Home / Horor / PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN / Bab 6. APAPUN UNTUK YANG DICINTA

Share

Bab 6. APAPUN UNTUK YANG DICINTA

Author: Evi Supiyah
last update Huling Na-update: 2021-10-26 12:41:43

Apapun Untuk Yang Dicinta

"Sudah kulakukan apa yang harus kulakukan. Semuanya hanya untukmu. Untuk masa depan kita!' ujar lelaki itu seraya mengelus perut wanita pujaannya yang terlihat mulai mengembang diusia 4 bulan kehamilannya.

     

"Ya. Aku sudah mendengarnya. Itu membuatku lebih tenang. Satu batu penghalang sudah disingkirkan. Kita bisa lanjutkan perjalanan dengan lebih nyaman. Meskipun harus lebih sabar karena butuh waktu untuk mencapai tujuan." tutur wanita di depannya dengan suara lembut.

Batu yang didudukinya terasa basah oleh aliran air sungai, tapi ia tak perduli. Pun saat pakaian longgar yang membungkus tubuhnya juga sudah kuyup di bagian bawahnya. Ia hanya sedang menanti saat yang tepat.

"Aku tak perduli, harus berapa lama lagi menunggumu dan bayi kita untuk bersatu! Aku akan selalu setia. Menjagamu dan bayi kita. Aku tidak akan rela membiarkanmu merasa takut dan khawatir. Cukup katakan padaku, dan aku akan menghancurkan sumber ketakutanmu! Agar kau tahu betapa aku sangat mencintaimu. Aku rela melakukan apapun untukmu. Apapun itu!" ujarnya seraya merendahkan tubuhnya agar dapat memeluk dan menciumi perut sang wanita yang mulai membuncit. 

Separuh tubuhnya sudah terendam air sungai. Tapi hawa dingin air sungai benar-benar tidak mereka rasakan selain panas membakar oleh hasrat di hati mereka. Sambil menciumi mesra perut sang wanita, tangannya mulai mengelus tungkai untuk menggoda. 

Di sini, tepat di tengah sungai di sela-sela bebatuan besar sebagai penghalang dan terletak jauh dari tempat yang biasa digunakan warga kampung untuk mandi dan mencuci, adalah tempat yang biasa mereka gunakan untuk melakukan pertemuan rahasia. 

     

Sedikit lagi! Bisik hati sang wanita. Tangannya yang terulur jauh kebelakang membuat tubuhnya semakin condong, setengah terbaring seolah memberi kesempatan pada sang lelaki untuk lebih leluasa menjelajah. 

Dadanya mulai bergejolak saat lelaki itu sudah menyurukkan kepalanya diantara dua pahanya yang mengangkang. Ia tahu lelaki itu sudah begitu terlena oleh hasrat yang berkobar-kobar. 

Dan tibalah waktunya. 

Sekarang!! 

     

Secepat kilat tangannya meraih belati yang sudah ia sembunyikan dibawah tubuhnya, dan sekuat tenaga diayunkannya belati itu menusuk sangat jauh ke dalam punggung telanjang sang lelaki. 

     

Seketika lelaki itu menegakkan tubuhnya, matanya terbelalak ngeri dengan pandangan mata tak percaya, sementara wanita itu hanya memandang dingin pada tubuh kekar yang tertegak sesaat, sebelum akhirnya jatuh tersungkur ke dalam air sungai berarus tak terlalu deras. 

Kedalaman air yang hanya sepinggang menenggelamkan tubuh yang tengah meregang nyawa karena tikaman belati telah menembus jantungnya dengan telak. 

     

Wanita itu hanya memandang tubuh yang terayun oleh arus air tanpa berkedip. Tak terdengar jeritan ataupun kesiap ngeri yang lolos dari bibir tipisnya, ia hanya diam, seolah menikmati aliran air sungai yang semula jernih, perlahan telah menjadi merah oleh darah segar yang keluar dari luka tusukan di punggung telanjang sang korban. 

     

Lalu, setelah menunggu selama beberapa saat, dan air sungai di depannya sudah kembali jernih, perlahan ia turun dari batu yang sedari tadi didudukinya. Mendekati tubuh lelaki yang sudah kehilangan nyawa itu, dan dengan tenang mencabut kembali belati yang tadi ia tancapkan. Membilasnya di air sungai untuk membersihkan sisa darah yang menempel, lalu menyimpannya kembali di kantong kulit yang ada dibalik baju longgarnya.

     

Sesudahnya, seolah tak terjadi apa-apa ia segera bergerak mengarungi aliran sungai untuk menepi, mengganti bajunya yang basah, lalu melenggang pergi.

     

Tanpa ia sadari, sepasang mata telah mengawasi segala yang dilakukannya dari balik kerimbunan belukar di tepian sungai pada bagian tanah yang lebih tinggi.

     

***

     

Narendra terhenyak mendengar laporan bocah lelaki berusia sepuluh tahun di depannya. Sebenarnya ia merasa benar-benar tak percaya atas apa yang diceritakan bocah itu. Tapi rona kengerian yang masih terlukis di wajah polos itu membuatnya bimbang. 

     

Otaknya berputar, setelah menata potongan-potongan kejadian tragis yang telah terjadi beberapa hari lalu, ia mulai bisa menemukan sebuah kecocokan.

Tentang kematian Suminar, tingkah laku Wulansari yang terkadang terlihat gugup ataupun berusaha menyembunyikan kemarahan entah terhadap apa ataupun siapa yang tidak dimengerti Narendra. 

Juga seringnya Wulansari meninggalkan rumah tanpa mau ditemani siapapun. Lalu kabar yang baru saja dia dengar dari mulut bocah polos cucu dari tukang masak di rumahnya. Tentang apa yang telah dilakukan Istrinya yang tengah hamil muda itu ditengah sungai dengan lelaki yang tidak dikenalnya.

    

Dan semua potongan-potongan itu mulai terlihat alur jalinannya. Walaupun samar, Narendra mulai dapat menangkap gambarannya. Dan itu membuat ia semakin bertekad untuk segera bertindak menyelamatkan putri kandungnya.

     

"Baiklah, Wage. Jangan ceritakan ini pada siapapun! Ingat. Bahkan pada nenekmu. Hanya kamu dan aku yang tahu rahasia ini. Mengerti?!" Bocah lelaki didepannya mengangguk. "Nah, sekarang pergilah, temui aku tiga hari lagi!" ujarnya seraya mengulurkan sekantong uang pada pada bocah yang dipanggilnya Wage.

     

Tanpa membuang waktu lagi, segera setelah Wage berlari pergi, Narendrapun bersiap-siap, membawa segala yang diperlukannya, beberapa gepok uang kertas serta segenggam perhiasan dimasukkannya ke dalam kantong plastik lalu melapisinya dengan kain sarung sebelum memasukkannya ke dalam tas kain yang biasa ia pakai untuk membawa baju ganti saat bepergian. Tak lupa pula ia masukkan satu stel pakaian didalamnya.

     

"Mau kemana, Kang?" tanya Wulansari yang tiba-tiba saja sudah berdiri di pintu kamar mengawasinya yang tengah mengganti setelan rumahan yang dikenakannya dengan kemeja batik dan celana pantalon.

     

"Aku harus ke kota Kabupaten. Mungkin aku akan menginap barang satu dua hari." jawab Narendra dengan tak kentara berusaha menghindari pandangannya pada Wulansari. Ia khawatir tidak bisa menahan perasaan emosi yang saat ini tengah ia tahan saat melihat wajah bertopeng tanpa dosa di depannya itu.

     

"Ada apa di kota Kabupaten? Kenapa mendadak?" 

     

"Sebenarnya tidak mendadak, hanya saja aku lupa mengatakannya padamu kemarin. Aku akan menemui seorang teman yang bekerja di kantor Kabupaten. Lalu ada urusan lain juga yang harus kulakukan. Kalau urusanku selesai lebih cepat, besok malam aku pulang!" ujar Narendra sambil mencangklong tas kainnya, mengusap kepala istrinya sekilas "Oh ya, sebenarnya sejak tadi aku mencarimu. Aku sudah bertanya pada semua orang yang ada di rumah ini, tapi tak satupun yang mengetahui keberadaanmu. Kemana saja kamu siang ini?"

Wulansari mematung selama beberapa detik. Raut wajahnya terlihat berubah-ubah tapi segera ia bisa menguasai dirinya, "Aku tadi ke sungai. Siang ini gerah sekali, mandi di rumah rasanya kurang segar makanya aku pergi berendam di sungai." jawabnya lancar.

     

"Kenapa tidak minta orang untuk mengantarmu?" pancing Narendra. Sebenarnya ia sudah merasa hatinya seakan hendak meledak melihat raut polos yang ditampilkan Wulansari di hadapannya.

     

"Kenapa memangnya? Sebelum menikah dengan Kakang, aku sering pergi kemana-mana sendirian." jawab Wulansari dengan nada tak senang.

     

"Apa kau juga biasa pergi kemana-mana tanpa pamit?" tanya Narendra lagi mengacuhkan nada keras di suara Wulansari.

     

"Aku hanya pergi sebentar ke sungai, Kang. Untuk mandii ... bukannya.."

     

"Apa?" kejar Narendra saat Wulansari tampak kebingungan dan menggantung kalimatnya.

     

"Sebenarnya ada apa denganmu, Kang? Seolah kamu telah mencurigaiku melakukan sesuatu?" sengit Wulansari dan melemparkan pandangan menusuk pada wajah tampan suaminya. Salah satu kelebihan lain Wulansari selain keras kepala adalah, ia benar-benar seorang yang tangguh mentalnya.

     

Narendra tahu, dia terlalu menekan Wulansari. Ia khawatir melakukan kesalahan dengan memicu emosi Wulansari yang dapat berimbas pada keselamatan seseorang, jadi iapun segera menurunkan nada bicaranya, "Maaf, aku hanya khawatir. Lain kali, kalau ingin mandi di sungai ajaklah seseorang untuk menemanimu. Ada banyak bahaya mengintai di sungai. Bagaimana jika kamu terpeleset dan jatuh. Kamu sedang hamil muda, Wulan! Tolong lebih berhati-hati menjaga anakku." bujuk Narendra seraya meremas lembut bahu istrinya yang juga terlihat melunak.

     

"Tentu saja, Kang! Aku juga tak mau terjadi apa-apa padanya. Aku akan selalu berhati-hati!" Wulansari membawa tangan Narendra mengelus perutnya. Tapi, kembali berusaha tak terlalu kentara Narendra menarik tangannya dan bersikap seolah tengah terburu-buru.

     

"Sudah hampir sore, Wulan! Aku harus segera berangkat sekarang daripada kemalaman di jalan. Terlalu beresiko melakukan perjalanan sendiri malam-malam. Banyak terjadi pembegalan sekarang." pamitnya beralasan dan segera keluar menuju motor bebek yang terparkir di halaman.

     

Wulansari mengawasi kepergiaan suaminya dengan hati bertanya-tanya. Sebenarnya, iapun masih menaruh kecurigaan pada suaminya. Ia juga merasa sikap yang ditunjukkan suaminya tadi mengisyaratkan sesuatu. Apa yang sedang disembunyikan suaminya? Siapa yang akan ditemui suaminya? Apa yang sebenarnya akan dilakukannya? Apakah suaminya telah mengetahui sesuatu tentangnya?

     

Tanpa sepengetahuan Wulansari, hari itu juga Narendra mengajak ibunda Suminar dan Lintang Prameswari pergi dari rumah mereka dengan diam-diam dan mengirim keduanya ke tempat yang sangat jauh dari tempat itu dengan berbekal beberapa gepok uang kertas dan perhiasan. Ia tak perduli apa yang akan dilakukan Wulansari saat mengetahui bahwa uang simpanan dan perhiasannya telah lenyap. Yang ia pikirkan hanya satu, Ia ingin menjauhkan putrinya dari bahaya yang sewaktu-waktu mengancam. Tapi tentu saja ia butuh bekal untuk biaya hidup bagi ibu Suminar dan putrinya yang masih bayi itu di tempat yang baru, ia tak ingin Lintang Prameswari menjadi korban Wulansari yang berikutnya.

     

***

     

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Khara Asha
keputusan yang tepat
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 69. WANITA YANG TAK PERNAH MERASA PUAS

    Di tempat yang berbeda, puluhan kilometer jaraknya dari pesisir pantai tempat Gendis dan Jaya menghabis kan waktu untuk menghibur diri, Wulansari pun tengah menikmati malam panasnya bersama seorang pemuda tampan dengan tubuh terpahat indah hasil latihan rutin selama beberapa waktu di pusat kebugaran yang kini mulai marak dibangun di kota kabupaten tempat tinggalnya.Pemuda dengan paras dan bentuk tubuh yang selalu akan membuat wanita merasa bergairah saat bersama itu adalah yang Wulansari sebut sebagai mainan barunya, yang akhir-akhir ini telah membuatnya melayang dan melupakan keberadaan Jaya yang sudah sejak beberapa tahun lalu menghangatkan ranjang tidurnya.Semenjak berkenalan dengan pemuda itu di sebuah pusat kebugaran yang ia datangi bersama seorang teman perias yang tampaknya sudah lebih dahulu mengenal kisah indah yang lain di balik suramnya kisah pernikahan sah yang sudah mereka jalani sebelumnya.Wulansari merasa seperti menemukan surganya yang baru setelah mengenal dan memp

  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 68. PENGHIBURAN UNTUK NONA MUDA YANG SEDANG GUNDAH

    Menuruti kemauan Gendis yang masih saja terlihat murung selama perjalanan, Jaya mengarahkan mobil yang dikemudikannya ke daerah pesisir yang berjarak sekitar 2 jam perjalanan dari tengah kota kabupaten tempat tinggal mereka."Kenapa nyari tempat bersedihnya mesti ke pantai sih Non, kan jauh? Kenapa kita gak pergi ke puncak saja? Cukup setengah jam perjalanan. Gak capek, gak bosan di jalan..?""Jaya... Diam! Kamu cuma sopir, aku majikannya! Jadi jangan banyak protes, aku mau ke pantai sekarang juga!" bentak Gendis kesal wajah sedihnya seketika berubah judes dengan pandangan mata melotot ke arah Jaya.Sambil menelan ludah, akhirnya Jaya mengangguk juga. Selama beberapa saat pandangannya hanya lurus terfokus di jalanan yang mulai sepi meninggalkan keramaian kota jauh di belakang mereka. "Sepi sekali... boleh setel musik kan, Non?" tanyanya memecah kebisuan.Beberapa detik tak ada jawaban. Jaya melirik ke kursi samping yang diduduki Gendis. Dari sudut matanya ia melihat gadis itu terliha

  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 67. KONFERENSI PERS

    Tanpa terasa, tibalah hari yang sudah dinantikan Narendra, yaitu hari Ulang tahun Lintang yang ke 19.Jam 11 pagi, sesuai dengan jadwal acara yang sudah diatur oleh Narendra dengan bantuan Wage dan beberapa orang temannya, acara tasyakuran untuk memperingati hari kelahiran Lintang sengaja di adakan di rumah makan langganan tempat kejadian kericuhan beberapa hari sebelumnya.Untuk acara ini Narendra juga mengundang keluarga Bupati dan beberapa orang penting yang sudah sangat akrab dengan Ki Dalang Narendra, juga Kepala Desa dan tim pengacara dari firma hukum yang ia sewa. Selebihnya adalah teman-teman Lintang.Karena pada acara itu juga sekaligus untuk mengklarifikasi tentang kejadian memalukan beberapa hari sebelumnya yang mengakibatkan berita tak sedap dan menghebohkan itu menjadi tajuk utama di hampir seluruh koran terbitan lokal dan nasional sehingga Narendra dengan bantuan tim pengacaranya juga mengundang banyak wartawan di acara tersebut.Tepat di jam setengah 12 siang, pada saat

  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 66 MENGURAI KERUWETAN

    Atas pesan Narendra yang sekarang tinggal bersamanya, Lintang mengantarkan sendiri minuman dan suguhan untuk tamu ayahnya itu ke ruang kerja ayahnya.Dua orang tamu dengan setelan resmi tampak duduk berseberangan dengan Narendra. Ketiganya tampak berbicara serius mengenai hal-hal yang berhubungan dengan legalitas hukum. Lintang sudah hampir keluar dari ruangan ayahnya setelah menyuguhkan tiga cangkir teh hangat dan camilan ringan, ketika Narendra menghentikan langkahnya dan menyuruhnya untuk berdiri di dekat kursi yang ia duduki."Ini putri kandung saya dari istri pertama. Namanya Lintang Prameswari. Ibunya sudah meninggal sejak ia masih bayi. Saya ingin melegalkan semua aset pribadi saya untuk dia. Karena saya tidak ingin putri saya ini mengalami kesulitan yang mungkin akan mendatanginya, sehubungan dengan warisan kelak dikemudian hari.Seperti yang sudah saya beritahukan kepada Pak Suprapto kemarin bahwa aset milik bersama dengan istri ke dua saya sudah saya berikan semua untuk ist

  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 65. ENJOY A VERY HOT CLIMAX

    "Istirahatlah, Non. Biarkan saya memanjakan milik Non Gendis yang sangat berharga ini. Apa saya perlu meminta air hangat untuk mengompresnya? Untuk meredakan nyeri setelah menelan milik saya tadi, hmmm?""Tidak, cukup bersihkan saja. Aku merasa tidak nyaman dengan rasa lengketnya.""Baiklah, biar saya urus bagian itu. Saya sangat tersanjung bisa melakukannya untuk Non Gendis.""Heeem.." Dan sesudahnya, Gendis sudah tak lagi memperdulikan apapun karena ia sudah diterbangkan impian indah setelah raganya merasakan kelelahan teramat sangat karena sudah berpacu bersama Jaya demi mencapai puncak klimaks tertinggi tadi.Sementara Jaya yang benar-benar berusaha mempergunakan kesempatan terbaik yang ia dapatkan malam ini dengan menjelajahi, menjamah bahkan menguasai walau sesaat hal yang sebelumnya tak pernah sekalipun berani ia impikan ataupun menyapa alam khayalnya. Yaitu tubuh molek sang Nona Muda.Baginya, dapat menyentuh kulit mulus gadis cantik yang di matanya seperti seorang Dewi, apala

  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 64. TERBAKAR GAIRAH LIAR NONA MUDA

    Perlahan Jaya mulai mengoleskan minyak zaitun ke atas kulit punggung mulus Gendis yang sudah terbaring dalam posisi menelungkup di pinggiran ranjang dan perlahan, dengan tekanan yang pas dia mulai mengurutnya. Usapan telapak tangannya yang hangat segera saja berhasil membuat otot-otot tubuh Gendis yang semula menegang, perlahan menjadi rileks.Seperempat jam kemudian, hampir seluruh tubuh bagian belakang milik Gendis sudah berbalur minyak zaitun, dari mulai punggung hingga ke telapak kaki. Gendis pun sudah terlihat menikmati setiap belaian dengan tekanan terukur telapak tangan Jaya pada tubuhnya.Dengan menahan gejolak hasratnya, Jaya sengaja berlama-lama memberikan treatment di bagian bok*ng milik Gendis yang terasa padat, dengan bentuk membulat yang begitu menggoda.Gendis juga terlihat menikmati segala perlakuan Jaya di bagian tubuhnya yang sintal itu. Meskipun secara sengaja kadang-kadang jemari Jaya nyasar dengan nakalnya menyentuh bagian tersembunyi di belahan pant*tnya. Bahkan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status