Share

Bab 7. Tidur di Hotel

"Loh kamu, Mas? kok bisa jadi tukang ojek, bukannya masih kerja di kantor? dan kulihat kamu masih ada diacara ulang tahun Rendi?" tanyaku bertubi-tubi.

Seribu pertanyaan menunggu penjelasan di benakku, tadi yang membuatku risih di acara tadi, kenapa bisa dia datang jadi tukang ojek yang aku pesan. Rasa penasaranku terlalu menggunung hingga mengabaikan rasa sebalku tadi pas di tempat Rendi.

"Iya, aku nyambi tukang ojek online kalo sepulang kerja, bagaimanapun aku harus berjuang membahagiakan istriku," jawabnya menatapku nanar.

"Berjuang? Sampe mati-matian gitu ya? emang istrimu gak kerja?" 

"Ya enggaklah, ngapain aku nikahin dia kalo nyuruh dia kerja, bagaimanapun aku bertanggungjawab atas nafkahnya," ucapnya dengan matanya yang terendam memandang ke langit menatap bintang-bintang.

Aku mencoba mencerna perkataannya, memang dari segi fisik suamiku lah yang unggul, tapi cara berpikirnya mampu membuat netraku berkaca-kaca. Kenapa suamiku sendiri tidak ada niatan untuk menafkahiku, apakah cintaku bertepuk sebelah tangan? Aku tak bisa membayangkan semua ini. Aku tak bisa menerima. 

"Mbak! Kok malah menangis," tanyanya sembari memegang pundakku.

"Eh, enggak aku cuman kelilipan debu aja," jawabku pura-pura.

"Ya sudah yuk, Mbak. Tak anter," ajaknya sambil memakaikan helm di kepalaku.

Hatiku berdesir, seumur hidup baru sekali ini aku diperlakukan dengan lembut seperti ini. Kenapa aku bisa selebay ini, seperti orang jablay aja. Nafkah batin serasa Mas Hasan memberiku cukup. Owh tidak, dia tak pernah memperhatikan hal kecil seperti ini. 

Tidak … tidak, kenapa aku malah membandingkan Mas Hasan dengan laki-laki yang bahkan tidak aku kenal, namapun belum tahu siapa.

Aku naik di jok belakang motornya, setelah itu motornya dilajukan ke arah yang sudah aku tulis di gawai tadi.

Perasaanku masih tidak karuan, mengingat perlakuan suamiku, aku merasa sepertinya hanya aku yang berjuang dalam rumah tanggaku. Aku yang berjuang menafkahi suamiku, memenuhi kebutuhan rumah. Bahkan sampai sekarang aku tidak memiliki tabungan sama sekali, pekerjaanku hanya sebagai SPG salah satu produk kecantikan. Gajinya pun hanya UMR, berbeda dengan gaji Mas Hasan, yang kemungkinan lebih banyak dari aku, Karena aku tak pernah menanyakan jumlahnya, seingatku seratus ribu tak pernah diberikan kepadaku.

Mendadak aku menjadi penasaran dengan gajinya.

"Mas! Boleh tanya gak?" tanyaku meninggikan suara karena harus melawan angin dan suara kendaraan di kanan kiri.

"Boleh, nanya apa, Mbak?" Jawabnya memelankan laju motornya.

"Gajinya, Mas, berapa?"

"Owh, kalo saya, Mbak. Enam juta perbulan berbeda dengan Hasan, kalo dia tidak kurang dari delapan juta itupun bisa lebih kalo ada lembur. Karena dia posisinya lebih tinggi," jelasnya panjang lebar.

Aku mendengar ini hatiku merasa hancur, gajinya yang delapan juta dikemanakan, setahuku angsuran mobil hanya dua juta. Kenapa hanya ingin membeli sepatunya harus menengadahkan tangannya kepadaku. Sampe aku harus mengencangkan ikat pinggangku, agar apa yang dia inginkan bisa kebeli.

Oh … tidak. Selama ini otakku kemana? Kenapa aku merasa bodoh sekali. Bahkan dulu di sekolah aku selalu mendapatkan Rangking bahkan tak pernah terlewatkan meski hanya satu semester pun. Paling buruk rangking tiga.

Tapi kenapa aku bisa begini, kenapa aku tidak bisa berpikir logika. Aku sekarang harus bagaimana?

Air mataku luruh membanjiri bajuku, kemarin aku yang sok kuat kini hancur dalam kenyataan, merutuki kebodohanku sendiri. Aku memberi tumpangan hidupnya, memberi makan, memberi segala kebutuhannya. Bahkan untuk mertua tidak sedikit aku memberinya. Dan aku hanya mendapatkan rayuan gombal dari Mas Hasan. Itu saja. 

 Kenapa aku tidak sadar dari dulu. Apakah pengorbanan seorang istri seperti ini ataukah aku yang diperbudak olehnya. Entah lah hatiku terlalu sakit memikirkan ini.

"Mbak, kenapa Mbak ingin ke hotel?" tanyanya membuat pikiranku buyar.

Aku harus menjawab apa, ke hotel adalah sesuatu hal buruk di mata orang lain apalagi bepergian sendiri, pasti pikirannya kemana-mana. Lebih baik aku ngomong jujur saja.

"Rumah berantakan banget, Mas. Aku risih bila harus tidur keadaan rumah kotor," ucapku menjelaskan.

"Ooh." jawabnya sambil menambah laju motornya.

Akhirnya sampai juga di parkiran hotel, aku mengambil uang dari dalam tas, kucoba mencari uang yang pas. Dan memberikan sama Masnya. Aku harus bergegas masuk.

"Eh, Mbak. Boleh minta nomornya?" 

Aku melipat keningku, mencoba menelaah maksudnya apa. Mencoba berfikir realistis. Masih berfikir ….

"Maksud saya, saya ingin berteman tidak lebih, hanya berteman." Jawabnya memastikan, sepertinya dia paham gerak gerikku.

"088823042***." ucapku mengejakan nomor teleponku biar mudah dicatat olehnya.

"Makasih ya, Mbak. Aku Ferdi."

"Iya sama-sama. Tolong ya, Mas. Jangan kasih tahu siapapun kalo aku ke hotel, aku tak ingin ada gosip miring tentangku, kasihan suamiku nanti." 

" Oh siap, Mbak. Beres, oh ya maaf Mbak, nama Mbak siapa?"

"Devi, ya udah ya, aku langsung masuk," ucapku bergegas ke arah pintu masuk. Aku tak mau ada fitnah nanti.

Setelah sampe ke resepsionis, aku memesan satu kamar, dan setelah transaksi aku mendapatkan kunci kamar yang berada di lantai tiga. Aku berjalan menuju lift yang tersedia di dalam hotel ini, hotel ini memang mengutamakan kualitas dan kebersihan. Aku setuju dengan review-review beberapa pelanggan. Karena sebelumnya aku pernah penasaran dengan hotel ini dan mencarinya di internet.

 Harganya yang lumayan membuatku ingin tersenyum kecut. Kemarin kebetulan habis gajian sebelum ambil cuti, dan belum membagi dengan kebutuhan pokok. Rasanya ingin aku menikmati hidupku dulu disini, setidaknya sisa uangku cukup untuk seminggu disini.

Tinkk!

Lift terbuka di lantai satu, aku masih menunggu di dalam karena tujuanku lantai tiga.

Setelah menunggu beberapa meni, lift kembali tertutup dan sambil menunggu aku mencoba memainkan gawaiku.

Pas lagi membuka gawai, kupencet tombol pinggir kanan. Masih belum mau nyala, ku coba lagi. Oh tidak ternyata baterai gawaiku habis. Apes sekali apalagi tadi aku lupa bawa charge.

Gedubrak!

Gawaiku terjatuh dari pegangan tanganku, tiba-tiba ada goncangan lumayan kuat dari dalam lift sini, mungkinkah gempa. Dan kebetulan sekali aku seorang diri di dalam lift ini.

Saat aku menunduk hendak mengambil gawaiku, lift kembali berguncang membuat badanku tersungkur.

Aku bergegas bangun, dan mencoba memencet semua tombol yang ada. Sepertinya tombolnya juga sudah tak berfungsi melihat tidak ada respon apapun.

Aku menjadi takut, pikiranku kemana-mana. Mungkinkah lift ini akan terjun bebas membawa tubuhku. Dan aku ditemukan terkoyak di bawah sana, mungkinkah takdir hidupku hanya sampai disini. Dan ini menit terakhir aku menghirup udara di sini. 

Bagaimana dengan Mas Hasan nanti, mungkinkah dia terpuruk ataukah bahagia kemudian menikah setelah kematianku?

Lagi-lagi Mas Hasan menghantui pikiranku, kenapa sedetik pun aku tidak bisa melupakan meskipun keadaanku sudah berujung kematian.

Bagaimana nasibku ini, apalagi gawai yang sudah tidak ada nyawanya ….

Next bab selanjutnya ya ….

Makasih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status