"Aira, papa mau kamu mencontoh sifat Serin mulai sekarang. Dan kalo dia menegur kamu, jangan marah karena itu memang perintah dari papa."
Andi, sang papa duduk di kursi menatapnya lekat. Seolah perintah yang tidak bisa dibantah, Andi membuang napas panjang ketika mendengar jawaban Aira setelahnya. Selalu saja anak tirinya enggan melakukan apa dia perintahkan, membuat Andi mendecih sedetik kemudian.
"Pa, bisa nggak sih, jangan berusaha samain Aira dan Serin? Kita punya kriteria masing-masing, Pa. Setiap orang punya sifat beda-beda, papa jangan bandingin aku dengan Serin, dong. Itu sama aja papa nggak mau nerima Aira apa adanya."
"Papa tidak membandingkan, papa hanya mau kamu meniru sifat baik Serin. Kita keluarga berkelas, Aira. Papa tidak mau keluarga kita dikenal memiliki sifat dan sikap yang buruk."
Televisi menyala menayangkan sebuah berita tanah air, dominan tentang artis dan dunia entertainment. Aira lebih suka menontonnya dari pada harus mendengar celotehan sang papa. Dengan kesal yang masih ada, Aira enggan menatap sang papa.
"Tapi kenapa harus Serin, sih, Pa? Aira bisa berubah baik dengan cara Aira sendiri, nggak perlu bantuan dari orang lain. Lagi pula, Aira juga sadar gimana sifat Aira, Pa. Papa nggak perlu repot-repot minta ke Serin cuma untuk mertahanin reputasi papa di depan semua orang."
"Aira!" Andi sedikit membentak, geram dengan tingkah dan sifat sang putri tirinya.
Aira membuang napas entah sudah ke berapa kali, sang papa tiri di depannya memang tidak dia suka. Apalagi selalu membanding-bandingkan dirinya dengan Serin, kakak tirinya. Meksi begitu, dia berusaha tidak berkata kasar, tetap membalas dan kini menoleh, lalu bibirnya tersenyum tipis.
"Maaf, Pa. Kalau kehadiran papa bukan untuk melindungi dan menerima Aira apa adanya, lebih baik jangan temuin Aira. Karena sampai kapan pun, Anda nggak akan pernah bisa gantiin posisi almarhum papa saya."
"Saya orang tau kamu! Saya berhak mengatur kamu untuk menjadi seperti apa, kamu hanya perlu mematuhinya, Aira!" geram Andi, jemarinya bahkan lagi-lagi mengepal di sisi celana. Wajahnya memang garang, tapi kali ini lebih menyeramkan jika saja orang lain melihatnya.
Remote TV dia ambil, dalam satu sentuhan TV di depan itu mati. Aira memutar badan menatap sang papa, kali ini lekat, ingin menjawab panjang lebar agar dirinya merasa puas. Meski kesal setengah mati, Aira mati-matian menahannya agar tidak meledak.
"Aira nggak pernah dikekang sebelumnya, jadi buat apa Aira mau mematuhi perintah papa yang jelas tidak menerima Aira apa adanya? Papa justru seolah menganggap Serin adalah gadis yang sempurna, sampai semua harus bersifat seperti Serin, padahal Tuhan udah ciptain manusia dengan sifat yang berbeda-beda."
Andi bukannya sadar, dia justru semakin marah saat kentara jelas decihan kesal keluar dari mulutnya. "Cukup, Aira. Papa tidak butuh penjelasan panjang dari kamu! Mau tidak mau, saya tetap berhak mengatur kamu!"
"Terserah mau papa kayak gimana, tapi Aira bakal tetep jadi diri sendiri. Kalau pun papa maksa, Aira nggak akan segan buat pergi dari rumah ini."
"Jangan gila, Aira. Kamu masih butuh harta dari saya!"
Tawanya sempat pecah sesaat, Aira tidak menyangka jalan pikiran sang papa tentangnya benar-benar jauh dari dirinya yang sebenarnya. Aira bahkan tidak pernah meminta kepada pria itu, lalu pria itu justru mengatakan seolah Aira gila harta, maka mendengarnya membuat Aira merasa itu sebuah lawakan.
"Oh, gitu? Jadi maksud papa, Aira tinggal di sini cuma karena harta? Maaf sebelumnya, tapi papa salah, Aira tinggal di sini cuma karena amanah dari almarhum papa," balas Aira sopan, dia masih cukup bersabar demi menjaga nama almarhum sang papa.
"Saya juga tidak memedulikan alasan kamu tinggal di sini karena papa, tapi yang harus kamu tau, saya tidak akan bertanggung jawab saat kamu pergi dari rumah ini. Tidak peduli jika kamu tidak memiliki tempat tinggal untuk melindungi diri." Andi tersenyum meremehkan, bersedakap dada, menatap ke sembarang arah.
"Aira nggak nyangka ternyata papa sejahat itu ...."
Meskipun sempat kesal, tetapi Aira tidak menduga baru malam ini sifat asli sang papa tirinya dia ketahui setelah berbulan-bulan lamanya. Aira pikir, sang papa bisa benar menggantikan almarhum papanya yang sudah meninggal satu tahun yang lalu. Dia pikir, kasih sayang seorang ayah, bisa dia dapatkan kembali.
"Bukan saya, tapi kamu sendiri yang membuat saya bertindak demikian. Sekarang tinggal pilihan kamu, mau mengikuti perintah saya, atau pergi dari rumah ini dan saya tidak mau bertanggung jawab lagi untuk ke depannya."
Andi sekilas menatap sang putri tirinya yang tampak tidak balas menatapnya. Jemari yang berkutat di atas rok, menunjukkan jika pilihannya cukup sulit bagi Aira. Andi tersenyum, menguasai rumah ini bukanlah hal yang sulit. Dia bisa melakukan apapun untuk membuat semua orang menyukainya.
"Mungkin saja, almarhum papa kamu tidak akan menginginkan kamu memilih opsi yang ke dua. Yah, tapi saya tidak akan memaksa, Aira. Pilihan kamu, menentukan masa depanmu," lanjut Andi. Secangkir kopi yang hampir dingin di atas meja dia ambil lalu menyeruputnya dengan nikmat.
"Aira ...."
Aira menggantungkan ucapannya, pilihan itu dia akui memang cukup sulit untuk dia terima. Mau tidak mau, dia harus memilih salah satu. Tetapi, saat jawabannya belum rampung, telinganya mendengar suara seseorang. Sedikit lega, Aira menghela napas pelan.
"Papa."
"Serin?"
Gadis berambut panjang lurus dengan baju tidurnya itu berjalan menghampiri sang papa. Aira yang melihat Serin berdecak malas, dia sudah bisa menebak gadis itu pasti akan memulai dramanya dengan sang papa untuk membelanya.
"Maaf, Serin ganggu, ya? Kalo—"
"Ada apa Serin?"
"Cuih," decih Aira pelan, dia bersedakap dada lalu mendudukkan diri. Tidak peduli pada sang papa dan Serin yang masih berdiri.
"Gini, Serin cuma mau papa berhenti bentak Aira. Dia juga adik Serin, Pa. Serin nggak mau dia dapet perlakuan kasar dari papa, lagi pula, dia nggak salah, Pa. Dia cuma keluar buat refreshing, Serin dulu juga pernah ngelakuin hal itu, dan Serin merasa apa yang Aira lakuin itu wajar, Pa."
Serin meraih tangan sang papa dan menggenggamnya, seolah berusaha membuat papanya tenang dan berpikir jernih. Berharap ucapannya bisa meluluhkan hati pria itu. Dengan alasan membela Aira, Serin tersenyum puas di dalam hati, dia sudah berhasil membuat sang papa semakin menyukainya.
"Ck, dasar. Drama mulu kerjaannya." Aira menyalakan TV kembali, melihat dua orang itu membuat dirinya muak dan malas. Lebih baik, dia menghibur diri dengan menonton animasi yang tayang di TV malam ini.
"Serin, kamu serius? Kamu mau papa biarin dia aja, gitu? Papa tau kamu anak baik, tapi Aira harus dapet pelajaran, Serin. Setidaknya kalo kamu masih ada yang dibanggakan, sedangkan Aria tidak ada, Nak."
Andi menatap sang putri tidak yakin, permintaannya benar-benar membuat hatinya meluluh. Terlebih rautnya yang sangat berharap, membuat Andi tidak bisa menolaknya. Lalu, untuk membuat putrinya senang, Andi mengulas senyum hangat.
"Serin mohon, Pa. Aira punya cara sendiri buat banggain papa, itu nggak ada salahnya, kan? Lagi pula, bener katanya tadi, setiap manusia memiliki sifat yang berbeda-beda, Pa," pinta Serin lagi, nadanya memohon dengan raut sedih.
"Serin, kamu benar-benar putri kesayangan papa yang mempunyai sifat rendah hati. Papa semakin bangga sama kamu." Andi segera Serin, membelai kepala sang putrinya dengan lembut dan tersenyum haru. Permintaan Serin sungguh di luar dugaannya.
"Makin ke sini gue makin gedeg liat mukanya. Ck, ck," gerutu Aira melirik sekilas pemandangan menjijikkan itu. Dua orang anak dan ayah yang sama-sama berhasil membuatnya tidak bisa hidup tenang di rumahnya sendiri.
Ruangan bernuansa putih itu hanya diisi oleh keheningan. Di dalam tampak sepi. Hanya suara denting jarum jam yang berputar tanpa henti. Serta merta AC yang menyala memberikan kesejukan di sekelilingnya, alih-alih, menambah suasana mencekam tengah terjadi di sana.Ada Aira menggeleng lemah, hatinya kembali sakit mengingat masa-masa kemarin. "Belum. Dari kemarin gue ke sini, sampai tadi pagi, dia belum siuman."Serin mengangguk, kemudian membuang napas sembari menyentuh sebelah pundak Aira. Berusaha menenangkan suasana hati gadis itu. "Lo tenang aja, dia pasti bakal sadar. Lo tau, kan, dia bukan cowok lemah. Gue yakin, dia pasti juga kangen liat wajah lo.""Ah, lo malah bikin gue tambah sesek, Kak." Aira mendengkus dengan senyum, meskipun matanya sempat berkaca-kaca.
Degup jantung Aira berdetak lebih kencang dari biasanya, langkah kakinya berlari cepat setelah membuka pintu rumah sakit. Tangis mengharu, bibir Aira terisak bahkan saat baru saja sampai—di depan pintu berwarna coklat itu. Kepalanya menunduk, tubuhnya ikut meluruh di depan pintu."Kenapa harus lo, sih, Daf? Kenapa harus hari ini? Bukannya lo udah bilang mau ngelamar gue, Daf?" yang beda."Isak tangis Aira semakin pecah, air mata tidak enggan berhenti. Sesak semakin pula menekan dadanya. Aria tidak menyangka. Semuanya terjadi begitu saja—seolah takdirnya sekejam itu untuk bisa menerima semuanya. Aira tidak pernah mengakui dirinya lemah, tapi tidak untuk dari balik kaca dengan tatapan khawatir. Sekaligus merasa bersalah. Padahal nyatanya, dia cukup kesal."Ah, sial. Kenapa dia bikin gue kesel, sih? Harusnya dia bilang ke gue kalo mau jemput!"Aira berdecak, mendengkus, meski dengan Aira mata yang masih meluruh. Aira memutuskan untuk duduk di kursi penunggu dan berdoa untuk keselamatan Da
Pagi ini menjadi pagi yang paling Aira tunggu. Seperti janji Daffa kemarin yang mengatakan ingin ke rumah untuk melamarnya. Sungguh, Aira berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal itu, tetapi tetap saja kemarin malam dia tidak bisa tidur. Bayang-bayang wajah Daffa yang tersenyum memenuhi isi kepalanya—bahkan sampai pagi ini.Aira reflek menepuk kepalanya sendiri. "Udah gila lo, Ra. Bener-bener gila."Seragam hari ini sesuai jadwal sudah dia kenakan dan sempurna melekat di tubuhnya. Aira sesaat menatap pantulan dirinya di cermin sebelum mengulas senyum dan memutuskan untuk segera keluar dari kamar. Menuruni anak tangga dengan raut sumringah. Sangat kentara jika Aira sudah tidak sabar menantikan malam nanti."Duh, padahal masih nanti malem, kok, gue sekarang udah deg-degan, ya?" batin Aira sembari memegang dadanya yang sudah memanas. Degup jantungnya berdetak kencang.Aira menggeleng, tersenyum geli. "Otak gue nggak bener, nih."Akhirnya karena tidak mau terlambat sekolah, Aira langsun
"Daf," panggil Aira dengan nada pelan dan malas. Seolah tak bertenaga padahal di depannya sudah ada beberapa makanan serta minuman penghilang dahaga."Heum? Kenapa? Lo laper?" balas Daffa ngawur. Padahal sudah jelas-jelas Aira selesai makan. Dan di atas meja sudah tersaji beberapa camilan untuk gadis itu dan dirinya sendiri.Aira berdecak, menghela napas panjang. "Gue butuh semangat buat balikin mood. Gue makin stres karena Serin nggak pulang dari kemarin."Pergerakan jemari Daffa yang semula mengetik sesuatu di ponsel, spontan terhenti kala mendengar berita itu. "Why? Kok bisa? Gimana ceritanya?"Aira mengangkat bahu. Jika dia tahu, mungkin dia tidak akan bertanya. "Gue juga nggak tau ada apa di rumah selama gue sekolah. Dia kemarin emang nitip surat ke gue karena dia nggak masuk sakit. Eh, pas gue pulang dia malah kabur."Daffa meletakkan ponselnya. Punggungnya dia tegakkan dan menghadap Aira. Kepalanya menggeleng. "Nggak, pasti ini ada yang aneh. Buat apa dia kabur pas sakit dan buk
Aira sedang berjalan-jalan menuju belakang sekolah, niatnya hanya ingin mencari udara segar sebab di kelas sudah sangat pengap. Lagi pula, hari ini guru-guru sedang rapat. Aira yang bosan dengan suasana halaman belakang lantas berjalan menaiki anak tangga menuju roof top.Sampai di sana, dia bisa menghela napas panjang. Udara sungguh sejuk disertai dengan semilir angin yang berembus dan menerpa wajah serta beberapa helai rambutnya. Bibir Aira tersenyum, setidaknya keadaan yang semula tenang sebelum sebuah cekalan di lengannya membuat Aira tersentak."Lo? Ngapain ke sini? Lepasin gue nggak?!" teriak Aira ketika melihat Rehan berdiri di depannya dengan tangan yang mencekal kuat pergelangan tangannya.Tatapannya tersorot tajam dan dingin. Rahangnya mengeras sebelum Rehan membentak Aira. "Nggak akan sebelum lo minta maaf ke gue!"Aira reflek tersentak, degup jantungnya ikut berdegup kencang. "Apa-apaan, sih! Gue nggak ada salah apapun sama lo! Jangan ngarep gue bakal minta maaf, Re!""Gue
Kerap kali masalah yang menimpa hidup selalu menjengkelkan. Setiap manusia, nyatanya memang punya masalah. Tetapi, banyak dari mereka yang menghindar dari masalah itu. Padahal, semakin lama dibiarkan, masalah justru semakin banyak dan tentunya—jauh lebih menjengkelkan.Aira sangat berharap masalahnya segera berakhir, dia hanya ingin hidup tenang, tanpa beban, dan bebas dari segala ancaman. Namun, lagi-lagi semesta seolah tidak membiarkan. Masalah satu baru saja selesai, tapi masalah yang lain justru menghampiri. Sungguh, Aira selalu mempunya keinginan untuk menyerah."Daf, gue capek. Gue pengen nyerah. Boleh nggak, sih?"Pertanyaan langka yang baru pertama kali Daffa dengar dari mulut Aira setelah beberapa tahun bersahabat. Aira yang selalu tampak kuat dan semangat, kini tampak lesu dan tidak berdaya. Datang dari dapur, sudah mendapat ekspresi serta keluhan demikian. Lantas, karena tidak setuju, kepala Daffa menggeleng."Nggak, lo nggak bisa lakuin itu. Kenapa, sih? Lo jangan gampang n