Aku terduduk lemas, menatap dinding lift, sudah beberapa kali aku menggedor-gedor. Namun tidak ada sahutan dari luar, mungkinkah mereka semua sudah tertidur ataukah mereka tidak mendengar suara gedoran.
Aku harus bagaimana sekarang, seorang diri di dalam lift dengan hanya membawa gawai yang sudah habis baterainya, aku benar-benar putus asa, mungkinkah aku akan mati, aku belum sempat meminta penjelasan Mas Hasan, aku tidak siap bila harus mati sekarang.
Setidaknya sebelum mati aku sudah membalas perbuatan Mas Hasan, aku ingin menebus kebodohanku sendiri, aku ingin memperbaiki keadaanku saat ini.
Tak terasa air mataku luruh ....
Satu jam ....
Dua jam ....
Tiga jam ....
Akhirnya aku tertidur dengan posisi badan tertekuk, kepala menyender di lutut dan kedua tangan masih memeluk lutut.
Aku tersentak saat ada gedoran pintu dari luar, dan bergegas bangun untuk membalas gedoran, biar mereka tahu kalau ada orang di sini.
Saat ini aku mendengar obrolan dari luar, mungkin lagi berusaha memecahkan masalah untuk membukanya. Dan tak menunggu waktu lama, pintu lift terbuka sedikit demi sedikit, dan terlihat mereka sedang berusaha menarik pintu lift ke samping, dari arah tengah. Akhirnya pintu terbuka meskipun tidak sepenuhnya tapi aku bisa keluar dari sini.
Akhirnya aku tertolong, dan kulihat mereka satu per satu, sebagian mereka mengenakan baju setelan warna hitam dan ada belt di samping bertuliskan Mekanik. Kemungkinan besar mereka lah yang membuka pintu lift.
Aku ingin berlalu meninggalkan tempat ini, badanku terlalu capek dan saat aku mulai melangkah aku mendengar suara sumbang dari salah satu penonton,
"Heh dia udah ditolongin kok gak ada bilang makasih,"
Aku berhenti melangkah dan kutengok pada orang yang berucap tadi, dia memakai seragam dan dia mungkin pegawai hotel ini.
Emosiku langsung menjalar ke seluruh tubuhku, bagaimana tidak. Ini adalah kelalaian mereka dan aku korban disini, seharusnya mereka yang meminta maaf.
Tak perlu basa-basi, aku mendekatinya, kutarik kerah bajunya. Tubuhnya yang lebih pendek memudahkanku menarik lebih dekat. Kutatap matanya dengan tatapan melotot. Kulihat netranya langsung berkaca-kaca, dan kurasakan tubuhnya bergetar. Aku bisa melihat ketakutan yang di hadapinya sekarang. Aku harus menggertaknya.
"Perlukah aku melaporkan kelalaian ini ke polisi?! Aku disini adalah korban dari hotel ini! Tidak sadarkah itu, harusnya kamu meminta maaf. Bukannya menunggu aku berterimakasih!" ucapku sambil menghentakkan badannya.
"Ma–maaf, aku tidak terpikirkan tadi," ucapnya memohon dengan matanya yang sudah dibanjiri air mata.
"Mana manajermu!"
"Tolong jangan kasih tahu masalah ini kak!" Ucapnya masih memohon.
"Aku sudah berbaik hati, ingin melupakan masalah ini, tapi kau seenaknya membicarakan aku. Kayaknya emang kamu itu butuh teguran!"
Terdengar suara kaki mendekat. Aku langsung menoleh ke arah itu, aku lihat seorang laki-laki dengan stelan jas hitam dan sepatu pantofel menuju kemari. Mungkin dia atasannya. Kebetulan sekali, aku tersenyum miring dan memandang Mbaknya yang meringsut ketakutan.
"Ada apa ini?" tanyanya melihat aku yang masih memegang kerah salah satu pegawai disini.
Hening
Kurang ajar sekali, tak ada yang menjelaskan perkara ini. Lebih baik saat ini aku akan diam saja.
"Tadi Mbak ini terjebak di dalam lift, terus pas keluar Mbak pegawai ngomongin Mbak ini katanya tak mau berterimakasih." Jelasnya salah satu dari orang yang masih disini menyaksikan kejadian. Akhirnya ada juga yang menjelaskan.
Aku melepaskan kerahnya sambil mendorong, lama-lama capek tanganku untuk menahan.
"Jelaskan ini kenapa, Mira? kenapa pelanggan kita bisa marah sama kamu!?" tanyanya.
'Owh ternyata namanya Mira, lihat saja kau Mir,' aku tersenyum sinis dengan tatapan yang masih mengarah ke Mira itu.
Dia masih terdiam dan menundukkan kepalanya. Membuatku semakin gemas saja.
Melihat tidak ada respon, Pak Manajernya kembali bertanya kepada salah satu mbaknya yang berseragam, "Jelaskan kenapa?"
"Tadi Mira membicarakan pelanggan kita, tapi Mbaknya tidak terima, karena kami tak meminta maaf padanya, dan malah menggunjingnya." Jelasnya panjang lebar.
Pak manajer mungkin langsung paham situasinya dan langsung menundukkan punggungnya ke arahku, "Saya selaku manajer disini, meminta maaf atas kejadian yang menimpa anda, ini adalah murni kesalahan kami."
" Ah sudahlah, awalnya aku ingin melaporkan ini ke ranah hukum. Aku hampir frustasi karena kelalaian kalian, apa lebih baik aku lap–"
"Saya akan memberikan kompensasi untuk ini, saya harap tolong jangan laporkan masalah ini, karena akan berdampak besar dengan pemasukan kami!"
"Kompensasi? Apa?" tanyaku sambil menaikkan salah satu alis.
"Saya akan memberikan voucher gold gratis check in selama satu bulan dan waktunya bebas,"
Aku terdiam mencoba menghitung berapa keuntungan untukku, sehari check in disini bertarif hampir empat ratusan itu pun yang standar, bagaimana kalau yang gold. Aku tersenyum membayangkan, apalagi saat ini aku butuh refreshing dan belum ingin ketemu Mas Hasan. Pas sekali, aku tidak boleh mengabaikan rejeki nomplok ini.
Padahal niatku sebelumnya aku hanya ingin mengancamnya, karena aku tahu untuk melaporkan pun harus mengeluarkan uang lagi.
"Baiklah, aku akan kembali ke kamarku, aku tidak akan melaporkan kejadian ini. Dan setelah ini aku menunggu vouchernya."
"Baik terimakasih, nanti akan ada yang mengantarkan voucher ke kamar anda," ucapnya sembari mengulaskan senyuman ke arahku.
Tanpa menjawab aku langsung berlalu ke arah tangga dan menuju ke lantai tiga.
Biarlah saat ini aku di hotel sendiri tanpa memainkan gawai. Aku ingin melihat Mas Hasan mencariku apa tidak, apalagi sampe sebulan aku tidak pulang.
Aku menaiki tangga perlahan, satu demi satu anak tangga aku lewati. Sambil pikiranku menerawang.
Tak terasa sudah di lantai tiga, aku berjalan mencari nomor kamar yang aku pesan tadi.
Dan tak menunggu lama aku mendapatkannya Karena kulihat di lantai tiga ini kamarnya tidak terlalu banyak.
Aku mengambil kunci dan membukanya. Aku lihat ruangan dengan dinding bercat Putih tulang, ada TV led yang menempel di tembok, Ada AC, ranjang yang bersepreikan abu-abu polos beserta badcover. Aku kemudian berjalan ke kamar mandi, disana sudah ada shower dengan bath up yang bernuansa putih.
Benar-benar sempurna.
PoV 3Hasan menggeliat dari tempat yang ditidurinya, dia meraba sekitar untuk mencari gawainya. Saat ditemukan dia langsung mengaktifkan gawainya dan mencari aplikasi hijau yang bergambar telepon, menarik ulur layar depannya. Berharap ada pesan masuk. Namun sayangnya tak ada pesan yang masuk satu pun.Hasan bergegas bangun, menoleh kesana kemari."Dev, kamu dimana?" teriaknya sambil berjalan mondar mandir. "Devi!" Masih Belum ada jawaban dari Devi. Hasan keluar dari kamar, dia membuang nafas kasar melihat keadaan rumahnya yang masih berantakan. Hasan kembali ke kamarnya dan mengambil gawai. Memencet tombol untuk mencoba menelepon Devi. Namun tidak tersambung. "Kurang ajar sekali si Devi, ninggalin rumah berantakan! Mana perut lapar lagi!" gerutunya. Dia berlalu lalang, mencari solusi yang tepat untuknya dan akhirnya dia teringat pesan Devi."Lebih baik aku ke rumah ibu saja," ucapnya sambil bersiap pergi. Rumah ibunya yang tak terlalu jauh membuat Hasan mampu menahan laparnya. D
Devi benar-benar mantap ingin berhenti bekerja, karena kodratnya seorang isteri di rumah dan sang suami mencari nafkah.Hasan pun akhirnya kembali ke rumah, tidak jadi pergi ke rumah ibunya. Dia masuk mengambil sapu dan kain lap.Hatinya menahan dongkol yang bertubi-tubi. Rasa penasaran karena ketahuan jumlah gajinya. Membuat ia semakin berfikir keras, dia sekilas melirik Devi yang ikutan membersihkan karpet. Mengambil butir demi butir nasi yang tercecer.Rasanya dia tak rela bila harus berbagi gajinya dengan Devi, dipikirannya dia harus berbalas budi dengan ibunya jadi wajar bila ngasih uang gajinya. Tapi ke istrinya dia benar-benar tak ikhlas membaginya, karena ia beransumsi yang pantas di beri adalah orang yang tidak mampu bekerja, sedangkan Devi masih muda, mampu untuk bekerja. Entahlah anutan apa yang diikutinya sehingga tidak ada rasa kewajiban untuk menafkahi istri. Padahal itu hukumnya wajib di mata agama.Dia berfikir, seharusnya Devi beruntung karena memiliki suami yang ta
Mendengar kata cantik, Devi bergegas menghampiri suaminya. "Cantik apa maksudnya,Mas?" tanyanya tanpa menunggu teleponnya dimatikan.Hasan kaget melihat Devi sudah berada di sampingnya. "Loh, Dev. Tadi kan kamu lagi keluar kok tiba-tiba sudah di sini?" jawabnya langsung mematikan telepon."Mas, kamu mau menikah lagi? Kamu jahat, Mas.""Enggak, Dev. Kamu salah dengar tu," Kilahnya."Kalau sampai iya ... awas saja, Mas," ancam Devi dengan mata yang berkaca-kaca.Hueekk ....Tiba-tiba perut Devi begitu mual dan ingin memuntahkan isinya namun berkali-kali mencoba tak berhasil.Hasan yang melihat itu langsung khawatir dan memapah Devi untuk masuk ke Rumah.Ada perasaan menyesal dalam hatinya. Bagaimanapun dulu begitu manis berumah tangga. Hasan memandang Devi yang lemas dengan keringat di wajahnya. Memandangi inci demi inci wajah yang dulu begitu cantik dan menarik kini sudah berubah. Lebih terawat sebelum dia menikahinya."Kamu, hamil, Dev?" Hasan teringat perkataan teman kalau seorang
Tiba-tiba Hasan menarik tangan Devi dengan keras yang menimbulkan bekas kemerahan di pergelangan tangannya.Dia coba melepaskan pegangannya namun tidak juga terlepas, genggaman Hasan terlalu kuat. Cobaan macam apa lagi ini. Baru aja belum ada sehari dia merasakan hangatnya kasih sayang. Kini malah seperti ini."Ayo pulang!" ajaknya penuh penekanan dan bola matanya melotot ke arah Devi."Tapi, Mas. Ini kalau gak dihabiskan akan kena denda," lirih Devi sambil mengarah ke meja makan yang masih setengah lauk belum terjamah, bukan karena apa tapi takutnya nanti malah kena denda."Sudah seperti ini, kamu masih mikirin perut?" tanyanya dengan wajah mengejek."Mas! Aku cuman kasihan kalau nanti akan bayar dobel." Devi mencoba mengingatkan konsekuensinya."Ha ha ha, kasihan katamu! Lantas saat kamu bikin anak dengan orang lain otak kamu kemana? Mana belas kasihmu?" Dia menjawab dengan menghentakkan tangan Devi.Sakit? Tentu saja sakit, itu yang dirasakan Devi, bukan lagi karena tangannya melai
[Maaf, tadi istriku yang ngangkat, Kenapa tumben telepon?] [Istrimu itu ngaco ya, bisa-bisanya nuduh aku pelakor.]Centang biru namun tidak ada balasan, Devi tidak sabar menunggu dan mengirimi pesan lagi.[Sudah sini aku minta alamat rumah kamu yang lengkap, aku mau ngomong Penting!][Jl. Ade Irma Suryani, Blok D no. 30. Jakarta Utara.]Devi langsung menyalin pesan ke catatan pribadi di ponselnya. Besok dia akan mencari alamat tersebut, sejelek apa istri Ferdi sampe-sampe dia dituduh pelakor. Devi begitu penasaran dan ingin meluruskan baik-baik permasalahannya.....Esoknya dia sengaja dandan yang paling tercantik menurutnya, memakai dress hitam selutut dan rambutnya digerai. Perutnya yang masih belum terlalu membuncit jadi masih kelihatan seksi.Ingin sekali dia memakai mobil, namun sayangnya Hasan tak kunjung pulang, akhirnya dia hanya memakai motor maticnya.Saat ingin mengunci pintu, Mobil Hasan memasuki garasi, rupanya dia pulang setelah sekian hari tak menampakkan hidungnya.De
Devi pulang dengan memakai kaos oblong milik Ferdi. Niatnya terkubur sudah. Moodnya sudah hancur, rasanya dia ingin sekali cepat sampai rumah agar bisa istirahat.Dia mengemudikan mobilnya dengan pelan. Menyusuri jalanan dengan pikiran yang masih kalut. Sesampainya di rumah dia langsung masuk tanpa menyapa Suaminya yang sedang nonton TV di ruang keluarga.Hasan mengikuti langkah kakinya dan langsung mencekal lengan Devi."Habis ke mana kamu! Kenapa rambutmu basah dan memakai baju laki-laki?" tanyanya dengan kening yang melipat dan tatapan matanya sama sekali tak berkedip sekalipun."Pasti kamu habis enak-enak, Dasar Jalang!" umpatnya lagi dengan tatapan yang siap menguliti."Mas! Apaan sih, fitnah sembarangan!" jawabnya dengan memutarkan bola matanya ke arahnya dengan malas."Aku semakin yakin, kalau di perutmu itu bukan milikku," tatapnya sinis.Devi menghela napas dan membuangnya kasar. Andai tidak kebobolan mungkin semua tidak terjadi.Saat ini dia tidak mempunyai uang, hanya gel
Devi tak ada pilihan, akhirnya dia memutuskan untuk mencari pinjaman online, bagaimanapun dia butuh makan. Mengandalkan suaminya hanya menyiksa diri.Setelah berselancar di ponselnya, akhirnya menemukan nomor yang pernah menghubungi untuk menawarkan pinjaman. Lantas dia menulis beberapa sarat untuk diajukan sebelum di kirim.Akhirnya tidak menunggu lama, proses pinjaman di terima. Dan tinggal nunggu berapa jam kemudian akan cair ke bank miliknya.Devi mengajukan sepuluh juta, rencananya dia akan jual rumah peninggalan orang tuanya. Dan akan ambil sebagian buat bayar hutang.Tentunya tanpa sepengetahuan Hasan. Dia benar-benar sudah habis pikir lagi. Perutnya kembali mual. Saat Hasan memenuhi isi kepalanya. Perutnya tidak bisa diajak kompromi.Devi mengelus perutnya, air matanya tumpah.Dia begitu iri dengan rumah tangga orang lain, mereka begitu bahagia dengan kehadiran seorang anak. Membayangkan sang suami mengelus perut dan menempelkan pipinya ke perut. Dan berbisik ke calon anak.
"Walaikum salam," jawab Bu Endang disertai membukakan pintu. Terlihat dua orang wanita yang keduanya yang memakai jilbab, dan satunya terlihat masih begitu muda."Eh Diajeng, Monggo atuh masuk!" "Anakmu mana? Kok gak kelihatan," tanyanya seorang yang lebih tua, setelah duduk di kursi sofa."Belum pulang kerja, sebentar lagi. Kita ngobrol-ngobrol dulu atuh,""Hm," jawabnya dengan tatapan menyapu seluruh ruangan."Dev, bikinkan es teh manis!" teriak Bu Endang.Masih belum ada jawaban, akhirnya Bu Endang beranjak ke dalam."Sebentar ya, Jeng!" Susul Be EndangSementara itu ...."Eh, Ras. Gimana? Lihat, tadi itu calon mertua kamu, ramahkan, rumahnya juga lumayan besar. Sebentar lagi kamu akan jadi nyonya di rumah ini." tutur Ibu Tantri"Tapi, Tante. Rasty takut. Perasaanku tak enak,""Sudah, pokoknya kamu nurut sama aku, awas kamu jangan sampai mengecewakan!""Iya ... iya, huh! Bu, gerah ini, udah aku copot aja ya?" ucapnya sambil mengibas-ngibaskan penutup kepalanya."Heh! Kamu mau ke