Di suatu pagi, Yusuf sudah pergi meninggalkan rumah dengan meminjam motor milik Pak Salman. Dia menitipkan pekerjaan di ladangnya pada Dani dan Bobby, berkata bahwa dia akan sibuk di luar hingga sore.Tak ada yang tahu untuk kesibukan apa. Tidak Rayna, tidak juga Mak Sannah. Pagi-pagi sekali dia sudah meninggalkan rumah, di saat jalanan masih begitu sepi. Bahkan anak-anak sekolah pun belum ada yang meninggalkan rumah mereka.Di sebuah warung yang baru buka, Yusuf duduk di sana dengan memesan segelas kopi susu. Dari situ, dia terus melirik ke arah sebuah rumah yang agak jauh, seperti sedang mengamati sesuatu.“Pagi sekali kau keluar, Suf! Serius nih datang ke warung ini cuma untuk nyari kopi susu?” tanya Andra, salah seorang teman dekat Yusuf yang kebetulan keponakan dari pemilik warung.“Sekalian mau melihat keadaan. Kali saja ada touke yang lewat,” balas Yusuf.Meski dia tetap meladeni obrolan temannya itu, perhatian Yusuf masih tak lepas dari satu rumah dengan cat jingga tersebut. K
Tak juga sampai setengah jam Mila bisa bertahan dalam kecanggungan itu. Setelah itu dia memilih keluar dengan alasan ingin mengawasi kedua anaknya. Pada kenyataannya, Adi dan Ridwan hanya bermain kelereng di pinggir ladang, tak jauh dari teras rumah. Untuk sesaat, perhatiannya pun tertuju pada Bobby dan Dani yang begitu asing baginya.Dua orang itu tengah sibuk di ladang Yusuf. Bobby sedang menyemprotkan pestisida pada tumbuhan kentang. Sementara itu, Dani hanya berdiri saja di dekat greenhouse yang tertutup rapat setelah baru saja selesai merawat ladang di dalamnya.Yusuf sendiri sudah menitipkan padanya greenhouse tersebut, hanya perlu memeriksa apa ada hama atau pun gulma yang tumbuh. Berhubung tumbuhan kentang di greenhouse itu tak menggunakan pestisida, mereka hanya perlu merawat dan menjaganya secara langsung setiap hari.“ApaYusuf tak bilang padamu ke mana dia pergi?” tanya Dani pada Bobby.Bobby hanya menggeleng, tetap sibuk memompa cairan pestisida itu dari kaleng sprayer-nya
Saat sampai di sebuah pertigaan, jauh sebelum perempatan di jala raya, motor yang hendak diikuti Yusuf pun berpisah menyendiri dari rombongan lainnya. Semuanya terus menuju ke arah perempatan di jalan raya, sementara anak Pak Yarmin dan pacarnya itu berbelok kiri menuju ke arah sebuah gurun.Kening Yusuf pun berkerut, mulai mengkhawatirkan tujuan sepasang muda-mudi itu memisahkan diri dari rombongan lainnya ke arah jalanan sepi tersebut.“Tak aman ini,” gumamnya terus mengikuti dari kejauhan.Dua muda-mudi itu berhenti di sebuah tempat yang dikelilingi oleh ilalang yang begitu tinggi. Tak begitu tertutup juga, karena di bagian depan mereka cukup terbuka mengarah ke danau.Saat ini si preman tanggung sedang asyik berusaha mencari-cari kesempatan untuk grepe-grepe, meski anaknya Pak Yarmin itu rada-rada risih juga.“Apa sih, cuma pegang-pegang paha doang takut amat,” tutur si pemuda itu begitu lirih dan begitu dekat ke telinga cewek yang masih SMP itu.“Ngomongnya pegang paha, tapi usil
Yusuf pun bangkit, memperlihatkan gelagat kalau dia tak lagi peduli soal apa yang akan terjadi dengan remaja SMP itu. Namun akhirnya, ancaman Yusuf itu sukses juga memancing rasa takut dari Yessy. Dia pun menahan Yusuf dan berkata akan mendengarkan masukannya. “Tapi Yessy katakan, kalau Yessy sama sekali tak ada hubungannya dengan ini semua,” jelasnya. Yusuf pun kembali duduk. “Tapi polisi tetap akan mendatangimu untuk menanyakan perihal motor itu. Karena itu satu-satunya petunjuk. Dari situ, ayahmu pun pada akhirnya akan tahu soal hubungan kalian. Belum lagi soal apa yang barusan Abang lihat tadi,” jelas Yusuf menakut-nakutinya. “Lalu apa yang harus Yessy lakukan. Yessy yakin, Abang memberitahu ini untuk membantu Yessy, kan?” tanya anak gadis itu dengan polosnya. Yusuf menaikkan satu alisnya, berlagak seperti sedang serius memikirkan solusi untuk membantu Yessy. “Entahlah. Kenapa tak kamu coba dengan memberitahu Abang soal laki-laki tadi. Mungkin Abang bisa melihat kemungkinan di
Sorenya Yusuf sudah kembali ke rumah dengan Andra dan Joni masih menemaninya. Sementara itu, Budi dan Eri sudah balik ke rumah mereka masing-masing. Dani dan Bobby nampak asyik saja dilayani mengobrol oleh Pak Salman di teras rumahnya. Melihat Yusuf pulang dengan dua orang teman, mereka pun mengangkat tangan seraya memanggil. Yusuf memperkenal dua orang temannya itu pada Dani dan Bobby, kemudian membiarkan mereka saling mengakrabkan diri. “Aku ke dalam sebentar,” ucapnya sebelum pergi ke rumahnya. Belum sempat Yusuf mengucap salam, Rayna sudah menghadangnya di pintu masuk dengan tatapan dingin. “Hmm? Jangan bilang kamu akan menginterogasiku lagi,” lirih Yusuf memasang wajah memelas tak bersemangatnya. Rayna memiringkan kepalanya sedikit dan melihat keberadaan Joni dan Andra. Pikirnya, mungkin suaminya itu hanya pergi main bersama dua orang temannya itu. “Kalau mau main, kenapa juga kau tinggalkan Bobby dan Dani mengurus ladangmu. Jangan keenakan begitu memperlakukan mereka,” cetu
Yusuf kaget tiba-tiba Bobby bersikap seperti itu, begitu nampak tak tenang seperti ada sesuatu antara dia dan David.“Kenapa denganmu?” tanya Yusuf.“Sialan. Orang itu...” gumam Bobby, masih memperhatikan truk itu dengan raut wajah yang begitu serius.“Ada apa?” tanya Yusuf lagi.“Aku mengerti jika dia mengejekmu dengan mengatakan kamu melarikan diri ke kampung ini. Tapi seingatku, aku tak pernah cerita pada siapa pun soal apa yang menimpa diriku selain padamu dan Dani,” jelas Bobby.“Mungkin saja Dani yang bercerita,” balas Yusuf.“Tidak, kami sudah sepakat untuk tidak membiarkan hal ini sampai diketahui orang lain. Bahkan padamu saja tadinya aku tak mau bercerita,” sanggah Bobby.“Jangan-jangan...”“Ya, dia pasti terlibat. Entah itu inisiatif dari Bu Harmoko atau inisiatif pribadinya, atau mungkin permintaan pihak lain. Ya jelas, dia pasti terlibat. Jika tidak, bagaimana mungkin dia bisa tahu soal apa yang menimpaku.”Mereka pun memutuskan untuk pergi. Mereka singgah di rumah sesaat
Yusuf terdiam memikirkan solusi itu. Dia pun buru-buru kembali ke dalam dan mengatakan pada Mak Leni untuk membiarkan saja dulu kentang tersebut. Ketiga orang itu pun kembali pulang.“Kenapa tak kamu pastikan saja sekarang?” tanya Bobby.“Nanti malam akan aku coba hubungi mereka satu persatu. Tak enak juga harus melakukannya sekarang, karena pasti mereka masih di pasar saat ini,” balas Yusuf.Kenyataannya, Yusuf masih sedikit ragu meski sejatinya dia memang melihat ada peluang di sana. Dia hanya khawatir, karena belum pasti masalah seperti apa yang dimiliki oleh keempat orang tersebut dengan pihak Harmoko.Sampai di rumah, Yusuf pun mendiskusikan hal tersebut pada istrinya. Bukan hanya soal menjual kentangnya pada Mak Sannah saja. Tapi juga soal ide mencoba menjadi distributor seperti bisnis yang dijalankan mertuanya tersebut.“Bagaimana menurutmu? Mungkin kita bisa kredit mobil pengakut barang tipe L300, atau setidaknya yang lebih kecil dari itu,” tanya Yusuf.“Apa kamu yakin bisa be
Besoknya, selama satu hari, mereka mulai sibuk mendatangi ladang para petani menggunakan mobil Bobby. Mulai dari yang dekat, mau pun yang jauh. Tak banyak juga targetnya, hanya empat peti tomat, dua karung lobak dan satu karung bawang. Hanya itu permintaan lain dari empat orang pedagang itu selain lima karung kentang Mak Leni yang sebelumnya sudah ditawarkan lebih dulu.Menjelang sore, mereka sudah mengumpulkannya di depan rumah Yusuf. Kecuali satu karung bawang yang tak sempat mereka dapatkan.“Bagaimana sekarang? Apa kita teruskan mencarinya?” tanya Bobby.Yusuf menggeleng kepala, merasa pesimis dengan pilihan itu. Pasalnya, memang tak ada satu pun yang sedang panen bawang di sekitar kawasan itu. Kalau di cari pun ke daerah lain, akan memakan waktu dan belum juga ada kepastian bisa memperolehnya.“Ingat, kita tak lagi bekerja dengan Pak Harmoko. Jadi Da Firman akan menantikan kita nanti di sana untuk bongkar barang. Sebisanya kalian sudah sampai di sana sebelum jam 11 malam. Tak bis