"Siapa yang datang?" Meira bertanya pada kepala dayang. 3 jam yang lalu Clarissa alias Meira sudah banyak mengobrol dengan Rodiah, orang kepercayaan Meira.
"Pangeran Daviten Hesa, dia adalah kekasih yang mulia," ucap Rodiah.
"Sebulan yang lalu, setelah penobatan Yang mulia, dia datang membawa kabar buruk. Dia mengatakan bahwa dia datang untuk melamar Tera." Mendengar itu, Meira memiringkan senyumnya. Tiba tiba ia teringat kisah memilukan pada kehidupannya yang lalu.
Manusia di tubuhku ini memiliki kehidupan yang agak mirip sepertiku. Mengasyikan.
"Yang mulia kenapa melamun?"
"Tidak ada. Kau Rodiah, segera bereskan. Bilang kalau aku masih tidur dan usir saja dia" Rodiah langsung menuruti perintah Meira ketakutan. Yang mulia-nya telah berubah total. Dari yang lemah lembut menjadi keras berwibawa.
Rodiah mendapati Hesa sedang duduk di taman bersama pengikutnya. "Tuan, Yang Mulia Meira tak bisa menemui anda. Dia sedang tidur dan belum sembuh total." ucap Rodiah dengan kepala tertunduk.
"Bilang padanya kalau aku ingin minta maaf akan kejadian yang lalu." Pangeran Hesa pun pergi meninggalkan Rodiah yang mengumpat dalam hati.
Ratu Meira tidak seperti dulu lagi. Dia sudah berubah dan tidak mudah untuk ditipu. Gumam Rodiah.
****
"Naomi, Ningrum, Jeta, Hana, Ria, Lina, Tara, Yulia, Rika dan kau Rodiah, Aku perlu mengingat nama nama dayangku" ucap Meira membuat para dayangnya menghangat. Mereka merasa mereka cukup dihargai dan penting disini.
"Sebelas dari kalian adalah orang kepercayaanku. Kalian tidak hanya kuanggap sebagai dayangku melainkan sahabatku, jadi perlakukan aku layaknya seorang sahabat" mereka semua tersenyum bahagia. Namun, tetap saja mereka masih takut dengan Meira. Aura nya tajam dan menakutkan.
****
"Ibu. Kenapa kau harus menjadi selir kedua. Kenapa tidak menjadi permaisuri saja. Aku iri dengan gadis sialan yang mendapatkan kekuasaan dengan mudah. Sementara aku tidak,"
"Tera jaga bicaramu. Kau tak mengerti susah payahnya aku mencoba 1001 cara untuk membunuh permaisuri. Namun sia sia, karena statusku yang hanya selir disini." Rana, selir kedua raja meneguk habis teh melati yang di hidangkan pelayan istana.
"kenapa kau tidak menyuruhku dari dulu untuk membunuh mereka semua." Tera meletakan tangannya diatas paha dan mendengus kesal.
"Aku punya rencana yang lebih licik daripada engkau. Kau tinggal menikmati statusmu yang sekarang adalah calon istri Pangeran Hesa. Kau akan menjadi Ratu, masih kurang?" Rana akan meneguk teh nya lagi dan tersadar kalau teh nya sudah habis.
"Masih kurang!! Dan aku ingin semuanya. Aku ingin kehancuran. Kehancuran seorang Meira." senyum licik terbit di bibir Tera, sedangkan ibundanya hanya menaikan alisnya. Rana sudah lelah dengan semuanya, lebih baik ia menikmati hari tua nya.
****
"Yang mulia, makan malam sudah tiba. Kau ada pertemuan dengan ibu Yang Mulia," ucap Rodiah mengingatkan.
"Ibu?"
"Beliau adalah ibu kandung Yang Mulia."
"Ibuku, kenapa dia tidak berkunjung?"
"Nyonya Risa sedang sakit. Yang Mulia tidak ingat, seharusnya yang menjadi Ratu saat ini adalah Nyonya Risa yang tak lain dalah ibu kandung Yang Mulai Meira. Namun, melihat kondisi Permaisuri yang lemah ia akhirnya menobatkan Yang Mulia untuk mejadi pemimpin negeri ini." Meira hanya mengangguk paham. Kini Meira bergegas untuk bersiap, ia penasaran sekali bagaimana wajah ibunya.
"Menurutmu, pakaian apa yang pantas untuk kupakai?" Meira menatap gaun gaun yang ada di lemari, terlihat kuno dan norak bagi Meira.
"Hmm, gaun berwarna ungu ini sepertinya cocok untuk perjamuan malam." Meira mengangguk saja, dia pasrah dengan pakaian yang begitu kuno. Lain kali, ia harus mendesain baju sendiri.
Setelah selesai berdandan, Meira memakai mahkotanya sebagai langkah terakhir.
"Yang Mulia begitu cantik." Meira hanya mengangguk saja dan langsung pergi ketempat yang dimaksud Rodiah.
****
"Putriku, ibu dengar kau mengalami hilang ingatan. Maafkan ibu yang tidak bisa menjengukmu. Uhuk..uhuk..." Meira sangat sedih melihat Ibunya di dunia ini ternyata sangat menderita.
"Ibu, tidak apa. Aku mengerti kondisimu," Ucap Meira.
"Kau benar benar putriku yang perhatian. Seandainya aku tidak menikah dengan seorang raja, tentu kita tidak akan pusing dengan perebutan tahta." Risa menghampiri putrinya dan memeluknya.
Benar benar hangat, beginilah kasih seorang ibu yang aku inginkan.
"Ibu, kita jalankan saja kehidupan ini. Walau aku tidak mengingat apa pun, tentu ini sudah kewajibanku" Meira benar benar egois sekarang, dia akan menghabiskan waktunya dengan ibu Meira. Kapan lagi dia bisa mendapatkan kasih semanis ini. Dengan sedikit berbohong, Meira memeluk Risa.
"lebih baik kita lanjut makan, nanti makanannya dingin." Mereka pun melanjutkan makan mereka bersama.
"Yang mulia, Nyonya harus minum jamunya sekarang." Risa pun mengambil Jamunya setelah Meira mengangguk.
"Terimakasih, Adin." Risa hendak meminumnya, namun Meira penasaran dengan jamu itu.
"Ibunda, bolehkah aku melihat jamunya?" Risa mengangguk lalu memberikan cangkirnya kepada Meira.
"Apa ini!!" Meira berteriak ketika ia mengetahui campuran jamu nya. Semua pelayan menatap mereka bingung.
"Ada apa, nak?" Tanya Risa dengan heran.
"Sejak kapan ibu minum jamu ini?" bukannya menjawab Meira malah melontarkan pertanyaan.
"Hmmm, sepertinya sudah 5 bulan." mendengar itu Meira membelalakan matanya.
"Bu, mulai hari ini sampai seterusnya kuharap kau tak pernah meminum racun ini." Tegas Meira membuat semua orang yang ada disana terkejut termasuk Rana, selir kedua. Ia mendengus kesal karena rencana busuknya selama ini terbongkar begitu saja.
"Siapa yang berniat untuk membunuhku. Apa ini termasuk dalam perebutan tahta?" ucap Risa dengan lembut.
"Aku tak mau tau. Siapapun itu orangnya yang berniat membunuh ibuku, terima konsekuensinya dalam waktu dekat. Bersiap untuk hidup tanpa kepala!" teriak Meira membuat pelayan bergidik ngeri, mereka benar benar tak mau terlibat.
"Semua pelayan! Berkumpul di ruang sidang. Saat ini juga!" perintah Meira dengan berkacak pinggang.
"Baik, Yang Mulia." ucap mereka serentak.
"Kau pelayan yang bertugas di dapur, sekarang kau ceritakan yang terjadi selama ini!" perintah Meira."Maaf, Yang Mulia. Hamba tidak tahu. Hamba hanya menjaga pintu masuk. Yang hamba curigai adalah selir kedua yang masuk ketika jadwal minum jamu Nyonya tiba." pelayan pendek itu menunduk karena merasakan aura dingin dan mencekik dari tatapan menusuk Meira."Kau, Seingatku ibuku memanggilmu dengan Adin. Kau tadi yang membawakan jamu itu. Sekarang kau jelaskan!" Pelayan yang bernama Adin tersebut menggigil ketakutan, membuat Meira yakin ia tau sesuatu. Adin berkeringat dingin dan kaki nya bergetar, ia hampir saja jatuh hanya karena tatapan Meira."kenapa kau tak menjawab. Apa kau tau segalanya?" Meira meraih dagu Adin dan menghempaskannya kasar."A-nu Yang Mulia. Hamba tidak tahu." Meira semakin curiga karena pernyataan yang diberikan Adin tidak sesuai dengan gestur tubuh nya saat ini. Sehingga menimbulkan ide bagus dari otak cantiknya Meira."Kalau k
Meira. Ratu dari kerajaan Danina. Menjadi sangat kejam. Kabar angin tentang perubahan sifat Ratu mereka terdengar hingga kerajaan tetangga. Yaitu, kerajaan Afroja."Siapa itu Meira?" Tanya Vartan pada penasehat kerajaan."Kau tak ingat, Yang Mulia. Dia adalah anak perempuan yang dulu kau sebut cengeng." Rodi tertawa mengingat hal itu dimana mereka dulu sering sekali bertengkar."Itu sudah lama sekali sekitar 20 tahun yang lalu, mungkin." Vartan memainkan berlian yang ada di jarinya, lalu melemparkan nya kepada Rodi."Ambil itu, dan perintahkan pengawal untuk mempersiapkan kendaraan. Kita akan rapat mengenai kerja sama kita dengan kerajaan Danina yang sudah berganti pemimpin itu." Perintah Raja Vartan kepada Rodi. Rodi yang baru saja mendapat berlian dari rajanya menjadi semangat untuk bekerja."Segera, Yang Mulia."***"Ada berapa tahanan lagi, Hans?" tanya Meira pada pengurus penjara."Mereka semua berjumlah 13, Yang Mulia." j
Sudah tiga hari lamanya Vartan berada di Kerajaan Danina. Membuat kepala Meira seakan pecah dengan kekacauan yang dibuat Vartan. Raja menyebalkan itu selalu mengganggu saat saat kosongnya, Sehingga mengukir lingkar hitam pada kedua matanya."Bagaimana caranya agar ia pergi dari kerajaan ini, aku sudah lelah dengan tingkahnya yang absurd." Meira menjambak rambutnya kesal. Kini ia menatap gambar dirinya di pajangan alumunium maklum disini tak ada cermin. Meira pun memiliki ide untuk mengusir Vartan secara halus."Be a smart woman!! Tidak hanya berpacu pada satu hal!" Meira memilin anakan rambutnya dan menyelipkannya diantara telinga kirinya."Bawa aku ke penginapan dimana Vartan berada!" perintah Meira."baik, Yang Mulia."Own crown"Ada apa ingin bertemu denganku?" tanya Vartan dengan menyilangkan kedua tangannya diatas dada bidangnya."Aku pasti akan membicarakan hal yang penting. Apa aku terlihat seperti orang yang bertele-tele?" Mei
"Hesa, Apakah kau benar akan menikahiku?" tanya Tera dengan kerudung birunya."Maafkan aku. Aku masih mencintai, Meira." pernyataan Hesa membuat Tera menangis."jadi apa maksud lamaran yang lalu?" tanya Tera setelah dia menyeka air matanya."Coba kau pikirkan, kau tak punya apa apa lagi. Kau memang seorang putri. Tapi kau, dayang pun tak punya." Kata kata Hesa benar benar menusuk hati dan menjatuhkan harga diri Tera."Kenapa semua orang di dunia ini berpihak hanya kepada Meira. Kenapa aku tak diperbolehkan merasakan kasih sayang yang sebenarnya," Tera menumpahkan semua rasa yang ia pendam selama ini dengan menangis."aku iri kenapa dia yang menjadi ratu, bukankah aku juga mampu. Oh iya, karena aku anak selir bukan?""Dunia tidak adil. Lebih baik aku bunuh diri saja." Hesa tak memperdulikan kata kata Tera, ia hanya diam menunggu Tera melakukannya.Prok..prok..prok.."Hei, dua sejoli yang bodoh!" tepuk tangan Meira membuat drama
Meira memijat kepalanya yang sedikit sakit akibat perkataan Risa semalam. Meira berencana mengeluarkan peraturan baru agar Risa tenang."Yang Mulia, Kekacauan terjadi di kerajaan kita. Kerajaan Afroja mengancam akan menghabisi kerajaan ini jika Yang Mulia tidak menghampiri mereka" disela sela lamunan Meira, Rodiah datang bersama para dayang juga segerombolan pelayan dan para petinggi."APA!!! KENAPA INI BISA TERJADI?" tanya Meira. Sepertinya masalahnya tak akan pernah selesai kalau begini caranya."Saya tidak mengerti Yang Mulia. Mereka datang secara tiba tiba. Dan Mereka sudah sampai ke pintu gerbang istana!" ucap Rodiah dengan wajah penuh peluh."Hmm, jangan kerahkan pasukan! Biar aku sendiri yang menanganinya!" mereka semua terkejut. Kerajaan Aforja membawa pasukan yang tidak sedikit. Bagaimana kalau terjadi apa apa pada ratu mereka? Inilah yang ada di pikiran mereka.***"SEMUA, BUKA JALAN JANGAN ADA YANG MENGHALANGI!" Teriak Meira
"Aku harus mencari cara agar Vartan gila itu menjauh dariku!!" Gumam Meira.BRAKKK....."Ahaa....Aku punya ide!!" Para dayang terkejut karena gebrakan yang Meira perbuat.Sekarang dayang dayang bertambah bingung karena ulah Meira yang tiba tiba berjalan keluar dengan tawa bahagianya."Aku khawatir kalau Yang Mulia menjadi sakit jiwa karena Tuan Vartan," bisik Naomi pada Rodiah."Perhatikan kata-kata mu, Naomi!!" bentak Rodiah membuat Naomi terdiam.***"Semuanya! Maksud saya mengumpulkan kalian yang terhormat disini adalah untuk membahas mengenai pernikahan Tera dan Vartan!" Mendengar hal itu keadaan ruang sidang menjadi sunyi. Tak lama kemudian terdengar gelak tawa Vartan yang kemudian diikuti seisi ruang."kenapa kalian? Ada yang lucu?" tanya Meira."Maaf Calon istriku! Tera sudah punya Hesa untuk dijadikan suaminya!" Ucap Vartan membuat Meira terdiam."Aku Ratunya disini. Jadi sebagai kakaknya. Kakak tiri
"Aku harus menemui Ibu. Aku harus tahu kebenarannya. Agar kedepannya, aku tahu bagaimana harus bertindak!" Meira yang masih terdiam kini mondar mandir menebak nebak apa yang terjadi."Yang Mulia, Tuan Vartan menunggu di ruang tengah." sampai Rodiah pada Meira."Bajingan itu lagi. Mau apa ia kemari?!!"Meira memakai mahkotanya dan memberi pewarna pada bibirnya. Setelah ia rasa cukup, ia menyelesaikannya dan pergi menuju tempat yang dimaksud Rodiah.***"Ada keperluan apa kau datang?!!" Meira berkacak pinggang dengan wajah kesal khas miliknya."Baik, aku akan langsung pada intinya,""Pernikahan kita akan dilaksanakan 20 hari lagi,""jadi, bersiap-siap untuk menjadi pengantinku. Aku pergi dulu. Sepertinya, calon istriku adalah orang yang pemarah." Vartan mengedipkan matanya pada Meira."Kau pikir karena kau seorang Raja yang kaya aku mau padamu. Dasar bajingan!!!"teriak Meira namun tak dipedulikan oleh Vartan."aku h
"Tempat apa ini?" tanya Meira pada kusir."Ini adalah negeri ungu, semua dipenuhi dengan warna ungu sebagai ciri khas daerah ini," ujar kusir itu."Saya akan antarkan nona ke danau di tengah kota. Tempat istimewa bagi rakyat disini," jelas lagi kusir itu.Meira tidak membalas penjelasan dari kusir tersebur. Ia hanya diam memandang pemandangan serba ungu."Sudah sampai!! kalau boleh saya tebak, anda pasti kabur dari rumah karena perjodohan, ya?!!" tutur kusir itu."Diam!!! Kau tak dibayar untuk mengetahui masalahku!" Kusir itu hanya bungkam mendengar penuturan yang agak kasar dari Meira."Maaf, bersenang senang lah nona!" kusir tersebut pergi meninggalkan kota tersebut.***Meira berjalan sambil menikmati sejuknya angin yang berhempas kecil. Aroma ungu dari kota seperti wangi lavender, tetapi tidak pekat, hanya wangi lembut saja.Meira melihat ada kursi taman, mengarah pada danau ungu dan angsa yang menari.Tiba tiba