"Pagi, Kebo!" sapa Daffa menjajarkan langkahnya di samping Aira. Gadis itu tidak menoleh dan hanya berdecak seperti biasanya.
"Wih, tumben lo jam segini udah dateng, kerasukan apa lo, Daf?" tanya Aira, cukup heran karena baru kali ini Daffa berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali.
Daffa merangkul pundak Aira lalu terkekeh kecil. "Kerasukan lo kali."
"Sak karepmu lah, Daf. Diajak serius malah bercanda mulu."
Aira sekali lagi berdecak, kebiasaannya berdekatan dengan Daffa membuat bibirnya tidak lepas untuk berdecak guna menahan kekesalan. Langkahnya menuju kelas, sampai di depan pintu Daffa berucap yang membuat langkah air terhenti sejenak.
"Emang lo mau gue seriusin?"
Daffa mengangkat sebelah alisnya, raut yang menurut Aira sangat menyebalkan. Dia mendengkus, sebelum kembali melangkah Aira melepaskan tangan Daffa dari pundaknya.
"Terserah, Daf. Gue capek ngomong sama lo."
"Ya udah, kita ke KUA sekarang kalo lo mau gue seriusin." Daffa mengikuti Aira di belakang.
"Tai lo, Daf!" ketus Aira sembari mendudukkan dirinya ke kursi. Berbicara dengan Daffa terkadang memang membuatnya darah tinggi. Untung, cowok itu tahu kondisi dan situasi.
"Mana? Nggak ada tuh, tai gue." Daffa tertawa singkat lalu duduk di depan Aira. Tepatnya dua bangku depan meja Aira.
"Daffa, Tai!"
"Dalem, Kebo."
Daffa terbahak sekilas, tapi kemudian dia menyesal karena menyadari raut wajah Aira yang berubah masam. Ide pun lantas muncul di otaknya, mengetahui kesukaan Aira, Daffa tidak segan untuk memakai cara itu agar Aira kembali bersemangat.
"Wih, jangan ngambek, dong. Gue traktir deh, nanti di kantin. Mau nggak?" tawar Daffa, diikuti dengan alisnya yang naik turun menggoda.
"Jangan pake nanya kalo itu, mah. Lo tuh, ngeselin, tapi baik banget deh, Daf." Meskipun masih kesal, Aira tidak menahan senyum. Wajah konyol Daffa selalu saja membuat mood-nya membaik.
"Itu gue juga tau kali, Ra," jawab Daffa menepuk dadanya dua kali, kentara jelas dia membanggakan diri.
Aira memutar bola matanya malas, lalu membuang napas pelan. "Ke kelas sana, ngapain masih di sini?"
"Nungguin lo masuk, baru gue pergi."
"Yaelah, gue nggak bakal ilang kali, Daf." Aira sedikit tertawa.
"Lo aja yang nggak tau, Ra."
"Tau apa lo?" Aira mengerutkan kening, tidak mengerti arah pembicaraan yang Daffa maksud.
"Gue tau semua yang nggak lo tau. Intinya lo jangan terlalu deket sama si Rehan," jelas Daffa. Ada kesal yang menggerutu dalam hatinya.
"Lo pikir dia senekat itu? Ngaco lo, Daf. Emang ngapain, sih? Lo cemburu kalo gue deket sama dia?" Tawa kecil menyusul setelah Aira selesai membalas perkataan Daffa.
Daffa menghela napas, semua orang juga tahu Rehan merupakan anak dari pemilik sekolahannya. Tetapi, semua orang tidak sepenuhnya tahu bagaimana sifat cowok itu di luar yang sebenarnya. Namun, Daffa tahu semuanya. Dia mengetahui semua kebusukan Rehan yang tidak orang duga.
"Bukan masalah itu, tapi ini juga demi keamanan diri lo, Ra."
Aira tidak mengerti, topik ini terlalu kaku dan membingungkan. Begitu pula dengan Daffa yang Aira tidak tahu mengapa demikian. "Aneh banget lo hari ini. Kenapa, sih?"
"Udah sana masuk, belum cukup umur buat lo tau semua," jawab Daffa dengan senyum geli. Tangannya menepuk sebelah pundak Aira lalu berdiri.
"Tai!" ketus Aira sembari mengerucutkan bibirnya.
Daffa tertawa singkat, jemarinya bahkan tidak tahan untuk tidak menarik hidung Aira. Entah mengapa, hidung mancung gadis itu membuatnya candu. "Sana, belajar yang bener, jangan tidur mulu, kalo beneran jadi kebo nanti nanges lo."
"Jangan doain juga dong, Tai. Sana lo juga pergi, ngga sadar apa, orang-orang pada liatian kita?"
Aira mendengkus keras karena Daffa menarik hidungnya, kebiasaan yang membuat Aira kesal dan geram dengan Daffa. Bukan apa-apa, sebenarnya tidak masalah. Namun, Aira terlalu risih ketika Daffa melakukan itu saat berada di tempat umum dan banyak orang.
Daffa menatap sekeliling sekilas, kemudian terkekeh lagi. "Biarin, justru biar mereka tau kalo lo udah punya pawang."
"Dih, emang apaan pake pawang segala. Dasar."
"Gih, masuk." Daffa tersenyum geli, masih gemas sendiri.
***
"Heh!"
Serin, gadis berambut sebahu itu menghadang langkah Aira saat hendak menuju kantin. Serin berdiri di depan Aira yang kini menatapnya heran seraya bersedakap dada. Tidak ada orang, sebab Aira berjalan ke kantin melewati belakang sekolah.
"Bilang apa lo ke papa kemarin?" cerocos Serin sedikit mendorong sebelah bahu Aira dengan kasar. Tatapannya menajam dengan napas yang naik turun.
"Kenapa? Takut gue bongkar semua tingkah laku lo selama ini?" lanjut Serin dengan tawa sinis. Sedetik kemudian, diamnya Aira berubah menjadi tawa yang terbahak.
"Takut? Jangan ngaco, deh. Lo bukan tandingan gue," balas Aira giliran mendorong bahu Serin. Tidak ada tampang takut yang kentara di rautnya.
"Bagus kalo gitu, gue bisa sepuasnya bilang ke papa. Kan, lo nggak takut dan gue bukan tandingan lo."
"Cih, emang munafik ya, lo. Gue nggak ngira kalian berdua sama. Nggak ada yang tulus." Aira berdecih, pikirnya, ayah dan anak sama saja, tidak ada yang benar-benar tulus berada di rumahnya.
"Terserah gue, toh, mama juga nggak pernah muji lo di depan papa. Posisi lo sekarang nggak sama kayak dulu, bahkan mungkin sebentar lagi lo bakal tersingkirkan," ucap Serin menohok. Senyumnya benar-benar terkesan mengejek.
Di sana sepi, mungkin juga cukup angker karena di belakang sekolah ini jarang dilewati murid. Mitosnya bahkan sering banyak penampakan hantu yang muncul ketika malam hari. Tetapi, itu tidak membuat Aira takut, apalagi dengan Serin di depannya itu.
"Jangan harap gue bakal keluar dari rumah itu, gue udah janji buat jaga mama demi almarhum papa gue." Aira mendorong pelan dada Serin dengan satu jari telunjuknya.
"Mama, lo jaga?" Kali ini, Serin terbahak. Terpingkal-pingkal sampai memeganginya perutnya yang terasa sakit.
"Bahkan dia aja setau gue nggak pernah ngajak lo jalan-jalan, deh, nggak pernah juga tuh, rayain ulang tahun lo. Dan lo, mau jaga dia? Sedangkan dia aja nggak nganggep lo ada?" lanjut Serin menahan tawa. Membuat Aida menggeram dan mengepalkan jemarinya di sisi rok seragamnya.
Belum cukup puas, Serin sekali lagi mendorong sebelah bahu Aira dengan senyum miring. "Kasian banget, sih."
"Lo ngira gue iri sama lo, yang tiap hari dapet perhatian dari mama?" Seolah menganggap candaan, Aira giliran yang terbahak sekilas. Bahkan sempat menghindar ketika Serin hendak menarik rambutnya.
"Nggak, gue nggak butuh. Kalau gue emang bener sayang sama mama gue, nggak perlu tuh, gue dapet perhatian dari dia. Cukup gue sayang, dan tetep hormati dia, gue nggak masalah meski dia nggak nganggep gue ada."
Aira membuang napas pelan kemudian tersenyum tipis. Ternyata pura-pura kuat tidak semudah itu. "Karena gue tau, nggak ada orang tua yang jahat di dunia ini. Kalau pun ada, brati dia bukan orang tua kandung gue."
"Haha, sok iyes lo. Tinggal ngaku aja kenapa susah, sih? Iri, bilang. Lagian diri lo juga nggak ada yang bisa dibanggain, wajar aja mama nggak pernah kasih perhatian. Secara kan, gue, putri kesayangannya udah jauh lebih perfect dan patut dibanggakan," balas Serin sembari menyentuh pundak Aira, sedetik kemudian dia tersenyum menyebalkan.
Aira menepisnya seolah jijik, lalu tertawa singkat. "Ketawa aja, dah, gue. Terserah lo mau gimana, yang pasti gue nggak peduli. Gue tau dunia cuma kekal, yah, jadi gue nggak perlu susah payah buat bikin orang bangga. Lagian, mama papa bangga sama lo pun, belum tentu Tuhan bakal bangga juga punya hamba kayak lo."
"Munafik."
Serin menutup mulut seakan syok kemudian menggeleng tidak percaya. "Haha, sejak kapan lo jadi ustadzah? Lawak bener."
Ruangan bernuansa putih itu hanya diisi oleh keheningan. Di dalam tampak sepi. Hanya suara denting jarum jam yang berputar tanpa henti. Serta merta AC yang menyala memberikan kesejukan di sekelilingnya, alih-alih, menambah suasana mencekam tengah terjadi di sana.Ada Aira menggeleng lemah, hatinya kembali sakit mengingat masa-masa kemarin. "Belum. Dari kemarin gue ke sini, sampai tadi pagi, dia belum siuman."Serin mengangguk, kemudian membuang napas sembari menyentuh sebelah pundak Aira. Berusaha menenangkan suasana hati gadis itu. "Lo tenang aja, dia pasti bakal sadar. Lo tau, kan, dia bukan cowok lemah. Gue yakin, dia pasti juga kangen liat wajah lo.""Ah, lo malah bikin gue tambah sesek, Kak." Aira mendengkus dengan senyum, meskipun matanya sempat berkaca-kaca.
Degup jantung Aira berdetak lebih kencang dari biasanya, langkah kakinya berlari cepat setelah membuka pintu rumah sakit. Tangis mengharu, bibir Aira terisak bahkan saat baru saja sampai—di depan pintu berwarna coklat itu. Kepalanya menunduk, tubuhnya ikut meluruh di depan pintu."Kenapa harus lo, sih, Daf? Kenapa harus hari ini? Bukannya lo udah bilang mau ngelamar gue, Daf?" yang beda."Isak tangis Aira semakin pecah, air mata tidak enggan berhenti. Sesak semakin pula menekan dadanya. Aria tidak menyangka. Semuanya terjadi begitu saja—seolah takdirnya sekejam itu untuk bisa menerima semuanya. Aira tidak pernah mengakui dirinya lemah, tapi tidak untuk dari balik kaca dengan tatapan khawatir. Sekaligus merasa bersalah. Padahal nyatanya, dia cukup kesal."Ah, sial. Kenapa dia bikin gue kesel, sih? Harusnya dia bilang ke gue kalo mau jemput!"Aira berdecak, mendengkus, meski dengan Aira mata yang masih meluruh. Aira memutuskan untuk duduk di kursi penunggu dan berdoa untuk keselamatan Da
Pagi ini menjadi pagi yang paling Aira tunggu. Seperti janji Daffa kemarin yang mengatakan ingin ke rumah untuk melamarnya. Sungguh, Aira berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal itu, tetapi tetap saja kemarin malam dia tidak bisa tidur. Bayang-bayang wajah Daffa yang tersenyum memenuhi isi kepalanya—bahkan sampai pagi ini.Aira reflek menepuk kepalanya sendiri. "Udah gila lo, Ra. Bener-bener gila."Seragam hari ini sesuai jadwal sudah dia kenakan dan sempurna melekat di tubuhnya. Aira sesaat menatap pantulan dirinya di cermin sebelum mengulas senyum dan memutuskan untuk segera keluar dari kamar. Menuruni anak tangga dengan raut sumringah. Sangat kentara jika Aira sudah tidak sabar menantikan malam nanti."Duh, padahal masih nanti malem, kok, gue sekarang udah deg-degan, ya?" batin Aira sembari memegang dadanya yang sudah memanas. Degup jantungnya berdetak kencang.Aira menggeleng, tersenyum geli. "Otak gue nggak bener, nih."Akhirnya karena tidak mau terlambat sekolah, Aira langsun
"Daf," panggil Aira dengan nada pelan dan malas. Seolah tak bertenaga padahal di depannya sudah ada beberapa makanan serta minuman penghilang dahaga."Heum? Kenapa? Lo laper?" balas Daffa ngawur. Padahal sudah jelas-jelas Aira selesai makan. Dan di atas meja sudah tersaji beberapa camilan untuk gadis itu dan dirinya sendiri.Aira berdecak, menghela napas panjang. "Gue butuh semangat buat balikin mood. Gue makin stres karena Serin nggak pulang dari kemarin."Pergerakan jemari Daffa yang semula mengetik sesuatu di ponsel, spontan terhenti kala mendengar berita itu. "Why? Kok bisa? Gimana ceritanya?"Aira mengangkat bahu. Jika dia tahu, mungkin dia tidak akan bertanya. "Gue juga nggak tau ada apa di rumah selama gue sekolah. Dia kemarin emang nitip surat ke gue karena dia nggak masuk sakit. Eh, pas gue pulang dia malah kabur."Daffa meletakkan ponselnya. Punggungnya dia tegakkan dan menghadap Aira. Kepalanya menggeleng. "Nggak, pasti ini ada yang aneh. Buat apa dia kabur pas sakit dan buk
Aira sedang berjalan-jalan menuju belakang sekolah, niatnya hanya ingin mencari udara segar sebab di kelas sudah sangat pengap. Lagi pula, hari ini guru-guru sedang rapat. Aira yang bosan dengan suasana halaman belakang lantas berjalan menaiki anak tangga menuju roof top.Sampai di sana, dia bisa menghela napas panjang. Udara sungguh sejuk disertai dengan semilir angin yang berembus dan menerpa wajah serta beberapa helai rambutnya. Bibir Aira tersenyum, setidaknya keadaan yang semula tenang sebelum sebuah cekalan di lengannya membuat Aira tersentak."Lo? Ngapain ke sini? Lepasin gue nggak?!" teriak Aira ketika melihat Rehan berdiri di depannya dengan tangan yang mencekal kuat pergelangan tangannya.Tatapannya tersorot tajam dan dingin. Rahangnya mengeras sebelum Rehan membentak Aira. "Nggak akan sebelum lo minta maaf ke gue!"Aira reflek tersentak, degup jantungnya ikut berdegup kencang. "Apa-apaan, sih! Gue nggak ada salah apapun sama lo! Jangan ngarep gue bakal minta maaf, Re!""Gue
Kerap kali masalah yang menimpa hidup selalu menjengkelkan. Setiap manusia, nyatanya memang punya masalah. Tetapi, banyak dari mereka yang menghindar dari masalah itu. Padahal, semakin lama dibiarkan, masalah justru semakin banyak dan tentunya—jauh lebih menjengkelkan.Aira sangat berharap masalahnya segera berakhir, dia hanya ingin hidup tenang, tanpa beban, dan bebas dari segala ancaman. Namun, lagi-lagi semesta seolah tidak membiarkan. Masalah satu baru saja selesai, tapi masalah yang lain justru menghampiri. Sungguh, Aira selalu mempunya keinginan untuk menyerah."Daf, gue capek. Gue pengen nyerah. Boleh nggak, sih?"Pertanyaan langka yang baru pertama kali Daffa dengar dari mulut Aira setelah beberapa tahun bersahabat. Aira yang selalu tampak kuat dan semangat, kini tampak lesu dan tidak berdaya. Datang dari dapur, sudah mendapat ekspresi serta keluhan demikian. Lantas, karena tidak setuju, kepala Daffa menggeleng."Nggak, lo nggak bisa lakuin itu. Kenapa, sih? Lo jangan gampang n