Pagi pertama Luca di Pulau Nuhawan terasa seperti sebuah mimpi demam yang aneh. Ia terbangun di atas ranjang yang begitu empuk hingga ia merasa seolah tenggelam di dalamnya, di dalam sebuah kamar yang luas dengan jendela-jendela besar yang terbuka, membiarkan angin laut yang sejuk dan aroma bunga-bunga eksotis masuk. Setelah berminggu-minggu tidur di atas tanah yang keras dan dingin, kenyamanan ini terasa begitu asing hingga nyaris tidak nyata.Tubuhnya terasa lebih baik. Mata Air Suci itu benar-benar ajaib. Rasa sakit yang tadinya menusuk kini telah mereda menjadi nyeri tumpul, dan ia bisa merasakan sisa-sisa energi mulai mengalir kembali di dalam sirkuit darahnya yang rusak. Namun, pikirannya masih kacau, dipenuhi oleh pikiran dari dunia lama dan ketidakpastian dari dunia baru.Saat ia sedang mencoba untuk duduk, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dengan keras tanpa diketuk sama sekali.Aveline, adik Seraphina yang ceria, melesat masuk seperti angin puyuh kecil, membawa sebuah nampan
Kesadaran kembali pada Luca bukan seperti fajar yang menyingsing, melainkan seperti ditarik paksa dari kedalaman lautan yang gelap. Hal pertama yang ia rasakan adalah kelembutan. Sesuatu yang empuk di bawah punggungnya, kain linen yang halus menyentuh kulitnya. Lalu, kehangatan. Sebuah selimut tebal yang nyaman menyelimuti tubuhnya.Ia membuka mata perlahan. Pandangannya yang kabur perlahan menjadi jelas. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit gua yang berkilauan seperti galaksi bawah tanah, memancarkan cahaya biru dan hijau yang lembut. Udara di sekitarnya beraroma herbal yang menenangkan dan uap mineral yang menyegarkan. Ia bisa mendengar suara gemericik air yang damai.Tempat ini… bukan gurun.Dengan ingatan terakhir tentang gas tidur dan kegelapan, instingnya langsung mengambil alih. Ia mencoba untuk duduk, tetapi rasa sakit yang tumpul di seluruh tubuhnya menahannya. Ia melirik ke sekeliling dengan cepat, otaknya yang analitis memindai setiap detail dalam sepersekian deti
Perahu cahaya itu meluncur tanpa suara ke dalam pelabuhan rahasia Pulau Nuhawan, sebuah gua laut raksasa yang diterangi oleh kristal-kristal alami yang tumbuh di langit-langitnya, memancarkan cahaya biru dan hijau yang lembut ke atas air yang tenang. Tetua Hu dan Lian sudah menunggu di dermaga batu pualam, wajah mereka dipenuhi oleh campuran kelegaan yang luar biasa dan seribu pertanyaan yang tak terucap.“Evangeline, Aveline,” sapa Tetua Hu, suaranya yang tenang menggema di dalam gua. “Selamat datang kembali.”“Kami kembali, Tetua,” jawab Evangeline, suaranya yang agung terdengar sedikit lelah. Ia dan Aveline dengan hati-hati menurunkan tiga sosok tak sadarkan diri dari perahu, membaringkan mereka di atas dermaga yang sejuk.Lian menatap ketiga tamu tak diundang itu dengan kaget. Satu gadis berambut merah yang tampak seperti baru saja melewati neraka, satu pemuda berambut putih dengan luka-luka aneh yang seolah memancarkan sisa-sisa energi liar, dan… “Seraphina?” bisiknya, matanya me
Di tengah gurun yang sunyi, di bawah tatapan dua matahari yang mulai terbenam, keheningan yang mengikuti serangan mendadak itu terasa berat. Kabut biru dari gas tidur perlahan menipis, memperlihatkan tiga sosok yang terbaring tak berdaya di atas pasir putih.Dua wanita berjubah putih itu berdiri diam, mengamati pemandangan di hadapan mereka. Yang lebih muda, yang gerakannya sedikit lebih impulsif, menatap rekannya yang lebih tua dengan syok yang tak bisa disembunyikan.“Kakak… lihat. Gadis ini… bukankah dia saudara perempuan kita, Seraphina?” bisiknya, suaranya yang merdu dipenuhi oleh ketidakpercayaan.Sosok yang lebih tua, yang gerakannya lebih tenang dan terukur, berlutut di samping Seraphina. Dengan tangan yang bersarung tangan putih, ia dengan hati-hati menyingkap sedikit kerudung sutra yang menutupi wajah gadis itu. Ia terdiam sesaat, matanya yang tersembunyi memindai setiap fitur yang familiar itu.“Ini tidak mungkin salah,” jawabnya, suaranya yang dalam dipenuhi oleh campuran
Di tengah gurun yang sunyi, di bawah tatapan dua matahari yang mulai terbenam, sebuah keajaiban berdiri di hadapan mereka. Portal pasir beku itu berkilauan dengan cahaya internal yang lembut, ukiran-ukiran kuno di permukaannya seolah berdenyut dengan kehidupan. Itu adalah sebuah janji. Sebuah jalan keluar dari neraka pasir putih ini.Luca dan Seraphina saling menatap, sebuah percakapan tanpa kata terjadi di antara mereka. Di mata Seraphina, Luca melihat kelegaan yang luar biasa, sebuah harapan yang nyaris padam kini kembali menyala. Di mata Luca, Seraphina melihat tekad yang telah ditempa oleh api penderitaan, sebuah kekuatan sunyi yang menolak untuk menyerah.“Kita berhasil,” bisik Seraphina, senyum lega yang tulus dan indah akhirnya terukir di wajahnya yang lelah. Senyum itu seolah menerangi senja di sekitar mereka.Mereka melangkah mendekati portal, Luca masih dengan hati-hati menggendong Nyxel yang tak sadarkan diri di punggungnya. Udara di sekitar gerbang itu terasa dingin dan an
Keheningan yang mengikuti kepergian Kai terasa lebih berat daripada badai pasir mana pun. Kota hantu Xylos, yang tadinya hidup dengan gema penderitaan, kini benar-benar mati, meninggalkan Luca dan Seraphina sendirian di tengah lautan pasir putih yang tak berujung. Mereka telah berhasil. Mereka telah menyelamatkan Nyxel dan mendapatkan Kunci Kristal ketiga. Tetapi kemenangan itu terasa hampa saat mereka dihadapkan pada kenyataan yang brutal.Mereka tersesat.“Seharusnya ada di sini,” kata Seraphina, suaranya dipenuhi frustrasi saat ia merogoh tas perbekalannya untuk kesekian kalinya. “Aku menyimpannya di saku bagian dalam.”Luca, yang dengan hati-hati membaringkan Nyxel yang masih tak sadarkan diri di atas jubahnya, menatap Seraphina. “Apa yang kau cari?”“Peta,” jawab Seraphina, akhirnya menyerah dan terduduk di pasir dengan putus asa. “Peta detail menuju Oasis Matahari Terbenam. Pasti jatuh atau hancur saat Sanctum Gema runtuh.”Kenyataan itu menghantam mereka. Mereka berada di tenga