Huaaa … masih ngantuk. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 10. 00 pagi. Huwwwaa … kesiangan. Bisa di gorok aku sama Mba Sinta. Mudah-mudahan dia belum kembali, bisa repot aku. Dengan berat hati bahkan sampai tidak mencuci muka, aku bergagas lari ke tempat Mang Udin si tukang sayur. Ya Allah, mudah-mudahan masih ada sayuran.
***
"Enak banget ya si Mira, jam segini baru bangun tidur," cetus Bu Nuning sesampainya aku di tempat Mang Udin. Astaga … aku kira kang gosip udah pada di kandang jam segini, ternyata masih ada yang berkeliaran.
"Jangan sirik Napa, sama hidup saya, Bu Nuning," sungutku sambil memilih beberapa sayur. Untung masih ada ikan bandeng sama kacang panjang. "Ih amit-amit saya sirik sama kamu, Mira. Nauzubillah Minzalik." Wah, sembarangan Bu Nuning. Emang saya sehina itu pake ucap kata nauzubillah Minzalik. "Bu Nuning, jangan terlalu pedas kalau ngomong, dijaga sedikit perasaan orang, Bu," cetusku sedikit tersinggung. "Mang buruan bungkus, mumet saya sama ucapan Ibu-ibu sini." Aku menyerahkan selembar uang lima puluh ribu dan membayar semua belanjaanku. Lalu, tanpa pamit aku meninggalkan Bu Nuning yang masih sibuk memilih sayuran sambil terus menggerutu. "Nyuruh orang ngejaga perasaan, Mang. Dia sendiri gak punya perasaan ngganggu suami, Mba Sinta," ucap Bu Nuning pelan tapi masih dapat kudengar, karena dia mengucapkannya ketika aku hendak melangkah. 'Sabar Mira …. ' Tidak kupedulikan ucapannya, segera kulanjutkan langkah kakiku. Dasar emak-emak gak ada akhlak. Kesal aku tuh di hina terus sama orang. Rasanya aku ingin cepat-cepat pindah dari sini. Mulut orang yang buat aku tidak tahan.***
Sampai rumah, kuolah semua belanjaan tadi. Hari ini aku akan memasak tumis kacang, ikan bandeng goreng sama sayur sop. Tidak terlalu banyak, takut kalau tidak dimakan. Mba Sinta dan Revan, susah-susah gampang. Tapi, lebih banyak susahnya, ribet. Mulai dari menanak nasi, kumulai aktifitas dapurku.
***
Semua masakan sudah tertata rapi di meja makan, rumah juga sudah siap di bersihkan. Waktunya santai dan menikmati hiburan di televisi.
"Tante Mira … tolong buatkan Revan es sirup ya. Revan haus." Dia meletakan tas sekolahnya di meja, lalu membaringkan tubuhnya. Enak sekali … bukan bikin sendiri malah nyuruh. Hal ini yang paling kubenci, di suruh-suruh. "Tante … tolongin dong," ucapnya lagi. "Emang kamu gak bisa bikin sendiri? Gak sopan banget nyuruh orang tua!" bentakku kesal. Iya badanku terasa sangat lelah, baru juga aku beristirahat."Kok kamu bentak anak saya? Oh jadi begini ya kelakuan kamu kalau saya tidak ada!" Tiba-tiba saja Mba Sinta muncul. Haduh … bikin males kalau harus bergaduh."Saya capek, Mba! Mba si enak kerjanya cuma potrat poteret di depan kamera. Emang kamu pikir saya babumu! Jangan mentang-mentang saya diam, anda berbuat seenaknya pada saya!" sahutku tak kalah lantang. Memang dia pikir dia siapa. Kali pertama aku meng-kamu-kan Mba Sinta selama menjadi madunya."Revan, kamu masuk!" suruh Mba Sinta pada Revan. Dia pun menurutinya. Setelah itu, Sinta kembali mengibarkan bendera permusuhan.
"Kalau kamu tidak mau menjadi babu di rumah ini, silahkan angkat kaki dari rumah saya!" usirnya.Cuih!
"Kamu pikir, kamu siapa? Berani ngusir saya? Kamu lupa kalau saya juga istri Lengga? Hah? Oh, mungkin kamu lupa, kalau aku bisa menikahi suamimu, tidak menutup kemungkinan aku bisa mengambilnya dan menjadikan Lengga hanya menjadi suamiku, dan menendangmu keluar dari rumah ini! Jangan besar kepala dan merasa sok berkuasa kamu! Seharusnya kamu bersyukur, aku masih bisa bersikap baik padamu selama ini! Semakin dibiarkan semakin menjadi! Dasar gak ada otak kau!" Aku menunjuk-nunjuk wajahnya. Memang ini sebenarnya yang ingin kukeluarkan. Aku capek, aku juga mempunyai batas kesabaran.
"Aku peringatkan kamu, bukan aku yang akan keluar dari rumah ini. Tapi, kamu! Kalau kau mau Lengga, ambil saja! Aku juga tidak membutuhkannya, kalian itu memang cocok, sama-sama sampah masyarakat!" makinya. Angkuh sekali wanita di depanku ini, tidak membutuhkan Lengga, lantas untuk apa selama ini dia bertahan. Sombong, mau tinggal dimana dia kalau di cerai oleh Lengga."Oke … kita buktikan saja nanti," ucapku seraya pergi meninggalkan Sinta. Tadi saja makanan kukasih racun. Tidak ada kata Mba lagi. Mulai hari ini, aku membencinya. Mira membenci Sinta."Oe, pelakor! Jangan lupa bereskan bajumu! Nanti kalau tidak kau bereskan sekarang, aku khawatir kau tidak sempat membereskannya jika nanti kuusir!" triaknya dengan PD. Lihat saja nanti siapa yang akan keluar dari rumah ini. Kuabaikan ucapannya dan bergagas masuk kamar. Entah keberanian dari mana aku mendebatnya.***
Bermacam pesan singkat kukirimkan pada Mas Lengga agar dia cepat kembali dari pekerjaannya. Aku sudah tidak sabar ingin mengusirnya dari sini. Jurus mencari perhatian, sekali lagi kukeluarkan untuk meracuni pikiran Mas Lengga. Tidak ada yang sia-sia dengan usaha Mira. Dia akan segera kembali, dan sepertinya Mas Lengga juga termakan oleh rayuanku. Sudah kubilang Sinta, kalau dulu aku bisa menikahi suamimu, sekarang juga aku bisa menendangmu!"
***
Coba kalau kamu tidak berbuat seenaknya, mungkin kita bisa hidup menjadi saudara madu yang akur. Pada dasarnya aku wanita baik, dan berhati penyayang, tapi Sinta memanfaatkannya. Sebisa mungkin aku harus bisa membuatnya keluar dari rumah ini, dan bercerai dengan Mas Lengga.
Hari ini aku akan memasak makanan kesukaan Mas Lengga.Karena, hari ini dia akan pulang. Aku bangun lebih pagi takut kalau sampai Mas Lengga pulang belum ada makanan yang tersedia. Mataku seketika terbelalak melihat makanan yang aku masak kemarin tidak sama sekali tersentuh. Aku hanya bisa menggeleng kepala, mengelus dada dengan kelakuan mereka. Dengan terpaksa aku membuang semua masakanku, terkecuali nasi karena masih bagus, dan Baru tersentuh sedikit olehku.***Pagi ini Revan berangkat ke sekolah menyiapkan sarapannya sendiri, dia mulai memanggang roti tanpa menyapaku. Sedikit sapaan Tante, tidak terdengar seperti biasanya. Mungkin dia marah dengan perlakuanku kemarin. Setelah sarapan, dia melewatiku begitu saja."Ayok jalan," ucap Mba Sinta pada Revan. Tidak seperti biasa, Mba Sinta menyuruhku mengerjakan sederetan pekerjaan rumah, dia sama seperti Revan mengabaikanku begitu saja. Baguslah, memang itu yang aku inginkan. Sebentar lagi, aku akan mendepak kalian keluar dari rumah
"Mas, kita pergi kemana?" tanyaku pada Mas Lengga. "Kita numpang di tempat Kakakmu dulu sampai aku dapat pekerjaan. Kamu juga cari kerja habis itu, kita cari kontrakan kecil sementara," jawabnya."Kenapa gak numpang di tempat orang tuamu saja, Mas?" Tidak mungkin aku meumpang di tempat Mba Desi. "Tidak enak, Mira. Mas gak mau ngerepotin mereka. Ini juga mereka belum tahu kalau Mas bercerai dengan Sinta.""Mas kita pulang ke tempat orang tuaku. Kalau Ibuku pasti akan mengerti." "Ya udah, sementara kita tinggal di rumah mereka." Keputusan pun telah diambil, untuk sementara waktu kami akan tinggal di rumah orang tuaku. Aku dan Mas Lengga akan mulai mencari pekerjaan untuk membangun mimpi supaya bisa membungkam mulut Sinta. "Naik ojek aja, Mas. Di depan ada tukang ojek." Mas Lengga mengangguk, berjalan di belakangku sambil menyeret dua koper besar. Mudah-mudahan di tempat Mang Udin aman, karena untuk menuju tempat kang ojek, harus melewati tempat berjualan Mang Udin."Mau kemana Mira
POV Sinta ….Berakhir sudah kisah cintaku dengan suamiku. Pernikahan yang dilandasi cinta dapat ternoda oleh hadirnya orang ketiga. Rapuh sudah pertahananku. Di rumah ini begitu banyak kenangan indah bersamanya. Mustahil kalau aku tidak terluka, nyatanya aku sendiri juga mencintai Lengga. Mengapa suamiku tidak bersyukur, bahkan istri cantik sepertiku masih tega ia duakan. Apa salahku, selama ini aku yang berdiri menemaninya dari nol. Merintis usaha hingga jadilah dia seperti sekarang. Meski aku mampu merebut semua kesuksesannya, tapi aku kehilangan cinta. Aku tidak bisa menerima atau memaafkan kesalahannya. Kenapa dia bisa tergoda oleh wanita seperti Mira. Apa karena mereka bersahabat sedari kecil? Lantas aku ini apa? Akan kubuat kau menyesal, Mas. Aku yakin kamu akan menghubungiku dengan dalih anak, aku yakin kau menyesal telah berpisah denganku. Merintis suatu usaha dari nol itu tidak mudah, kalau dulu aku menemanimu penuh cinta dan kesabaran, kita lihat saja nanti, apa Mira akan be
Pov Mira"Mas, kita tutup semua yang sudah berlalu, kita buka lembar baru ya?" ucapku seraya memegang tangan suamiku satu-satunya. Dari siang tadi hingga malam tiba, Mas Lengga seperti tidak ada semangat. Aku jadi merasa aneh dengan sikapnya yang seperti itu. "Mas, kamu kenapa si? Kok diem terus?" Tidak ada jawaban yang terlontar dari mulutnya. Aku jadi serba salah dan ikut tidak bergairah melihat dirinya seperti ini.Malas juga aku berbicara kalau tidak ada tanggapan."Capek aku kaya ngomong sama patung," ketusku sambil berbelok membelakanginya. Sebisa mungkin aku mencoba memejamkan mata. Namun, bayangan akan esok menari-nari di dalam pikiranku. Kepalaku menjadi sedikit pusing, leher juga terasa berat. Memang sialan Mba Sinta. Aku sungguh sangat membencinya, benci yang terlalu dalam. Aku berharap bisa sukses bersama Mas Lengga, dan membuktikan padanya kalau hidupku baik-baik saja. Besok aku akan mulai mencari pekerjaan, yah berbekal ijasah SMK, entah pekerjaan apa yang akan kudapat
Pov MiraSemua sudah kubereskan, sepray bekas tidur dan baju kotor dua hari di tempat ibu sudah kucuci. Mas Lengga sudah uring-uringan tidak karuan meminta untuk segera pindah. Haduh kenapa jadi terlunta-lunta begini, harusnya hari ini aku memulai pekerjaan menjadi Repsesionis, malah gak jadi masuk kerja, entahlah besok aku masih diterima atau tidak. 'Mas Lengga kenapa jadi egois begini si.'"Sudah siap kan? Tadi kalung sudah kamu jual?" ucap Mas Lengga sambil membawa dua koper ukuran besar seperti kemarin. Memang isinya juga masih utuh, untung belum ku-keluarkan semua isinya. "Sudah Mas," sungutku sedikit kesal. Rasanya ingin kucakar wajah pria di depanku ini."Bu, kami pamit dulu. Maaf udah ngerpotin Ibu," ucap Mas Lengga menghampiri Ibu dan Bapa yang sedang duduk santai di ruang tamu."Lho kok pamit? Kenapa? Katanya mau tinggal di sini dulu sementara?" Ibu sedikit merasa tidak enak, dapat terlihat dari wajahnya. Mungkin ia sadar akan ucapannya yang lalu. "Lengga gak mau ngerpotin
Pov MiraBadan pada sakit tidur di lantai, tak ber-alas pula. Uang sisa kemaren sudah tinggal seratus ribu. Uang lima puluh ribu untuk beli air minum, perlengkapan mandi dan rokok Mas Lengga tak bersisa. Nasib ya nasib. Sinta sama anaknya hidup enak, gak kekurangan duit, tidur di kasur empuk, segala kebutuhan ada, ini aku malah diajak hidup susah. Perut lapar, makan sehari sekali. Bener-bener nasib, buruk banget."Mas aku mau berangkat kerja. Kamu cari kerjaan jangan nganggur!" sentakku kesal sambil meninggalkannya. "Kan aku juga udah kerja! Gak usah rewel! Jangan suka bentak suami! Baru sehari diajak susah, sudah seperti itu sikapmu!" sungutnya."Bukan gitu, Mas. Ini uang kita cuma tinggal seratus ribu! Belum kupake ongkos nanti!" sahutku tak kalah lantang. "Otakmu ini isinya cuma duit! Gak bisa sabar! Memang ya, sikap lugumu hanya topeng semata! Harusnya aku tidak pernah tergoda oleh topengmu!" makinya. Ya ampun hatiku sudah semakin dongkol, masih pagi sudah berdebat begini. Bodo
Pov MiraYeyeee semangat Mira … semangat! Posisimu sekarang nomor satu. Sinta mah tewas guys … ckckckck ….Wih, aku gak nyangka sebelumnya, Mas Lengga cerai sama Sinta … ke tempat Sinta agh pamer duit dari Mas Lengga.****Sudah beberapa hari ini hubunganku dengan Mas Lengga tidak ada keributan, kasur, kipas angin, kulkas, perabotan masak, sudah kubeli, uang pun masih ada. Hanya saja, sisanya tidak bisa untuk membeli iPhone. Mahal dua puluh satu juta, uang dari mana aku. Kalau dulu masih bisa, jatah bulanan dari Mas Lengga selama tiga bulan cukup buat beli iPhone. Aduh sayang juga itu HP, udah hampir dua minggu tidak tersentuh, apa kuambil aja ya. Kebetulan sekarang pasti cuma ada Revan, Emaknya kan lagi kerja. 'Samperin agh.' Repot juga kalau tanpa Hp, susah untuk menghubungi Mas Lengga, aku juga mau tahu kabar Sari, terakhir dia babak belur dilabrak istri sah.Setelah selesai mengunci pintu, seperti biasa, nyari kang ojek. Kalau dulu nyari taksi, sekarang akang ojek, yang penting s
Pov MiraJam sudah menunjukan pukul 18.30 wib. Waktunya Mas Lengga pulang. Aku ingin segera menumpahkan amarahku padanya. Rasanya diri ininsudah tak sabar ingin memaki, menjambak dan mencakarnya. Sungguh hati ini terasa sangat gregetan. "Mas! Kamu ini kelewatan banget, ya! Ngasih duit ke aku hasil ngutang dari Sinta, mantan istrimu! Bilang aja kamu mau ketemu dia kan?!" sungutku ketika melihat dia sudah berada di depan pintu. Ya ampun bahkan aku tidak bisa menunggunya masuk dulu ke dalam. Wajah lelahnya setelah pulang bekerja nampak jelas. Tapi, aku sendiri tidak tahu kenapa ingin sekali rasanya mengunyel dirinya."Serba salah gue jadi laki lo! Ya lo pikir gue ng**p**t! gue gak bawa duit, lo manyun! Gue bawain duit, marah-marah!" Hah … elo, gue? Ini kali pertama aku mendengar dia berkata kasar. "Iya tapi kan lo gak harus ngutang! Sama Sinta lagi!" balasku mengikuti bahasa dia. "Lo sendiri gak mau kan tidur di lantai tanpa kasur! Lo pingin punya ini punya itu! Gue gak minta buat lo