LOGINLuca dikenal sebagai anak jenius di Bumi—pencipta teknik bertarung legendaris, pemilik kekuatan penyembuhan, dan pewaris kejayaan. Tapi suatu hari, ia menghilang. Dan ketika membuka mata, ia terbangun di dunia asing bernama Nuan Omega... dalam tubuh yang bukan miliknya. Di dunia yang ditinggalkan peradaban dan dibangun di atas sistem kasta darah, Luca harus bertahan, beradaptasi, dan mencari siapa dirinya sebenarnya. Tubuh barunya kuat, tapi belum sempurna. Ingatan masa lalunya retak, tapi perlahan kembali. Dan di balik reruntuhan, ia menemukan sekutu aneh, musuh tak terlihat, serta gadis misterius yang memiliki ikatan tak terduga dengan masa depan dunia. Namun satu hal pasti—kehadirannya bukan kebetulan. Dan darahnya... bukan darah biasa.
View More"Ugh... kepalaku... apa ini...?"
Suara itu lirih, nyaris ditelan heningnya udara yang beku. Luca membuka matanya perlahan, cahaya keperakan yang turun dari langit kelabu menabrak pupilnya yang kini berbentuk oval, seperti mata reptil.
Dia tak tahu di mana dirinya berada. Yang ia tahu hanyalah rasa dingin menusuk yang menjalar dari ujung kaki hingga ubun-ubunnya. Tanah di bawahnya keras dan dingin, bukan seperti aspal, tapi logam kaku dengan guratan cahaya samar mengalir di dalamnya.
Ia mencoba bangkit. Sekujur tubuhnya terasa aneh—tidak berat, tapi juga tidak ringan. Begitu ia menatap tangannya sendiri, sesuatu dalam dirinya langsung menjerit. Itu... bukan lengannya. Bukan tubuhnya.
Kulit perak pucat berkilau samar dalam cahaya. Otot-ototnya terbentuk sempurna, tetapi ada retakan halus seperti urat kristal yang bercahaya. Ia menyentuh wajahnya, meraba rahang tajam dan kulit keras seperti logam organik.
"Di mana aku...?"
Luca melihat sekelilingnya dan Ia menarik napas dalam-dalam. Udara berbau logam dan debu. Tidak ada aroma kehidupan. Tidak ada suara kendaraan. Tidak ada manusia.
Luca mengedarkan pandangannya. Gedung-gedung tinggi yang tampak seperti dulunya megah, kini berdiri setengah hancur. Dinding-dinding penuh retakan, jalanan dipenuhi puing. Seolah kota ini... mati. Dan ia, satu-satunya yang tersisa.
Ia berdiri perlahan, mengabaikan rasa kaku di tubuhnya. Tak ada luka. Tidak juga rasa nyeri. Tapi ada yang ganjil. Berat badannya terasa beda. Langkahnya pun... entah mengapa lebih ringan.
Ia melangkah ke arah bangunan terdekat, dindingnya miring dan hampir runtuh. Di dalamnya, ada sesuatu yang memantulkan cahaya samar.
Sebuah cermin retak. Kotor, penuh debu, tapi cukup untuk memantulkan sosoknya.
Dan di situlah ia berhenti.
Menatap bayangan dirinya sendiri.
Diam. Sangat lama.
"...Putih?"
Rambut. Wajah. Mata. Semuanya berubah. Wajah itu bukan miliknya. Wajah yang lebih muda, lebih tajam... lebih asing.
Luca mengangkat tangannya, menyentuh pipinya perlahan.
Bukan ilusi. Bukan mimpi. Bukan hologram.
Ia menghela napas pelan. "...Oke. Jadi aku remaja anime sekarang."
Ia berkata datar, nyaris tanpa nada.
Ada sedikit jeda.
Lalu ia mengangkat alis kirinya.
"Tidak. Bahkan anime pun tidak separah ini."
Ia menjauh dari cermin, melangkah kembali ke luar bangunan. Debu di udara perlahan menetap, seolah kota ini sengaja menyambutnya dalam diam.
Ia mencoba mengingat.
Apa yang terjadi sebelumnya?
Ia di Bumi. Ia ingat itu. Ia ingat laboratorium. Suara orang-orang. Kemewahan yang selalu mengelilinginya. Orang-orang yang terus-menerus memujanya... lalu—
Gelap.
Seolah seseorang menekan tombol 'off'.
Dan sekarang, ia di sini. Dunia yang tidak pernah ia lihat, dalam tubuh yang bukan miliknya.
"Jika ini penculikan, pelakunya terlalu ambisius," gumamnya. "Kecuali mereka juga menculik planet lain sebagai latarnya."
Ia menatap langit kelabu itu lagi. Lalu ke kota yang sepi. Tidak ada tanda kehidupan. Bahkan suara serangga pun tidak terdengar.
"...Di mana aku?"
Pertanyaan itu bukan untuk siapa-siapa. Hanya sebaris kalimat yang dilempar ke udara, sekadar memastikan bahwa ia masih punya suara.
Ia mulai berjalan. Menyusuri jalanan berdebu yang dipenuhi puing. Tidak ada arah tujuan. Hanya kaki yang melangkah, dan mata yang mencari sesuatu... apa saja.
Lalu, di kejauhan, ia melihat sesuatu.
Sebuah papan kayu berdiri miring di antara reruntuhan. Tulisan di atasnya nyaris terhapus, tapi masih bisa dibaca:
"Welkom in die wêreld van Nuan Omega."
Luca memiringkan kepala. "...Bahasa Afrika?"
Ia menatap tulisan itu sejenak, lalu bergumam, "Tentu saja. Karena bahasa universal terlalu mainstream."
Dan ia tersenyum. Sedikit. Hanya sesaat.
Papan kayu itu tak memberinya petunjuk lebih. Hanya satu kalimat sambutan yang seolah-olah dibuat oleh panitia festival lalu ditinggal lupa.
"Welkom in die wêreld van Nuan Omega."
Ia mengulangnya pelan, lidahnya mencoba membiasakan diri. Dunia ini... bernama Nuan Omega?
Ia berjalan pelan menyusuri jalan utama kota. Setiap langkah menimbulkan suara lembut di antara debu. Bangunan-bangunan menjulang di sisi kanan dan kiri, sebagian besar runtuh sebagian, seperti dihantam gempa raksasa. Jendela-jendela pecah, pintu-pintu bergantung setengah, dan jalan yang dulunya mungkin rapi kini berubah menjadi lautan puing dan sampah.
Namun, ada satu hal yang membuatnya berhenti.
Sebuah tiang berdiri kokoh di tengah jalan. Terbuat dari logam hitam mengkilat, tampak terlalu utuh dibandingkan sekitarnya. Pada tiang itu, terdapat semacam panel melingkar—seperti jam, tapi tak ada jarum penunjuk.
Cahaya biru samar menyala di bagian tengahnya, seperti denyut jantung yang belum mati.
Luca mendekat.
Teknologi?
Ia menyentuh permukaan panel itu dengan ujung jarinya.
"—Sambungan tidak ditemukan. Otorisasi pengguna tidak dikenali. Harap daftarkan diri Anda pada terminal terdekat."
Suara perempuan, netral, keluar dari panel itu dalam bahasa yang ia mengerti. Tapi bukan suara manusia. Lebih seperti... AI.
Luca menyipitkan mata. "Teknologi, ya... Jadi dunia ini tidak sepenuhnya primitif."
Ia menatap sekeliling. Jika teknologi ini masih hidup, maka dunia ini tidak sepenuhnya mati. Hanya... tidur. Atau ditinggalkan.
Jika ini dunia lain—dan semua tanda sejauh ini mendukung teori itu—maka bisa dipastikan dia... telah direinkarnasi. Atau dipindahkan. Atau... mungkin, tubuh lamanya dihancurkan dan pikirannya di-upload ke wadah baru?
Tiga hari berlalu dalam ketegangan yang sunyi. Bagi Tim Nuhawan, hari-hari terakhir sebelum pertandingan bukanlah waktu untuk bersantai atau pamer kekuatan di arena latihan umum. Sebaliknya, mereka mengunci diri di kamar penginapan mereka. Tiga hari itu dihabiskan untuk berlatih dalam diam, mempelajari data yang telah mereka kumpulkan dengan susah payah, dan mengamati pergerakan rival-rival mereka dari balik bayang-bayang jendela.Setiap hari, kota terapung Aethel menjadi semakin ramai, semakin tegang. Udara dipenuhi oleh dengungan energi dari para pejuang terkuat dua benua yang menyelesaikan persiapan terakhir mereka. Atmosfernya begitu padat hingga nyaris bisa dirasakan, sebuah janji akan pertarungan legendaris yang akan datang.Lalu, fajar di hari ketujuh pun tiba.Tim Nuhawan berdiri di gerbang belakang Koloseum Awan Langit. Pemandangan di hadapan mereka begitu megah hingga membuat napas tercekat. Ini bukanlah sebuah arena biasa. Ini adalah sebuah mahakarya arsitektur, sebuah kolo
Malam di Aethel terasa dingin saat Luca menyelinap kembali ke Penginapan "Bintang Jatuh". Kristal peredam darah dari Selvine terasa berat di sakunya, sebuah pengingat akan beban baru yang kini ia pikul. Pikirannya tidak lagi dipenuhi oleh strategi untuk turnamen atau rencana untuk menemukan teman-temannya. Kini, pikirannya dipenuhi oleh satu hal: bayangan dari senyum dingin Instruktur Zerel d’Veynn.Ia tiba di depan pintu kamar tim mereka. Dari dalam, ia bisa mendengar suara yang familiar: perdebatan sengit antara Zane dan Nyxel, kemungkinan besar tentang siapa yang berhak mendapatkan potongan terakhir dari kue madu yang mereka beli di pasar. Biasanya, Luca hanya akan menghela napas dan masuk. Tapi malam ini, sesuatu di dalam dirinya telah berubah.Ia membuka pintu.Seketika, semua suara di dalam ruangan berhenti.Zane, yang tangannya sudah terulur untuk merebut kue dari piring Nyxel, membeku di tempat. Nyxel, yang sudah siap melepaskan pekikan protes, menelan kembali kata-katanya. Ba
Perjalanan kembali dari Air Terjun Giok adalah sebuah penyiksaan yang sunyi. Setiap bayangan terasa seperti musuh, setiap bisikan angin terdengar seperti peringatan. Peringatan Selvine—“Kau adalah aset yang melarikan diri”—menggema di benak Luca, lebih dingin dan lebih tajam daripada es mana pun yang pernah ia ciptakan.Saat ia menyelinap kembali ke Penginapan "Bintang Jatuh", tempat yang beberapa jam lalu terasa seperti surga yang ramai, kini terasa seperti sarang hiu. Keramaian lobi tidak lagi terdengar seperti kebisingan biasa; setiap tawa, setiap tatapan dari para peserta lain, terasa seperti potensi ancaman. Ia kini melihat setiap peserta dari Benua Merah bukan hanya sebagai rival, tetapi sebagai kemungkinan mata-mata Akademi, anjing pelacak yang dikirim untuk membawanya kembali ke kandang.Ia tidak langsung kembali ke kamarnya. Didorong oleh kebutuhan yang mengerikan untuk melihat kebenaran dengan matanya sendiri, ia bersembunyi di bayang-bayang sebuah pilar besar di lobi, matan
Malam di Aethel turun dengan keagungan yang sunyi. Tiga bulan—satu perak besar dan dua adiknya yang berwarna biru dan hijau—memancarkan cahaya magis ke atas menara-menara putih gading kota terapung, menciptakan pemandangan yang seolah berasal dari negeri dongeng. Namun, bagi Luca, keindahan itu terasa hampa, hanya menjadi latar bagi kegelisahan yang menggerogoti hatinya.Dengan jubah berkerudung yang menyembunyikan rambut putihnya yang mencolok, ia menyelinap keluar dari Penginapan "Bintang Jatuh". Ia bergerak seperti hantu melalui jalanan Aethel yang remang-remang, menghindari patroli penjaga dan tawa riuh dari para peserta lain yang sedang menikmati malam terakhir mereka sebelum persiapan turnamen dimulai. Setiap langkahnya penuh kewaspadaan, setiap bayangan adalah potensi musuh.Ia mengikuti instruksi dari pesan Selvine, menuju sebuah taman tersembunyi di distrik timur kota, sebuah area yang dikenal karena ketenangannya. Setelah melewati serangkaian jembatan kristal yang melintasi
Malam pertama di Aethel turun dengan keagungan yang menekan. Setelah dewan perang mereka yang singkat namun padat, tim dari Pulau Nuhawan tidak bisa beristirahat. Beban dari dua ancaman besar—Jenderal Kael yang misterius dan Faksi Petir Hitam yang brutal—terasa seperti batu raksasa yang menekan pundak mereka.Keesokan paginya, mereka memulai misi intelijen mereka. Zane, dengan antusiasme yang terkendali, pergi ke arena latihan. Lian menghilang ke dalam bayang-bayang distrik bangsawan. Dan Nyxel mencari menara tertinggi untuk "mendengarkan" kota.Luca, di sisi lain, mengambil tugas yang paling membosankan namun paling penting: memahami lingkungan barunya. Ia menghabiskan paginya di lobi utama Penginapan "Bintang Jatuh", duduk sendirian di meja sudut yang gelap, hanya memesan segelas air dingin. Dari sini, ia bisa mengamati semuanya.Ia melihat para ksatria dari Kerajaan Baja yang tertawa terbahak-bahak, setiap gerakannya memancarkan arogansi kekuatan fisik. Ia melihat para penyihir elf
Malam pertama di Aethel turun dengan keagungan yang menekan. Dari jendela kamar penginapan mereka yang sederhana, menara-menara putih gading kota terapung itu tampak seperti tulang-belulang dewa yang menusuk langit malam yang dipenuhi bintang-bintang asing. Namun, di dalam kamar yang sempit itu, tidak ada kekaguman. Yang ada hanyalah ketegangan yang pekat.Mereka berempat berkumpul di sekitar meja kayu kecil. Zane, yang biasanya selalu gelisah, kini duduk diam, lengannya yang berotot terlipat di dada, ekspresinya serius. Nyxel tidak lagi bersenandung; ia hanya menatap kosong ke permukaan meja. Dan Lian, ia berdiri di dekat jendela, punggungnya yang lurus memancarkan aura dingin yang lebih pekat dari biasanya.Mereka semua telah memproses hari pertama mereka. Skala kekuatan yang mereka lihat di pelabuhan, nama-nama legendaris di Papan Penantang, dan peringkat mereka sendiri yang berada di paling bawah dengan deskripsi "Tidak Dikenal". Semua itu adalah sebuah tamparan keras yang membang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments