10Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku menyuapi bayi besar itu perlahan. Bayi besar yang sangat menjengkelkan. Andai aku tidak takut Yuni memburuku di luar sana, niscaya aku sudah kabur dan meninggalkan pekerjaan aneh ini. Kusuapi dia tanpa kata. Hanya tangan yang bekerja. Tunggu! Aku mengamati wajah yang sebenarnya akan sangat tampan kalau saja tidak selalu memerintah yang aneh-aneh tanpa senyum itu. Namun, bukan itu yang menjadi perhatianku. Gerakan mulutnya yang sedang mengunyah makananlah yang menarik perhatianku. Gerakan itu ... seperti gerakan mulut seseorang dari masa lalu yang sangat kuakrabi. Ya, sama persis seperti itu gerakannya bila sedang mengunyah. Siapa Tuan Sultan ini sebenarnya? Apa aku mengenalnya? Aku terus memperhatikan wajahnya. âApa yang kau lalukan?!â teguran dengan suara tinggi membuatku terjengkit kaget. Ternyata tanpa sadar, aku memajukan wajah hingga jarak kami sangat dekat. Tuan Sultan menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Kepalanya menggele
11Aku masih kaget dengan semua yang terjadi. Tubuhku berada di atas tubuh Tuan Sultan dengan wajah kami saling menempel, dan ... bibir menyatu. Awalnya lelaki itu juga diam. Mungkin karena kaget semua terjadi begitu cepat. Namun, tak lama ia meronta. Tangannya mendorong wajahku agar menjauh dari wajahnya. Mulutnya langsung menyemburkan omelan dan sumpah serapah. Ia juga berteriak memanggil siapa pun yang bisa menolong kami. âApa kau sudah gila? Apa yang kau lakukan, hah? Menyingkir dariku! Tubuhmu sangat berat. Aku bisa mati kehabisan napas!â Tuan Sultan terus mengomel dengan satu tangan menahan agar wajahku tak jatuh lagi di atas wajahnya. Lalu tangan lainnya mencari sesuatu yang bisa menolong kami. Aku? Jangan kira aku menikmati posisi ini atau bukan tidak mau menyingkir. Namun, tubuhku yang terlalu berat membuatku sulit untuk keluar dari kursi roda ini. Aku berusaha untuk berguling ke samping tetapi kursi roda tetap meringkus tubuhku, hingga kami seolah berpelukan dengan pos
Part 12Aku mendorong kursi roda Tuan Sultan mengikuti arah berjalan Pak Sam. Ya. Pak Sam. Aku memanggil begitu untuk menghormatinya, walaupun dilihat dari segi usia, pria itu berumur tak jauh dariku. Paling juga sama dengan Tuan Sultan, yang juga masih muda. Kami masuk ke dalam lift yang akan membawa ke lantai bawah. Aku baru tahu kalau di rumah ini ada lift. Letaknya tak jauh dari kamar Tuan Sultan. Lalu, kalau ada lift, kenapa aku harus repot-repot naik-turun tangga setiap saat? Tinggal naik lift saja. Bukankah lebih cepat dan efektif? âJangan pernah berpikir untuk naik lift ini, bila tidak sedang bersamaku!âApa? Lagi-lagi dia tahu isi hatiku. Apakah selain otoriter, menjengkelkan, dia juga seorang cenayang? âLift ini hanya di khususkan untukku. Pelayan mana pun tidak boleh memakainya selain bersamaku atau atas perintahku!â Dia menegaskan. âKenapa begitu Tuan?â Rasa penasaran mendorongku untuk bertanya. âKarena kalian punya kaki yang sehat, normal, dan lengkap. Kalau mau n
13Pak Sam membantu Tuan Sultan berbaring di ranjang. Dia menjadi sangat pendiam sejak pertemuan dengan wanita cantik tadi. Tidak lagi menyuruh ini itu, atau sekadar membaca isi hatiku. Aku membantu Pak Sam menutup selimut hingga dada Tuan Sultan. Lelaki itu memejam, wajahnya terlihat lelah. âKau juga lebih baik istirahat saja, mumpung bos tidur.â Pak Sam menghampiriku yang ingin membereskan piring dan peralatan makan yang tadi belum sempat kubereskan. âBenarkan, Pak?â Aku antusias. âYa, mumpung bos tidur. Tapi kau sudah harus bangun sebelum bos bangun. Agar bila dia mencarimu, kau tidak gelagapan.ââBerapa lama biasanya Tuan Sultan tidur? Aku akan menyetting alarm agar tidak terlambat.ââTidak ada batasan waktu, bisa lama, bisa juga bangun cepat.ââKalau begitu, bagaimana aku bisa tahu tidak akan terlambat?ââPintar-pintar kau sajalah, sudah untung aku beri kau kelonggaran.â Pak Sam tampak kesal melihatku banyak bertanya, hingga aku memutuskan diam. Membereskan peralatan makan da
14Aku terpaksa kembali ke kamar dan mandi sekalian, agar tidak dikatakan mirip hantu lagi. Memakai baju dan bawahan yang sekiranya menyerap keringat, karena aktivitas yang menguras tenaga. Aneh, baju-bajuku tak sesesak dulu lagi. Ada ruang lebih longgar baik di bagian ketiak dan dada. Juga di pinggang dan pinggul. Pokoknya tak seketat dulu. Kuikat rambut panjang yang mengembang seperti kepala singa ini. Kemudian dikepang sampai ujung dengan rapi. Agar dia tak ketakutan seperti melihat hantu lagi. Sekarang aku sudah rapi, bahkan wajah lebar dan penuh jerawat ini terekspos dengan jelas karena tidak ada lagi rambut yang keluar dari ikatannya. Aku berusaha sampai lebih cepat di kamar Tuan Sultan. Entah perintah apa yang ingin ia berikan saat ini. âApa yang harus saya kerjakan, Tuan?â tanyaku begitu sampai di hadapannya. âKenapa begitu lama?â tanyanya dengan wajah merengut. âSaya mandi dulu, Tuan.ââAmbilkan aku air minum, aku haus!â perintahnya tanpa melihat wajahku. âAir minum?
15âAna, cepat ke ruang makan! Aku tunggu di sana!âTangan yang akan meraih gagang pintu pun hanya menggantung di udara, saat suara itu terdengar tiba-tiba. Aku mengedarkan pandang ke seluruh sudut ruangan bagian atas. Apa di sini ada kamera CCTV? Kenapa dia seolah tahu kalau aku ingin pergi?Oh, aku lupa dia punya Indera Lesmana ketujuh. Dia bisa tahu isi hatiku bahkan dari jarak jauh. Ya, aku yakin itu karena tak mendapati ada kamera di mana pun. âAku hitung mundur dalam hitungan sepuluh! Kalau kau tiba tepat waktu, aku akan memberimu makanan enak!âMakanan enak? Mataku berbinar. âSepuluh ... sembilan ... del....ââAku datang Tuan Sultan.....â Kulempar ransel ke atas ranjang, kemudian membuka pintu kamar dan berlari ke arah ruang makan yang tidak begitu jauh dari kamar. Aku tiba saat hitungan lelaki itu tiba di angka dua. Dengan napas terengah, aku berdiri berbatas meja dengannya. Terlihat Tuan Sultan duduk seperti biasa di kursi rodanya dengan wajah datar seperti biasa. Di sa
16Akhirnya aku bisa tidur nyenyak malam ini. Selain karena tubuh yang lelah luar biasa, Tuan Sultan juga memberiku sekotak es krim rasa buah-buahan. Sesuai janjinya, ia memberiku makanan. Walaupun hanya sekotak es krim, lumayanlah buat mood booster. Moodku kembali. Semangatku juga kembali. Aku akan bertahan di sini, setidaknya sampai kontrak kerja itu berakhir. Apalagi gaji yang akan kudapat lumayan besar setiap bulannya. Sepuluh juta. Bukankah aku berencana mengambil lagi apa hakku yang dirampas Yuni? Dengan bantuan seorang pengacara yang akan kubayar dengan gaji dari Tuan Sultan nanti, aku yakin bisa merebut hakku lagi. Satu lagi yang kulupakan. Apa Arman sudah mengurus perceraian kami? Aku takut ia tidak melakukannya. Lalu, bagaimana dengan statusku nanti? Apa aku harus menjadi janda tanpa surat? Janda bodong? Enak sekali dia kalau menikah lagi tanpa menguras dulu perceraian kami. Dia bisa dengan mudah menikah lagi. Sement5 aku akan kesulitan bila suatu saat bertemu jodoh, sed
17âKenapa kau masuk saat aku masih tidur, hah? Apa kau sedang menyusun rencana untuk memperkosaku lagi saat aku sedang tidur?â Tuan Sultan berteriak lagi. Tidak terima dituduh seperti itu, aku berbalik seraya mengangkat tangan. Ingin membantah, akan tetapi suaranya yang menggelegar, membuat tubuh ini berbalik lagi ke arah dinding. âSiapa yang menyuruhmu berbalik, hah? Apa kau sengaja ingin melihat auratku?âYa Tuhan... menyesal kenapa tadi aku masuk, kalau tahu akan seperti ini. Padahal menunggu saja sampai dia memanggil. âAmbilkan kursi rodaku!â perintahnya lagi dengan suara tidak sekeras tadi. Aku baru akan berbalik untuk mengambil kursi roda saat lagi-lagi perintah lain menyusul. âJalan miring! Jangan menoleh ke arahku!âAku mengikuti perintahnya. Jalan sambil miring-miring seperti kepiting untuk sampai di tempat kursi rodanya yang lumayan jauh dari ranjang. Seribet ini menjadi pelayan Tuan Sultan. Seribet ini untuk mendapat uang sepuluh juta. Dapat. Aku sudah memegang hande