Share

Bab 7

Mata Rafan ketika menjatuhkan talak tadi sama sekali tidak menampilkan binar cinta. Sekali lagi aku mendesah dalam keputus-asaan. Biar saja talak satu jatuh, aku tidak akan berdiam diri di rumah.

Hati ini terlalu perih, luka merebak begitu cepat hingga air mata jatuh tanpa permisi. Aku memeluk diri sendiri, lalu berencana pergi ke rumah mertua untuk mengadu. Mereka pernah bilang bahwa jika Rafan melakukan kesalahan, baiknya datangi mertua dulu begitu pun sebaliknya.

Aku memesan taksi online tanpa berpikir panjang. Rafan tidak perlu tahu, lagi pula aku bukan lagi istrinya. Dalam perjalanan semua masalah sudah kuceritakan pada Mei via telepon. Ia marah bahkan ingin mendatangi Marsha dan memaki langsung.

"Jangan, Mei karena aku sudah diberi talak satu. Takutnya langsung ditalak tiga," lirihku.

"Jadi kamu mau dirujuk sama Rafan? Hidup bersama Marsha begitu?" 

Mendengar pertanyaan Mei membuat hati semakin merasakan luka. Aku harus menarik napas panjang dan mengembuskan kasar untuk melonggarkan dada yang terasa sesak. Taksi melaju semakin cepat sesuai keinginan karena ingin segera memeluk ibu mertua.

"Maaf, cinta belum sirna sekalipun talak sudah jatuh. Hati ini tidak pernah bisa kumanajemen." Aku menjawab dengan memberi seulas senyum meski Mei tidak melihat langsung.

"Aku tidak bisa kamu bohongi, Lin. Dari suara itu sudah ketebak sedang terluka. Kamu istirahat saja dulu."

"Iya, Mei," jawabku singkat, lalu menutup sambungan telepon. 

Sesampainya di rumah, aku langsung memeluk ibu. Untung saja tidak ada ayah. Beliau membawaku masuk ke kamar. Kami duduk saling berhadapan dengan memaksakan senyum.

"Ada apa, Lin?" tanya ibu memulai percakapan.

Aku menunduk. Kata-kata Rafan kembali terngiang dalam pikiran. Lelaki itu pasti tidak ada rasa menyesal, ia sibuk dengan istri barunya. Marsha, perempuan yang tidak malu merebut suami orang. Mungkin hatinya telah buta.

Kaki dan tangan sudah dingin, aku menelan saliva. Lidah seakan terkunci enggan menyampaikan maksud. Lagi, aku menunduk semakin dalam. Tangan ibu mengelus bahuku turun ke tangan dan memegangnya erat.

"Ada apa?" Ibu mengulangi pertanyaannya.

"R-rafan menceraikanku, Bu," isakku, "talak satu."

"Apa?" Ibu memegang daguku dan mengangkatnya hingga mata kami saling beradu. Ada luka di manik mata yang indah itu. Aku jadi merasa bersalah karena datang mengadu apalagi dalam masa iddah yang harusnya menunggu di rumah.

Jika saja ada ibu bertanya tentang keinginan hati yang sebenarnya, pasti aku tidak akan mengelak kalau cinta itu masih bertahta sekalipun luka enggan menepi bahkan semakin memenuhi ruang dalam hati. Air mata diseka ibu, aku mengukir senyum penuh luka.

"Ibu, aku rindu Rafan," lirihku menenggelamkan diri dalam pelukan ibu. "Entah kenapa ia bisa berubah seperti itu. Aku rindu, Bu."

"Sepertinya masalah semakin rumit, ibu akan menelepon Rafan dan memintanya datang ke sini."

Aku hanya menunduk, lalu menceritakan semua unek-unek. Jika masalah juga duka dipendam sendiri, pasti tidak akan menemukan solusi. Musyawarah itu perlu. Apa pun keputusan Rafan di depan orangtuanya, aku ikhlas. Tepatnya berusaha ikhlas.

Saat malam menyapa, aku meraih ponsel yang berdering. Rupanya itu dari Rafan. Tanpa berpikir panjang, ponsel aku dekatkan ke telinga dan terhubung otomatis. Debar-debar dalam dada tak ubahnya pacuan kuda yang saling berkejaran.

"Kamu di mana?" 

"Di rumah, Fan. Nanti saja bicaranya, aku mau tidur."

"Di rumah ibu, kan? Aku tahu, tadi ibu meneleponku."

Aku tersenyum miris, lalu mematikan ponsel. Tidak lama kemudian merebahkan diri di tempat tidur sambil memijit pelipis berharap malam berlalu begitu cepat. Rasa dilema menguasai diri, aku ingin mati saja.

***

"Aku merujukmu, Putri Raline." Ucapan Rafan yang masih berdiri di ambang pintu membuatku terkejut. Kaki melangkah mundur, lalu berlari masuk kamar.

"Raline!" panggil Rafan memegang pundakku yang sedang memeluk bantal guling memunggunginya. 

"Kenapa kamu merujukku?" Isakan kecilku mulai terdengar.

Tanpa kusangka, lelaki pengkhianat itu memeluk dari belakang. Aku ingin meronta, tetapi terlalu nyaman. Ketika hati dan pikiran tidak sejalan, tentu akan menyakiti diri sendiri.

"Aku masih mencintaimu, Lin. Kenangan di awal kita bertemu dan menikah masih tersentuh di memori."

"Hentikan omong kosongmu, Fan! Aku tahu ini hanya sandiwara karena sedang di rumah ibu, kan?" Suaraku terdengar berat.

Sekarang status berubah jadi istri Rafan lagi. Lelaki itu pikir pernikahan hanyalah permainan yang bisa ditinggal atau dijalani seenak hati. Miris sekali karena mendapat suami sepertinya padahal masih banyak lelaki yang jauh lebih baik. Beruntung ada mertua yang menganggapku putri kandung.

Ketukan di pintu membuat kami tersentak. Mungkin itu ibu yang baru datang, tadi memang hanya aku sendiri di rumah. Sementara ayah, ia ada urusan penting. Rafan bertanya dengan suara pelan, "ibu sudah tahu?" Aku hanya menggeleng, lalu beranjak menuju pintu.

"Ada apa, Bu?" tanyaku seraya mengedipkan mata sebelah kiri agar ibu pura-pura tidak tahu masalah.

"Rafan sudah datang?"

"Iya, Bu." Rafan yang menjawab, tiba-tiba ia merangkulku.

"Kalau begitu makan dulu." Ibu pun berlalu. Sementara Rafan, ia memutar tubuhku menghadapnya. Mata itu sama sekali belum menampakkan binar cinta.

"Suka atau tidak, tetap saja sekarang kamu itu istriku!" tekannya.

Komen (29)
goodnovel comment avatar
Septy Hadiana Wahyunizzar
bucin amat ch jdi cewe ,udah di talak juga masa masih mau udah di hianati jga
goodnovel comment avatar
Rini Efendi
aneh mtk cerai udah dicerai msh menyerahkan keputusan pd mantan
goodnovel comment avatar
Uyik Fitriah
goblok bener sih jadi perempuan, jadi geregetan deh...jadi males bacanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status