Share

Bab 8

Huaaa … masih ngantuk. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 10. 00 pagi. Huwwwaa … kesiangan. Bisa di gorok aku sama Mba Sinta. Mudah-mudahan dia belum kembali, bisa repot aku. Dengan berat hati bahkan sampai tidak mencuci muka, aku bergagas lari ke tempat Mang Udin si tukang sayur. Ya Allah, mudah-mudahan masih ada sayuran. 

***

"Enak banget ya si Mira, jam segini baru bangun tidur," cetus Bu Nuning sesampainya aku di tempat Mang Udin. Astaga … aku kira kang gosip udah pada di kandang jam segini, ternyata masih ada yang berkeliaran. 

"Jangan sirik Napa, sama hidup saya, Bu Nuning," sungutku sambil memilih beberapa sayur. Untung masih ada ikan bandeng sama kacang panjang. 

"Ih amit-amit saya sirik sama kamu, Mira. Nauzubillah Minzalik." Wah, sembarangan Bu Nuning. Emang saya sehina itu pake ucap kata nauzubillah Minzalik. 

"Bu Nuning, jangan terlalu pedas kalau ngomong, dijaga sedikit perasaan orang, Bu," cetusku sedikit tersinggung. "Mang buruan bungkus, mumet saya sama ucapan Ibu-ibu sini." Aku menyerahkan selembar uang lima puluh ribu dan membayar semua belanjaanku. Lalu, tanpa pamit aku meninggalkan Bu Nuning yang masih sibuk memilih sayuran sambil terus menggerutu. 

"Nyuruh orang ngejaga perasaan, Mang. Dia sendiri gak punya perasaan ngganggu suami, Mba Sinta," ucap Bu Nuning pelan tapi masih dapat kudengar, karena dia mengucapkannya ketika aku hendak melangkah. 'Sabar Mira …. ' Tidak kupedulikan ucapannya, segera kulanjutkan langkah kakiku. Dasar emak-emak gak ada akhlak. Kesal aku tuh di hina terus sama orang. Rasanya aku ingin cepat-cepat pindah dari sini. Mulut orang yang buat aku tidak tahan.

***

Sampai rumah, kuolah semua belanjaan tadi. Hari ini aku akan memasak tumis kacang, ikan bandeng goreng sama sayur sop. Tidak terlalu banyak, takut kalau tidak dimakan. Mba Sinta dan Revan, susah-susah gampang. Tapi, lebih banyak susahnya, ribet. Mulai dari menanak nasi, kumulai aktifitas dapurku.

***

Semua masakan sudah tertata rapi di meja makan, rumah juga sudah siap di bersihkan. Waktunya santai dan menikmati hiburan di televisi.

"Tante Mira … tolong buatkan Revan es sirup ya. Revan haus." Dia meletakan tas sekolahnya di meja, lalu membaringkan tubuhnya. Enak sekali … bukan bikin sendiri malah nyuruh. Hal ini yang paling kubenci, di suruh-suruh. "Tante … tolongin dong," ucapnya lagi. 

"Emang kamu gak bisa bikin sendiri? Gak sopan banget nyuruh orang tua!" bentakku kesal. Iya badanku terasa sangat lelah, baru juga aku beristirahat.

"Kok kamu bentak anak saya? Oh jadi begini ya kelakuan kamu kalau saya tidak ada!" Tiba-tiba saja Mba Sinta muncul. Haduh …  bikin males kalau harus bergaduh.

"Saya capek, Mba! Mba si enak kerjanya cuma potrat poteret di depan kamera. Emang kamu pikir saya babumu! Jangan mentang-mentang saya diam, anda berbuat seenaknya pada saya!" sahutku tak kalah lantang. Memang dia pikir dia siapa. Kali pertama aku meng-kamu-kan Mba Sinta selama menjadi madunya. 

"Revan, kamu masuk!" suruh Mba Sinta pada Revan. Dia pun menurutinya. Setelah itu, Sinta kembali mengibarkan bendera permusuhan.

"Kalau kamu tidak mau menjadi babu di rumah ini, silahkan angkat kaki dari rumah saya!" usirnya.

Cuih!

"Kamu pikir, kamu siapa? Berani ngusir saya? Kamu lupa kalau saya juga istri Lengga? Hah? Oh, mungkin kamu lupa, kalau aku bisa menikahi suamimu, tidak menutup kemungkinan aku bisa mengambilnya dan menjadikan Lengga hanya menjadi suamiku, dan menendangmu keluar dari rumah ini! Jangan besar kepala dan merasa sok berkuasa kamu! Seharusnya kamu bersyukur, aku masih bisa bersikap baik padamu selama ini! Semakin dibiarkan semakin menjadi! Dasar gak ada otak kau!" Aku menunjuk-nunjuk wajahnya. Memang ini sebenarnya yang ingin kukeluarkan. Aku capek, aku juga mempunyai batas kesabaran.

"Aku peringatkan kamu, bukan aku yang akan keluar dari rumah ini. Tapi, kamu! Kalau kau mau Lengga, ambil saja! Aku juga tidak membutuhkannya, kalian itu memang cocok, sama-sama sampah masyarakat!" makinya. Angkuh sekali wanita di depanku ini, tidak membutuhkan Lengga, lantas untuk apa selama ini dia bertahan. Sombong, mau tinggal dimana dia kalau di cerai oleh Lengga.

"Oke … kita buktikan saja nanti," ucapku seraya pergi meninggalkan Sinta. Tadi saja makanan kukasih racun. Tidak ada kata Mba lagi. Mulai hari ini, aku membencinya. Mira membenci Sinta.

"Oe, pelakor! Jangan lupa bereskan bajumu! Nanti kalau tidak kau bereskan sekarang, aku khawatir kau tidak sempat membereskannya jika nanti kuusir!" triaknya dengan PD. Lihat saja nanti siapa yang akan keluar dari rumah ini. Kuabaikan ucapannya dan bergagas masuk kamar. Entah keberanian dari mana aku mendebatnya.

***

Bermacam pesan singkat kukirimkan pada Mas Lengga agar dia cepat kembali dari pekerjaannya. Aku sudah tidak sabar ingin mengusirnya dari sini. Jurus mencari perhatian, sekali lagi kukeluarkan untuk meracuni pikiran  Mas Lengga. Tidak ada yang sia-sia dengan usaha Mira. Dia akan segera kembali, dan sepertinya Mas Lengga juga termakan oleh rayuanku. Sudah kubilang Sinta, kalau dulu aku bisa menikahi suamimu, sekarang juga aku bisa menendangmu!" 

***

Coba kalau kamu tidak berbuat seenaknya, mungkin kita bisa hidup menjadi saudara madu yang akur. Pada dasarnya aku wanita baik, dan berhati penyayang, tapi Sinta memanfaatkannya. Sebisa mungkin aku harus bisa membuatnya keluar dari rumah ini, dan bercerai dengan Mas Lengga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status