Share

SAKIT HATI DENDI

"Oya, Mas. Sebaiknya lupakan saja niat Mas untuk cari jodoh buatku. Bukan aku tak suka Mas ikut campur, maaf saja... aku mau cari sendiri. Kecuali aku sendiri yang minta tolong pada Mas," ucap Winda yang masih panas hatinya.

Dendi memerah wajahnya. 

Wini yang duduk di sebelah Dendi, cepat genggam tangan suaminya itu.

"Win... Kakak bisa mengerti jika kamu menolak. Mungkin cara penyampaian kami yang kurang berkenan untukmu. Mungkin juga kami datang di saat waktu yang tepat. Tapi percayalah, maksud kami baik. Jadi tolong jangan salah paham. Mas Dendi tak bermaksud jahat, dia ingin lihat kamu bahagia. Itu saja tujuan kami," ucap Wini tenang.

"Kak Ni, aku mengerti. Mas Dendi tak ada niat jahat padaku. Ya, sudahlah. Aku minta maaf pada kalian berdua. Mungkin ada ucapan kasarku yang buat salah satu di antara kalian sakit hati." Winda tatap Dendi.

Dendi mendengus. Dia tetap tak terima dengan cara minta maaf Winda. Namun setelah dia berpikir lebih jauh, dia harus berpura-pura di depan iparnya itu, agar bisa menarik keuntungan di masa depan.

Cuma Dendi tak akan pernah lupakan sakit hatinya. Karena ini pertama kali baginya Winda bicara keras dan kasar. Selama ini Dendi berpendapat, Winda itu gadis yang baik dan sopan padanya.

Nyatanya, hari ini mata Dendi terbuka lebar. Winda bukan gadis yang sempurna. Malah dia merasa, ucapan Winda yang walau disusun dengan kata-kata baik, tetap bagaikan mata pisau yang menggores hatinya.

Sakit hati Dendi hanya bisa terhapus, jika Winda menikah dengan pria kaya dan pria itu harus berasal dari pilihannya. Dimana dari pria kaya itu dia akan mendapatkan uang.

Dendi mau menjual Winda pada pria yang dipilihnya dalam bentuk perjodohan yang dia atur demi kepentingan pribadi. Itu janjinya dalam hati.

"Baik, Mas juga minta maaf. Benar kata Wini, kami datang di saat tak tepat. Tapi tak ada salahnya kamu berpikir lebih dalam lagi. Kami pulang dulu!" Dendi ajak Wini pulang.

Berbeda dengan Wini yang masih berjabat tangan dengan Winda. Dendi tidak, dia berjalan lebih dulu dan langkahnya termasuk cepat.

Di depan pagar, Dendi bertemu Wirahadi yang baru pulang dari minimarket. Di kiri Wirahadi ada Dewo yang menggandeng manja. 

"Papa, Kakek beliin aku susu kotak banyak. Ada lima. Sama itu, beliin aku sereal." Dewo angkat plastik yang dibawanya.

"Terima kasih sama Kakekmu. Ayo, pulang!" Dendi sedikit melotot pada Dewo. 

Karena masih kesal pada Winda, Dewo jadi sasaran kemarahannya yang belum terlampiaskan.

Di belakang berjalan Wini mendekat ke arah ayah, suami dan anaknya.

"Dewo mau main lagi sama Kakek," ucap Dewo menolak.

Dendi geleng kepala. Meski marah karena Dewo ikutan melawan dalam bentuk penolakan seperti yang Winda buat beberapa menit lalu.

"Pamit ya, Pa." Dendi menyapa singkat Wirahadi, lalu pergi pulang lebih dulu.

"Wini." Wirahadi tatap Wini yang baru tiba.

"Maaf, Pa." Wini lirik Dewo. 

Wirahadi paham arti lirikan Wini. Sebisa mungkin Dewo sebagai anak tak perlu tahu urusan orang tuanya, jika bukan urusan yang menyangkut diri Dewo sendiri atau hal penting lainnya.

"Pamit pulang dulu ya, Pa," ucap Wini pada Wirahadi. Lalu dia berjongkok di depan Dewo. "Jangan nakal main sama Kakek! Kamu juga harus mandi!"

"Iya, Ma."

Wini pun ucapkan salam, lalu berjalan pulang susul Dendi yang sudah lebih dulu pulang.

*

Di dalam rumah.

Winda yang mau mandi dan bersiap pergi ke kamar mandi, dicegah Wirahadi yang curiga ada kejadian di antara anak dan mantunya, peristiwa yang terjadi ketika dia tak ada.

Sebelum berbicara dengan Winda, Wirahadi menyuruh Dewo pergi mandi. Setelah cucu kesayangannya itu ke kamar mandi, baru Wirahadi ajak Winda duduk di ruang tamu.

"Ada apa Pa?" tanya Winda sopan.

"Pertanyaan itu harusnya jadi hak Papa lebih dulu. Ada apa Win? Apa yang barusan terjadi di rumah ini?" Mata Wirahadi menyipit.

"Tak ada kejadian apa-apa kok, Pa." Winda gelengkan kepala.

"Oh, sejak kapan kamu belajar bohong, hingga jadi pandai Winda? Apa Papa pernah ajarkan itu? Apa Mamamu yang menanti Papa di alam sana tak akan sedih? Melihat anaknya sudah pintar berbohong?" 

Winda tundukan kepala dan meminta maaf dengan nada pelan.

"Sekali lagi, ada apa?" desak Wirahadi.

"Mas Dendi dan Kak Wini datang ke sini untuk bicarakan perjodohan, Pa." Winda angkat kepalanya.

Wirahadi angkat alisnya.

"Aku sih tak masalah kalau mereka bicara tentang hal itu. Karena usiaku pun sudah cukup. Yang aku tak suka, aku terkesan dijual Pa. Dipaksa dengan iming-iming hidup bahagia karena duda kaya yang diniatkan jadi suamiku. Aku tak mau dipaksa. Ini bukan jaman paksa." Winda coba tenangkan diri, setelah sedikit emosi dalam berkata-kata tadi.

"Hmmm, tapi Papa rasa tak ada yang salah dengan penawaran Dendi serta Wini. Ya, bahagia bukan sekedar uang belaka. Ada banyak faktor X dan itu pun berbeda-beda setiap manusia dalam memandang arti kebahagiaan itu. Hanya dunia ini butuh uang untuk bertahan hidup." 

"Dengan kata lain, Papa menyuruh aku terima tawaran perjodohan Mas Dendi?" tanya Winda dengan nada tak suka.

"Jangan salah paham! Yang Papa maksud, kamu harus cari calon suami yang bukan hanya bermodal cinta. Cinta yang sama, yang bertujuan untuk bersama-sama belajar mengenal pemilik cahaya dan berjalan ke pemilik cahaya, itu harus jadi pondasi dasar pilihan kamu memilih suami."

Winda membisu.

"Lalu pria pilihanmu itu sebaiknya yang beradab baik, dari mana pun dia berasal. Memilik modal harta yang cukup agar setan tak menggoda dengan alasan kekurangan yang berpotensi putuskan tali pernikahan atau ke jurang perselingkuhan."

"Kalau begitu, pria yang miskin tak boleh menikah dong Pa?" 

"Papa tak berkata seperti itu bukan? Siapapun manusia di dunia ini berhak untuk menikah. Tapi menikah itu bukan hanya untuk sehari atau sebulan. Tak cukup hanya bermodal, oh aku cinta padamu, mari kita nikah! Yang perlu dilakukan itu, tanyalah pada diri, apa kita siap secara mental dan materi untuk menikah?"

Winda tak mau komentar.

"Ya, sudah. Tentang perjodohan yang Dendi tawarkan padamu, Papa tak akan ikut campur dengan memaksamu menerima itu. Hanya saja, kamu harus minta maaf secara tulus pada Dendi. Wajahnya saat pulang tadi mirip udang rebus. Papa tak mau di hari tua lihat kalian bertengkar." Wirahadi tepuk bahu Winda pelan.

*

Dendi hempaskan tubuhnya ke sofa ruang tamu. Kedua tangan terangkat dan ditaruh di belakang kepala. Matanya menatap langit-langit ruang.

Tak lama Wini masuk, dia tatap Dendi, lalu hela nafas dan bergegas menuju ke dalam rumah. Niatnya pergi ke dapur membuat minum untuk Dendi, sebagai penawar emosi suaminya itu agar bisa turun cepat.

"Adikmu kurang ajar! Cewek yang gak bisa lihat masa depan. Luki kaya dan dia bisa beri apa yang Winda mau!" ucap Dendi yang tatap Wini.

Wini berhenti, dia balik menatap Dendi.

"Kamu harus rayu Winda dengan cara apapun ya, Ni. Kalau Winda bisa menikah dengan Luki, kita juga yang untung, rumah bisa lunas dengan cepat!" Dendi tersenyum lebar.

"Sadar Mas! Winda itu bukan barang yang bisa dijual begitu saja. Dia punya hati, perasaannya sendiri. Kita gak boleh paksa dia sekedar untuk keuntungan pribadi. Selama ini kita masih mampu bayar cicilan rumah." Wini gelengkan kepala.

"Ah, sudah! Kakak dan adik sama saja, cuma bisa bikin kesal!" Dendi berdiri untuk segera pergi dari rumah.

*

Gadis itu terbangun dan saat dia sadar, dirinya  berdiri dengan kaki terbuka lebar dan kedua tangan mengembang ke atas. Yang dia tahu, dirinya terikat kedua tangan dan kakinya di atas ranjang kasur di kamar yang asing.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status