Dagu Raden Anom terangkat. Ia merasa itu sebuah kabar yang menarik perhatiannya. Tetapi ia bertanya,“Kenapa Juragan Srandak ingin mencari pengawal pribadi lagi, kan sudah ada sampean bertiga dan lain-lain?”
“Kami kan hanya menjaga harta dan kepentingan beliau di desa ini saja, Kawan Anom. Yang hendak beliau cari adalah pengawal beliau jika sewaktu-waktu beliau pergi ke suatu tempat, tentu harus dikawal oleh pengawal pribadi yang ilmunya setingkat dengan kesaktian beliau sendiri, atau di atas itu.”
“Jika beliau seorang yang sakti mandraguna mengapa mesti menggunakan pengawal pribadi lagi, Ki Jalak?”
“Ya mungkin itu juga sebagai bentuk gaya hidup saja, Kawan Anom. Tetapi saya kira, Lurah Srandak ingin menaikkan
Malam itu, Raden Anom sengaja membuat seisi rumah, Ki Prana sekeluarga, tertidur lelap agar ia dapat melakukan aksinya untuk mengambil bagian harta milik rakyat Blimbingan di rumahnya Juragan Srandak. Apa yang dilakukannya hanya semata-mata ingin membantu warga desa itu untuk mendapatkan kembali sebagian dari hak mereka yang sudah lama diambil-alih oleh sang lurah licik dan serakah itu. Dengan menggunakan Ajian Halimunan, Raden Anom dengan mudah untuk masuk ke dalam ruangan harta di rumah Juragan Srandak tanpa terlihat atau dirasakan sama sekali oleh sang empunya rumah maupun oleh puluhan penjaga di luar. Raden Anom hanya mengambil dua kantong besar keping emas itu. Dia ingin keesokan harinya, harta itu bisa membagi-bagikan kepada segenap warga dengan sama rata. Sesampai kem
Seusai acara pembagian harta itu, dan orang-orang telah kembali ke rumahnya masing-masing, Raden Anom duduk berempat dengan Ki Prana, Nyi Ngatmi, istrinya, dan juga Laksmi. Raden Anom ingin membahas kelanjutan dari rencananya untuk menjadikan Laksmi sebagai calon kepala Desa Blimbingan di depan. “Jujur, Angger Anom, sampai saat ini saya dan istri saya, termasuk Laksmi sendiri, masih belum masuk akal dengan rencana Angger itu. Kami sedang bertanya-tanya, mungkinkan Denok bisa mewujudkan rencana Angger itu?”ucap Ki Prana dengan wajah risau. “Tentu mungkin, asal ada dukungan dari sampean berdua dan kemauan Dik Laksmi. Dan saya berjanji untuk mewujudkan rencana itu hingga Dik Laksmi duduk menjadi pemimpin di desa ini.” “Kalau mendukung, tentu saya dan biungnya akan men
Gadis yang berwajah manis itu mengangguk-angguk agak ragu. “Si-siap, Mas...!” “Baiklah. Ki Prana dan ibu silakan duduk saja di atas batu ceper itu.” “Baik, Ngger...!” sahut Ki Prana lalu menarik tangan Nyi Ngatmi. Keduanya duduk menyaksikan di atas batu ceper tanpa berani berbicara. Raden Anom menatap wajah Laksmi dan berkata, “Saya ingin melihat dulu Dik Laksmi memperagakan jurus-jurus yang telah Dik Laksmi kuasai.” “Baik, Mas...!” Setelah memasang kuda-kuda yang terlihat cukup kokoh, gadis yang baru melewati usia remaja itu segera mempergakan jurus-jurus yang dikuasainya. Jurus-jurus yang pernah ia pelajari di sebuah padepokan di daerah Pasuruan sebelum peristiwa maha pralaya dua tahun yang silam.
Laksmi merasakan tubuhnya semakin lama semakin panas dan seolah-olah hendak meledak. Jeritannya semakin kuat. Getaran tubuhnya seolah-olah hendak merontokkan seluruh daging dan otot yang membungkus rangka tubuhnya. Keringatnya laksana diusir dari dalam tubuhnya, berhamburan keluar. Rambutnya pun sampai meriap kaku seperti rambut pohon enau. Saat Raden Anom mengakhiri pengaliran tenaga dalamnya dengan sebuah teriakan keras dan berat tertahan, tubuh Laksmi langsung jatuh lunglai ke depan, namun dengan cepat Raden Anom menahannya. “Tolong ibu dan Ki Prana ke mari...!” Raden Anom kemudian meletakkan kepada Laksmi yang tak sadarkan diri pada pangkuan ibunya, Nyi Ngatmi. “Tak lama lagi dia akan s
“Begini, DewiLaksmi adalah dewi kekayaan, kesuburan, kemakmuran, keberuntungan, kecantikan, keadilan, dan kebijaksanaan. Saya ingin dalam diri Dik Laksmi pun punya kemiripan sifat dan ciri-ciri yang dimiliki oleh Sang Dewi, yaitu kelak bisa menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana sehingga mampu membawa kemakmuran bagi seluruh rakyatnya. Dik Laksmi juga harus tampil cantik, punya pesona yang mampu menimbulkan kekaguman dan rasa hormat siapa pun yang memandangnya serta kata-katanya akan dipatuhi oleh segenap rakyatnya.” “Maaf, Angger, tentu Denok belum memiliki sifat dan ciri seperti itu,” sahut Ki Prana. “Kehidupan keluarga kami ya seperti yang Angger lihat, miskin. Untuk sifat adil dan bijaksananya, kami pun belum melihatnya, karena usianya juga masih muda, belum genap dua puluh tahun. Untuk kecantikan, ya tentu saja dia cantik karena dia adalah a
Laksmi dan Nyi Ngatmi membagi-bagikan nasi dan lauknya. “Tentu saja, Kawan Anom, ini daging kambing muda yang dimaskan sendiri oleh Nyi Isyana...!” Ki Jalak Ireng memberi isyarat ke otak Raden Anom dengan menekankan kalimatnya saat menyebutkan nama istri Ki Lurah atau Juragan Srandak itu, dan Raden Anom hanya mesem saja. Setelah menikmati hidangan itu, mereka melanjutkan obrolan untuk beberapa lamanya. Namun ketika hendak pamit untuk kembali ke rumahnya Juragan Srandak, Ki Jalak Ireng memberitahukan kepada Raden Anom dan Ki Prana sekeluarga, bahwa mulai besok sudah mulai dibuka pendaftaran para peserta yang ikut sayembara perang tanding. “Baiklah, Ki Jalak, besok kami akan datang ke tempatnya Ki Lura
Menjelang diadakannya sayembara berupa perang tanding untuk memperebutkan posisi sebagai pengawal utama Juragan Srandak, segenap warga Desa Blimbingan yang laki-laki ikut bekerja gotong royong untuk membangun semacam panggung yang luas dan kuat untuk tempat para peserta beradu ilmu kesaktiannya. Di belakang panggung yang luas itu dibuat juga panggung kecil yang lebih tinggi tempat sang lurah, Ki Srandak, dan ketiga istrinya untuk menyaksikan jalannya pertandingan yang punya kemungkinan akibat hidup-mati itu. Sementara para peserta yang terdiri dari para pendekar yang kebanyakan dari aliran hitam telah berkumpul di alun-alun desa. Di alun-alun itu mereka mendirikan tenda-tenda untuk mereka tinggal sementara. Dari tiap-tiap mereka didampingi oleh para pendukungnya masing-masing. Atas kebijakan Lurah Srandak, mereka semua dijamin oleh Ki Lurah sendiri segala kebetuhannya selama mereka berada di desa itu, terutama urusan
Laksmi tidak terlihat tegang melihat hadirnya serangan itu. Ia berdiri dengan tenang namun dengan siaga penuh untuk menyambut serangan itu. Namun baru saja ia hendak menyambut serangan itu dengan sambaran cepat kaki kanannya lagi, tiba-tiba... Bughk...!! Sebuah tendakan keras menghantam dada pendekar, sehingga tubuh besar kekar itu kembali terlepar ke belakang beberapa tombak di luar panggung. Untuk kedua kalinya semua mata mata menyaksikan peristiwa itu langsung terbelalak dan berteriak tertahan yang meninggalkan mulut mereka yang terbuka akibat kekagetan yang sangat. Terlebih setelah melihat bahwa laki-laki yang berjuluk Cakar Dewa Rajawali itu tak bergerak lagi. Tak sadarkan diri dengan posisi tubuh tertelungkup! Sebenarnya yang kaget bukan hanya para penyaksi, tetapi juga dirasakan oleh Laksmi sendiri. Bagaimana mung