Rasa khawatir semakin membuncah dan membuat degup jantungnya berdegup kencang. Daffa benar-benar menyesal saat ini. Langkah kakinya menjadi berlari, sampai akhirnya terhenti di depan sebuah pintu. Daffa mengetuk pintu toilet satu persatu."Ra? Lo di dalem, kan?" teriak Daffa mendesak. Napasnya sudah terdengar tersengal-sengal."Ra, ini gue, Serin, lo di dalem, kan?" Serin menyahut, mengetuk pintu demi pintu."Jawab gue, Ra!" bentak Daffa yang sudah tidak sabar, dia kini berada di salah satu pintu yang masih tertutup.Serin ikut menghampiri pintu itu, laku mengetuknya pelan. Namun, tidak ada sahutan, hanya hening di sana. "Bangun kalo lo tidur, Ra! Ini gue sama Daffa.""Gue bakal dobrak kalo lo nggak jawab sampe itungan ke 3, Ra! Jawab gue!" desak Daffa emosi, jemari tangannya bahkan sudah mengetuk pintunya dengan kencang.Kening Serin mengerut, dia bingung, ketika masih tidak ada sahutan dari dalam. "Kenapa seolah nggak ada orang di dalem?""Ini nggak dikunci! Aira nggak di dalem!"Se
"Apa? Kamu jangan main-main sama saya, ya!" Ucapan dari Daffa membuat pria berumur itu refleks memekik, kedua matanya melebar, membelalak. Harusnya dia tidak perlu melakukannya, tetapi, ini semua merupakan bagaian dari rencananya. Tidak ada yang tahu, tentu, Andi memang tidak memberitahukannya kepada siapa pun itu."Saya serius, Om. Dia tadi pesan ke saya kalo istirahat pergi ke toilet, tapi setelah beberapa menit dia belum balik. Dan saat saya cek ke toilet langsung, dia sudah tidak ada, Om."Daffa yang tengah duduk di depan sang papa Aira mengangguk sekali. Ini berita besar, dia tidak mungkin berkata bohong, apalagi ini di hadapan papanya. Daffa menghela napas, dia sejujurnya tidak yakin, jika raut yang pria itu tampakkan memang benar asli adanya. "Kenapa kamu tidak becus menjaga anak saya, sih?! Bagaimana kalo terjadi sesuatu dengan anak saya, hah?!" bentak Andi emosi, amarahnya sudah benar-benar meletup saat ini. Dia bahkan sudah berdiri, seperti menahan sesuatu."Maka dari itu s
Daffa sudah pulang, pintu besar itu lalu ditutup oleh sang papa. Serin yang Masih duduk seketika berdiri, denagn kepalan di tangannya yang menguat, dia yakin tebakannya kali ini memang tidak salah. Serin menggeram menatap sang papa ketika pria itu berbalik dan hendak berjalan."Jawab jujur ke Serin, Pa. Kalian udah bekerja sama, kan?" tanya Serin, dia menatap ke dalam mata papanya. Hal ini, dugaan itu, sudah meluncur di benaknya begitu saja sejak tadi.Ada kerutan yang tercetak di kening Andi, meskipun dia hanya pura-pura tidak tahu, tetapi dia harus tetap menjaga aktingnya agar tidak mencurigakan. "Apa maksud kamu?" tanyanya akhirnya.Serin mendecih, bersedakap dada. Kali ini, dia sudah tidak takut lagi dengan pria 'busuk' itu. "Jangan pura-pura lagi, Pa. Pasti ini semua rencana papa sama Rehan, kan? Supaya Daffa nggak bisa temuin Aira dan akhirnya Rehan sendiri yang bawa Aira ke sini.""Jangan ikut campur. Itu bukan urusan kamu, Serin," jawab Andi, kakinya hendak kembali melangkah da
"Saya tau di mana Serin."Seseorang tiba-tiba menyahut pembicaraan Serin dan Daffa yang tengah duduk di tepi danau. Suara seorang wanita yang tidak lain dan tidak bukan adalah sang mama. Daffa dan Serin reflek menoleh, mendapati seorang wanita yang berjalan mendekat. "M–mama tau?" ucap Serin tertegun, dia menatap dengan mata yang sedikit membelalak tak percaya."Ikut saya kalo kalian ingin tau keberadaannya." Wanita bernama suci mengambil duduk di samping Serin. Ikut menatap ke depan sana.Kening Daffa mengerut, ikut menyahut. "Dari mana tante bisa tau?" tanyanya, heran.Ada sedikit tawa yang suci lontarkan sebelum menjawabnya. "Kamu pikir, saya tidak cerdas dengan melihat Andi menelepon seseorang di ruang kerjanya?""Mama nggak mungkin nguping, kan?" tebak Serin hati-hati, dia cukup takut membuat namanya marah.Lagi, Suci tertawa pelan. "Justru mama bisa nguping tanpa sepengetahuan pria bodoh itu."Daffa mengangguk, beralih yang semula menatap sang mama sein, dia kembali menatap ke d
"Berengsek!"Umpatan kasar itu sungguh memekikkan telinga, begitulah, ketika langkah kakinya berjalan cepat sehabis turun dari mobil, langsung saja jemarinya yang mengepal itu mendarat sempurna di sebelah pipi kanan Rehan. Daffa menatap dengan napas memburu tak beraturan."Cowok gila! Stres!""Damn it!""Sialan! Kurang ajar!"Entahlah, sudah berapa kali pukulan kasar itu Daffa hempaskan ke beberapa bagian tubuh Rehan tanpa henti. Dengan mata yang memerah menahan amarah, tidak, sepertinya Daffa memang sudah lebih dari marah. Terlihat ketika dia sudah melontarkan kata-kata kasarnya dengan brutal."Lo emang cowok stres, Re?! Lo udah gila!" bentak Daffa yang sudah lelah dan akhirnya memilih menghentikan. Dia sudah terengah-engah menatap marah."Lo yang gila." Rehan yang menjawab santai setelah tertawa sesaat, membuat Daffa hampir kembali meninju, namun urung dan akhirnya memilih melampiaskannya ke tembok di sebelah."Mati aja lo!" hardik Daffa emosi, menghela napas sekasar mungkin. Mengaca
Hilangnya Aira yang tiba-tiba tentu saja membuat sebagian keluarganya termasuk Daffa sangat khawatir. Mereka tidak mengira hal itu bisa terjadi kepada Aira. Terlebih, parahnya lagi, setelah semuanya terbongkar, orang di balik itu ternyata papanya sendiri.Aira kini sudah bersama papanya di ruang kerja. Baru saja dia mengerjapkan mata setelah cukup lama tadi dia tidak sadarkan diri. Kelopak matanya terbuka, begitu setelahnya dia hampir saja membelalak terkejut sebab kedua tangannya ternyata diikat. Apalagi dengan mulutnya yang ikut disekap.Aira tentu memberontak sekuat tenaga. Saking paniknya, dia bahkan tidak menyadari jika yang berada di sana bukan hanya dirinya saja. Aira menyadari derap langkah kaki mendekat, panik, bingung, takut, smeua menjadi satu. Namun, dia tertegun saat melihat orangg yang mendekat itu ternyata snag papa tirinya."Papa?" "Maafin papa, Aira. Papa terpaksa melakukan ini."Sang papa tiri yang berucap demikian membuat alis Aira menaut. "Papa sehat? Ini Aira, Pa.
Aira kini sudah berada di rumahnya dengan Daffa, mereka duduk di ruang tamu sementara suasana rumah begitu sepi. Serta mama dan Serin sedang berada di kantor polisi setelah tadi menangkap papanya sendiri dan memenjarakan pria itu.Pria itu sungguh kejam, dengan teganya menculik anaknya sendiri dan melakukan pemaksaan. Bahkan, jikalau tadi Daffa tidak mendobrak pintu ruang kerja pria itu, Aira hampir saja kehilangan kehormatannya. Benar, papa tirinya itu sempat ingin memerkosa dirinya. "Tenang, lo aman sama gue sekarang. Gue bakal ada di samping lo, Ra."Daffa mengusap punggung Aira berusaha untuk menenangkan gadis itu. Aira sangat syok dan ketakutan. Daffa tahu hal itu. Apalagi saat tadi dia sempat melihat pria itu hampir melecehkan, Daffa sangat marah. Alhasil tanpa pikir panjang dia langsung memukul dan menghubungi polisi. Dia sangat emosi dan membenci pria 'gila' itu.Aira reflek tersenyum, tanpa pikir panjang lagi, dia segera minum Aira dalam gelas itu dengan lahap hingga tandas.
"Pagi, Ma!" sapa Aira ketika ketika sampai di dapur dan melihat sang mama tengah menyiapkan sarapan pagi ini."Pagi, Aira! Yuk, kita sarapan bareng," balas suci dengan seulas senyum di bibirnya saat mendapati Aira yang sudah duduk di depannya. Sungguh, dia merindukan suasana seperti ini.Aira yang baru duduk mengerutkan kening karena ada seseorang yang belum tampak di kedua netranya. "Kak Serin mana, Ma?" "Bentar lagi juga dateng. Nah, tuh, dia."Serin berjalan menuju meja makan dan duduk di samping Aira. Senyumnya tampak menggelikan sembari menatap Aira dengan godaan. "Lo kangen gue, Ra?"Aira mendelik, juga mendengkus kecil. "Mastiin aja lo masih hidup, Kak.""Warisan gue cuma buat mama kalo gue mati." Serin terbahak sekilas, mengambil piring dan sendok di meja makan. Aira mendengkus lagi, ikut melakukan hal yang sama. "Yaelah, bercanda, astaga.""Udah-udah, mending kita mulai sarapan," potong sang mama menengahi. Membuat Serin tersenyum tipis, sementara Aira menghela napas. Sekeja