Dari berbagai banyak warna di dunia. Kenapa harus warna hitam? Padahal hitam tidak termasuk ke dalam warna pelangi yang tujuh. Sama seperti warna lainnya, hitam juga memiliki makna yang melambangkan kekuatan, keseriusan, kesunyian, misteri, dan juga kerahasiaan. Dari berbagai arti itu, akhirnya aku paham kenapa si pengirim misterius itu mengirimkan amplop berwarna hitam. Tak perlu di jelaskan pun aku sudah paham tujuan dan maksud dari orang misterius itu. Eh, tidak. Apa sekarang tidak lagi menjadi misterius karena aku sudah tahu sedikit banyaknya? Suasana kelas sepi, hanya menyisakan aku dan Mino. Boleh jadi mereka tengah mengantri untuk mendapatkan jatah makan siang di kantin. Membayangkannya saja aku menjadi tak selera makan. Ah, aku mengutuk dalam hati. Jika saja aku bisa merubah peraturan yang satu itu. Maka semua murid bisa makan dengan tenang. Tapi bagaimana caranya? Aku tidak punya kekuatan untuk itu. Bertahan untuk bisa terus bersekolah di sini saja sudah membuatku
Rey mendaratkan tangannya tepat di pipi kanan Hana. Dia menampar telak Hana. Gadis itu terhenyak ke belakang hingga melangkah mundur. “Berapa kali kubilang jangan menulis hal-hal tak berguna di buku diari bodohmu itu, huh?” Rey berseru geram. Amarahnya sudah mencapai ubun-ubun. “Gara-gara kau.” Kali ini Rey mendorong kepala Hana berulang kali. Sedangkan gadis itu tak melawan dan menerimanya begitu saja. Mulutnya seperti terkunci. “Gara-gara kau, dia tahu semuanya tentang kita. Bukankah kau bilang tak ingin bersamaku lagi. Oke. Aku sudah turuti semua kemauanmu, tapi seharusnya kau juga melakukan hal yang sama padaku. Baru adil namanya. Jika begini apa yang harus kulakukan? Apa perlu kuumumkan siapa kau sebenarnya?” Rey memukul angin kosong. Tangannya kembali terangkat yang membuat Hana semakin menunduk ketakutan. Hanya masalah waktu hingga tangan Rey kembali menampar pipinya. Tapi perkiraan Hana salah. Rey justru menurunkan tangannya dengan pelan dan membelai pipi Hana yang
Mino mencariku ke toilet wanita karena aku tak kunjung kembali ke meja kami di kantin. Aku juga sudah pergi terlalu lama jika hanya ke kamar mandi. Dia menunggu di depan pintu kamar mandi wanita dan juga bertanya pada setiap gadis yang baru keluar dari dalam. Apakah mereka melihatku di dalam atau tidak. Setelah bertanya pada beberapa anak perempuan, tidak ada satu pun dari mereka yang melihatku di dalam. Mino yakin kalau aku tak pergi ke kamar kecil melainkan ke tempat lain. Mino menyusuri lorong menuju ruang kelas kami. Tetap saja dia tak menemukan aku di sana. Dia juga mendatangi bangku tempat duduk kami biasanya di lapangan. Aku juga tidak ada di sana. Wajar saja jika Mino tak menemukanku karena aku masih berada di atap. Rey sudah turun beberapa menit yang lalu. Aku melihat anak-anak yang tengah berlari mengelilingi lapangan di tengah hari. Aku merutuk kesal. Kenapa ada jam olahraga di tengah hari seperti ini? Padahal masih banyak waktu yang bisa digunakan m
“Kau mau sekalian membolos?” Mino memberi ide. Mataku membesar. Itu bukan ide buruk. Dengan cepat aku setuju dengannya. Sudah lama kami tak membolos. Waktu itu aku tak ingat pesan dan peringatan dari Pak Beni. Akhirnya aku tetap bolos bersama Mino sepanjang hari. “Kita mau kemana?” Aku bertanya. Kami berjalan menyusuri trotoar panjang sepanjang jalan. Banyak mobil yang berlalu lalang. Aku bisa menciup bau asap mobil yang pekat. Dari tadi kami benar-benar berjalan kaki. Tak membawa tas sama sekali. Hanya berjalan tanpa berpikir panjang. “Kau bilang mau mencari udara segar.” Mino menjawab singkat. “Hei! Ini yang kau sebut udara segar? Tidak ada udara bersih di sini, yang ada hanya karbon dioksida yang terhirup oleh hidungku.” Aku bersungut-sungut. Dia sama gilanya denganku. Eh, tidak lebih aneh. Matahari sudah hampir tergelincir. Hari sudah menunjukkan pukul empat sore. Kami tiba di taman di pinggir kota. Aku memilih untuk dudu
“Ada masalah baru Mister.” Sekretaris Lin melaporkan dari balik kemudi. Nada suaranya terdengar serius. Dia tetap fokus ke depan memperhatikan jalanan yang sudah mulai padat. Mister Han menyimak. Dia mengalihkan pandangan pada Sektetaris Lin. “Jia mendapatkan surat peringatan satu karena sudah membolos sebanyak lebih dari lima kali. Pak Beni sudah menghubungi saya tadi siang.” Sekretaris Lin tetap fokus mengemudi. Baru saja sebuah motor menyalip meobil mereka. “Benarkah?” Sekretaris Lin melirik Mister Han melalui kaca kecil yang menggantung kemudian memberi anggukan. “Dia tidak sendiri Mister, tapi bersama teman sebangkunya Mino.” “Dia juga ikut?” “Waktu pelayanan masyarakat Jia sudah hampir berakhir Mister, hanya tersisa sembilan jam lagi.” Sekretaris Lin terus melaporkan perkembanganku pada Mister Han yang berstatus sebagai ayahku. “Baiklah. Besok aku akan menemui Pak Beni secara langsung.” Mister Han membalas s
“Besok Mister Han akan memenuhi panggilan Pak Beni sebagai orang tua,” lanjut Sekretaris Lin menjelaskan. Dia tak peduli dengan ekspresiku yang tampak terkejut. Ah, aku lupa. Aku kemarin membolos dan mengabaikan peringatan dari Pak Beni. Habislah aku kali ini. Apa yang harus kukatakan besok? Apa ini akhir dari semua perjalananku? Apa aku harus kembali ke Kanada dalam dua hari? “Jadi karena itu Mister Han mengajakku makan malam?” Aku memperbaiki raut wajah kembali datar sambil menilik raut wajah Sekretaris Lin. “Entahlah. Aku tak bisa menjawab. Mungkin saja dia hanya ingin makan malam bersamamu,” balas Sekretaris Lin singkat. Meskipun dia bilang tak suka padaku, tapi dia tetap menjawab setiap kali aku bertanya. Memang harus aku akui jika dia salah satu sekretaris yang paling setia pada majikannya. “Oh ya.” Aku teringat sesuatu. Pikiranku bercabang. Percakapanku dengan Rey di atap waktu itu tiba-tiba saja melintas. Waktu itu Rey menyebut t
Aku memainkan kuku jemari di atas pangkuan paha. Antara mendengar atau tidak, tadi Pak Beni menyuruhku menungguku di luar sementara mereka berbicara di dalam sebuah ruangan. Sesekali aku mengintip dari kaca transparan sambil menempelkan telinga pada pintu. Aku bisa mendengar suara tapi tak jelas apa yang mereka bicarakan. Saat pergantian jam pelajaran, ketua kelasku memberi tahu jika Pak Beni sudah menungguku di kantor guru. Baiklah. Sudah waktunya. Tidak ada waktu untuk terkejut ataupun pura-pura tidak tahu. Padahal tadi malam sudah di bahas dengan orang yang bersangkutan langsung. Kenop pintu didorong, pintu terbuka. Sontak aku langsung berdiri dengan kedua tangan tertaut di depan. Aku menelan ludah, bersiap apa yang hendak keluar dari mulut kedua pria paruh baya di depanku ini. Pak Beni menghela nafas berat. Dia menatapku dengan tatapan tak suka. “Akan aku beri kau satu kesempatan terakhir.” Pak Beni berlalu menuju meja kerjanya. Hasilnya di luar
Rey menghempaskan badanku pada pagar besi di belakang sekolah. Tempat ini termasuk tempat anak-anak biasanya merokok karena tak terjangkau kamera pengawas. Aku pernah sekali melewati tempat ini dulu. Aku mengaduh kesakitan. Punggungku telak mengenai pagar yang terbuat dari aluminium itu. “Bukankah sudah kubilang jangan berlagak jika berada di depanku?” Mino mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Rahangnya mengeras. “Kenapa? Kau takut?” Aku membalas menantang. Aku memasang wajah datar. Rey memukul pagar besi dibelakang hingga menimbulkan bunyi gemerincing. Sontak aku langsung menghindar dengan mata yang terpejam. Perlahan aku membuka mata mendapati tangan Rey yang berada tepat di sudut mataku. “Aku bilang aku juga bisa memukul perempuan.” Rey melotot padaku. Dia benar-benar marah. Hening sejenak. Menyisakan suara mobil yang melintas di luar sana. Sesekali suara klakson terdengar. Aku mendongak menyerahkan