Share

Pertempuran di Vorkuta

Vladivostok, Mei 2025

Tiga hari terasa cepat bagi Xabi yang menghabiskan waktunya untuk berlatih berjalan. Kini ia mampu berjalan dengan batuan satu tongkat saja. Sedikit terlambat memang, tapi ia mendapati akun bank dalam ponselnya masih memiliki sejumlah uang. Beruntung semua passcode yang digunakan adalah sidik jari dan retinanya. 

Dengan uang yang ia miliki, Xabi mengganti tongkat kayunya dengan pedang tebu berhias kepala elang di bagian pegangan. Sebuah revolver kecil untuk berjaga-jaga tak luput dibelinya dari toko senjata yang sama. 

Xabi juga memotong habis bagian rambutnya yang gimbal dan menyisakan rambut bob hingga bawah telinganya. Andai matanya tidak sipit, ia akan terlihat seperti gadis Perancis. Sedikit tambahan daging di area wajah akan membuatnya terlihat kembali nomal. 

“Apa kau mencari seseorang, Mademoisele?” sapa Wayne dari lantai dua ketika Xabi masuk dengan penampilan barunya. 

“Ini aku, Wayne.” 

“Oh, aku tidak memperhatikan tongkatnya. Ngomong-ngomong, rambutmu bagus.” 

“Terima kasih.” 

Hari ini tiga anggota Pandora Box: Sergei, Yuri, dan Annet, dijadwalkan tiba di lokasi yang menurut Xabi menyimpan harta karun, Vorkuta. Jaraknya sekitar tiga ribuan kilometer dari Vladivostok. Setelah dikonfirmasi adanya harta tersebut maka Xabi akan mendapatkan tiket pulang. 

“Ada kabar dari lapangan?” tanya Xabi sambil menaiki tangga. 

“Belum, Kita akan segera mengetahuinya.”

Wayne dan Ravil sama-sama menatap perangkat komunikasi yang terhubung ke laptop. Xabi duduk di sofa tak jauh dari mereka. Ia baru sempat memperhatikan penampilan kedua lelaki yang tinggal bersamanya selama tiga hari. Mungkin karena ia sendiri baru sempat memperhatikan penampilan pribadinya. 

Wayne berambut hitam sebahu dengan dahi lebar. Terlihat jelas ia bukan orang Rusia. Xabi menebak ia berasal dari Amerika. Wajahnya sendu tapi periang dengan mata bulat abu-abu. Hidung lancip dan tulang rahangnya lah yang membuat Xabi betah memandangnya lama-lama. Ia sedikit lebih tinggi dan lebar dibanding Ravil. 

Asisten pribadi Wayne itu adalah seorang Rusia tulen dengan rahang yang tegas. Sesuatu yang membuat Xabi menyimpulkan jika orang tersebut dari motherland atau bukan. Rambut pirang cepak dengan mata cokelat yang sedang. Perawakannya kurus dengan jari-jari tangan panjang. 

Selain Wayne dan Ravil, masih ada Sergei, Yuri, Annet dan Igor yang belum sempat bertatap muka dengan Xabi. Selain Igor, mereka pernah paling tidak sekali terlibat dalam pembicaraan telepon. 

Ravil memberi signal, “Telepon darurat dari Sergei!” 

Wayne dan Xabi mendengar suara bergemerisik dari radio. 

“Kenapa kalian tidak menggunakan Coove?” tanya Xabi disambut “Ssssst!!!” kedua kawannya. 

“Sergei, kau mendengarku?” panggil Wayne. 

 

“Ya, Bos! Aku ada di ketinggian enam ribu kaki. Beberapa menit yang lalu Yuri dan Annet sedang memeriksa lokasi dan mereka tiba-tiba diserang.” 

“Aku berusaha terbang serendah mungkin tapi tidak bisa menyelamatkan mereka. Kelompok itu mulai menyerangku juga. Aku berhasil lari dan mendapatkan visualisasi.” 

“Bagaimana kondisi ….” 

“Hartanya? Bagaimana dengan hartanya?” potong Wayne tidak memberi kesempatan Ravil bicara. 

“Positif! Lokasinya benar dan tengah dijaga ketat. Akan kukirim fotonya." 

Ravil menampilkan gambar kiriman Sergei di monitor laptopnya. Keringat dingin mengucur dari dahi Wayne, kedua tangannya saling menggenggam dan terkepal. Ia bicara dengan suara mendesis hampir tak terdengar, “Yes, this is it!” 

Xabi memandang prihatin Wayne yang matanya berkilauan melihat monitor laptop sementara Ravil lebih mengkhawatirkan rekan-rekannya. 

“Xavier, apakah Xavier di sana?” 

“Да! Aku di sini!” 

“Teman-teman lamamu, Seagull, say Hi!” 

“Sergei, kau boleh mundur. Tetap di sana sampai aku dan Igor datang.” 

Panggilan selesai. Wayne segera mempersiapkan keberangkatannya sedangkan Ravil menatap tajam Xabi seolah ingin meludahinya. 

*** 

“Aku ikut!” Ravil menyeruak masuk kamar Wayne yang sedang bersiap. 

“Kau tetap tinggal hingga Xavier pulang ke negaranya.” 

“Yuri dan Annet …,” 

“Mereka baik-baik saja. Seagull tidak akan membunuh mereka begitu saja.” 

“Bagaimana kau bisa begitu yakin?” 

Wayne menatap Ravil lekat-lekat dan memegangi kedua bahunya. “Percayalah padaku. Aku dan Igor akan segera memastikannya. Keselamatan mereka berdua adalah prioritasku. Kau tetap di sini, kita harus memasikan Xavier … selamat … sampai … tujuan. Mengerti?” 

Otot-otot wajah Ravil masih mengeras. 

“Sergei akan menjemputmu saat kau siap.” Wayne berlalu dan tidak menoleh lagi. 

Sesuai kesepakatan, Wayne akan menanggung segala biaya kepulangan Xabi jika keberadaan harta karun tersebut benar adanya. Ravil tidak ada masalah dengan hal tersebut. Namun, fakta bahwa kedua rekannya ditangkap membuatnya marah. Xabi memang telah memperingatkan adanya kelompok lain yang juga mengincar harta tersebut. Kelalaiannyalah yang membuatnya penuh rasa sesal dan ingin melampiaskan semuanya pada Xabi. 

Seolah telah memprediksikan kemarahan Ravil, Xabi sudah lebih dulu kabur. Bahkan sebelum Wayne meninggalkan rumah. Ia sedikit menyesal kenapa tidak langsung pergi setelah memotong rambutnya. Dengan begitu kesempatannya untuk dikenali tentu lebih rendah. Padahal tinggal selangkah lagi ia akan pulang ke Indonesia. Ditangkapnya dua anggota Pandora Box adalah variabel tak terduga yang tiba-tiba muncul dalam rencananya. Wayne mungkin tidak akan mempermasalahkannya. Namun, ia tidak berani membayangkan langkah apa yang akan diambil Ravil dan anggota lainnya. 

Gadis itu meratapi nasibnya di dalam bus yang tengah melaju. Ia berpikir apakah perlu mengunjungi Agnes untuk memastikan ia baik-baik saja atau langsung ke bandara dan pergi ke tempat sejauh harga tiket dari uang yang dimiikinya. Kenyataannya, ia sendiri belum memastikan kemana kendaraan ini akan membawanya. Ia hanya asal naik dan mengambil tempat duduk dekat jendela di bangku tengah. Hari masih sore dan bus masih agak kosong. 

“Permisi, boleh aku pinjam ponselmu?” tanya pemuda yang duduk di belakangnya. 

“Hm?” Xabi menoleh dan melihat pemuda itu menunduk di balik hoodie, sama seperti dirinya. 

“Aku harus menghubungi ibuku dan mengatakan bahwa aku sedang pulang. Ponselku kehabisan baterai,” jelasnya.  

Tanpa curiga sedikitpun Xabi menyerahkan ponselnya. Ia ingat Wayne pernah mengatakan ia tidak perlu khawatir ponselnya di ambil orang. 

“Telepon genggam saat ini adalah barang pribadi. Kau hanya bisa memakai milikmu. Milik orang lain tidak akan banyak berguna untukmu.” 

“Kodenya, ma’am!” pinta sang pemuda dan Xabi menempelkan ibu jarinya. 

Tak lama kemudian, pemuda itu mengembalikan ponselnya dan berterima kasih. Kemudian ia turun di perhentian berikutnya. 

Saat bus mulai melaju lagi, Xabi bisa melihat jelas pemuda itu berdiri di halte dan membuka penutup kepalanya. Gadis itu mengernyitkan dahi dan berusaha mengingat-ingat di mana ia pernah melihat wajah itu sebelumnya. Ia yakin telah melihatnya baru-baru ini. 

Ingatannya tertuju pada Agnes. Dibukanya pesan terakhir perawat itu dan sesuai dugaannya, sang penumpang yang baru saja meminjam ponselnya adalah Vasily. Belum habis rasa herannya, sebuah panggilan masuk dari nomor yang tidak diketahui. Ia sedikit ragu untuk mengangkatnya. 

Bagaimana jika yang menghubunginya adalah Vasily? Okami telah memperingatkan untuk tidak melakukan kontak dengannya. Tapi, bagaimana jika yang menghubunginya ternyata Wayne atau Ravil? Panggilan pertama berakhir disusul panggilan kedua. 

Xabi memutuskan untuk menjawab dengan catatan akan segera menutup telepon jika suara dari seberang tidak dikenalnya. 

“Xavier brengsek, pergi ke mana kau?”

Kata-kata kasar itu secara aneh membuatnya lega. 

“Aa …” 

“Kembali ke sini sebelum malam. Aku tidak mau menebusmu untuk kedua kalinya.” 

“Aku akan pulang sendiri. Terima kasih sudah merawatku. Bye bye!” Xabi menutup ponselnya dan tak lama benda itu kembali bergetar. Ravil nampaknya belum puas. 

Gadis itu mulai memikirkan kata-kata untuk meledek dan membuat warga asli Rusia itu geram. Namun, suara berikutnya yang ia dengar bukanlah Ravil.

*** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status