Satu malam. Satu sentuhan. Satu naga. Dan semuanya berubah. Kara hanya ingin lari dari pesta kerajaan yang membosankan. Tapi yang ia temukan di hutan malam itu… bukan pria biasa. Draven adalah Raja Naga terakhir—makhluk purba yang haus dendam dan panas akan gairah. Dalam satu malam membakar, Kara menyerahkan segalanya. Tapi saat ia kembali ke istana, ia membawa dua hal yang mustahil: Tanda naga di tubuhnya. Dan bayi dari musuh leluhurnya. Ia adalah putri kerajaan pemburu naga. Ia adalah calon ratu makhluk yang seharusnya ia bunuh. Dan Raja Naga? Tak akan melepaskannya lagi. Cinta, dendam, dan ikatan darah naga akan mengubah segalanya.
View MoreHutan malam itu tidak bersuara, seolah bumi sedang menahan napas.
Kara menyusuri jalur sempit di antara pohon-pohon tua yang menjulang seperti penjaga rahasia kuno. Gaun pesta yang tadi dikenakan demi menyenangkan para bangsawan kini belepotan lumpur dan robek di bagian bawah, tapi ia tak peduli. Ia telah cukup menari di antara senyum palsu dan pujian busuk. Malam ini, ia menari dengan sunyi. Kabut tipis menggantung di permukaan tanah, mengelus kakinya yang telanjang, meninggalkan kesan basah dingin seperti ciuman roh hutan. Rambutnya—emas pucat yang biasanya disanggul tinggi—kini terurai bebas di punggung, basah oleh embun. Ia tidak pernah diperbolehkan sejauh ini. Tapi justru larangan itulah yang memanggilnya. Dan malam ini, Kara butuh sesuatu yang lebih liar daripada nasib yang ditentukan istana. “Jika malam ini aku ditelan hutan, paling tidak aku ditelan karena pilihanku sendiri,” gumamnya, setengah pada dirinya sendiri, setengah pada bintang-bintang yang bersembunyi di balik awan. Angin berembus, pelan… membawa aroma asing. Bukan bau tanah, bukan bunga liar. Sesuatu yang lebih dalam. Lebih… tua. Asap. Abu. Dan bara. Ia berhenti. Seluruh indranya menegang. Lehernya dingin, seolah dipandangi dari kejauhan. “Siapa di sana?” suaranya tenang, meski jantungnya berdetak seperti genderang perang. Tidak ada jawaban. Tapi dedaunan di depannya bergerak pelan. Bukan karena angin—tidak ada angin. Lalu ia melihatnya. Dari balik kabut, sosok pria perlahan muncul. Tingginya di luar nalar. Pundaknya lebar, dan tubuhnya dibungkus mantel hitam yang tampak menyatu dengan malam. Tapi yang paling menusuk adalah matanya—menyala emas, seperti bara api yang disembunyikan dalam kelam. Pria itu berdiri diam. Mengamati. Kara mundur setengah langkah, lalu menguatkan diri. “Kau pemburu?” “Sesuatu yang lebih tua,” sahutnya, suaranya dalam dan mengalir seperti sungai lava yang tenang. “Dan lebih berbahaya.” Kara menelan ludah. “Kau tidak terlihat berbahaya.” Ia tersenyum tipis. Bukan senyum yang menenangkan, tapi seperti… tantangan. “Karena kau belum menyentuh sisiku yang membara.” Ia melangkah maju. Tidak tergesa. Tapi tiap langkahnya membuat tanah terasa berat. “Siapa kau sebenarnya?” tanya Kara, suaranya pelan, tapi tidak goyah. Ia berhenti hanya beberapa langkah di depannya. “Aku adalah nama yang tak pernah boleh disebut saat bulan merah. Aku adalah alasan mengapa para leluhurmu membangun menara pengawas di selatan. Aku… adalah legenda yang tak mau mati.” Ia menunduk sedikit, mata emas itu menelanjangi jiwanya. “Aku adalah Draven. Raja dari semua yang terbakar.” --- Kara mematung. Nama itu bukan asing—ia pernah mendengarnya disisipkan dalam dongeng gelap sebelum tidur, di mana naga bukan sekadar binatang bersayap, tapi makhluk yang menyamar dalam tubuh manusia untuk mencuri raja dan membakar istana. Draven. Raja Naga terakhir. “Kau… seharusnya telah mati,” ucapnya tanpa sadar. Draven mendekat selangkah lagi. “Aku hanya mati dalam cerita yang kau dengar. Tapi bumi ini masih mengingat nafasku. Dan malam ini, begitu pula kau.” Udara di sekitarnya berubah. Hangat. Menyesakkan. Tapi bukan seperti panas matahari. Ini seperti dipeluk api yang mengerti di mana tubuh paling rapuh untuk disentuh. “Kau tahu siapa aku?” tanya Kara cepat, mencoba menyembunyikan rasa gemetar yang menjalari jemarinya. “Putri Kara. Darah keturunan pemburu naga. Lahir dari istana emas, tapi jiwamu—jiwamu milik malam.” Ia mengangkat tangan, dan sebelum Kara sempat mundur, jari-jarinya menyentuh dagunya. Sentuhan itu ringan, tapi seperti loncatan listrik. Kara terkejut, tapi tidak menjauh. Ia membenci dirinya sendiri karena tidak ingin menjauh. “Kau seharusnya takut,” bisik Draven, nadanya seperti nyanyian dari masa lampau. “Tapi justru itu yang membuatku tertarik. Keberanian yang muncul bukan karena keberanian sejati, tapi karena hati yang terlalu lelah untuk takut.” Kara memejamkan mata sejenak, lalu menatapnya lurus. “Apa yang kau inginkan dariku?” Senyum itu kembali. “Aku tidak butuh apapun darimu, Putri. Tapi kau—kau butuh malam ini. Dan mungkin, satu malam tidak akan cukup untuk membakar semua beku dalam dirimu.” Kara menggeleng. “Aku tidak butuh siapa pun untuk membakarku.” Draven menunduk, dan suaranya turun menjadi desahan. “Oh, kau salah. Semua yang hidup… ingin dibakar. Kau hanya belum mengakuinya.” Ia menjauh, mendadak, seperti angin yang berubah arah. “Besok malam,” katanya sebelum berbalik. “Kembali ke tempat ini, jika kau ingin tahu bagaimana rasanya… satu malam dengan Raja Naga.” Dan sebelum Kara sempat berkata apa pun, sosoknya telah menghilang dalam kabut. Tapi hawa panas tetap tinggal. Membakar dada. Dan Kara sadar, bahkan sebelum ia memilihnya… Ia akan kembali.Langit pagi yang cerah menyambut pasukan Aeryn dengan nuansa yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Udara segar menyusup ke dalam paru-paru, mengusir sisa-sisa kelelahan yang tertinggal dari pertempuran panjang dan melelahkan. Namun, di balik kedamaian sementara ini, ada beban berat yang masih terasa di pundak semua orang. Aeryn berdiri di puncak bukit kecil, menatap jauh ke arah medan perang yang kini dipenuhi dengan reruntuhan dan bekas luka. Wajahnya menunjukkan garis-garis kelelahan yang dalam, tetapi matanya tetap menyala dengan tekad yang tidak pernah padam. Ia tahu hari ini adalah hari terakhir yang akan menentukan nasib mereka semua. Para komandan mulai berkumpul di sebuah meja besar yang terbuat dari kayu tua di tenda pusat komando. Valtherion, dengan sikapnya yang tenang dan penuh kewibawaan, membuka peta pertempuran yang sudah lusuh, menunjuk titik-titik strategis yang harus mereka kuasai untuk mengakhiri konflik ini. “Kita sudah melewati banyak hal bersama,” ucap Val
Udara pagi terasa lebih berat hari itu, seperti menahan napas sebelum badai besar datang. Aeryn berdiri di puncak bukit, memandang medan pertempuran yang kini mulai berbenah setelah gelombang serangan terakhir. Setiap langkah pasukannya penuh luka, namun semangat mereka tetap membara, menyongsong fajar terakhir yang akan menentukan segalanya.Komandan-komandan berkumpul di sekitar meja kayu besar, membahas strategi pamungkas yang harus dijalankan tanpa celah. Valtherion dengan serius menunjukkan rencana serangan balik yang akan memanfaatkan titik lemah musuh yang sudah ditemukan.“Ini adalah kesempatan terakhir kita, jika gagal, semua akan berakhir,” ucap Valtherion dengan nada berat namun penuh keyakinan.Aeryn mengangguk, menyadari beban yang kini berada di pundaknya. “Kita harus bertarung bukan hanya dengan kekuatan, tapi dengan hati dan jiwa. Untuk semua yang kita cintai dan perjuangkan.”Di sudut lain, Althea dan Serat menyiapkan sihir-sihir
Senja merekah di balik pegunungan, mewarnai langit dengan semburat jingga dan merah darah yang menandakan pertarungan yang belum usai. Aeryn berdiri di atas bukit, menatap jauh ke arah medan perang yang mulai tenang namun menyisakan aroma darah dan asap. Meski suara pertempuran mereda, ketegangan di udara justru semakin pekat.Di balik kehancuran dan reruntuhan, bayangan-bayangan gelap mengintai, menunggu kesempatan untuk melancarkan serangan mendadak yang bisa mengguncang mental dan fisik pasukan mereka. Aeryn tahu, musuh tidak akan menyerah begitu saja. Mereka adalah bayangan kegelapan yang terus mengintai tanpa henti.Para komandan berkumpul di sekitar api unggun besar, membahas laporan terbaru dan merancang strategi menghadapi ancaman yang semakin kompleks. Valtherion membuka peta pertempuran dengan tangan mantap, menunjuk beberapa titik yang menurutnya rawan disusupi pasukan bayangan.“Kita harus waspada di sisi utara,” ucap Valtherion dengan suara te
Langit pagi menyambut pasukan Aeryn dengan semburat jingga yang menggoda harapan. Setelah gelombang serangan yang melelahkan, kini saatnya merancang langkah baru di atas medan yang penuh bekal luka.Aeryn berdiri di tengah perkemahan, mengamati wajah-wajah penuh kelelahan namun tak kehilangan semangat. Setiap tetes keringat dan darah menjadi saksi betapa berat perjuangan yang mereka jalani demi masa depan yang lebih baik.Valtherion, dengan ekspresi penuh tekad, mendekat dan membuka peta peperangan yang sudah usang. “Musuh mulai merespons dengan taktik baru. Mereka memusatkan kekuatan di sisi barat, berusaha menembus pertahanan kita.”Aeryn mengangguk, menimbang setiap informasi dengan seksama. “Kita harus memperkuat pertahanan di sisi itu, dan siapkan serangan balasan yang mengejutkan.”Althea dan Serat, dengan cekatan, mulai mengatur strategi gabungan antara pasukan darat dan sihir. Mereka memetakan medan dengan teliti, mencari celah yang bisa d
Fajar menyingsing, membawa cahaya baru yang menerangi medan perang yang masih hangat oleh sisa-sisa pertempuran. Aeryn berdiri di tengah pasukan, merasakan getaran semangat yang berbeda. Bala bantuan dari kerajaan tetangga akhirnya tiba, menambah kekuatan yang sangat dibutuhkan.Pasukan baru itu terdiri dari prajurit terlatih, pemanah yang lihai, dan penyihir yang membawa energi magis kuat. Mereka langsung bergabung dengan barisan yang sudah lelah, menyuntikkan harapan baru di tengah kegelapan.Valtherion menyapa komandan bala bantuan dengan hormat, mengatur formasi baru yang lebih kuat dan kompak. “Kita harus memanfaatkan momentum ini untuk menyerang balik,” katanya dengan suara tegas.Aeryn memandang sekeliling, menatap wajah-wajah yang penuh semangat dan tekad. “Ini saatnya kita buktikan bahwa perlawanan kita tidak sia-sia,” ucapnya dengan suara yang menggelegar di tengah kerumunan.Althea dan Serat segera mengambil posisi, mengkoordinasikan pa
Udara dingin pagi itu menggigit kulit, tapi di dalam hati Aeryn justru membara sebuah tekad yang tak pernah padam. Setelah malam yang panjang penuh dengan peperangan dan siasat, kini saatnya merefleksikan apa yang telah terjadi dan mempersiapkan langkah berikutnya. Pemandangan di medan perang masih menyisakan jejak kehancuran. Reruntuhan kayu, perisai pecah, dan pedang yang tertancap di tanah menjadi saksi bisu pertarungan sengit semalam. Namun yang paling mencolok adalah barisan pasukan yang masih tegap berdiri, meskipun wajah mereka tampak letih dan penuh luka. Aeryn berdiri di atas batu besar, matanya menatap cakrawala yang mulai memerah tanda fajar menyingsing. Di sampingnya, Valtherion menyilangkan tangan, menatap peta perang yang dibentangkan di hadapan mereka. “Kita sudah melewati malam tersulit,” ujar Valtherion dengan suara berat. “Tapi ancaman sebenarnya masih di depan mata.” Aeryn mengangguk perlahan, menggenggam
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments