"Mas, kita pergi kemana?" tanyaku pada Mas Lengga. "Kita numpang di tempat Kakakmu dulu sampai aku dapat pekerjaan. Kamu juga cari kerja habis itu, kita cari kontrakan kecil sementara," jawabnya."Kenapa gak numpang di tempat orang tuamu saja, Mas?" Tidak mungkin aku meumpang di tempat Mba Desi. "Tidak enak, Mira. Mas gak mau ngerepotin mereka. Ini juga mereka belum tahu kalau Mas bercerai dengan Sinta.""Mas kita pulang ke tempat orang tuaku. Kalau Ibuku pasti akan mengerti." "Ya udah, sementara kita tinggal di rumah mereka." Keputusan pun telah diambil, untuk sementara waktu kami akan tinggal di rumah orang tuaku. Aku dan Mas Lengga akan mulai mencari pekerjaan untuk membangun mimpi supaya bisa membungkam mulut Sinta. "Naik ojek aja, Mas. Di depan ada tukang ojek." Mas Lengga mengangguk, berjalan di belakangku sambil menyeret dua koper besar. Mudah-mudahan di tempat Mang Udin aman, karena untuk menuju tempat kang ojek, harus melewati tempat berjualan Mang Udin."Mau kemana Mira
POV Sinta ….Berakhir sudah kisah cintaku dengan suamiku. Pernikahan yang dilandasi cinta dapat ternoda oleh hadirnya orang ketiga. Rapuh sudah pertahananku. Di rumah ini begitu banyak kenangan indah bersamanya. Mustahil kalau aku tidak terluka, nyatanya aku sendiri juga mencintai Lengga. Mengapa suamiku tidak bersyukur, bahkan istri cantik sepertiku masih tega ia duakan. Apa salahku, selama ini aku yang berdiri menemaninya dari nol. Merintis usaha hingga jadilah dia seperti sekarang. Meski aku mampu merebut semua kesuksesannya, tapi aku kehilangan cinta. Aku tidak bisa menerima atau memaafkan kesalahannya. Kenapa dia bisa tergoda oleh wanita seperti Mira. Apa karena mereka bersahabat sedari kecil? Lantas aku ini apa? Akan kubuat kau menyesal, Mas. Aku yakin kamu akan menghubungiku dengan dalih anak, aku yakin kau menyesal telah berpisah denganku. Merintis suatu usaha dari nol itu tidak mudah, kalau dulu aku menemanimu penuh cinta dan kesabaran, kita lihat saja nanti, apa Mira akan be
Pov Mira"Mas, kita tutup semua yang sudah berlalu, kita buka lembar baru ya?" ucapku seraya memegang tangan suamiku satu-satunya. Dari siang tadi hingga malam tiba, Mas Lengga seperti tidak ada semangat. Aku jadi merasa aneh dengan sikapnya yang seperti itu. "Mas, kamu kenapa si? Kok diem terus?" Tidak ada jawaban yang terlontar dari mulutnya. Aku jadi serba salah dan ikut tidak bergairah melihat dirinya seperti ini.Malas juga aku berbicara kalau tidak ada tanggapan."Capek aku kaya ngomong sama patung," ketusku sambil berbelok membelakanginya. Sebisa mungkin aku mencoba memejamkan mata. Namun, bayangan akan esok menari-nari di dalam pikiranku. Kepalaku menjadi sedikit pusing, leher juga terasa berat. Memang sialan Mba Sinta. Aku sungguh sangat membencinya, benci yang terlalu dalam. Aku berharap bisa sukses bersama Mas Lengga, dan membuktikan padanya kalau hidupku baik-baik saja. Besok aku akan mulai mencari pekerjaan, yah berbekal ijasah SMK, entah pekerjaan apa yang akan kudapat
Pov MiraSemua sudah kubereskan, sepray bekas tidur dan baju kotor dua hari di tempat ibu sudah kucuci. Mas Lengga sudah uring-uringan tidak karuan meminta untuk segera pindah. Haduh kenapa jadi terlunta-lunta begini, harusnya hari ini aku memulai pekerjaan menjadi Repsesionis, malah gak jadi masuk kerja, entahlah besok aku masih diterima atau tidak. 'Mas Lengga kenapa jadi egois begini si.'"Sudah siap kan? Tadi kalung sudah kamu jual?" ucap Mas Lengga sambil membawa dua koper ukuran besar seperti kemarin. Memang isinya juga masih utuh, untung belum ku-keluarkan semua isinya. "Sudah Mas," sungutku sedikit kesal. Rasanya ingin kucakar wajah pria di depanku ini."Bu, kami pamit dulu. Maaf udah ngerpotin Ibu," ucap Mas Lengga menghampiri Ibu dan Bapa yang sedang duduk santai di ruang tamu."Lho kok pamit? Kenapa? Katanya mau tinggal di sini dulu sementara?" Ibu sedikit merasa tidak enak, dapat terlihat dari wajahnya. Mungkin ia sadar akan ucapannya yang lalu. "Lengga gak mau ngerpotin
Pov MiraBadan pada sakit tidur di lantai, tak ber-alas pula. Uang sisa kemaren sudah tinggal seratus ribu. Uang lima puluh ribu untuk beli air minum, perlengkapan mandi dan rokok Mas Lengga tak bersisa. Nasib ya nasib. Sinta sama anaknya hidup enak, gak kekurangan duit, tidur di kasur empuk, segala kebutuhan ada, ini aku malah diajak hidup susah. Perut lapar, makan sehari sekali. Bener-bener nasib, buruk banget."Mas aku mau berangkat kerja. Kamu cari kerjaan jangan nganggur!" sentakku kesal sambil meninggalkannya. "Kan aku juga udah kerja! Gak usah rewel! Jangan suka bentak suami! Baru sehari diajak susah, sudah seperti itu sikapmu!" sungutnya."Bukan gitu, Mas. Ini uang kita cuma tinggal seratus ribu! Belum kupake ongkos nanti!" sahutku tak kalah lantang. "Otakmu ini isinya cuma duit! Gak bisa sabar! Memang ya, sikap lugumu hanya topeng semata! Harusnya aku tidak pernah tergoda oleh topengmu!" makinya. Ya ampun hatiku sudah semakin dongkol, masih pagi sudah berdebat begini. Bodo
Pov MiraYeyeee semangat Mira … semangat! Posisimu sekarang nomor satu. Sinta mah tewas guys … ckckckck ….Wih, aku gak nyangka sebelumnya, Mas Lengga cerai sama Sinta … ke tempat Sinta agh pamer duit dari Mas Lengga.****Sudah beberapa hari ini hubunganku dengan Mas Lengga tidak ada keributan, kasur, kipas angin, kulkas, perabotan masak, sudah kubeli, uang pun masih ada. Hanya saja, sisanya tidak bisa untuk membeli iPhone. Mahal dua puluh satu juta, uang dari mana aku. Kalau dulu masih bisa, jatah bulanan dari Mas Lengga selama tiga bulan cukup buat beli iPhone. Aduh sayang juga itu HP, udah hampir dua minggu tidak tersentuh, apa kuambil aja ya. Kebetulan sekarang pasti cuma ada Revan, Emaknya kan lagi kerja. 'Samperin agh.' Repot juga kalau tanpa Hp, susah untuk menghubungi Mas Lengga, aku juga mau tahu kabar Sari, terakhir dia babak belur dilabrak istri sah.Setelah selesai mengunci pintu, seperti biasa, nyari kang ojek. Kalau dulu nyari taksi, sekarang akang ojek, yang penting s
Pov MiraJam sudah menunjukan pukul 18.30 wib. Waktunya Mas Lengga pulang. Aku ingin segera menumpahkan amarahku padanya. Rasanya diri ininsudah tak sabar ingin memaki, menjambak dan mencakarnya. Sungguh hati ini terasa sangat gregetan. "Mas! Kamu ini kelewatan banget, ya! Ngasih duit ke aku hasil ngutang dari Sinta, mantan istrimu! Bilang aja kamu mau ketemu dia kan?!" sungutku ketika melihat dia sudah berada di depan pintu. Ya ampun bahkan aku tidak bisa menunggunya masuk dulu ke dalam. Wajah lelahnya setelah pulang bekerja nampak jelas. Tapi, aku sendiri tidak tahu kenapa ingin sekali rasanya mengunyel dirinya."Serba salah gue jadi laki lo! Ya lo pikir gue ng**p**t! gue gak bawa duit, lo manyun! Gue bawain duit, marah-marah!" Hah … elo, gue? Ini kali pertama aku mendengar dia berkata kasar. "Iya tapi kan lo gak harus ngutang! Sama Sinta lagi!" balasku mengikuti bahasa dia. "Lo sendiri gak mau kan tidur di lantai tanpa kasur! Lo pingin punya ini punya itu! Gue gak minta buat lo
POV Lengga.Kalau bukan karena nasihat dari Sinta, mungkin sudah kutinggalkan Mira. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, semenjak hamil sikap buruk Mira semakin menjadi. Baru tahu aku sikap aslinya, sangat berbanding terbalik dengan Sinta. Mungkin ini yang Sinta maksud, dengan mengambil semua harta milikku yang aku kumpulkan selama bersamanya, akankah Mira mampu menemaniku dari nol. Nyatanya tidak, dia hanya menginginkan uang, uang dan uang. Jika aku memiliki uang, maka sikap sayangnya akan nampak, tapi jika aku tidak memiliki uang, semua hinaan dan cercaan dia lemparkan. Rumah tangga seperti apa ini.Entah seperti sudah tidak ada kata lagi untuk mengeluh akan sikapnya. Beruntung Sinta masih mau menjalin hubungan baik denganku. Jelas saja tanpa sepengetahuan Mira. Berkata masalah cinta pada Sinta, iya aku masih mencintainya, tapi cinta itu aku yang menyimpan rapat. Sedangkan Sinta sendiri sedang dekat dengan pria kaya yang sering aku lihat ketika sedang bertugas di bagian pintu