Di luar ia sudah dijemput oleh Ki Jalak Ireng.
“Bagaimana, Kawan Anom, bisa...?”
“Jalak Ireng,”Juragan Srandak datang dari arah belakang, “ tolong suruh beberapa anak buahmu untuk memberitahukan kepada seluruh warga desa untuk mengambil beras bagian mereka. Tiap kepala keluarga bagikan satu karung satu karung.”
“Oh, baik, Juragan...!”
Juragan Srandak beralih kepada Raden Anom dan bertanya, “Apakah ada barang lain yang Angger Anom butuhkan buat warga desa?”
“Oh, untuk sementara baru beras dulu, Juragan. Biar mereka sendiri nanti yang akan datang membeli barang-barang kebutuhan mereka di t
Melalui Ki Jalak Ireng pula Raden Anom memberitahukan kepada setiap rakyat yang datang di gudang berasnya Juragan Srandak agar besok mereka datang ke rumahnya Ki Prana, ia akan membagi-bagikan harta kepada mereka. “Ki Jalak Ireng juga harus datang ke rumah Ki Prana besok untuk mengamankan jalannya pembagian harta itu. Ajak serta beberapa anak buahnya. Bagian Ki Jalak beserta anak buahnya pasti ada,”ucap Raden Anom. “Oh, tentu Kawan Anom. Kami pasti akan datang...!” Ki Jalak Ireng tak mampu menyembunyikan rasa senangnya. Menjelang sore hari, Raden Anom berserta Ki Prana sekeluarga balik ke rumah setelah berpamitan kepada Juragan Srandak. “Jika Angger belum melanjutkan perjalanan, berkesemp
“Tidak, Bu. Tak ada yang disebut banyak buat orang sebaik Ki Prana sekeluarga. Simpanlah, Bu. Itu semua isinya ada tiga ratus keping.” “Duh, Gusti...,” desah Ki Prana. “Ini banyak sekali, Ngger.” “Tak mengapa, Ki, Bu, Dik Laksmi, simpanlah...!” “Te-terima kasih, Mas Anom. Mas Anom sudah sangat baik kepada keluarga saya.” Raden Anom langsung mengangkat wajahnya dan menatap kepada Laksmi. Baru kali itu ia mendengar suara gadis itu. Suaranya terdengar lembut dan halus. “Iya sama-sama, Laksmi. Semasih saya bisa berbagi, saya pasti melakukan
Raden Anom manggut-manggut dengan wajah menunduk. Ia hendak mengatakan sesuatu, tetapi ketukan di pintu membuat seisi rumah serentak menoleh ke arah pintu. “Ki Prana..., apakah kalian belum tidur?” Itu yang bersuara adalah Ki Jalak Ireng. Ki Prana dan Raden Anom saling berpandangan. Istri Ki Prana dan Laksmi langsung menggeser duduk mereka ke belakang Ki Prana. “Kami datang hanya ingin mengantarkan sesuatu buat Kawan Anom dan Ki Prana sekeluarga.” Terdengar lagi suara Ki Jalak Ireng. Tak ada suara garang seperti biasanya. “Bukankan saja pintunya,” pinta
Dagu Raden Anom terangkat. Ia merasa itu sebuah kabar yang menarik perhatiannya. Tetapi ia bertanya,“Kenapa Juragan Srandak ingin mencari pengawal pribadi lagi, kan sudah ada sampean bertiga dan lain-lain?” “Kami kan hanya menjaga harta dan kepentingan beliau di desa ini saja, Kawan Anom. Yang hendak beliau cari adalah pengawal beliau jika sewaktu-waktu beliau pergi ke suatu tempat, tentu harus dikawal oleh pengawal pribadi yang ilmunya setingkat dengan kesaktian beliau sendiri, atau di atas itu.” “Jika beliau seorang yang sakti mandraguna mengapa mesti menggunakan pengawal pribadi lagi, Ki Jalak?” “Ya mungkin itu juga sebagai bentuk gaya hidup saja, Kawan Anom. Tetapi saya kira, Lurah Srandak ingin menaikkan
Malam itu, Raden Anom sengaja membuat seisi rumah, Ki Prana sekeluarga, tertidur lelap agar ia dapat melakukan aksinya untuk mengambil bagian harta milik rakyat Blimbingan di rumahnya Juragan Srandak. Apa yang dilakukannya hanya semata-mata ingin membantu warga desa itu untuk mendapatkan kembali sebagian dari hak mereka yang sudah lama diambil-alih oleh sang lurah licik dan serakah itu. Dengan menggunakan Ajian Halimunan, Raden Anom dengan mudah untuk masuk ke dalam ruangan harta di rumah Juragan Srandak tanpa terlihat atau dirasakan sama sekali oleh sang empunya rumah maupun oleh puluhan penjaga di luar. Raden Anom hanya mengambil dua kantong besar keping emas itu. Dia ingin keesokan harinya, harta itu bisa membagi-bagikan kepada segenap warga dengan sama rata. Sesampai kem
Seusai acara pembagian harta itu, dan orang-orang telah kembali ke rumahnya masing-masing, Raden Anom duduk berempat dengan Ki Prana, Nyi Ngatmi, istrinya, dan juga Laksmi. Raden Anom ingin membahas kelanjutan dari rencananya untuk menjadikan Laksmi sebagai calon kepala Desa Blimbingan di depan. “Jujur, Angger Anom, sampai saat ini saya dan istri saya, termasuk Laksmi sendiri, masih belum masuk akal dengan rencana Angger itu. Kami sedang bertanya-tanya, mungkinkan Denok bisa mewujudkan rencana Angger itu?”ucap Ki Prana dengan wajah risau. “Tentu mungkin, asal ada dukungan dari sampean berdua dan kemauan Dik Laksmi. Dan saya berjanji untuk mewujudkan rencana itu hingga Dik Laksmi duduk menjadi pemimpin di desa ini.” “Kalau mendukung, tentu saya dan biungnya akan men
Gadis yang berwajah manis itu mengangguk-angguk agak ragu. “Si-siap, Mas...!” “Baiklah. Ki Prana dan ibu silakan duduk saja di atas batu ceper itu.” “Baik, Ngger...!” sahut Ki Prana lalu menarik tangan Nyi Ngatmi. Keduanya duduk menyaksikan di atas batu ceper tanpa berani berbicara. Raden Anom menatap wajah Laksmi dan berkata, “Saya ingin melihat dulu Dik Laksmi memperagakan jurus-jurus yang telah Dik Laksmi kuasai.” “Baik, Mas...!” Setelah memasang kuda-kuda yang terlihat cukup kokoh, gadis yang baru melewati usia remaja itu segera mempergakan jurus-jurus yang dikuasainya. Jurus-jurus yang pernah ia pelajari di sebuah padepokan di daerah Pasuruan sebelum peristiwa maha pralaya dua tahun yang silam.
Laksmi merasakan tubuhnya semakin lama semakin panas dan seolah-olah hendak meledak. Jeritannya semakin kuat. Getaran tubuhnya seolah-olah hendak merontokkan seluruh daging dan otot yang membungkus rangka tubuhnya. Keringatnya laksana diusir dari dalam tubuhnya, berhamburan keluar. Rambutnya pun sampai meriap kaku seperti rambut pohon enau. Saat Raden Anom mengakhiri pengaliran tenaga dalamnya dengan sebuah teriakan keras dan berat tertahan, tubuh Laksmi langsung jatuh lunglai ke depan, namun dengan cepat Raden Anom menahannya. “Tolong ibu dan Ki Prana ke mari...!” Raden Anom kemudian meletakkan kepada Laksmi yang tak sadarkan diri pada pangkuan ibunya, Nyi Ngatmi. “Tak lama lagi dia akan s