Sesampainya dapur, Mbok Inah berkacak pinggang ke arah Reni yang sibuk mencuci piring.“Ren! Kamu ya bilang sama nyonya kalau aku nganggur?“ Reni yang merasa dipanggil hanya menoleh tanpa menjawab pertanyaan dari Mbok Inah dan kembali bekerja.“Ren, kamu itu ditanya sama yang lebih tua harusnya menjawab!“Reni menghela napasnya dan hatinya gondok juga merasa jengah.“Nyonya itu nggak buta, pasti tau kalo ada kerjaan numpuk! Bukannya mbantuin malah banyak bicara!“ sungut Reni.Sudah lama ia tak suka dengan Mbok Inah yang sok tukang ngatur.“Eh. Mulai kurang ajar kamu ya! Jangan lupa dulu kamu kesini karena siapa. Kalau aku tidak menawarkan ke kamu. Kujamin kamu sekarang masih nganggur!“Reni bergeming, ingin sekali memberontak dan mengadukan tingkahnya ke atasan. Namun ia tau diri. Pasti akan diputar balikkan fakta sama Mbok Inah seperti yang lalu.Mbok Inah yang merasa dicuekin Langsung beranjak meninggalkan Reni sendirian dengan cucian piringnya yang masih menumpuk.Dengan celinguka
Pagi itu Devi terbangun dari tidurnya. Ia menoleh kearah samping, ia mendapati sang suami tidur di sampingnya.Dia tidak sadar kapan suami masuk kamar. Yang ia ingat kemarin setelah ikut bersih-bersih ia tiduran saja di ranjang dan ternyata sampai pagi.Devi pelan-pelan menghampiri Rendi. Benih-benih cinta kini mulai bertumbuh semenjak kebersamaannya. Ia membelai pelan pipi yang bertulang tegas itu hingga sang empu terbangun dari tidurnya.Rendi menyambut dengan membelai tangan Devi dan membiarkan tangannya membelai pipi. Ia memejamkan matanya untuk menikmati setiap sentuhan yang ia rasakan.Rendi bangun dan merengkuh tubuh Devi, kini sudah tidak ada lagi penghalang di antara mereka. Pandangan mereka beradu. Rendi Langsung memajukan dirinya dan mendekatkan bibirnya, Devi yang melihat gerakan Rendi menyambutnya dengan memejamkan kedua matanya.Bibir mereka saling bertaut. Suara Lenguhannya yang membuat Rendi begitu semakin bersemangat hingga titik terakhir.Rendi terkapar di atas badan
“Dev, berasnya habis. Nanti ke pasar!“ ucap Mbok Inah dengan wajah masam lalu berlalu begitu saja. Devi yang sedang asik main Facebook di teras lalu berdiri dengan malas, hendak berganti pakaian dan tetek bengeknya.Ia menghampiri Rendi yang sedang membaca koran harian.“Sayang, aku mau ke pasar dulu ya, nganterin siMbok.“Rendi hanya mengangguk dan meneruskan kembali bacaan yang sempat tertunda.Pak Ujang pun sudah siap sembari menunggu ia mengelap kaca mobilnya.Tak lama mbok Inah keluar dan disusul dengan Devi.Saat Devi hendak membuka pintu mobil depan Pak Ujang, Mbok Inah langsung datang menyerobotnya.“Kamu di belakang! Toh juga gak tau daerah sini!“ usir Mbok Inah sembari menghenyakkan tubuhnya ke jok mobil dan menutup pintu dengan keras.Devi hanya menggeleng lalu masuk mobil, sekarang ia berada di belakang Pak Ujang. Menanggapi Mbok Inah hanya membuat tensi naik saja.“Pak, nanti mampir ke ATM sebentar ya!“ ucap Devi ketika sudah ditengah perjalanan.“Baik, Non. Itu sebentar
“Loh, Lin. Kenapa kamu makan di sini?“ tanya Mbok Inah yang melihat anaknya sedang makan di meja belakang dekat dapur.“Katanya, mulai sekarang kita harus makan di sini, Bu,” jawab Lina masih dengan mulut yang mengunyah.“Siapa yang nyuruh?““Istrinya Om.““Kurang ajar sekali dia. Belum lama tinggal di sini sudah berani ngobrak-abrik kawasanku!“ desis Mbok Inah dengan tangannya yang mengepal. Perasaan yang kalang kabut sejak tadi membuat emosinya semakin meningkat. Saat ingin kakinya melangkah untuk mendatangi Devi. Hatinya terbesit untuk menahan, saat ini yang diperlukan bukan otot namun otak. “Lin, dengarkan Ibu! Kamu harus bisa merayu Tuan! Sebisa mungkin ia jatuh cinta ke kamu!“ ucap Mbok Inah mengingatkan yang ke berapa kalinya.Lina sempat menghentikan kunyahannya, ia menatap ke arah ibunya untuk memastikan.“Emang kamu mau selamanya jadi anak babu! Ini kesempatan kita untuk menggeser Devi dari sini!“ ucap Mbok Inah dengan tangan memegangi bahunya Lina untuk meyakinkan.Lina m
“Mas, Devi pergi ke kontrakan ya, mau ngecek,” pamit Devi di pagi hari ketika Rendi sedang menbaca koran di teras.“Besok aja lah, Dek. Ini kan hari minggu,” ucap Rendi yang kebetulan hari ini dia juga bebas. Para pekerja di kebun pada libur di tanggal merah.“Justru itu, Mas. Kalau minggu kan pada penghuni kontrakan tidak ada yang berangkat kerja atau kuliah, jadi bisa nagih sewa sama silahturahmi juga,” jelas Devi sambil memasang jam tangan.“Rumah sepi,dong. Ibu juga pergi senam tadi, ya sudahlah, hati-hati di jalan, ya!““Oke, jalan dulu ya,” ucap Devi sambil mencium takzim punggung tangannya.Devi pergi bersama Pak Ujang. Semenjak menjadi Istrinya Rendi, sifat manjanya kembali hadir di dirinya.Sepergian Devi, Mbok Inah membawakan segelas anggur untuk Rendi. “Monggo diminum, Tuan!““loh, saya kan gak meminta, Mbok?“ “Ini baik untuk kesehatan kalau sesekali meminumnya, Tuan.“Dengan tak enak hati ia mengambil cangkir yang dibawa Mbok Inah. Lalu ia meneguknya dan sempat terhenti k
Bu,” lirih Lina mencekal tangan Ibunya untuk menghentikan. “Kenapa, Lin?“Lina menggeleng pelan.“Maksudmu apa, Lin. Kita harus cepat bertindak sebelum mereka pulang. Hampir habis nasib kita!““Tapi, Bu.“ Lina masih kekeh memegang erat tangan Ibunya.“Sudah, ayo!“ Mbok Inah menghempaskan tangan Lina agak kasar, ia berdiri dan melangkah ke arah kamar Rendi.Dengan melangkah gontai Lina mengikuti dari belakang perasaannya lesu.Ingin sekali jujur ke ibunya, tapi takut untuk bicara.Lina memilin ujung bajunya dan menatap setiap gerak-gerik Ibunya yang sedang berjongkok menatap jeli ke arah lantai. Ia tersenyum getir menatap Ibunya yang kegirangan mendapatkan apa yang dicari.“Lin, lihat! Ibu sudah mendapatkan,” terang Inah dengan mata yang berbinar.“Bu,” lirih Lina.“Ayo, kita kembali ke kamar. Kita selamanya tetap di rumah ini! Tidak akan ada yang bisa mengusir kita.“ Dengan mantap Inah berjalan ke arah kamarnya dengan tangan satunya yang dia naikkan ke atas.“Bu, Lina ingin berkata
“Mbok! Mbok Inah!“ teriak Veni sambil masuk ke dalam.Saat melewati buffet kaca ia terkejut melihat barang koleksinya raib tak tersisa.Matanya membeliak lalu ia bergegas menuju ke kamar Mbok Inah. Veni membuka pintu kamar yang tidak terkunci dan langsung masuk ke dalam.Kosong, ia membuka lemari Mbok Inah dan mendapati sudah tidak ada isinya.Kurang ajar! Ia kabur tanpa berpamitan dengan dirinya bahkan sudah membawa barang miliknya.Ia menghenyakkan badannya ke ranjang. Tangannya memijit pelipisnya yang mendadak pusing.Belum sempat untuk mengajak tes DNA rupanya sudah kabur duluan. Iya kini meyakini bahwa semua itu hanya rekayasa Mbok Inah dan semakin yakin masalah itu hanya fitnah untuk Rendi.Ia mendesah pelan dan beranjak untuk ke dapur, perutnya sudah meminta jatah melalui nada yang keluar.Begitu terkejutnya ia saat membuka lemari penyimpanan alat memasak yang sudah kosong melompong.Bahkan teflon pun tak tersisa satu pun.Veni mendengkus dan mengambil ponselnya untuk memesan
Temaram lampu malam yang sedang menyinari ruangan berukuran 3x3 itu tak membantu penglihatan Hasan, ia habis mendapat bogem mentah yang bersarang di pelupuk matanya. Samar-samar ia memandang langit kamar, beberapa kali menekan sekitar pelipisnya untuk mengurangi rasa sakit, memijitnya. Ia menoleh ke arah lelaki yang bertubuh kekar yang sedang memandang dirinya dengan matanya menyipit dan kedua tangannya bersedekap. Ia lah yang meninju muka Hasan.Berulangkali ia memukul dan menendang perut Hasan. Namun ia belum mencapai rasa puas. Apalagi saat mendengar Hasan meracau menyebut dirinya sendiri telah membunuh anak sendiri.Ia begitu membenci teman narapidana yang kasusnya membunuh anak sendiri. Itu merupakan sebuah penghinaan atas dasar lelaki. Tubuhnya yang lebih tinggi dan tegap membuat ia bisa mengalahkan Hasan dengan mudahnya.Hasan pun begitu, ia merasa disinilah ia menebus dosa yang pernah ia lakukan. Ia hanya berpasrah diri saat dirinya disiksa, baginya rasa sakit badannya tak me