Beberapa bulan kemudian, Baginda Prabu Nararyawardhana mengumumkan akan turun tahta dan akan digantikan oleh putra mahkotanya, yaitu Pangeran Labdajaya.
Pengumuman itu ada begitu banyak tanggapan dari kalangan rakyat. Ada yang berpendapat, bahwa Baginda Prabu Nararyawardhana terlalu cepat turun tahta mengingat usianya masih terbilang muda, baru berusia lima puluh tahun. Pendapat kedua adalah memuji kebesaran jiwa Baginda Prabu Nararyawardhana yang merasa bahwa ia mungkin merasa sudah tak mampu lagi untuk membendung fitnah-fitnah yang ditebarkan oleh mantan patihnya, Patih Adiwilaga, dan komplotannya sehingga terjadi krisis kepercayaan rakyat yang berujung pada pemberontakan dan perang saudara. Namun sebenarnya untuk hal ini, setelah rakyat mengetahui persisi duduk permasalahnya, bahwa selama ini mereka telah termakan oleh hasutan
Namun saat di mana sang putra mahkota dinobatkan sebagai raja baru Kerajaan Palingga, beribu-ribu rakyat berdatangan dari seantero negeri, tumpah ruah di alun-alun kota raja. Penobatan putra mahkota, Pangeran Labdajaya, menjadi raja tidak hanya dihadiri oleh rakyat Palingga sendiri tetapi juga dihadiri oleh ribuan para utusan dari kerajaan-kerajaan sahabat. Penobatan itu berlangsung khikmat. Setelah Pangeran Labdajaya mengenakan mahkota Kerajaan Palingga, ia bergelar Sri Maharaja Prabu Labdajayawardhana. Dalam menyampaikan pidato pertamanya di hadapan segenap rakyat dan para tamu undangan dari kerajaan-keraan sahabat, ia berkata dengan dengan suaranya yang lantang namun teratur dan berwibawa: “Rakyatku sekalian yang aku cintai. Sejak saat ini aku telah dinobatkan sebagai raja baru kalian setelah secara resmi Ayahanda, Paduka Yan
Di suatu daerah yang masuk dalam wilayah Kerajaan Medang terdapat sebuah wilayah kelurahan yang bernama Uluwatu yang dipimpinan oleh Ki Lurah yang bernama Wilulang. Wilulang merupakan adik dari sang wiyasa yang memimpin wilayah watek (sejenis wilayah kecamatan sekarang), yang wilayahnya membawahi juga wilayah kelurahan yang dipimpin oleh Wilulang. Sangat banyak kebijakan Ki Lurah Wilulang menyimpang jauh dari kebijakan dari Sri Baginda yang sangat adil dan bijaksana. Lurah Wilulang tak ubahnya harimau berbulu domba, yang hanya tampak tenang dan berwibawa dan pandai menyembunyikan kuku-kuku yang tajam dan mematikan. Akibat kebijakannya yang lalim, rakyatnya mengalami penderitaan dan ketidakadilan. Kesengraan serta kemelaratan terjadi merata di mana-mana di desanya. Rakyatnya baginya tak ubah sebagai sapi perahan yang dapat seenaknya mereka peras dan rampas hartanya. Penarikan pajak pun ber
“Perjalanan hidup manusia itu sudah digariskan oleh Sang Hyang Maha Agung, Ki Masura, termasuk kita akan bertemu sendiri,” ucap Raden Anom. “Ohya, apa Ki Masura pernah berguru ilmu silat?” “Dulu, ketika saya merantau ke Blambangan, saya pernah berguru, Pendekar, tapi berhenti di tengah jalan ketika saya harus kembali ke Uluwatu dan menikah.” “Berarti Ki Masura sudah cukup trampil memainkan jurus-jurus, walau belum sampai tuntas belajarnya?” “Begitulan, Pendekar Anom. Tapi ilmu belum tuntas itu belum terlalu bisa menolong saya dari penzoliman Ki Lurah Wilulang dan para kaki tangannya, sampai saya tak mampu menyelamatkan istri dan anak saya dari kebiadaban mereka,” ucap Ki Masura.&nbs
Lalu kepada Raden Anom dia bertanya, “Bagaimana pendapat Pendekar Anom dengan penampilan saya tadi?” Raden Anom tersenyum. “Ya, ya, ya, sebuah langkah awal yang sangat bagus. Terbukti puluhan anak buahnya Ki Lurah Wilulang itu bertekuk lutut, kan?” Ki Masura tersenyum bungah, tapi tidak sombong. “Saya benar-benar merasa saya masih sedang mimpi. Tadi saya dibelenggu dan dizolimi hanya oleh beberapa orang, tapi sekarang....luar biasa! Terima kasih, Pendekar.. !” “Ya, sama-sama...” Ketiga laki-laki penggarap sawah datang mendekat dan menghaturkan terima kasih berkali-kali kepada Ki Masura dengan sikap sedikit membungkuk.&nbs
Ditantang demikian oleh Ki Masura yang seorang diri, tanpa perlu ditawar lagi, ratusan kaki tangannya Ki Lurah Wilulang itu langsung bergerak mengepung dengan golok terhunus dan tombak pendek di tangan mereka. Jika Ki Masura masih seperti beberapa hari sebelumnya, hanyalah laki-laki desa biasa, tentu dengan cepat tubuhnya akan dicincang hingga menjadi bagian-bagian yang kecil-kecil oleh ratusan srigala berwujud manusia itu. Namun sosok Ki Masura sekarang adalah Ki Masura yang benar-benar sudah berbeda sangat jauh. Ia kini telah menjelma menjadi seorang pendekar yang sakti mandraguna. Ki Masura langsung menjemput gelombang serangan itu dengan berkelebat ke depan dengan gerakan yang sangat cepat sembari menebaskan golok panjangnya dengan tebasan yang terarah dan mematikan. Jerit kematian pun langsung terdengar mengiris hati di malam yang diterangi oleh sinar rembulan itu. Laki-
Seluruh kaum lelaki Dusun Kidul sudah berkumpul dan menunggu di halaman rumahnya Ki Masura. Setelah kokok ayam pertama berakhir baru mereka berangkat menuju Dusun Lor di bawah pimpinan Ki Masura dan Raden Anom. Cahaya bulan yang hampir purnama membantu perjalanan mereka sehingga mereka tidak perlu menggunakan obor sebagai alat penerangan. Jarak antara Dusun Kidul dengan Dusun Lor tak terlalu jauh, hanya butuh waktu perjalanan sekitar sepeminum teh mereka telah berada di luar dari dusun itu. Untuk menunggu waktu yang ditentukan untuk masuk, mereka berkumpul di persawahan yang berdekatan dengan Dusun. “Jemali, Kentung, dan Kelik...,”panggil Raden Anom. “Iya, Pendekar...!”sahut ketiganya nyaris bersamaan.&
Ki Grunda Lawu masih saja menganggap penduduk Dusun Kidul sebagai penduduk yang lemah, dan seolah melupakan bahwa saat itu di dusun itu telah berada di bawah perlindungan dua singa, yaitu Ki Lanang Jagat dan raden Anom. Bahkan dua singa itu pernah membantai puluhan teman-teman mereka. Dengan ratusan anak buahnya, Ki Grunda Lawu membawa amarah yang membutakan mata hati dan pikirannya. Saat itu ia berpikir, bahwa ia dan anak buahnya bisa membantai dua pendekar itu dengan mudah di saat keduanya terlelap. Tetapi perhitungannya salah besar. Pada saat itu seluruh laki-laki Dusun Kidul di bawah pimpinan Ki Masura dan Raden Anom sudah bersiap lebih awal untuk menjemput kemungkinan datangnya penyerbuan dari seluruh anak buahnya Ki Lurah Wilulang. Mereka telah bersiaga dengan berbagai senjata yang mereka miliki. Ada
Pendekar Cambuk Halilintar dan Ki Masura keluar secara mengintai dengan memanfaatkan beberapa poepohonan yang berada di belakang rumah. Kali ini Pendekar Cambuk Halilinta alias Raden Anom ingin mendampingi Ki Masura secara terang-terangan untuk menghadapi para pasukan bayaran itu. Lalu pada serumpun semak belur keduanya mengamati pergerakan ratusan bayangan hitam itu. Pendekar Cambuk Halilintar dan Ki Masura dengan ketajaman matanya bisa mengamati ratusan prajurit bayaran itu yang bergerak dengan lincah bagai ratusan macan malam yang sedang mengintai mangsa. Mereka hanya tinggal menunggu isyarat sang pemimpin mereka untuk segera melakukan penyerbuan. Antara kaki bukit dengan rumah Ki Masura hanya terpisahkan oleh sebuah sungai kecil namun airnya mengalir deras sepanjang musin. Saat pemimpin prajurit bayaran itu memerintahk