempar jauh menatap lautan yang tak berujung. Jauh di seberang sana, ada pembunuh yang telah menghancurkan keluarganya. Wajah yang tadi sempat tersenyum kini dipenuhi kilat amarah yang membara. "Sampai ke ujung dunia pun, aku pasti akan menemukan kalian!" gumam Bima dengan tangan terkepal kuat. ~~~~ Tiga hari kemudian, perahu kayu sederhana buatan Bima membelah ombak menuju daratan. Bekal makanan sudah menipis, air tawar tinggal seteguk. Tapi semangat pemuda 18 tahun itu membara, akhirnya dia bisa mencari keadilan untuk kedua orang tuanya. Pelabuhan Pandaran menyambut dengan hiruk pikuk khas kota besar. Gedung-gedung tinggi menjulang di kejauhan, kendaraan bermotor berlalu-lalang, dan aroma polusi bercampur ikan asin menyeruak ke hidung Bima yang terbiasa dengan udara segar pulau. "Hei, bocah! Kapal kamu ini mau diparkir di mana?" seorang petugas pelabuhan berperut buncit mendekati Bima yang baru saja menambatkan perahunya. "Eh... maaf, Paman. Aku baru saja sampai. Terserah saja parkirnya di mana Paman." "Bayar dulu baru bisa parkir." Bima mengecek kantong celananya. Kosong. Dompet? Tidak punya. Kartu kredit? Apalagi itu? "Paman, aku tidak punya uang sekarang. Perahunya aku jual saja!" Bima mengangguk yakin, ia begitu percaya diri kalau perahu buatannya akan dibeli. Tapi- "Kamu sudah gila, perahumu ini tidak berguna! Bayar sekarang atau perahumu diangkut!" Petugas itu melipat tangan di depan dada. "Haish! Ya sudah, Paman angkut saja," sahut Bima sembari berlalu pergi dengan acuh. Selama ini dia hidup dari hasil hutan, berburu, dan meramu. Uang adalah konsep asing baginya saat ini. Kaki telanjang Bima menginjak aspal jalanan Pandaran untuk pertama kali. Bau knalpot membuatnya pusing, suara klakson menyakitkan telinga. Tapi yang paling membuatnya frustrasi adalah kenyataan bahwa dia tidak punya sepeser pun uang untuk bertahan hidup di kota besar ini. Kruyuukkk!! Cacing di dalam perut mulai meminta jatah, tanda Bima sudah lapar. Pemuda itu mengelus perutnya dengan sabar. "Tidak bisa begini, aku harus cari cara untuk mendapatkan uang! Tapi bagaimana caranya?" Bima terduduk lesu di trotoar yang ramai. Menatap langit sore Pandaran yang mulai gelap. Kota besar ini ternyata lebih kejam dari yang dibayangkannya. "Lepaskan aku!!" Hingga perhatian Bima teralihkan, ketika ia melihat seorang wanita dibawa paksa oleh beberapa laki-laki berjas hitam, masuk ke rumah hiburan malam. "Tolong-uhm!!" Sesaat wanita itu bertatapan dengan Bima dan memohon pertolongannya. Diam!! Jangan berontak!! Dia hanya pengemis, kamu pikir dia bisa membantumu?" kekeh salah satu pria yang membawa wanita muda itu. Suaranya menggelegar penuh penghinaan. Wanita berambut panjang itu masih memberontak, matanya menatap Bima dengan penuh harapan. Ia berharap Bima bisa menolongnya. "Paman, lepaskan dia." Bima berkata dengan santai, bangkit dari posisi duduknya di trotoar. Para pria dengan setelan jas hitam itu tertawa meremehkan Bima. Yang paling depan, seorang pria bertubuh kekar dengan bekas luka di dagu, melangkah maju. "Jangan ikut campur, kerjakan saja apa yang menjadi urusanmu, Pengemis!" "Pengemis? Hei gadis," Bima menunjuk wanita yang ditangkap itu. "Kalau aku menolongmu. Apa kamu akan membayarku?" "Menolongnya, memangnya kamu mampu bocah? Kamu tidak sadar dengan situasinya sekarang?!" ujar pria itu mengejek, 2 pria berjas hitam segera mengepung Bima. Tapi Bima tidak peduli, ia kembali bertanya pada gadis itu. "Bagaimana, apa kamu setuju membayarku?" “Tunggu apalagi! Cepat bantu aku!” ucap gadis tersebut seraya mengangguk keras-keras. "Bagus! Karena dia setuju. Sekarang, kalian boleh menyerangku bersamaan!" tantang Bima.Waktu terus berjalan. BZZZZTT! "Waktunya habis!" teriak MC. Semua peserta harus berhenti bekerja. Beberapa peserta terlihat putus asa, mereka tidak sempat menyelesaikan antidot. Panitia mulai mengumpulkan hasil dan menghitung score. 30 menit kemudian, hasil final diumumkan. TOP 10 BABAK KEDUA 1. Lin Mei (Cyina) - 95 poin 2. Kenji (Zepang) - 92 poin 3. Dr. Zhang Wei (Cyina) - 91 poin 4. Bima (Nusantara) - 90 poin 5. Dr. Priya Sharma (Vrindia) - 88 poin 6. Nakamura Hiro (Zepang) - 85 poin 7. Chen Wei (Cyina) - 82 poin 8. Rajesh Kumar (Vrindia) - 80 poin 9. Sean (Nusantara) - 75 poin 10. Dr. Yuki Tanaka (Zepang) - 75 poin MC mengumumkan. "Selamat juga untuk 70 peserta yang lolos ke Babak ketiga! Kalian akan melanjutkan besok pagi dengan Live Treatment di hadapan audience!" Tepuk tangan meriah. Peserta yang tidak lolos keluar dengan wajah kecewa. 80 orang harus menghadapi penalti 5 tahun. Bima berdiri dan bersiap keluar, tapi tiba-tiba Sean menghada
Bima mulai mencari bahan. Untuk menetralkan Racun Phantom Vine, dia butuh kombinasi Ginseng Merah, Akar Licorice, dan Reishi Mushroom-ketiga bahan ini punya energi yang bisa memecah sumbatan detoksifikasi. Untuk menetralkan Arsenik, dia butuh Mung Bean (kacang hijau), Honeysuckle Flower, dan Activated Charcoal-kombinasi ini bisa mengikat logam berat dan mengeluarkannya dari tubuh. Untuk menetralkan Aconite, dia butuh Honey, Ginger, dan Licorice Root-kombinasi ini bisa menghangatkan tubuh dan melawan energi Dingin Aconite. Bima mulai bekerja dengan cepat tapi teliti. Pertama, Bima menumbuk Ginseng Merah, Akar Licorice, dan Reishi Mushroom dengan mortar dan pestle, lalu merebusnya dengan air khusus yang sudah dimurnikan dengan energi Mana. Kedua, dia menumbuk Mung Bean hingga halus, mencampurnya dengan Honeysuckle Flower yang sudah direbus, lalu menambahkan Activated Charcoal. Ketiga, dia membuat pasta dari Honey, Ginger parut, dan Licorice Root bubuk. Setelah semua baha
150 peserta bergerak menuju area kerja yang sangat luas. Di sana, ada 150 meja kerja yang sudah dilengkapi dengan peralatan lengkap, kompor portable, mortar dan pestle, gelas ukur, tabung reaksi, timbangan digital, dan berbagai peralatan lainnya. Di tengah setiap meja, ada rak besar berisi ratusan jenis bahan herbal dalam botol-botol kaca kecil, ginseng, licorice root, goji berry, dan banyak lagi. Semua diberi label jelas. Bima menuju meja nomor 127. Di atas mejanya, sudah ada satu botol kaca kecil berisi cairan biru gelap, racunnya. Dia menatap botol itu dengan waspada. 'Ini dia. Racun yang Sean siapkan untukku.' Di sebelah mejanya, Lin Mei di meja 89 juga sudah siap. Dia melambaikan tangan dengan senyum ramah. Bima membalas dengan anggukan. Kenji di meja 45 sudah duduk dengan tenang, mata tertutup, bermeditasi. Sean di meja 200 menatap Bima dengan senyum sinis, lalu membuat gerakan menggorok leher—ancaman yang jelas. Bima mengabaikannya dan fokus pada mejanya. MC m
Pagi hari tiba dengan cepat. Bima terbangun pukul 5.30 pagi, lebih awal dari biasanya. Dia hampir tidak bisa tidur semalaman, pikiran tentang Nenek Badar, ancaman Bulan Sabit, dan sabotase Sean terus menghantuinya. Dia duduk bersila, melakukan meditasi pagi untuk menenangkan pikiran dan menstabilkan energi Mana. Tapi konsentrasinya terus terganggu. '48 jam tersisa,' pikirnya sambil menatap keluar jendela. 'Aku harus menang hari ini. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Meski nenek Badar sangat ahli, tetap saja dia terlalu tua dan membuatku khawatir.' (Bocah kurang ajar!! Beraninya menyebutku tua, kamu bosan hidup heh?!) Glek!! Bima seolah bisa merasakan amarah nenek Badar, mengingat gurunya yang pemarah dan tidak sabaran itu membuat Bima tersenyum dan sedikit lebih tenang. Setelah mandi dan berpakaian, dia turun ke lobby hotel untuk sarapan. Irene sudah menunggu di sana dengan senyum cerah, meski Bima tahu dia juga khawatir. "Selamat pagi," sapa Irene sambil menyodorkan secang






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
RebyuMore