"Loh kamu, Mas? kok bisa jadi tukang ojek, bukannya masih kerja di kantor? dan kulihat kamu masih ada diacara ulang tahun Rendi?" tanyaku bertubi-tubi.
Seribu pertanyaan menunggu penjelasan di benakku, tadi yang membuatku risih di acara tadi, kenapa bisa dia datang jadi tukang ojek yang aku pesan. Rasa penasaranku terlalu menggunung hingga mengabaikan rasa sebalku tadi pas di tempat Rendi.
"Iya, aku nyambi tukang ojek online kalo sepulang kerja, bagaimanapun aku harus berjuang membahagiakan istriku," jawabnya menatapku nanar.
"Berjuang? Sampe mati-matian gitu ya? emang istrimu gak kerja?"
"Ya enggaklah, ngapain aku nikahin dia kalo nyuruh dia kerja, bagaimanapun aku bertanggungjawab atas nafkahnya," ucapnya dengan matanya yang terendam memandang ke langit menatap bintang-bintang.
Aku mencoba mencerna perkataannya, memang dari segi fisik suamiku lah yang unggul, tapi cara berpikirnya mampu membuat netraku berkaca-kaca. Kenapa suamiku sendiri tidak ada niatan untuk menafkahiku, apakah cintaku bertepuk sebelah tangan? Aku tak bisa membayangkan semua ini. Aku tak bisa menerima.
"Mbak! Kok malah menangis," tanyanya sembari memegang pundakku.
"Eh, enggak aku cuman kelilipan debu aja," jawabku pura-pura.
"Ya sudah yuk, Mbak. Tak anter," ajaknya sambil memakaikan helm di kepalaku.
Hatiku berdesir, seumur hidup baru sekali ini aku diperlakukan dengan lembut seperti ini. Kenapa aku bisa selebay ini, seperti orang jablay aja. Nafkah batin serasa Mas Hasan memberiku cukup. Owh tidak, dia tak pernah memperhatikan hal kecil seperti ini.
Tidak … tidak, kenapa aku malah membandingkan Mas Hasan dengan laki-laki yang bahkan tidak aku kenal, namapun belum tahu siapa.
Aku naik di jok belakang motornya, setelah itu motornya dilajukan ke arah yang sudah aku tulis di gawai tadi.
Perasaanku masih tidak karuan, mengingat perlakuan suamiku, aku merasa sepertinya hanya aku yang berjuang dalam rumah tanggaku. Aku yang berjuang menafkahi suamiku, memenuhi kebutuhan rumah. Bahkan sampai sekarang aku tidak memiliki tabungan sama sekali, pekerjaanku hanya sebagai SPG salah satu produk kecantikan. Gajinya pun hanya UMR, berbeda dengan gaji Mas Hasan, yang kemungkinan lebih banyak dari aku, Karena aku tak pernah menanyakan jumlahnya, seingatku seratus ribu tak pernah diberikan kepadaku.
Mendadak aku menjadi penasaran dengan gajinya.
"Mas! Boleh tanya gak?" tanyaku meninggikan suara karena harus melawan angin dan suara kendaraan di kanan kiri.
"Boleh, nanya apa, Mbak?" Jawabnya memelankan laju motornya.
"Gajinya, Mas, berapa?"
"Owh, kalo saya, Mbak. Enam juta perbulan berbeda dengan Hasan, kalo dia tidak kurang dari delapan juta itupun bisa lebih kalo ada lembur. Karena dia posisinya lebih tinggi," jelasnya panjang lebar.
Aku mendengar ini hatiku merasa hancur, gajinya yang delapan juta dikemanakan, setahuku angsuran mobil hanya dua juta. Kenapa hanya ingin membeli sepatunya harus menengadahkan tangannya kepadaku. Sampe aku harus mengencangkan ikat pinggangku, agar apa yang dia inginkan bisa kebeli.
Oh … tidak. Selama ini otakku kemana? Kenapa aku merasa bodoh sekali. Bahkan dulu di sekolah aku selalu mendapatkan Rangking bahkan tak pernah terlewatkan meski hanya satu semester pun. Paling buruk rangking tiga.
Tapi kenapa aku bisa begini, kenapa aku tidak bisa berpikir logika. Aku sekarang harus bagaimana?
Air mataku luruh membanjiri bajuku, kemarin aku yang sok kuat kini hancur dalam kenyataan, merutuki kebodohanku sendiri. Aku memberi tumpangan hidupnya, memberi makan, memberi segala kebutuhannya. Bahkan untuk mertua tidak sedikit aku memberinya. Dan aku hanya mendapatkan rayuan gombal dari Mas Hasan. Itu saja.
Kenapa aku tidak sadar dari dulu. Apakah pengorbanan seorang istri seperti ini ataukah aku yang diperbudak olehnya. Entah lah hatiku terlalu sakit memikirkan ini.
"Mbak, kenapa Mbak ingin ke hotel?" tanyanya membuat pikiranku buyar.
Aku harus menjawab apa, ke hotel adalah sesuatu hal buruk di mata orang lain apalagi bepergian sendiri, pasti pikirannya kemana-mana. Lebih baik aku ngomong jujur saja.
"Rumah berantakan banget, Mas. Aku risih bila harus tidur keadaan rumah kotor," ucapku menjelaskan.
"Ooh." jawabnya sambil menambah laju motornya.
Akhirnya sampai juga di parkiran hotel, aku mengambil uang dari dalam tas, kucoba mencari uang yang pas. Dan memberikan sama Masnya. Aku harus bergegas masuk.
"Eh, Mbak. Boleh minta nomornya?"
Aku melipat keningku, mencoba menelaah maksudnya apa. Mencoba berfikir realistis. Masih berfikir ….
"Maksud saya, saya ingin berteman tidak lebih, hanya berteman." Jawabnya memastikan, sepertinya dia paham gerak gerikku.
"088823042***." ucapku mengejakan nomor teleponku biar mudah dicatat olehnya.
"Makasih ya, Mbak. Aku Ferdi."
"Iya sama-sama. Tolong ya, Mas. Jangan kasih tahu siapapun kalo aku ke hotel, aku tak ingin ada gosip miring tentangku, kasihan suamiku nanti."
" Oh siap, Mbak. Beres, oh ya maaf Mbak, nama Mbak siapa?"
"Devi, ya udah ya, aku langsung masuk," ucapku bergegas ke arah pintu masuk. Aku tak mau ada fitnah nanti.
Setelah sampe ke resepsionis, aku memesan satu kamar, dan setelah transaksi aku mendapatkan kunci kamar yang berada di lantai tiga. Aku berjalan menuju lift yang tersedia di dalam hotel ini, hotel ini memang mengutamakan kualitas dan kebersihan. Aku setuju dengan review-review beberapa pelanggan. Karena sebelumnya aku pernah penasaran dengan hotel ini dan mencarinya di internet.
Harganya yang lumayan membuatku ingin tersenyum kecut. Kemarin kebetulan habis gajian sebelum ambil cuti, dan belum membagi dengan kebutuhan pokok. Rasanya ingin aku menikmati hidupku dulu disini, setidaknya sisa uangku cukup untuk seminggu disini.
Tinkk!
Lift terbuka di lantai satu, aku masih menunggu di dalam karena tujuanku lantai tiga.
Setelah menunggu beberapa meni, lift kembali tertutup dan sambil menunggu aku mencoba memainkan gawaiku.
Pas lagi membuka gawai, kupencet tombol pinggir kanan. Masih belum mau nyala, ku coba lagi. Oh tidak ternyata baterai gawaiku habis. Apes sekali apalagi tadi aku lupa bawa charge.
Gedubrak!
Gawaiku terjatuh dari pegangan tanganku, tiba-tiba ada goncangan lumayan kuat dari dalam lift sini, mungkinkah gempa. Dan kebetulan sekali aku seorang diri di dalam lift ini.
Saat aku menunduk hendak mengambil gawaiku, lift kembali berguncang membuat badanku tersungkur.
Aku bergegas bangun, dan mencoba memencet semua tombol yang ada. Sepertinya tombolnya juga sudah tak berfungsi melihat tidak ada respon apapun.
Aku menjadi takut, pikiranku kemana-mana. Mungkinkah lift ini akan terjun bebas membawa tubuhku. Dan aku ditemukan terkoyak di bawah sana, mungkinkah takdir hidupku hanya sampai disini. Dan ini menit terakhir aku menghirup udara di sini.
Bagaimana dengan Mas Hasan nanti, mungkinkah dia terpuruk ataukah bahagia kemudian menikah setelah kematianku?
Lagi-lagi Mas Hasan menghantui pikiranku, kenapa sedetik pun aku tidak bisa melupakan meskipun keadaanku sudah berujung kematian.
Bagaimana nasibku ini, apalagi gawai yang sudah tidak ada nyawanya ….
Next bab selanjutnya ya ….
Makasih.
Aku terduduk lemas, menatap dinding lift, sudah beberapa kali aku menggedor-gedor. Namun tidak ada sahutan dari luar, mungkinkah mereka semua sudah tertidur ataukah mereka tidak mendengar suara gedoran. Aku harus bagaimana sekarang, seorang diri di dalam lift dengan hanya membawa gawai yang sudah habis baterainya, aku benar-benar putus asa, mungkinkah aku akan mati, aku belum sempat meminta penjelasan Mas Hasan, aku tidak siap bila harus mati sekarang.Setidaknya sebelum mati aku sudah membalas perbuatan Mas Hasan, aku ingin menebus kebodohanku sendiri, aku ingin memperbaiki keadaanku saat ini.Tak terasa air mataku luruh ....Satu jam ....Dua jam ....Tiga jam ....Akhirnya aku tertidur dengan posisi badan tertekuk, kepala menyender di lutut dan kedua tangan masih memeluk lutut.Aku tersentak saat ada gedoran pintu dari luar, dan bergegas bangun untuk membalas gedoran, biar mereka tahu kalau ada orang di sini.Saat ini aku mendengar obrolan dari luar, mungkin lagi berusaha memecahk
PoV 3Hasan menggeliat dari tempat yang ditidurinya, dia meraba sekitar untuk mencari gawainya. Saat ditemukan dia langsung mengaktifkan gawainya dan mencari aplikasi hijau yang bergambar telepon, menarik ulur layar depannya. Berharap ada pesan masuk. Namun sayangnya tak ada pesan yang masuk satu pun.Hasan bergegas bangun, menoleh kesana kemari."Dev, kamu dimana?" teriaknya sambil berjalan mondar mandir. "Devi!" Masih Belum ada jawaban dari Devi. Hasan keluar dari kamar, dia membuang nafas kasar melihat keadaan rumahnya yang masih berantakan. Hasan kembali ke kamarnya dan mengambil gawai. Memencet tombol untuk mencoba menelepon Devi. Namun tidak tersambung. "Kurang ajar sekali si Devi, ninggalin rumah berantakan! Mana perut lapar lagi!" gerutunya. Dia berlalu lalang, mencari solusi yang tepat untuknya dan akhirnya dia teringat pesan Devi."Lebih baik aku ke rumah ibu saja," ucapnya sambil bersiap pergi. Rumah ibunya yang tak terlalu jauh membuat Hasan mampu menahan laparnya. D
Devi benar-benar mantap ingin berhenti bekerja, karena kodratnya seorang isteri di rumah dan sang suami mencari nafkah.Hasan pun akhirnya kembali ke rumah, tidak jadi pergi ke rumah ibunya. Dia masuk mengambil sapu dan kain lap.Hatinya menahan dongkol yang bertubi-tubi. Rasa penasaran karena ketahuan jumlah gajinya. Membuat ia semakin berfikir keras, dia sekilas melirik Devi yang ikutan membersihkan karpet. Mengambil butir demi butir nasi yang tercecer.Rasanya dia tak rela bila harus berbagi gajinya dengan Devi, dipikirannya dia harus berbalas budi dengan ibunya jadi wajar bila ngasih uang gajinya. Tapi ke istrinya dia benar-benar tak ikhlas membaginya, karena ia beransumsi yang pantas di beri adalah orang yang tidak mampu bekerja, sedangkan Devi masih muda, mampu untuk bekerja. Entahlah anutan apa yang diikutinya sehingga tidak ada rasa kewajiban untuk menafkahi istri. Padahal itu hukumnya wajib di mata agama.Dia berfikir, seharusnya Devi beruntung karena memiliki suami yang ta
Mendengar kata cantik, Devi bergegas menghampiri suaminya. "Cantik apa maksudnya,Mas?" tanyanya tanpa menunggu teleponnya dimatikan.Hasan kaget melihat Devi sudah berada di sampingnya. "Loh, Dev. Tadi kan kamu lagi keluar kok tiba-tiba sudah di sini?" jawabnya langsung mematikan telepon."Mas, kamu mau menikah lagi? Kamu jahat, Mas.""Enggak, Dev. Kamu salah dengar tu," Kilahnya."Kalau sampai iya ... awas saja, Mas," ancam Devi dengan mata yang berkaca-kaca.Hueekk ....Tiba-tiba perut Devi begitu mual dan ingin memuntahkan isinya namun berkali-kali mencoba tak berhasil.Hasan yang melihat itu langsung khawatir dan memapah Devi untuk masuk ke Rumah.Ada perasaan menyesal dalam hatinya. Bagaimanapun dulu begitu manis berumah tangga. Hasan memandang Devi yang lemas dengan keringat di wajahnya. Memandangi inci demi inci wajah yang dulu begitu cantik dan menarik kini sudah berubah. Lebih terawat sebelum dia menikahinya."Kamu, hamil, Dev?" Hasan teringat perkataan teman kalau seorang
Tiba-tiba Hasan menarik tangan Devi dengan keras yang menimbulkan bekas kemerahan di pergelangan tangannya.Dia coba melepaskan pegangannya namun tidak juga terlepas, genggaman Hasan terlalu kuat. Cobaan macam apa lagi ini. Baru aja belum ada sehari dia merasakan hangatnya kasih sayang. Kini malah seperti ini."Ayo pulang!" ajaknya penuh penekanan dan bola matanya melotot ke arah Devi."Tapi, Mas. Ini kalau gak dihabiskan akan kena denda," lirih Devi sambil mengarah ke meja makan yang masih setengah lauk belum terjamah, bukan karena apa tapi takutnya nanti malah kena denda."Sudah seperti ini, kamu masih mikirin perut?" tanyanya dengan wajah mengejek."Mas! Aku cuman kasihan kalau nanti akan bayar dobel." Devi mencoba mengingatkan konsekuensinya."Ha ha ha, kasihan katamu! Lantas saat kamu bikin anak dengan orang lain otak kamu kemana? Mana belas kasihmu?" Dia menjawab dengan menghentakkan tangan Devi.Sakit? Tentu saja sakit, itu yang dirasakan Devi, bukan lagi karena tangannya melai
[Maaf, tadi istriku yang ngangkat, Kenapa tumben telepon?] [Istrimu itu ngaco ya, bisa-bisanya nuduh aku pelakor.]Centang biru namun tidak ada balasan, Devi tidak sabar menunggu dan mengirimi pesan lagi.[Sudah sini aku minta alamat rumah kamu yang lengkap, aku mau ngomong Penting!][Jl. Ade Irma Suryani, Blok D no. 30. Jakarta Utara.]Devi langsung menyalin pesan ke catatan pribadi di ponselnya. Besok dia akan mencari alamat tersebut, sejelek apa istri Ferdi sampe-sampe dia dituduh pelakor. Devi begitu penasaran dan ingin meluruskan baik-baik permasalahannya.....Esoknya dia sengaja dandan yang paling tercantik menurutnya, memakai dress hitam selutut dan rambutnya digerai. Perutnya yang masih belum terlalu membuncit jadi masih kelihatan seksi.Ingin sekali dia memakai mobil, namun sayangnya Hasan tak kunjung pulang, akhirnya dia hanya memakai motor maticnya.Saat ingin mengunci pintu, Mobil Hasan memasuki garasi, rupanya dia pulang setelah sekian hari tak menampakkan hidungnya.De
Devi pulang dengan memakai kaos oblong milik Ferdi. Niatnya terkubur sudah. Moodnya sudah hancur, rasanya dia ingin sekali cepat sampai rumah agar bisa istirahat.Dia mengemudikan mobilnya dengan pelan. Menyusuri jalanan dengan pikiran yang masih kalut. Sesampainya di rumah dia langsung masuk tanpa menyapa Suaminya yang sedang nonton TV di ruang keluarga.Hasan mengikuti langkah kakinya dan langsung mencekal lengan Devi."Habis ke mana kamu! Kenapa rambutmu basah dan memakai baju laki-laki?" tanyanya dengan kening yang melipat dan tatapan matanya sama sekali tak berkedip sekalipun."Pasti kamu habis enak-enak, Dasar Jalang!" umpatnya lagi dengan tatapan yang siap menguliti."Mas! Apaan sih, fitnah sembarangan!" jawabnya dengan memutarkan bola matanya ke arahnya dengan malas."Aku semakin yakin, kalau di perutmu itu bukan milikku," tatapnya sinis.Devi menghela napas dan membuangnya kasar. Andai tidak kebobolan mungkin semua tidak terjadi.Saat ini dia tidak mempunyai uang, hanya gel
Devi tak ada pilihan, akhirnya dia memutuskan untuk mencari pinjaman online, bagaimanapun dia butuh makan. Mengandalkan suaminya hanya menyiksa diri.Setelah berselancar di ponselnya, akhirnya menemukan nomor yang pernah menghubungi untuk menawarkan pinjaman. Lantas dia menulis beberapa sarat untuk diajukan sebelum di kirim.Akhirnya tidak menunggu lama, proses pinjaman di terima. Dan tinggal nunggu berapa jam kemudian akan cair ke bank miliknya.Devi mengajukan sepuluh juta, rencananya dia akan jual rumah peninggalan orang tuanya. Dan akan ambil sebagian buat bayar hutang.Tentunya tanpa sepengetahuan Hasan. Dia benar-benar sudah habis pikir lagi. Perutnya kembali mual. Saat Hasan memenuhi isi kepalanya. Perutnya tidak bisa diajak kompromi.Devi mengelus perutnya, air matanya tumpah.Dia begitu iri dengan rumah tangga orang lain, mereka begitu bahagia dengan kehadiran seorang anak. Membayangkan sang suami mengelus perut dan menempelkan pipinya ke perut. Dan berbisik ke calon anak.