Bukan saja permaisuri yang kaget, Prabu Nara dan Patih Wiranata pun kaget dengan pengakuan dari sang tabib misterius itu.
“Apa maksud Ninik mengaku-ngaku sebagai Diajeng Sekar Laras...? Adik ipar saya itu masih muda dan cantik, sedangkan Ninik ini, maaf, sudah tua...?!”bertanya Prabu Nara dengan sorot mata heran bercampur curiga.
“Benar, Ninik,”Patih Wiratama menimpali. “Saya juga bisa marah jika....”
“Diam kau, Dikmas Wiratama...!” potong Diajeng Sekjar Laras. Setelah berkata demikian, Diajeng Sekar Laras memejamkan matanya, mulutnya komat kamit karena sedang merapal sebuah mantra. Tiba-tiba cahaya putih yang disertai asal tipis membungkus tubuhnya. Lalu sesaat kemudian, si ninik-ninik peot lenya
“Laki-laki yang bernama Ki Jagadita itu pastilah seorang yang berilmu sangat tinggi,”ucap Prabu Nara kepada permaisurinya Ratu Ageng Sekar Arum sembari melangkah masuk ke dalam istananya. “Benar sekali, Kangmas...!”sahut Permaisuri Ratu Ageng Sekar Arum. “Bagaimana seorang Sekar Laras yang dulu hanya seorang wanita yang lemah lembut kini telah menjelma sebagai seorang sakti mandraguna seperti itu. Bisa jadi, setahun atau dua tahun lagi ia telah menjadi seorang pendekar besar yang amat sulit ditandingi oleh siapa pun lawannya, Kangmas.” “Kanda setuju, Nimas!” sahut Prabu Nara sembari meletakkan pantatnya di singgasananya. Saat itu Patih Wiratama memasuki istana dan menghaturkan tabik
Setelah kehadiran Diajeng Sekar Laras ke istana, maka dengan Baginda Raja Prabu Nararyawardhana mengumumkan bahwa pencarian keberadaan Diajeng Sekar Laras dan putranya dinyatakan berakhir, karena dua orang itu telah ditemukan. Dengan diberhentikannya sayembara berhadiah besar yang sudah diberlakukannya hampir tiga tahun itu, jelas mengecewakan banyak pihak yang selama ini telah bersusah payah mengerahkan segala daya dan upaya untuk memenangkan hadiah sayembara itu. Mereka adalah kelompok-kelompok jahat yang sangat berambisi untuk keluar jadi pemenang sayembara. Selama mereka mengikuti sayembara, adakalanya mereka harus tega untuk menyingkirkan pesaingnya dari kelompok-kelompok lain. Dan salah satu kelompok yang paling gigih dan bernafsu untuk memenangkan sayembara itu adalah kelompok begal Macan Ireng di bawah pimpinan Ki Jantaka alias Gentala Seta yang sekaligus lurah dari D
Dari ruang dalam istana Patih Wiratama muncul bersama bocah laki-laki. Ia adalah putra mahkota Pangeran Labdajaya. Usia dan wajahnya memiliki kemiripan dengan sepupunya Raden Anom. “ Angger, sungkem dengan Penan dan Bopo Jagadmu,”perintah Permaisuri Sekar Arum kepada putranya Pangeran Labdajaya. Bocah laki-laki itu langsung menyalami dan menciumi tangan Diajeng Sekar Laras dan Ki Jagadita. “Angger Labdajaya sudah besar sekarang,”ucap Diajeng Sekar Laras sembari mengelus kepala keponakannya. “Waktu Penan datang dulu Angger di mana?”(Penan = bibi/bulik). “Iya, kemarin Labda di padepokan, Penan. Bagaimana kabar Dimas Anom sekarang?”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, keempat laki-laki itu segera meninggalkan tempat itu dan menuju ke kota raja. Jarak dari tempat itu ke kota raja bagi Ki Jagadita dan Diajeng Sekar jagad tak seberapa jauh, namun bagi Ki Seranta, Ki Pokasi, Ki Sumpit, dan Bojot yang tak memiliki ilmu kesaktian yang tinggi, apalagi Ilmu Saipi Angin Jagat, tentu sangatlah jauh. Saat ini matahari sudah berada di sepertiga bola langit di sebelah barat, kemungkinan besar mereka baru sampai di kota raja menjelang malam hari. Benar saja, ketika memasuki kota raja, tepat matahari sudah tenggelam di ufuk barat dan malam sedang menyongsong. Sebelum menuju ke istana kerajaan, keempatnya beristirahat dulu di bawah naungan pohon beringin besar di tengah-tengah alun-alun kota. “Apa kira-kira Baginda Prabu mau
Pada saat keempatnya menikmati kelegaan itu, tiba-tiba keempatnya terdiam. Telinga mereka mendengar suara tapak kuda yang banyak bersamaan dengan suara ringkikannya. Naga-naganya rombongan berkuda itu akan lewat di jalan yang tak jauh dari tempat mereka berada. Mereka tanggung untuk bersembunyi karena keberadaan mereka telah terlebih dahulu terlihat oleh para penunggang kuda itu. Yang mereka lakukan adalah berpura-pura berteriak dengan mengintai ke sana ke mari seolah-olah mereka sedang berburu binatang. Benar saja, ketika melihat mereka, rombongan berkuda yang berjumlah sepuluh kuda lebih itu langsung berhenti. Ternyata itu adalah rombongan di bawah pimpinan Ki Jantaka alias Gentala Seta dan para anak buahnya. Mungkin mereka hendak ke kota raja atau menuju ke tempat lain, karena penampilan mereka seperti para pejabat kerajaan. “Se
Tampaknya Prabu Nararyawardhana sudah mulai menyadari bahwa kepercayaan rakyat terhadap dirinya mulai terlihat menurut di mana-mana. Itu dapat ia rasa dan saksikan dalam setahun terakhir ini. Setiap kali ia melakukan kunjungan keliling ke pelosok negerinya, di mana ia hanya disambut oleh rakyatnya dengan sikap agak dingin, dan tak seperti sebelumnya ia disambut dengan sangat meriah dan dieluk-elukan di sepanjang jalan yang dilewatinya. Ia merasa, bahwa dirinya mulai tak dianggap lagi sebagai pemimpin oleh rakyatnya. Apa yang dilakukan dan diharapkan oleh persekongkolan Patih Adiwilaga dan KiJantaka alias Gentala Seta tampaknya sudah mulai menampakkan hasil. Dan hebatnya, ketika ia berkeliling ke setiap pelosok, Patih Adiwilaga dapat merasakan sambutan yang baik rakyat terhadapnya. Tak sedikit ia dielu-elukan oleh segenap rakyat yang dilewatinya. Sembari dalam
Keempat pendekar muda hanya mengangguk dan terdiam. “Dan malam ini,” lanjut Ki Jagadita, “aku masih menurunkan satu benda wasiat yang bernama Cambuk Halilintar. Karena cambuk ini hanya satu, maka kalian harus mendapatkannya dengan cara diuji. Cambuk ini memiliki ruh, dia akan memilih siapa yang akan menjadi pemiliknya. Ia akan tinggal di tubuh pemiliknya sebelum cambuk itu akan diwariskan kepada sang pelanjutnya. Pesan Bopo, kepada siapa pun akhirnya Cambuk Halilintar ini akan jatuh, maka yang lain tak boleh merasa sakit hati atau sejenis itu. Justru kalian harus saling mendukung. Karena pada dasarnya, ilmu yang kalian miliki sudah terlalu tinggi bagi lawan-lawan kalian.” “Baiklah, Bopo, siapa pun di antara kami yang dipilih oleh cambuk itu, kami akan ikhlas,” ucap Diandra.
Setelah menghadap Baginda Pradu di balai paseban, hal pertama yang dialukan oleh Patih Wiratama adalah mengirim warta panggilan kepada Patih Adiwilaga dan Lurah Sawo Jajar, Ki Jantaka. Dan hal berikut yang dilakukannya adalah membersihkan angkatan perang darat Kerajaan Palingga dengan menyingkirkan prajurit-prajurit yang direkrut sejak eempat tahun yang lalu, lalu melakukan perekrutan anggota prajurit baru dengan koordinasi ketat dari perwira-perwira yang dikenal sangat setia terhadap Baginda Prabu Nararyawardhana. Ternyata hal itu bukanlah sesuatu hal yang mudah bagi Patih Wiratama. Ada begitu banyak tantangan yang dihadapi. Demikian banyak perwira-perwira yang dulunya dikenal sangat loyal kepada Baginda Prabu Nararyawardhana, kini banyak terendus telah dicemari oleh pengaruhnya Patih Adiwilaga dan Lurah Ki Jantaka alias Gentala Seta. Mereka direcoki oleh sang patih durhaka dan lurah keblinger