LOGINRaisa Mahendra, seorang jaksa muda idealis, hidupnya penuh prinsip dan dingin terhadap cinta. Namun segalanya berubah saat dia ditugaskan menangani kasus besar yang menyeret nama Revan Aditya, mantan anggota pasukan elit yang kini menjadi pengusaha sukses—dan juga tersangka pembunuhan. Dalam pusaran hukum, konspirasi, dan pengkhianatan, benih-benih cinta mulai tumbuh. Tapi mampukah cinta bertahan di antara kebenaran dan keadilan?
View MoreRuang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hari itu penuh sesak. Suara ketukan palu hakim memecah suasana tegang yang membeku sejak pagi. Semua mata tertuju pada satu sosok di ruang persidangan—terdakwa kasus pembunuhan paling menghebohkan dalam tiga bulan terakhir.
“Sidang kasus nomor 0487/Pid.B/2025/PN JKTSEL dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum,” ucap hakim ketua dengan suara berat dan penuh wibawa. Raisa Mahendra, jaksa muda berusia 28 tahun, berdiri tegak di balik meja jaksa penuntut. Seragam resminya rapi, rambut hitamnya diikat sederhana, dan wajahnya tampak tenang—tapi sorot matanya tajam, mengamati setiap gerak-gerik terdakwa di seberang ruangan. Revan Aditya. Lelaki tinggi tegap itu mengenakan kemeja putih dan celana hitam. Tangannya terborgol, namun wajahnya tetap tenang, bahkan sedikit menantang. Tatapan matanya tidak menunjukkan rasa takut. Justru ada ketenangan yang mencurigakan di wajahnya, seolah ia tahu lebih banyak dari siapa pun di dalam ruangan itu. "Saudara Revan Aditya, Anda didakwa atas pembunuhan berencana terhadap Letnan Kolonel (Purn) Satrio Wibowo, mantan atasan Anda di satuan pasukan elit. Apakah Anda memahami dakwaan ini?" tanya hakim dengan nada formal. Revan mengangguk pelan. “Saya paham, Yang Mulia. Tapi saya tidak bersalah.” Jawaban itu terdengar mantap, tanpa ragu sedikit pun. Raisa menatapnya dengan penuh analisis. Ia mempelajari bahasa tubuh Revan—gerak mata, nada suara, ekspresi wajah—mencari celah kebohongan. Tapi nihil. Tidak ada satu pun tanda-tanda khas tersangka bersalah yang ia pelajari selama bertahun-tahun di akademi dan pelatihan. Yang justru ia rasakan adalah sesuatu yang lebih berbahaya: rasa penasaran. Berbulan-bulan Raisa mempelajari kasus ini. Bukti memang mengarah pada Revan. Sidik jari di senjata, motif karena perselisihan bisnis, bahkan rekaman CCTV yang memperlihatkan mobil Revan berada di dekat lokasi kejadian. Tapi ada sesuatu yang mengganjal. Terlalu banyak kebetulan. Terlalu banyak bukti yang muncul “terlalu sempurna”. Apakah Revan dijebak? Atau… memang ia sedang memainkan permainan yang lebih besar? Sidang hari itu hanya membahas pembacaan dakwaan dan pengesahan barang bukti. Tidak ada drama besar. Namun atmosfer tegang tak pernah hilang dari awal hingga akhir. Seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Ketika hakim menskors sidang selama dua jam untuk memberi waktu pada tim kuasa hukum dan jaksa menyusun strategi pemeriksaan saksi, Raisa melangkah cepat keluar dari ruang sidang. Ia butuh udara segar. Tapi langkahnya terhenti saat sebuah suara berat memanggil dari belakang. "Jaksa Mahendra." Ia menoleh. Revan berdiri di dekat pintu, dijaga dua petugas. Tatapannya tajam, tapi bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang entah kenapa membuat Raisa merinding. "Ayahmu pasti bangga padamu." Darah Raisa langsung membeku. Jantungnya berdetak lebih cepat. “Apa maksudmu?” bisiknya, wajahnya menegang. Revan hanya menatapnya dengan tenang. "Aku mengenalnya. Dulu." Raisa terdiam. Nama ayahnya tidak pernah muncul dalam pembahasan kasus ini. Tidak ada media yang mengaitkannya. Tidak ada yang tahu bahwa ia adalah putri dari mendiang Hakim Bismar Mahendra—sosok terhormat yang tewas sepuluh tahun lalu dalam sebuah kecelakaan yang mencurigakan. Ia nyaris melangkah maju, ingin bertanya lebih jauh. Tapi petugas sudah menarik Revan pergi. Ia hanya bisa menatap punggung pria itu menjauh, penuh pertanyaan yang menggantung di udara. Setelah kembali ke ruangannya di Kejaksaan, Raisa tidak langsung membuka berkas. Ia terduduk diam, masih terpaku pada kalimat Revan. Ia membuka laci meja dan mengeluarkan sebuah liontin kecil berbentuk palu hukum—kenangan terakhir dari sang ayah. Kecelakaan itu… selalu terasa janggal. Ayahnya dikenal sebagai hakim bersih yang sedang menangani kasus besar sebelum meninggal. Kasus itu tiba-tiba lenyap dari berita. Saksi-saksi diam. Dan ibunya, sejak saat itu, memilih tutup mulut demi keselamatan mereka. “Jangan pernah tanya lagi soal Ayahmu, Raisa. Fokus pada hidupmu sekarang.” Itu pesan terakhir ibunya sebelum Raisa masuk sekolah hukum. Tapi sekarang, seorang tersangka pembunuhan tahu soal ayahnya. Dan ia menyebutnya… seolah punya hubungan pribadi. Raisa membuka kembali folder kasus di laptopnya. Ia menelusuri catatan lama Letkol Satrio—korban dalam kasus ini. Semakin ia membaca, semakin banyak ia temukan hal janggal. Transfer dana besar ke rekening luar negeri. Perjalanan rahasia ke Singapura dan Thailand. Dan nama yang paling membuatnya terdiam: CV Garda Pratama. Itu adalah perusahaan keamanan yang sekarang dipimpin oleh… Revan Aditya. Jadi bukan hanya korban dan tersangka saling mengenal. Mereka pernah terlibat bisnis. Tapi kenapa hal itu tidak muncul dalam BAP? Raisa berdiri, tubuhnya tegang. Ada yang tidak beres dalam kasus ini. Sangat tidak beres. Lalu ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal: "Kalau kamu ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi 10 tahun lalu, dan siapa Letkol Satrio sebenarnya—datanglah ke halaman belakang kantor lama POM AD malam ini. Sendirian. Jangan bawa siapa pun." Jantung Raisa berdetak lebih cepat. Tangannya gemetar sedikit saat menggenggam ponsel. Ini bukan lagi sekadar kasus pembunuhan. Ini sudah menjadi pribadi. Tentang ayahnya. Tentang masa lalu yang belum selesai. Dan mungkin, tentang kebenaran yang selama ini dikubur dalam diam. Ia tahu ia harus membuat pilihan. Menjadi jaksa yang patuh pada aturan? Atau menjadi seorang anak yang ingin tahu siapa sebenarnya ayahnya… dan kenapa ia harus mati? Dan di tengah dilema itu, satu nama terus berputar dalam pikirannya. Revan Aditya. Siapa kau sebenarnya?Langit malam terlihat seperti beludru hitam tanpa bintang.Rumah itu sunyi, tapi bukan sunyi yang menenangkan.Lebih seperti keheningan yang menahan napas…menunggu sesuatu pecah.Raisa bergetar dalam pelukan Revan, sementara pesan terakhir di ponselnya masih terpampang jelas:“Pilih siapa yang akan menjadi korban pertama, Raisa.”Revan meremas rahangnya, marah dan takut bercampur jadi satu.“Ini permainan apa…?” gumamnya.Risyad, yang sejak tadi memandang paket bermelati kering itu, akhirnya bersuara.“Kita tidak boleh buka kotak itu. Itu jelas bom. Atau… trigger.”Raisa mengusap air matanya, mencoba berdiri. “Kita harus pergi dari sini. Sekarang.”Revan mengangguk cepat, tapi sebelum mereka sempat bergerak, ponsel Raisa kembali bergetar.TRING.Pesan masuk.Revan langsung meraihnya terlebih dulu.Ekspresi wajahnya berubah drastis menjadi ngeri.Raisa panik. “Apa? Apa itu?!”Revan menunjukkan layar.Foto.Seseorang diikat.Mulutnya ditutup lakban.Matanya terbuka lebar ketakutan.Itu
Raisa mematung menatap catatan itu—huruf tegas, rapi, dan dingin yang ia kenal betul meski sudah bertahun-tahun tak melihatnya.Nama itu saja sudah cukup membuat tengkuknya merinding.Astra.Revan menatap Raisa dengan campuran marah dan bingung. “Sayang… siapa dia sebenarnya? Kenapa dia sampai memata-matai kita sampai sejauh ini?”Raisa tak langsung menjawab. Tenggorokannya mengering. Kilasan masa lalu berkelebat seperti kilat yang menyambar tiba-tiba: ruangan bawah tanah, monitor gelap, arsip lama, dan adrenalin penyelidikan Meridian Gate.Astra Danendra.Sosok yang selalu bekerja di balik layar.Sosok yang bahkan aparat hukum tak berani sebut namanya secara terbuka.Sosok yang Raisa kira sudah menghilang di balik kehancuran unit bayangan itu.Revan meraih bahunya. “Ra? Kamu dengar aku?”Raisa menarik napas panjang, namun suaranya masih bergetar.“Dia… orang paling berbahaya yang pernah aku hadapi. Seseorang yang tahu bagaimana sistem bekerja… karena dialah yang membentuk kebanyakan
Raisa masih menatap foto pintu rumahnya dengan tangan gemetar. Kata-kata Nadira di catatan itu terus berputar di kepalanya, seperti mantra yang menekan napasnya.“Waktumu tinggal sedikit.”Dulu, tulisan itu berarti dukungan. Dorongan.Sekarang… ancaman.Revan memeluk bahunya, namun Raisa bukannya merasa aman — justru semakin sadar bahwa ia baru saja menyeret suaminya ke pusaran masa lalu yang belum sepenuhnya ia ceritakan.“Ra, kita harus jalan,” ucap Revan tenang tapi tegas.Risyad sudah menarik jaket kulitnya, memasukkan beberapa peralatan kecil ke tas hitamnya. “Kita butuh dua mobil. Kita tidak tahu apakah mereka mengawasi pintu keluar gedung ini.”Raisa mengangguk, namun pikirannya berputar—tentang Nadira, tentang Ronaldo, tentang pesan itu, tentang pintu depan rumah yang terbuka.Kenapa Nadira? Kenapa sekarang? Kenapa dengan cara ini…?Ia menahan isak yang hampir lolos dari tenggorokan.— Di Mobil, Perjalanan PulangMalam itu gelap, lebih gelap daripada biasanya. Awan tebal menut
Raisa menatap nama Nadira Putri di layar tablet itu seperti menatap bayangan masa lalu yang kembali dari kubur.Ruang rapat kecil itu terasa mengecil. Napasnya memburu, dada mengetat, dan sensasi dingin menjalari tulang belakangnya. Nadira bukan sembarang kenalan. Bukan rekan biasa.Dia pernah menjadi seseorang yang Raisa percaya… sepenuhnya.Seseorang yang dulu ia ceritakan rahasia pribadi. Seseorang yang dulu berjuang bersamanya saat membongkar sistem keadilan busuk di era Meridian Gate.Seseorang yang hilang setelah runtuhnya kasus itu tanpa sepatah kata.Revan dan Risyad menunggu jawaban Raisa. Namun Raisa tak langsung mampu bicara.“Ra,” Revan akhirnya memanggil lembut, namun penuh kekhawatiran. “Nadira… dia siapa bagimu sebenarnya?”Raisa menelan ludah.“…Dia dulu sahabatku,” suaranya pelan, hampir seperti bisikan.“Kami bekerja sama selama investigasi Meridian Gate. Dia pendamping analisis data. Sangat cerdas. Kita semua pikir dia korban sistem yang sama.”Revan mendekatinya. “
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviews