***
Setibanya di istana megah milik keluarga Varell Damington, pria bersurai kelam memasuki halaman rumahnya dengan langkah tenang. Pria itu tahu jika lambat laun perselingkuhannya dengan Lea akan tercium juga apalagi oleh keluarga Bella.
Ketika pria berjas hitam tampak memasuki rumah, seluruh tatapan penghuni rumah teralihkan ke arahnya. Ruang tamu yang biasanya sepi kini mendadak menjadi ruangan penuh lautan manusia dari keluarga Bella.
Varrell terus melangkah menghampiri keluarga besarnya, ia tersenyum seolah tak terjadi apa-apa.
"Apa kabar semuanya? Bagaimana kabarmu Ayah? Ibu? Kakak ipar?" sapa Varell dengan nada santai sembari menghempaskan bokongnya di sofa mewah, dimana keluarga besarnya tengah berkumpul.
Tak ada jawaban. Keluarga Bella terlihat masam ketika melihat kehadiran Varell Damington, apalagi ditambah dengan sikapnya yang seolah-olah tak terjadi apa-apa.
"Varrell, katakan pada kami, apa yang kaulakukan dibelakang Bella?" tanya Louis Brandon, ayah Bella dengan tatapan murka.
Bola mata pria paruh baya itu menatap anak menantunya dengan tajam. Setiap gerak Varell terkunci rapat di bola matanya yang hitam.
"Ayah, apa maksudmu?" tanya Varell tenang, ia mengendurkan dasi yang melilit lehernya sedari tadi.
"Jangan kaukira kami tidak tahu apa saja yang kau perbuat di belakang kami," imbuh Sarah Brandon dengan tatapan tak kalah sadis. Wanita ini tak kalah murka dengan suaminya.
Varell mengangkat sebelah alisnya, ia menyandarkan punggung di sofa yang saat ini tengah ia duduki. "Apa? Apa yang ingin kalian ketahui dariku?"
Semua membisu, memilih agar Varell sendiri yang membuka mulut dan menceritakan segala perbuatan busuknya.
"Aku tidak akan menjawab jika tidak ada yang bertanya," tantang Varell sekali lagi. Kali ini seluruh keluarga Bella hanya bisa saling tatap, seakan saling berunding untuk siapa dulu yang akan mengajukan pertanyaan.
"Varell, aku dengar kau berselingkuh. Menurutmu, apa itu benar?" Louis memberanikan bertanya, kali ini nada suaranya sedikit ia rendahkan.
Varell menghela napas. Bola matanya yang tajam kini balik menghunjam manik mata ayah mertuanya. "Jika iya, memang kenapa?"
Baik ayah maupun ibu mertua Varell, mereka sama-sama terkesiap. Raut wajah mereka berubah lalu kembali berpandangan satu sama lain. Mereka merasa keberatan akan sikap kurang ajar menantunya.
"Kenapa? Ada pertanyaan lain?" Varell menantang dengan penuh berani. Pria itu kini bersedekap, menyabarkan diri atas penghakiman keluarga Bella terhadap dirinya.
Baik Louis maupun Sarah, mereka tak menyangka jika anak menantu yang mereka banggakan justru mengakui perbuatan tengiknya dengan terang-terangan di hadapan mereka.
"Kenapa? Apa kurangnya Bella?" Kali ini Ria Brandon, selaku kakak ipar Varell yang melontarkan pertanyaan.
Tatapan mata Varell tertuju penuh pada Ria. Wanita berambut cokelat dengan dandanan mewah itu kini terbingkai jelas di kedua bola mata Varell. "Boleh aku melempar pertanyaan ini pada Bella?"
Keluarga Bella terbungkam, hanya bisa menahan marah. Tatapan dingin Varell kini menyorot keberadaan Bella yang duduk di tengah-tengah mereka.
"Bella, apa kekuranganmu? Apa kau bisa menjawabnya?" Suara Varell lirih namun penuh dengan sarkasme.
Bella terdiam, ia menelan ludah dengan susah payah. Sepertinya susah bagi wanita itu untuk intropeksi diri.
"Kenapa aku berselingkuh? Kenapa aku memilih Lea daripada dirimu? Kenapa aku melakukan ini semua? Seharusnya kau bertanya dulu pada dirimu sebelum kau mengumpulkan keluarga besarmu untuk menyerangku," singgung Varell berusaha untuk menekan emosinya.
Suasana ruang tamu terasa sunyi, meski dihuni banyak orang, tidak ada satu orang pun yang berani menjawab apalagi membantah ucapan Varell Damington.
"Aku memilih wanita itu karena secara emosional dia bisa mengerti keadaanku. Dia tidak pernah menuntutku dan juga bisa membahagiakanku. Bella, seharusnya kau berterimakasih kepadanya. Karena bujukannya-lah aku menunda keputusanku untuk menceraikanmu," ucap Varell menatap tajam ke arah Bella.
"Apa? Cerai?" pekik Sarah terkejut. Wanita selaku ibu dari Bella itu tak sanggup untuk membayangkan jika putrinya kelak akan menjadi janda.
"Ya, apa kalian keberatan?"
"Varell, kami tidak suka kau menyia-nyiakan Bella. Bagaimanapun dia putri kami yang telah kau pinang. Dia sangat mencintaimu, kenapa kau tega ingin menyia-nyiakan Bella demi seorang wanita jalang yang hanya ingin harta dan uangmu saja," tukas Louis tak kalah tajam.
"Tak masalah sejalang apapun dia, senakal apapun dia, aku lebih mencintai Lea daripada Bella. Apa kau tahu ayah mertua, jika putrimu yang bermartabat ini bahkan tidak bisa membuatku 'berdiri' lagi."
"Varell, cukup!" Ria menyela dengan kesal. Kuping wanita itu memerah mendengar segala pengakuan Varell yang menyudutkan keberadaan Bella. Sedang di sana, Bella hanya tertunduk lalu menangis tak berdaya.
Varrell mengembuskan napas panjang, ia lalu beranjak berdiri dengan tegap. "Jika kalian ingin putri kalian masih tinggal di sini, sebaiknya kalian tidak usah turut mencampuri urusanku. Aku, Varell Damington, sekali lagi aku melihat kalian berkomplot untuk menyerangku seperti ini, maka tidak menunggu esok hari maka keluarga kalian akan hancur."
****
Suara bel apartemen menyadarkan lamunan Lea sore itu. Pikiran wanita itu melayang-layang entah kemana. Menghela napas, Lea meletakkan mug kesayangannya di meja lantas beranjak menuju ke depan pintu.
Wanita itu tertegun ketika mendapati sosok Kevin berdiri di depan pintu apartemennya. Tersadar, Lea lantas menutup kembali pintunya. Namun sayang, Kevin cepat tanggap. Pria berwajah tampan segera menahan pintu lalu merangsek masuk.
"Lea, aku mohon! Beri waktu aku beberapa menit," pinta Kevin sembari menaut jemari tangan Lea Khalilea.
"Ada apa? Tidak seharusnya kau datang kemari," ucap Lea tak berkenan.
"Lea, siang tadi aku ...." Kevin merona merah, ia tidak sanggup melanjutkan ucapannya yang jelas saja membuatnya malu setengah mati.
"Aku tahu. Jangan bahas itu lagi," dengkus Lea lalu melepaskan tautan tangan Kevin. Wanita berwajah ayu itu melangkahkan kaki ke sofa kecil dan duduk merapat di sana.
"Lea, sebagai temanmu, aku sungguh tidak ingin kau menemui permasalahan seperti tadi. Aku-, aku merasa tidak rela ketika ada orang lain yang memperlakukanmu dengan kasar seperti tadi," ungkap Kevin turut duduk di samping Lea.
"Kevin, berhentilah mencampuri urusanku. Jika ada orang yang terluka dan melampiaskannya padaku, itu adalah urusanku dan bukan urusanmu," tukas Lea kurang suka. Wajah ayu itu terlihat tertekan, ia membuang pandangan ke sisi lain.
Kevin terdiam, perlahan ia meremas jemari Lea dengan lembut dan perhatian. "Seperti yang aku katakan tadi, Lea, berhentilah memasuki rumah tangga orang lain. Bekerjalah di tempatku dan aku bisa memberikan beberapa uang untukmu."
"Kevin ...."
"Lea, dengarkan aku sekali lagi. Ini demi hidupmu, ini demi masa depanmu. Lea, kau dengan wanita itu sama-sama memiliki perasaan sebagai perempuan. Tidak pernahkah kau membayangkan bagaimana jika kau berada di posisinya?" ucap Kevin mencoba menasehati.
Lea terdiam, ia tertunduk pasrah. Sepertinya ia mulai lelah dengan kebawelan Kevin padanya. Lea akui, hanya pria itulah yang tidak merasa jijik berdekatan dengannya setelah tahu yang sebenarnya.
"Lea, aku peduli padamu." Kevin kali ini berkata sedikit berbisik, kedua tangannya menangkup pipi tirus Lea dan menghadapkan ke arahnya. Mereka bertatapan cukup lama.
"Kevin, aku mohon ...."
"Lea, aku juga mohon padamu. Dengarkan dan pertimbangkan ucapanku, Lea. Aku tahu, tidak ada cinta untuk Varell di matamu."
"Kevin, kau salah. Aku benar-benar mencintainya Varell. Aku sangat mencintainya, jika tidak mana mungkin aku bertahan," sanggah Lea pelan.
"Tidak!" Kevin menggelengkan kepala. "Kau tidak mencintainya. Kau punya alasan sendiri untuk mendekatinya. Kau punya tujuan lain selain harta dan menumpang hidup. Lea, aku selalu dekat denganmu, aku selalu tahu apa saja tentang dirimu. Lea, berhentilah pura-pura. Jangan siksa hidupmu seperti ini."
Lea terdiam, ia tertunduk. Wanita itu merasa kalah ketika Kevin dengan leluasa membeberkan segala perasaan yang tersembunyi dalam benaknya.
"Lea, aku tidak berpura-pura. Aku-, aku benar-benar mencintaimu. Kumohon, berhentilah mengganggu Varell. Hiduplah bersamaku tanpa rasa takut. Lea, aku berjanji, aku akan menerima dirimu apa adanya. Siapa dirimu, seperti apakah kelakuanmu, aku takkan memperdulikan itu. Lea, aku hanya mohon padamu. Berhentilah, mari hidup bahagia bersamaku."
Kevin berbisik sembari menatap dua bola mata Lea yang perlahan berair dan meneteskan airmata. Rasa bersalah kini menghunjam dada Lea. Ia tahu, apa yang ia lakukan adalah salah. Namun, ia terjebak terlalu dalam hingga sulit baginya untuk bangkit apalagi untuk meninggalkan.
"Aku tidak akan memaksamu meninggalkannya sekarang tapi coba dan coba. Memang tidak akan se-instan itu tapi aku yakin kau bisa kembali ke kehidupanmu yang normal," ucap Kevin memberi semangat. Pria itu menghapus air mata Lea dengan lembut.
Perlahan Kevin mendekatkan wajahnya, kehendak hati ia ingin sekali menenangkan hati wanita pujaannya tersebut. Tanpa Kevin sadari, bibirnya perlahan menaut bibir lembut Lea.
Ciuman singkat itu terasa begitu manis hingga akhirnya Lea tersadar dan mendorong tubuh Kevin agar sedikit menjauh. "Aku, aku belum bisa meninggalkan Varell. Belum, belum bisa."
Wajah Kevin terlihat kecewa tapi ia segera menghela napas dan merangkul bahu Lea dengan lembut. "Aku tahu. Kau pun sudah cukup dewasa untuk berpikir. Lea, jika kau membutuhkan bantuanku jangan segan untuk datang kepadaku. Aku dengan senang hati mengulurkan tanganku padamu. Lea, jangan pernah lupa, jangan pernah lupa bahwa masih ada pria ini yang akan menunggu dengan setia kepulanganmu. Lea, aku akan tetap berdiri di sampingmu."
****
****Ruang tengah milik keluarga Varrell Damington kini kembali sepi. Setelah Varell pergi, kini rumah itu hanyalah tinggal keluarga Bella yang masih terduduk dengan amarah yang meluap-luap di dada. Wajah Louis tidak dapat disembunyikan, rasa marah bercampur kecewa kini tercetak jelas di wajahnya yang tegas."Bella, apapun demi dirimu, Ayahmu ini tidak akan menyerah. Jika Varell tidak bisa meninggalkan wanita itu maka akan kubuat wanita itulah yang akan meninggalkan Varell," ujar Louis Brandon dengan tangan mengepal sangat erat.Bella yang menangis sesenggukan mulai menenangkan tangisnya. Ada harapan baru yang muncul dari pelupuk matanya yang basah. "Dengan apa? Sedangkan aku sudah mencobanya namun selalu gagal."Luois Brandon terdiam, tatap matanya masih lurus ke depan. Sebagai ayah, ia tetap tidak bisa menerima segala alasan yang Varell lontarkan padanya."Kau tidak cukup mengerti lawanmu, Nak. Biarkan a
****Lea menggeliat ketika sinar matahari menebus jendela kaca yang tepat berada di dalam kamarnya. Sinarnya yang keemasan begitu menyilaukan, membuat tubuh sang wanita bereaksi dan segera bangun dari mimpi-mimpi indah.Menoleh ke samping, Lea tersenyum tipis ketika menyadari bahwa Varrell Damington memilih untuk tidur di sini semalaman hanya untuk menemaninya. Lea mengembuskan napas, ia merebahkan diri lagi di samping Varell.Wanita bermata indah itu menatap wajah Varell yang teramat tampan. Ia kembali tersenyum seraya mengelus wajah sang kekasih dengan lembut."Varell, maafkan aku. Aku telah memanfaatkan dirimu selama ini. Aku ingin segera mengakhiri tapi, semua sudah terlalu dalam untuk diakhiri. Varell, sekali lagi maafkan aku yang telah menggunakan dirimu untuk kepentinganku." Lea berbisik lirih.Varell perlahan membuka mata, membuat mata Lea terbelalak kaget. Mungkinkah pria yang tidur disampingnya i
***Seperti biasa Varrel menyempatkan waktunya untuk mengantar sang pujaan hati untuk pergi ke tempat kuliah. Pagi menjelang siang yang sedikit terik lengkap dengan riuhnya lalu lalang kendaraan tidak menyurutkan keinginan Varrel Damington untuk tetap pergi menemani Lea Khalilea untuk berangkat kuliah hari itu."Jam berapa kau akan pulang?" tanya Varrel pada Lea tanpa sekalipun pria itu menatap wajah ayu sang pujaan hati.Lea tersenyum tipis, menatap jalanan yang ramai pikirannya pun mengembara tepatnya pada sore hari nanti. Pria itu bahkan bertanya sesuatu yang jelas-jelas belum ia lakoni sedikitpun. Tak ada jawaban dari bibir Lea, membuat Varell menoleh sejenak ke arah Lea Khalilea."Kenapa hanya diam? Kau tidak ingin aku menjemputmu?" tanya Varrell dengan nada sedikit emosional. Sekali lagi Lea tersenyum, ia bahkan tidak tahu bagaimana dengan jalan pikiran pria itu."Sayang, ini masih
Wajah Lea Khalilea ditekuk, ia berjalan dengan wajah bersungut. Mimpi apa semalam hingga ia harus menemui masalah pelik sepagi ini. Bella bukanlah lawannya kendati wanita itu mencoba memperlakukannya dengan lembut ia tetap saja tidak bisa memperlakukan Bella sebagaimana mesti wanita itu telah memperlakukannya.Sebenarnya sebagai seorang wanita, Lea juga memiliki perasaan yang sama seperti yang Bella rasakan. Ia juga tidak ingin terancam apalagi dengan keberadaan wanita lain di sebelah suaminya namun lagi-lagi masa lalu yang membayang membuat wanita berkemeja ungu itu harus dan harus melakukan hal yang salah berulang-ulang kali.Lamunan Lea tersadar ketika seorang dosen menegur dan menghampirinya. Wajah pria paruh baya itu tampak ditekuk, ada sebuah berita yang hendak ia sampaikan pada salah satu murid tercerdas di kampusnya."Lea ...," panggilnya pelan namun terdengar sangat darurat. Lea menghentikan langkah tepat di hadap
*****Email di komputer Varrell berbunyi. Sesaat perhatian Varrel teralihkan dari tumpukan laporan ke arah layar komputer. Menaikkan alis sejenak, Varrel merasa aneh dengan kontak email tersebut. Butuh beberapa detik untuk Varrell memutuskan dibuka atau tidaknya email tersebut. Pesan yang tidak hanya sekali ataupun dua kali cukup mengulik rasa penasaran si tampan Varrell Damington.Jemari kokoh itu akhirnya tergerak untuk sejenak mengintip apa isi dari email misterius tersebut. Kedua mata Varrell menatap dengan sangat intens hingga akhirnya jantungnya berdegup kencang tatkala melihat foto Lea Khalilea menghiasi layar komputernya.Melihat hal tersebut, Varrell menganggapnya sebagai hal yang tidak bisa diremehkan. Mencurahkan perhatian penuh akhirnya Varrell memutuskan untuk membaca isi email tersebut. Setiap info yang ia baca membuat jantung pria itu serasa nyaris berdegup sangat cepat. Tanpa ia sadari, kedua tangannya te
****Raut wajah Varrell Damington sedikit berubah tatkala mendengarkan pengakuan dari Lea Khalilea. Pria itu sadar jika Lea kali ini tidak akan berbohong padanya."Jadi apa yang akan kaulakukan padaku, Varrell? Apa kau akan membunuhku juga?" tantang Lea sambil memberanikan diri menatap mata tajam Varrell Damington."Lea, aku tidak menyangka jika kau adalah ..., adalah anak dari pria itu. Aku sungguh tak percaya," ungkap Varrell tak percaya. Suaranya nyaris tak terdengar, ia menyimpan kekecewaannya dalam hati."Ya, lalu kau mau apa? Apa kau kecewa? Apa kau ingin meninggalkanku?" Lea bertanya penuh telisik. Jawaban dari bibir Varrell begitu berarti dalam hidupnya."Kita dulu nyaris bertunangan. Tapi ...." Varrell tak melanjutkan ucapannya, ia tertunduk dengan seribu perasaan yang tak bisa ditebak."Ayahku meninggal dalam kecelakaan dan perusahaannya jatuh ke tanganmu," aku Lea pelan, perla
****Malam itu, Bella akhirnya angkat kaki dari kediaman serba mewah milik Varrell Damington. Wanita itu tidak cukup mengerti apa yang tengah menimpanya kini. Kesabaran yang selama ini coba ia tanam kini akhirnya runtuh sudah. Baginya, jika tidak ada Lea Khalilea maka Varrell tidak akan berubah sedrastis ini. Wanita bermata cokelat itu belum juga mengerti bahwasanya Varell memang sedari dulu tidak pernah mencintainya.Dengan ditemani sang sopir, Bella mengubah haluannya yang semula ingin pulang ke kediaman Brandon menjadi ke kediaman si wanita jalang yang selama ini telah mempengaruhi suaminya. Dengan kemarahan tak kalah menggebu, ia berharap kali ini bisa membabat habis parasit yang selama ini menggerogoti jalinan rumah tangganya."Nyonya, malam ini kita mau kemana? Apakah tidak sebaiknya besok pagi saja?" saran John, sang supir pribadi Bella Brandon.Sembari menghapus air mata kekecewaan, Bella menatap luar jendela
****Perasaan cinta yang mendalam dalam hati Varell Damington memang tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Sejauh apapun pria itu berlari, ia tetap akan menerima kenyataan bahwa hati kecilnya telah digenggam wanita kecil itu. Ya, Lea Khalilea.Mengembuskan napas dengan resah, Varell terus menahan dirinya untuk tidak pergi mencari wanita pujaannya. Rasa takut yang membuncah dalam hatinya terlalu besar dan mampu mengalahkan niatnya untuk meminta maaf.Sekilas pikiran pria itu melayang pada sosok Lea. Wanita yang ia kagumi sepanjang hari, seperti apakah dia saat ini?Ada rasa sesal ketika mengingat kembali keadaan Lea Khalilea. Setelah Varell mengusirnya, terbersit perasaan tak nyaman dalam hati Varell. Seharusnya ia tidak mengusir wanita itu. Sekarang, dimanakah wanita itu tinggal? Apakah dia sudah makan?Kembali menarik napas dengan berat, perhatian Varell kini ia alihkan pada layar laptop di meja kerjanya. Men