Home / Thriller / PELUKAN BERDARAH / KEPANIKAN ITU SELALU MENYERANG

Share

KEPANIKAN ITU SELALU MENYERANG

Author: Ayuwine
last update Last Updated: 2025-08-07 07:27:46

Semua orang terperanjat kaget saat melihat kedatangan sang besan dan menantunya.

Vita jelas memperlihatkan raut wajah kaget dan heran, kenapa tiba-tiba saja Jenderal Robert, sang besan, datang ke sini.

Pikirannya harap-harap cemas. Apa Tiara sudah melaporkan apa yang anaknya lakukan pada menantunya?

"Matilah..."

Gumamnya pelan, meringis takut membayangkan apa yang akan terjadi.

Sementara itu, Surya dengan cepat menyambut mereka dengan sangat baik.

"Wah... kedatangan sang besan. Loh, Tiara, kenapa nggak ngabarin Papa? Kan bisa Papa jemput, atau Arya," ucapnya, lalu beralih memandang sang menantu. Wajahnya sangat lembut dan damai.

Tiara hanya diam. Wajahnya sudah sangat muak.

"Aku tahu sekarang, kenapa mertuaku sangat baik padaku tapi tak pernah menegur perlakuan anaknya," gumamnya dalam hati, pelan.

"Maaf jika kedatangan saya terlalu mendadak. Saya hanya ingin mengantarkan putri saya. Ia terlalu sering berkunjung ke orang tuanya. Tentu saja itu membuat Arya kesal, buk
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • PELUKAN BERDARAH   RASA YANG TAK SAMA LAGI

    Malam itu, rumah keluarga Surya tenggelam dalam keheningan. Angin malam berdesir lembut, namun Nayla justru merasa detak jantungnya berpacu tak karuan. Ia menunggu dengan gelisah, menatap jam dinding yang berdetak lambat seolah sengaja menyiksa. Tak lama kemudian, suara samar ketukan kaca terdengar dari jendela kamarnya. Nayla segera menghampiri. Di balik tirai gelap, sosok Riko berdiri, wajahnya tersamar oleh bayangan malam. “Cepat buka,” bisiknya singkat. Dengan hati-hati, Nayla membuka jendela. Riko masuk tanpa suara, gerakannya cekatan, seakan sudah terbiasa menyelinap. Dari dalam saku jaket hitamnya, ia mengeluarkan sebuah kantong kecil berisi bubuk putih keabu-abuan. “Inilah waktunya,” ucap Riko lirih, matanya berkilat dingin. “Obat ini tidak berwarna, tidak berbau. Campurkan ke setiap minuman yang ada di rumah—air, teh, bahkan kopi mereka. Dalam waktu singkat, tubuh mereka akan melemah, tidak berdaya. Saat itu, kita bisa melakukan apa pun yang kita mau.” Nayla menat

  • PELUKAN BERDARAH   KASIH SAYANG YANG MENGGOYAHKAN

    Kedua ayah dan anak itu saling bertatapan tajam, bagaikan musuh yang siap berperang. Melihat itu, Nayla justru merasa senang. Namun senyumnya mendadak sirna ketika rasa sakit di pipinya kembali menusuk, membuatnya meringis. Arya yang melihat kondisi Nayla segera mendekat, lalu memeluk istrinya dengan tenang, berusaha menenangkan hati yang porak-poranda. “Tiara, cepatlah keluar! Dan ingat, jangan sekali pun kau memberitahu ayahmu,” perintah Surya dengan suara dingin dan tegas. Amarah Tiara memuncak. Rasa benci semakin berkobar ketika ia melihat Arya begitu menyayangi Nayla. Ia bangkit, menatap Surya dengan tajam—hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. “Siapa kamu berani memerintahku seenaknya, setelah menyekapku dan membuatku ketakutan?!” teriaknya lantang, meskipun suaranya bergetar menahan takut dan amarah yang bercampur menjadi satu. Nayla dan Arya menoleh ke arahnya. Nayla menggeleng pelan, seolah menyayangkan sikap Tiara yang begitu tergesa-gesa. “Berani sekali kamu mela

  • PELUKAN BERDARAH   TAMPARAN SURYA

    Nayla terbelalak saat kain penutup kepala itu ditarik lepas. “Kak…” lirihnya nyaris tak terdengar. Ia menahan diri sekuat mungkin agar wajahnya tidak menampakkan kepanikan atau kelemahan. Surya mengamati, keningnya berkerut. Ia heran—kenapa ekspresi Nayla tetap sedingin es, tanpa tanda-tanda terkejut? Apa aku salah tangkap orang? pikirnya. Ia kembali melirik pria yang mereka bawa dan ikat. Tidak ada gerak-gerik jelas yang menunjukkan keduanya saling mengenal. “Siapa dia?” tanya Nayla datar, suaranya menekan gejolak amarah yang membara di dadanya. “Jangan pura-pura, Nayla… aku tahu siapa dia. Dia adalah kakakmu, kan?” sela Vita santai sambil melangkah mendekat ke arah pria itu. Tangan Vita terulur, menyentuh bahu Riko, mengelusnya perlahan. Tak bisa dipungkiri, ada kilatan aneh di matanya—seolah terhipnotis oleh ketampanan pemuda di depannya. “Ada apa ini? Kenapa kalian menangkapku? Salah apa aku pada kalian, sampai diikat seperti ini? Dan… siapa nona cantik di depanku ini?

  • PELUKAN BERDARAH   PISTOL ITU MENGARAH KE NAYLA

    Nayla melangkah pelan, lalu terdiam di depan pintu kamar tamu di bagian belakang rumah — tempat ia dan Tiara sering bertemu untuk membicarakan banyak hal. Firasatnya mulai tak enak. Apa ini rencana mereka? Aku tidak bisa percaya penuh pada Tiara... Dan apa Arya sengaja disuruh keluar kota untuk ini? pikirnya. Langkahnya ragu, tidak tahu apakah harus masuk atau tidak. Ia membayangkan kemungkinan terburuk: Tiara mungkin akan mengkhianatinya. Nayla memutuskan menghubungi Arya terlebih dahulu. Hanya Arya yang bisa ia hubungi; Riko entah di mana. "Mas, aku sepertinya dalam bahaya di rumah ini," tulisnya cepat. Pesan itu segera ia kirim... lalu langsung dihapus. Ia pun mendorong daun pintu perlahan. Gelap. Hanya ada Tiara di sana — mulutnya disumpal, tangannya terikat. Nayla tetap tenang. Wajahnya dingin, tanpa tanda keterkejutan. Matanya menyapu setiap sudut ruangan gelap itu. Ia tak berani menyalakan lampu. Lalu, hembusan angin dingin menyentuh kulitnya. Tak ada yang t

  • PELUKAN BERDARAH   GERAK PERTAMA

    "Papa… cukup, Pa… kamu sudah menghabisi kedua menantu kita, Pa…" isak Vita, suaranya pecah, matanya sembab. Ia tak sanggup lagi berdiri menyaksikan semua ini. Hatinya hancur. Baginya, lelaki yang kini berdiri dengan pistol di tangan itu bukan lagi suaminya—melainkan sosok asing yang kejam. Ia menatapnya dengan pandangan penuh benci bercampur takut. Bagaimana bisa aku menikahi seorang psikopat seperti ini? pikirnya. Kekuasaan dan uang telah membuatnya buta, tak lagi mengenal batas moral. Ia percaya dirinya kebal hukum—bahwa tak ada yang bisa menyentuhnya. Dan itu membuatnya mampu melakukan apa pun… bahkan membunuh, tanpa keraguan sedikit pun. "Siapa pun yang berkhianat dan membohongi aku…" suaranya berat, setiap kata seperti palu yang menghantam kepala. "…akan mati seperti mereka." Tatapannya menyapu ruangan. Pertama pada Tiara, yang berdiri mematung di tangga, wajahnya pucat dan matanya membesar ketakutan. Kemudian perlahan mendongak—ke arah atas, tepat di balkon. Di sana, Nay

  • PELUKAN BERDARAH   KETIKA SEMUA TOPENG ROBOH

    Dika terus berlari mengitari ruang tengah, napasnya memburu. Winda di belakangnya seperti serigala kelaparan, matanya liar, rambutnya semakin acak-acakan. “Berhenti! Jangan lari kau!” teriak Winda, suaranya serak bercampur amarah. Satu kali, Dika hampir berhasil mencapai pintu belakang. Tapi Winda, dengan langkah panjang dan amukan tak terkendali, melompat dan mendorong tubuh Dika hingga terhuyung. BRUK! Tubuh Dika terjerembab ke lantai marmer. Panci yang tadi terjatuh masih menggelinding pelan, denting logamnya terdengar menusuk telinga. Winda langsung berada di atasnya, menarik kerah bajunya kasar. “Di mana dia?! Jawab!!” Winda mengguncang tubuhnya. Dari atas balkon, Nayla bersandar santai di pegangan, dagunya bertumpu pada telapak tangan. Senyum tipis menghiasi wajahnya. "Bagus… terus… buat keributan sebesar mungkin," batinnya. Kericuhan itu seperti musik di telinganya—semakin bising, semakin menutupi langkah-langkah kecilnya di balik layar. Nayla melirik arlojiny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status