Share

Apa Arti Keluarga?

Warung makan di pinggir jalan yang berada di dekat dengan taman itu menjadi tempat favorit Aira dan Daffa untuk makan siang. Sejujurnya jika mau makan dia restoran mereka pun sanggup, tapi karena Aira yang lebih suka makan di sana, alhasil Daffa pun tidak memaksa.

Dua porsi nasi padang tersaji nikmat di depan mereka. Aira yang sudah tidak sabar segera menyantapnya setelah mencuci tangannya karena dia tidak makan memakai sendok. Daffa tersenyum melihat itu, tetapi tiba-tiba pandangannya teralihkan pada seseorang yang tengah makan di restoran seberang jalan.

"Ra, itu si Serin bukan?" tanya Daffa, Aira yang baru menelan nasinya spontan ikut menatap. Sedetik kemudian dia hanya mengangguk pelan dengan senyum tipis.

"Emang keluarga bahagia ya, Daf. Gue jadi kangen sama papa, dulu pas dia masih ada, sering banget ngajak gue makan bareng sama mama," balas Aira melanjutkan kembali aktifitas makannya.

"Gue tau yang lo rasain, Ra. Tapi gue salut karena lo udah mampu bertahan sejauh ini, meskipun gue nggak sepenuhnya tau semuanya, gue tetep yakin lo pasti bisa dapetin apa yang jadi hak lo ke depannya."

Daffa membuang napas pelan, enggan terlalu ikut campur dia mulai menyeruput minumannya sebelum melahap makanan kesukaan di depannya. Nasi Padang kebetulan menjadi makanan favorit Daffa. Sungguh, dia merasa beruntung karena memiliki sahabat yang tidak malu makan di pinggir jalan dengannya seperti ini.

"Arti keluarga maksud lo? Gue justru yang nggak yakin, Daf. Gue nggak merasa bisa sekuat itu buat buktiin ke mama, gimana sifat papa dan Serin yang sebenernya," balas Aira tidak yakin, dia memang pesimis jika membahas masalah kuat. Kuat dalam artian bisa menahan air matanya untuk tidak jatuh.

Daffa terdiam sejenak, mengunyah makanan di mulutnya dengan perlahan. Daffa bisa mendengar jawaban Aira yang kentara memang tidak yakin, gadis itu selalu enggan membanggakan diri. Padahal, yang Daffa rada selama ini, Aira merupakan gadis paling kuat yang dia temui.

"Tuhan bakal ngasih jika itu yang terbaik buat hambanya, kalo nggak sekarang, pasti suatu saat nanti, atau nggak dalam bentuk lain yang bisa buat lo bahagia. Tuhan lebih ngerti gimana takdir yang baik buat lo ke depannya, Ra." Daffa mengusap pelan pundak Aira, meyakinkan gadis itu.

"Gue selalu ngerasa tenang setelah lo nasihatin, bahkan dari dulu, lo selalu bisa jadi mood booster buat gue, Daf. Gue jadi takut kalau suatu saat lo udah punya pacar dan akhirnya lupain gue." 

Senyum Aira terpatri, namun hanya sesaat sebelum senyum itu pudar dan terganti dengan helaan napas pelan. Kepala Aira sedikit menunduk, menatap kakinya yang di bawah meja. Melihat itu, Daffa justru tersenyum geli.

"Nggaklah, mana mungkin gue lupain lo? Kita udah sahabatan dari lahir ceprot, Ra. Lo inget kan, dulu pas kita TK pake bedak yang sama? Bahkan, waktu itu lo juga pernah mandi di rumah gue, ingat nggak lo?"

Aira pikir, Daffa akan menanggapi serius, tetapi Daffa justru membalas dengan ucapan yang membuat matanya berbinar kagum "Demi apa, lo juga masih inget ternyata? Gue pikir lo udah lupain masa-masa kecil kita, Daf."

Daffa tersenyum, selalu gemas untuk mengacak rambut Aira. "Gue nggak akan pernah lupain masa-masa itu, Ra. Kalo pun gue mau, gue juga nggak bakal bisa. Itu kenapa, gue ke depannya nggak bakal pernah lupain lo."

"Tapi kalo dipikir-pikir, masa kecil kita menyenangkan banget, ya? Kayak nggak ada beban hidup gitu, bahkan hampir tiap hari isi otak gue cuma main, main, dan main. Dan lucunya, gue dulu nggak pernah mau main kecuali sama lo. Tai, ya, emang?" 

Aira tertawa singkat sebelum kembali melahap makanannya dengan senang. Mengingat masa kecilnya dahulu dengan Daffa, selalu membuatnya merasa ingin kembali ke masa-masa itu. Di mana ketika benaknya masih dipenuhi oleh kesenangan. Bukan beban seperti sekarang.

Daffa mengangguk setuju, setelah menakan nasinya, dia terkekeh geli. "Iya, sih. Lo bener, gue dulu pas kecil pengen banget cepet gede. Eh, giliran sekarang udah SMA, rasanya pengen balik lagi ke zaman TK. Masa-masa kecil itu, banyak banget kenangannya yang buat senyum-senyum sendiri."

"Dih, gila kali, lo."

"Iya, gue gila karena lo," balas Daffa ngawur. Kalimat itu memang spontan keluar dari mulutnya.

"Untung aja gue bukan pacar lo, bisa-bisa gue melambung tinggi, dah." Aira mengibaskan tangannya merasa gerah, padahal di berusaha menutupi kesenangannya.

"Emang lo mau?"

Kening Aira mengerut menatap Daffa yang tersenyum menyebalkan. "Mau apa? Melambung tinggi maksud lo?"

"Mau jadi pacar gue maksudnya," jelas Daffa tersenyum geli. Apalagi melihat raut Aira setelahnya yang tampak tertekuk kesal.

"Dih, ogah. Kebo nggak suka Tai kali."

Kata itu cukup menyakitkan hati Daffa. Di mendengkus keras. "Yang halus dikit dong, Ra. Masa gue disamain sama tai yang itu, sih?"

Aira terbahak sekilas setelah menyeruput sedikit es jeruknya. "Lo aja yang ngira gue nyamain sama tai yang itu."

"Ya, emang apa lagi? Semua tai nggak ada yang enak kali, Ra. Bau juga."

"Lo aja nggak tau kalo nama Tai cuma buat lo," balas Aira menahan tawa. Sementara itu Daffa membuang napas panjang karena pembicaraan ini cukup menyebalkan.

"Yang jelas kalo ngomong, Ra. Otak gue nggak secerdas Albert Einstein."

"Dih, itu gue juga tau kali. Maksud gue tuh, Kebo kan gue, sedangkan Tai kan, lo. Dan tadi gue bilang, Kebo nggak suka sama Tai. Ya, artinya gue nggak suka sama lo. Bukan kebo asli yang nggak suka sama tai yang itu." Aira menjelaskan panjang lebar, dengan penuh kesabaran dia berusaha untuk tidak membanting cowok di depannya itu.

"Jadi, lo nggak suka sama gue, Ra?" tanya Daffa pura-pura syok dengan raut sedih yang dibuat-buat. 

Sejujurnya, ada perasaan kecil yang sakit di hati Daffa saat mendengar itu, tetapi dia berusaha mengabaikan dan memilih berpura-pura sedih agar Aira tidak menyadarinya. Namun, Aira yang selalu menyangkal, seketika terbahak.

"Emang iya, kan? Apa juga yang buat gue suka sama lo, Daf?" Aira agak mendelik menatap Daffa, merasa tidak yakin dengan apa kelebihan yang Daffa punya.

"Kok agak nyesek, ya, Ra? Mulut lo ceplas-ceplos banget, heran," balas Daffa sembari menggeleng tidak percaya. Dia memang sudah bisa menebak jawaban itu sebelumnya.

"Kenapa? Lo emang suka sama gue?" tebak Aira.

"Gue nggak bilang gitu," ketus Daffa. Guna menetralkan rasa kesalnya, dia meneguk minumannya hingga setengah gelas tersisa.

"Ya gue nanya, Daf. Astaga."

Daffa menghela napas lega setelah tenggorokannya sudah lebih segar. "Kita sahabatan, emang lo mau, gue naruh perasaan?"

"Gue nggak mau ngerusak hubungan persahabatan kita, Daf."

Daffa menjentikkan jarinya, membenarkan perkataan Aira. "Itu tau, kalo pun gue suka sama lo, buat apa gue jawab jujur kalo ujung-ujungnya lo juga bakal nolak?"

"Daf, kok otak gue loading, ya?" Entahlah, Aira merasa ada yang aneh dengan kalimat yang Daffa lontarkan barusan. Seperti ... ada sesuatu yang mengandung makna di dalamnya.

"Ck, Kebo."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status