Bab 5. Lelaki Yang Sangat Mencinta
Ki Sudarma menatap tak percaya pada wanita yang tengah tertunduk dengan bahu terguncang oleh Isak tangis yang terdengar memilukan.
"Aku sungguh-sungguh tak percaya kau bisa melakukan perbuatan sekeji itu, Wulan!" Wanita yang bersimpuh di depannya tak menjawab selain isaknya yang kian keras penuh penyesalan.
"Ampuni aku, Bapak! Aku begitu marah saat mengetahui apa yang dilakukannya di belakangku. Ternyata selama ini ia masih sering menemui sinden itu!" isak Wulan mengadu.
"Dia melakukannya atas seijinku. Kamu hanya cemburu padanya. Padahal ia hanya menjalankan kewajibannya yaitu menafkahi anak kandungnya. Seharusnya kamu mempercayainya. Aku yakin dia tidak akan bertindak di luar batas!" bantah Ki Sudarma.
"Aku sangat mencintainya, Bapak! Aku tidak rela jika dia membagi perhatiannya pada wanita lain. Aku hanya ingin menjadi satu-satunya. Aku ingin memiliki dia seutuhnya!"
"Kita ini hanya manusia biasa, Nduk, Cah Ayu! Tidak ada yang sempurna. Kita harus punya watak Nrimo. Ingat, tidak semua yang kita inginkan akan kita dapatkan. Belajar ikhlas Yo Nduk!" nasehat Ki Sudarma lembut.
"Apa yang harus kulakukan sekarang, Bapak" bisik Wulan dengan wajah khawatir. "Aku takut dia meninggalkanku setelah tahu yang kulakukan, Pak!"
Suasana senyap. Ki Sudarma terdiam, kerutan dalam tercetak di dahinya. Putrinya masih bersimpuh didepannya, kali ini pandangan memohon tertuju padanya.
Dia adalah putri satu-satunya. Tak ada hal yang lebih berharga baginya, selain putrinya itu. Ia bahkan rela melakukan apapun untuk membuat putri semata wayangnya itu hidup bahagia.
Putrinya itu, adalah sosok gadis yang kurang kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya. Dulu, saat ia sibuk dengan urusannya, ia benar-benar tak pernah memperhatikan kehidupan putrinya.
Pada saat istrinya meninggal dunia, saat Wulansari menginjak usia remaja. Ia justru semakin jarang pulang ke rumah, membiarkan Wulansari hidup sendirian di rumah besar dan hanya ditemani beberapa abdi saja.
Hingga kesadaran menyapa hatinya, bahwa ada seorang anak gadis yang butuh perhatian dan kasih sayangnya, tapi kesadaran itu datang terlambat. Wulansari sudah menjelma menjadi sosok wanita yang terbilang liar dan benar-benar tidak mencerminkan sosok wanita anggun pada umumnya.
"Apakah hal itu kaulakukan dengan tanganmu sendiri, Nduk?" tanyanya hati-hati
"Tentu saja tidak, Bapak! Bagaimana mungkin aku bisa tega melakukan hal itu? Sebenarnya bukan seperti itu juga maksudku. Saat marah, tanpa sengaja aku bercerita pada Subandrio. Aku cuma bilang, ingin sekali membuatnya jera dan menjauhi Kang Narendra. Tapi Subandrio salah mengerti, ia justru membunuh perempuan itu untuk membelaku." dusta Wulansari membela diri.
"Wulansari!! Kau ini sudah bersuami. Kenapa masih kau temui lelaki itu! Apa jadinya jika Narendra tahu kau menemui lelaki lain? Apa yang akan dipikirkannya?" bentak Ki Sudarma tanpa bisa menyembunyikan rasa kaget oleh pengakuan putrinya itu.
Wulansari tersentak. Baru kali ini ayahnya itu bersuara keras terhadapnya. Seketika kemarahan mulai merasuki hatinya. Tapi ia berusaha menahan diri. Saat ini, posisinya sangat tidak menguntungkan. "Lalu pada siapa aku bisa berkeluh kesah, Bapak? Bukankah selama ini, Bapak juga tidak pernah ada untukku? Cuma pada Subandrio saja aku bisa menceritakan kesulitan ku.
Sejak dulu, cuma dia yang mau mendengar keluhanku. Aku ini cuma perempuan biasa yang kadang-kadang membutuhkan bantuan orang lain untuk menyelesaikan masalahku. Sementara orang tuaku menganggap hidupku sudah sangat nyaman dengan hanya menyodorkan harta benda di depanku!" kecam Wulansari. Ki Sudarma kembali terdiam oleh serangan rasa bersalah yang kian dalam.
Apapun yang dikatakan Wulansari memang benar adanya. Di mana dia saat putrinya sedang menghadapi masalah? Selama ini sebenarnya ia memang kurang peduli terhadap kehidupan putrinya itu. Ia selalu menganggap semua akan baik-baik saja selama hidup putrinya terjamin dan tak kekurangan.
"Kita bisa saja menyimpan rahasia ini. Tapi bagaimana dengan Subandrio? Jika suatu saat ia berada dalam keadaan terjepit atau tertangkap polisi, bisa saja ia menyebut namamu entah sengaja atau tidak. Dan itu akan menyeretmu dalam kesulitan besar, Nduk!"
"Dia tidak mungkin menyulitkan ku, Bapak! Dia sangat menyayangiku. Dia bahkan rela melakukan apapun untukku!" tegas Wulansari penuh keyakinan.
"Apa maksudmu? Apa yang dia harapkan darimu hingga ia mau melakukan apapun untukmu? Imbalan apa yang sudah kau berikan padanya, Hah?!" Kembali Wulansari tersentak. Ia sadar, ia baru saja salah bicara. Ayahnya bukan orang sembarangan. Ayahnya adalah seorang yang sangat peka.
Wulansari tertunduk. Hatinya mulai gamang.
"Maafkan aku, Bapak. Akan kupikirkan apa yang harus kulakukan. Mungkin aku bisa meminta Subandrio untuk pergi sejauh mungkin dari daerah ini dengan imbalan uang dan perhiasan yang cukup banyak untuk menutup mulutnya!" ujar Wulansari pelan.
Ki Sudarma mengangguk setuju.
Setelah berpamitan dan sungkem pada ayahnya, Wulansari pun beranjak meninggalkan rumah sederhana milik ayahnya. Pulang ke rumah yang kini ditinggalinya bersama Narendra, suaminya. Dengan dibonceng motor bebek berwarna merah oleh salah satu abdi yang biasa mengantarkannya kemanapun ia mau saat Narendra tidak dapat mengantarnya.
Ki Sudarma menatap kepergian putri kesayangannya itu dengan hati gundah. Ia menyadari sifat keras kepala dan lumuh kaunggulan yang dimiliki putrinya itu suatu saat akan menyulitkan hidupnya. Semoga tidak ada karma buruk yang menimpamu, Nduk. Bisiknya membatin.
***
Wulansari melihat secarik kain hitam berbentuk segitiga dengan motif lurik yang tersangkut di dahan pohon dipinggir jalan setapak yang dilaluinya. Itu adalah sebuah isyarat bahwa pemilik kain lurik itu tengah berada tak jauh dari situ. Kain lurik itu adalah ikat kepala milik Subandrio.
Wulansari meminta abdi yang memboncengnya untuk menghentikan motor dan memintanya untuk menunggu karena ia butuh untuk segera ke sungai yang berada di balik pepohonan sepanjang jalan setapak untuk buang air kecil.
Dan tanpa membuang waktu, iapun segera berjalan sendirian ke arah sungai dan mencari tempat yang agak jauh dan tersembunyi dari pandangan kedua abadinya. Buang air kecil hanyalah alasan saja, karena sebenarnya ia hendak menemui sang pemilik ikat kepala yang telah menunggunya di sana.
Dengan langkah hati-hati agar longdress bermotif bunga dengan warna cerah yang membalut tubuhnya tak sampai basah saat ia menyusuri pinggiran sungai yang berbatu-batu.
Lalu tiba-tiba saja sebuah lengan kekar telah menarik tubuhnya ke dalam pelukan lelaki berdada bidang dan menyeretnya ke balik rimbunan semak.
Dengan sisa kekagetan dan gemas setelah mengetahui siapa lelaki yang telah lancang memeluk tubuhnya, Wulansari melayangkan pukulan ke dada bidang yang berada tepat di depannya itu.
"Jangan mengagetkanku seperti ini lagi!" sengitnya dengan suara rendah.
"Maaf, hanya saja aku sudah tidak sabar bertemu denganmu. Aku rindu padamu!" tanpa memperdulikan pukulan di dadanya, lelaki itu mengelus pipi Wulansari dengan ujung jarinya.
"Aku juga rindu, tapi sekarang bukan waktu yang tepat. Aku tidak sedang sendirian." bisiknya seraya melirik ke arah jalan setapak, dimana abadinya tengah menunggu.
"Temani aku sebentar saja, aku sungguh-sungguh ingin bersamamu. Rasanya hampir gila aku jika tidak bertemu denganmu!" Lelaki itu menciumi dengan rakus leher Wulansari.
"Tidak .. jangan sekarang! Aku tidak mau ada masalah jika mereka memergoki kita. Kita harus berhati-hati. Malam ini Narendra akan pulang. Jangan menandaiku! Aku akan berusaha mencari kesempatan untuk menemuimu segera setelah ia pergi lagi!" bisik Wulansari meyakinkan.
"Aku sudah tak tahan lagi. Sudah seminggu kita tidak bertemu. Aku menginginkanmu Wulan! Kalau begini terus lama-lama aku bisa gila. Aku akan menyelinap ke rumahmu nanti malam. Bukakan satu jendela untukku saat Narendra sudah tidur!" perintahnya dengan nada memaksa.
"Tidak ...jangan konyol! Dia akan membunuh kita berdua. Tunggulah aku ditempat biasa besok tepat tengah hari. Saat itu sungai sedang sepi. Kita bisa lebih leluasa. Aku akan memuaskanmu, besok!" bujuk Wulansari.
Saat ini, ia harus menjauhkan Subandrio dari sekitar rumahnya. Ia benar-benar harus menghindari masalah.
"Janji.."
"Aku berjanji. Selama ini, pernahkan aku tidak memuaskanmu?"
"Baiklah. Aku akan berusaha menahan diri hingga besok siang." akhirnya Subandrio menyerah setelah Wulansari menjanjikan hal yang sudah membuatnya kecanduan.
Seringai terlukis dibibirnya membayangkan kenikmatan yang sudah dijanjikan wanita pujaannya itu. "Tunggulah, besok akan kureguk sepuasnya, hingga hilang dahagaku!" bisiknya seraya mengusap setengah meremas lekukan di antara dua paha yang terpeta di balik longdress yang dikenakan Wulansari.
"Aku harus pergi sekarang. Mereka akan segera mencariku, jika aku tidak segera kembali!" bisik Wulansari. Tangannya menjauhkan tangan nakal Subandrio dari tubuhnya. Dan segera beranjak kembali kepada abdi yang masih setia menunggunya.
Sambil berjalan otaknya terus berputar, mencari cara untuk menjauhkan Subandrio dari dirinya. Menghindarkan dirinya dari masalah yang akan ditimbulkan oleh Subandrio yang mulai tak terkendali itu.
Malam hari, saat tatapan matanya terpaku pada sosok tegap berwajah mempesona milik Narendra, suaminya yang tengah tertidur pulas dengan rona puas di sampingnya, sebuah keputusan untuk Subandrio telah ditetapkannya.
Seekstrim apapun hal yang akan dilakukannya, adalah untuk memiliki Narendra seutuhnya
***
Di tempat yang berbeda, puluhan kilometer jaraknya dari pesisir pantai tempat Gendis dan Jaya menghabis kan waktu untuk menghibur diri, Wulansari pun tengah menikmati malam panasnya bersama seorang pemuda tampan dengan tubuh terpahat indah hasil latihan rutin selama beberapa waktu di pusat kebugaran yang kini mulai marak dibangun di kota kabupaten tempat tinggalnya.Pemuda dengan paras dan bentuk tubuh yang selalu akan membuat wanita merasa bergairah saat bersama itu adalah yang Wulansari sebut sebagai mainan barunya, yang akhir-akhir ini telah membuatnya melayang dan melupakan keberadaan Jaya yang sudah sejak beberapa tahun lalu menghangatkan ranjang tidurnya.Semenjak berkenalan dengan pemuda itu di sebuah pusat kebugaran yang ia datangi bersama seorang teman perias yang tampaknya sudah lebih dahulu mengenal kisah indah yang lain di balik suramnya kisah pernikahan sah yang sudah mereka jalani sebelumnya.Wulansari merasa seperti menemukan surganya yang baru setelah mengenal dan memp
Menuruti kemauan Gendis yang masih saja terlihat murung selama perjalanan, Jaya mengarahkan mobil yang dikemudikannya ke daerah pesisir yang berjarak sekitar 2 jam perjalanan dari tengah kota kabupaten tempat tinggal mereka."Kenapa nyari tempat bersedihnya mesti ke pantai sih Non, kan jauh? Kenapa kita gak pergi ke puncak saja? Cukup setengah jam perjalanan. Gak capek, gak bosan di jalan..?""Jaya... Diam! Kamu cuma sopir, aku majikannya! Jadi jangan banyak protes, aku mau ke pantai sekarang juga!" bentak Gendis kesal wajah sedihnya seketika berubah judes dengan pandangan mata melotot ke arah Jaya.Sambil menelan ludah, akhirnya Jaya mengangguk juga. Selama beberapa saat pandangannya hanya lurus terfokus di jalanan yang mulai sepi meninggalkan keramaian kota jauh di belakang mereka. "Sepi sekali... boleh setel musik kan, Non?" tanyanya memecah kebisuan.Beberapa detik tak ada jawaban. Jaya melirik ke kursi samping yang diduduki Gendis. Dari sudut matanya ia melihat gadis itu terliha
Tanpa terasa, tibalah hari yang sudah dinantikan Narendra, yaitu hari Ulang tahun Lintang yang ke 19.Jam 11 pagi, sesuai dengan jadwal acara yang sudah diatur oleh Narendra dengan bantuan Wage dan beberapa orang temannya, acara tasyakuran untuk memperingati hari kelahiran Lintang sengaja di adakan di rumah makan langganan tempat kejadian kericuhan beberapa hari sebelumnya.Untuk acara ini Narendra juga mengundang keluarga Bupati dan beberapa orang penting yang sudah sangat akrab dengan Ki Dalang Narendra, juga Kepala Desa dan tim pengacara dari firma hukum yang ia sewa. Selebihnya adalah teman-teman Lintang.Karena pada acara itu juga sekaligus untuk mengklarifikasi tentang kejadian memalukan beberapa hari sebelumnya yang mengakibatkan berita tak sedap dan menghebohkan itu menjadi tajuk utama di hampir seluruh koran terbitan lokal dan nasional sehingga Narendra dengan bantuan tim pengacaranya juga mengundang banyak wartawan di acara tersebut.Tepat di jam setengah 12 siang, pada saat
Atas pesan Narendra yang sekarang tinggal bersamanya, Lintang mengantarkan sendiri minuman dan suguhan untuk tamu ayahnya itu ke ruang kerja ayahnya.Dua orang tamu dengan setelan resmi tampak duduk berseberangan dengan Narendra. Ketiganya tampak berbicara serius mengenai hal-hal yang berhubungan dengan legalitas hukum. Lintang sudah hampir keluar dari ruangan ayahnya setelah menyuguhkan tiga cangkir teh hangat dan camilan ringan, ketika Narendra menghentikan langkahnya dan menyuruhnya untuk berdiri di dekat kursi yang ia duduki."Ini putri kandung saya dari istri pertama. Namanya Lintang Prameswari. Ibunya sudah meninggal sejak ia masih bayi. Saya ingin melegalkan semua aset pribadi saya untuk dia. Karena saya tidak ingin putri saya ini mengalami kesulitan yang mungkin akan mendatanginya, sehubungan dengan warisan kelak dikemudian hari.Seperti yang sudah saya beritahukan kepada Pak Suprapto kemarin bahwa aset milik bersama dengan istri ke dua saya sudah saya berikan semua untuk ist
"Istirahatlah, Non. Biarkan saya memanjakan milik Non Gendis yang sangat berharga ini. Apa saya perlu meminta air hangat untuk mengompresnya? Untuk meredakan nyeri setelah menelan milik saya tadi, hmmm?""Tidak, cukup bersihkan saja. Aku merasa tidak nyaman dengan rasa lengketnya.""Baiklah, biar saya urus bagian itu. Saya sangat tersanjung bisa melakukannya untuk Non Gendis.""Heeem.." Dan sesudahnya, Gendis sudah tak lagi memperdulikan apapun karena ia sudah diterbangkan impian indah setelah raganya merasakan kelelahan teramat sangat karena sudah berpacu bersama Jaya demi mencapai puncak klimaks tertinggi tadi.Sementara Jaya yang benar-benar berusaha mempergunakan kesempatan terbaik yang ia dapatkan malam ini dengan menjelajahi, menjamah bahkan menguasai walau sesaat hal yang sebelumnya tak pernah sekalipun berani ia impikan ataupun menyapa alam khayalnya. Yaitu tubuh molek sang Nona Muda.Baginya, dapat menyentuh kulit mulus gadis cantik yang di matanya seperti seorang Dewi, apala
Perlahan Jaya mulai mengoleskan minyak zaitun ke atas kulit punggung mulus Gendis yang sudah terbaring dalam posisi menelungkup di pinggiran ranjang dan perlahan, dengan tekanan yang pas dia mulai mengurutnya. Usapan telapak tangannya yang hangat segera saja berhasil membuat otot-otot tubuh Gendis yang semula menegang, perlahan menjadi rileks.Seperempat jam kemudian, hampir seluruh tubuh bagian belakang milik Gendis sudah berbalur minyak zaitun, dari mulai punggung hingga ke telapak kaki. Gendis pun sudah terlihat menikmati setiap belaian dengan tekanan terukur telapak tangan Jaya pada tubuhnya.Dengan menahan gejolak hasratnya, Jaya sengaja berlama-lama memberikan treatment di bagian bok*ng milik Gendis yang terasa padat, dengan bentuk membulat yang begitu menggoda.Gendis juga terlihat menikmati segala perlakuan Jaya di bagian tubuhnya yang sintal itu. Meskipun secara sengaja kadang-kadang jemari Jaya nyasar dengan nakalnya menyentuh bagian tersembunyi di belahan pant*tnya. Bahkan