Share

Diam-Diam Khawatir

Sepulang sekolah, Aira dan Daffa langsung bergegas ke tempat biasanya mereka melaksanakan sholat ashar. Memang masih sekitar jam tiga setengah empatan, tetapi mereka memilih untuk sholat di waktu awal sebab jika sudah menjelang waktunya habis, pasti akan malas bahkan sekadar mengambil air wudhu pun.

Kini, Aira berada di boncengan motor Daffa, sementara cowok itu terus mengebut takut jika ketinggalan jamaah, ketika sampai di perempatan justru mendapat lampu merah dan seketika itu membuat Aira menggeram kesal.

"Daffa cepet! Keburu iqomah nanti!"

"Ck, iya-iya sabar kenapa, sih? Tuh, lo nggak liat masih lampu merah?" Daffa ikut gegabah melihat kekesalan Aira. Gadis itu memang ingin sekali mengikuti jamaah setiap sholat.

"Argh! Lo sih, harusnya tadi lo ngebut biar dapet ijo," gerutu Aira memukul punggung Daffa, semenit kemudian lampu sudah berubah hijau. Daffa buru-buru melajukan mobilnya.

"Tuh, udah ijo. Jangan marah-marah, entar kalo telat, kan, bisa jamaah sama gue, Ra."

Aira mendengkus keras. "Bukan gitu, maksu—"

Belum sempat Aira menyelesaikan ucapannya, laju motor Daffa sudah berhenti. Akhirnya dengan perasaan yang lega bercampur kesal, Aira turun dari motor lalu membuang napas panjang saat mengetahui sholatnya belum dimulai.

"Turun, udah nyampe, Kebo," kekeh Daffa meletakkan helmnya ke atas motor.

Aira mendengkus. "Tai, lo."

Masjid yang tidak terlalu besar dan luas, lebih tepatnya lebih pantas disebut musholla. Letaknya di dekat perkampungan, udaranya tetap sejuk meski sudah sore. Aira dan Daffa memilih tempat itu karena nuansanya yang nyaman dan tidak ramai dari lalu lalang kendaraan. Selain itu, tempatnya juga cukup dekat dari sekolahan.

Sementara Daffa berjalan menuju tempat wudhu laki-laki, Aira yang sudah melihat keantrian tempat wudhu wanita spontan berkacak pinggang dan membuang napas kasar. Susah payah berangkat ngebut, ujung-ujungnya sampai di sana masih saja harus antri.

"Yaelah kenapa tempat wudhunya harus antri segala, sih?"

Daffa yang hendak berjalan sesaat urung, ikut mengarahkan pandangannya ke tempat wudhu wanita. "Namanya juga masjid umum, Ra. Wajar banyak yang make. Udahlah sabar, belum iqomah juga."

"Tapi lo jangan ninggalin gue!" Aira menyahut galak, mengancam.

Daffa terkekeh geli. "Iya, Kebo."

Setelah beberapa menit cukup lama, akhirnya tempat itu sudah sepi. Daffa tersenyum lalu mendorong tubuh Aira untuk segera berjalan sambil berucap, "Tuh, sana."

Kembali meletakkan mukena yang dia pinjam ke tempat semula, Aira mengulas senyum ketika selesai sholat. Setelah merapikan rambutnya, dia berjalan keluar. Di sana netranya sudah menangkap Daffa tengah duduk yang menunggunya di depan teras.

"Makasih, Daffa. Baik banget, deh, udah mau nungguin gue," ucap Aira ikut mendudukkan diri di samping Daffa. Daffa mengangguk lalu menoleh sekilas. Senyum tulus terpatri setelahnya.

 "Emang bener, ya. Setelah sholat dan berdoa, rasanya hati kita bisa tenang dan lega. Gue kayak ngerasa semangat dan nggak sekesel tadi, Daf." 

Aira menatap ke depan, lalu lalang ibu-ibu dan bapak-bapak yang baru saja keluar dari musholla. Tampak bercengkrama sambil berjalan serta tawa canda yang pula menyertai perkataan mereka. Pemandangan itu, jarang dia temui dia area perumahannya. Bahkan, tidak pernah.

"Itu pasti, Ra. Makanya kalo ada masalah itu larinya ke ibadah, tenangin dan berserah diri ke Allah yang jauh lebih ngerti sama diri lo. Manusia itu bukan tempatnya berharap, manusia bisanya cuma ngecewain. Lo tau itu, kan?"

Aira mengangguk setuju, demikian karena dia telah merasakannya. "Lo bener, selama ini berharap sama manusia nggak ada gunanya juga. Ujung-ujungnya ngecewain juga. Emang, ya, gue merasa sejauh ini berkat lo ngajak gue sholat, hati gue jadi ngerasa lebih tenang, Daf."

"Dan gue ngerasa, gue punya tujuan hidup di dunia yang sebenarnya. Itu semua juga berkat lo, Daf," lanjut Aira menoleh menatap Daffa. Berkat sahabatnya itu, dirinya merasa tenang meski saat masalah banyak menimpa. 

Daffa tersenyum geli, jemarinya mengacak pelan rambut Aira. Balas menatapnya sekilas. "Wih, gue seneng banget lo akhirnya bisa se–istiqomah ini, Ra. Dulu gue juga kayak lo, tapi setelah gue sadar, gue mulai tau kalo hidup dunia ini cuma sebatas mimpi. Dan lo bakal bangun setelah di alam barzah nanti."

"Jadi bagi gue, nggak perlulah, terlalu ngejar prestasi, jabatan atau semacamnya di dunia, cuma buat dapetin perhatian dari manusia. Karena itu, gue setuju sama perkataan lo siang tadi." Daffa tertawa singkat, kali ini menoleh menatap Aira lebih lama.

Mendengar itu alis Aira terangkat, dia tidak yakin dengan apa yang dibenaknya mengenai pemahaman ucapan Daffa. "Tadi? Pas gue sama Serin di belakang sekolah? Lo tau?"

"Gue denger semuanya, dan gue setuju sama semua ucapan lo," balas Daffa setelah mengangguk mengiyakan. Sementara Aira menghela napas, ternyata dia tidak menyadari jika Daffa berada di sana.

"Gue cuma kesel aja si Serin ngadu yang nggak-nggak tentang gue. Gue juga nggak ada niat buat balas dendam atau semacamnya, sih."

Daffa tersenyum, lalu merangkul kedua bahu Aira dengan gemas. "Gue setuju aja, dan gue sebisa mungkin bakal dukung lo, Ra. Mau bakso nggak?"

Spontan, kedua mata Aira berbinar mendengarnya. "Wih, mau, dong. Sama es boba, ya?"

"Gue beliin semua yang lo mau, dah. Ini gantinya buat tadi siang di kantin karena gue nggak jadi traktir lo," balas Aira disusul dengan kekehan geli. Ketika baru ingat sesuatu, Aira menepuk jidatnya pelan.

"Eh, iya, ya. Gue lupa tadi, gegara si Serin, tuh."

"Dia nggak main tangan, kan, sama lo?"

Aira tertawa singkat. "Nggak, sih. Tadi, kan, di sekolahan, mana berani dia main tangan. Bisa-bisa gelar primadonanya ganti gue, tuh."

"Jadi, kalo di luar sekolah? Dia berani? Lo pernah?" Daffa menegakkan tubuhnya sebelum pundak Aira dia pegang dan matanya dia tatap dalam-dalam. Dia terlampau khawatir jika sahabatnya itu terluka karena ulah Serin. 

Sedangkan Aira, dia justru terkekeh geli. Melepas tangan Daffa dari pundaknya dan balik menyentuh kedua bahu Daffa. "Biasa aja sih, Daf. Lo, kan, tau sifat asli dia kayak gimana. Ya, kalo di rumah, dia juga pernah kali, main tangan."

"Serius? Kenapa lo nggak bilang gue, sih?" ucap Daffa sesaat terkejut. Fakta itu baru dia ketahui sekarang ini.

"Kenapa emang? Gue juga nggak papa kali, Daf."

"Gue bakal bales dia kalo lo mau, Ra. Gue nggak terima kalo dia ngapa-ngapain lo, ke depannya kalo dia main tangan lagi, lo harus telpon gue," sahut Daffa memeringati. Entah mengapa hal itu justru membuat Aira terbahak.

"Dih, lo khawatir sama gue?" tebaknya.

Daffa sempat mendecih ketika Aira malah tertawa. Namun, setekahnya dia mengangkat sebelah alisnya. "Kalo iya, kenapa? Khawatir sesama sahabat nggak masalah, kan?"

Aira menggarukkan tengkuk lehernya yang bahkan tidak gatal sama sekali. "Ya, ya nggak masalah, sih. Lagian gue juga nggak mau ngerepotin lo, Daf."

"Justru gue bakal marah kalo lo nggak ngerepotin gue, Ra." Daffa kembali menatap ke depan, kini halaman musholla sudah sepi.

"Gitu?"

"Harus gitu."

"Tai."

"Kebo."

Daffa tertawa singkat. "Jadi makan, nggak?"

"Jadi, lah. Perut gue udah teriak-teriak dari tadi," sahut Aira cepat. Membuat Daffa lagi-lagi terbahak.

"Emang kebo."

"Sak karepmu, Tai."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status