Share

Bab 7

Author: Bintu Hasan
last update Last Updated: 2022-02-12 10:59:04

Mata Rafan ketika menjatuhkan talak tadi sama sekali tidak menampilkan binar cinta. Sekali lagi aku mendesah dalam keputus-asaan. Biar saja talak satu jatuh, aku tidak akan berdiam diri di rumah.

Hati ini terlalu perih, luka merebak begitu cepat hingga air mata jatuh tanpa permisi. Aku memeluk diri sendiri, lalu berencana pergi ke rumah mertua untuk mengadu. Mereka pernah bilang bahwa jika Rafan melakukan kesalahan, baiknya datangi mertua dulu begitu pun sebaliknya.

Aku memesan taksi online tanpa berpikir panjang. Rafan tidak perlu tahu, lagi pula aku bukan lagi istrinya. Dalam perjalanan semua masalah sudah kuceritakan pada Mei via telepon. Ia marah bahkan ingin mendatangi Marsha dan memaki langsung.

"Jangan, Mei karena aku sudah diberi talak satu. Takutnya langsung ditalak tiga," lirihku.

"Jadi kamu mau dirujuk sama Rafan? Hidup bersama Marsha begitu?" 

Mendengar pertanyaan Mei membuat hati semakin merasakan luka. Aku harus menarik napas panjang dan mengembuskan kasar untuk melonggarkan dada yang terasa sesak. Taksi melaju semakin cepat sesuai keinginan karena ingin segera memeluk ibu mertua.

"Maaf, cinta belum sirna sekalipun talak sudah jatuh. Hati ini tidak pernah bisa kumanajemen." Aku menjawab dengan memberi seulas senyum meski Mei tidak melihat langsung.

"Aku tidak bisa kamu bohongi, Lin. Dari suara itu sudah ketebak sedang terluka. Kamu istirahat saja dulu."

"Iya, Mei," jawabku singkat, lalu menutup sambungan telepon. 

Sesampainya di rumah, aku langsung memeluk ibu. Untung saja tidak ada ayah. Beliau membawaku masuk ke kamar. Kami duduk saling berhadapan dengan memaksakan senyum.

"Ada apa, Lin?" tanya ibu memulai percakapan.

Aku menunduk. Kata-kata Rafan kembali terngiang dalam pikiran. Lelaki itu pasti tidak ada rasa menyesal, ia sibuk dengan istri barunya. Marsha, perempuan yang tidak malu merebut suami orang. Mungkin hatinya telah buta.

Kaki dan tangan sudah dingin, aku menelan saliva. Lidah seakan terkunci enggan menyampaikan maksud. Lagi, aku menunduk semakin dalam. Tangan ibu mengelus bahuku turun ke tangan dan memegangnya erat.

"Ada apa?" Ibu mengulangi pertanyaannya.

"R-rafan menceraikanku, Bu," isakku, "talak satu."

"Apa?" Ibu memegang daguku dan mengangkatnya hingga mata kami saling beradu. Ada luka di manik mata yang indah itu. Aku jadi merasa bersalah karena datang mengadu apalagi dalam masa iddah yang harusnya menunggu di rumah.

Jika saja ada ibu bertanya tentang keinginan hati yang sebenarnya, pasti aku tidak akan mengelak kalau cinta itu masih bertahta sekalipun luka enggan menepi bahkan semakin memenuhi ruang dalam hati. Air mata diseka ibu, aku mengukir senyum penuh luka.

"Ibu, aku rindu Rafan," lirihku menenggelamkan diri dalam pelukan ibu. "Entah kenapa ia bisa berubah seperti itu. Aku rindu, Bu."

"Sepertinya masalah semakin rumit, ibu akan menelepon Rafan dan memintanya datang ke sini."

Aku hanya menunduk, lalu menceritakan semua unek-unek. Jika masalah juga duka dipendam sendiri, pasti tidak akan menemukan solusi. Musyawarah itu perlu. Apa pun keputusan Rafan di depan orangtuanya, aku ikhlas. Tepatnya berusaha ikhlas.

Saat malam menyapa, aku meraih ponsel yang berdering. Rupanya itu dari Rafan. Tanpa berpikir panjang, ponsel aku dekatkan ke telinga dan terhubung otomatis. Debar-debar dalam dada tak ubahnya pacuan kuda yang saling berkejaran.

"Kamu di mana?" 

"Di rumah, Fan. Nanti saja bicaranya, aku mau tidur."

"Di rumah ibu, kan? Aku tahu, tadi ibu meneleponku."

Aku tersenyum miris, lalu mematikan ponsel. Tidak lama kemudian merebahkan diri di tempat tidur sambil memijit pelipis berharap malam berlalu begitu cepat. Rasa dilema menguasai diri, aku ingin mati saja.

***

"Aku merujukmu, Putri Raline." Ucapan Rafan yang masih berdiri di ambang pintu membuatku terkejut. Kaki melangkah mundur, lalu berlari masuk kamar.

"Raline!" panggil Rafan memegang pundakku yang sedang memeluk bantal guling memunggunginya. 

"Kenapa kamu merujukku?" Isakan kecilku mulai terdengar.

Tanpa kusangka, lelaki pengkhianat itu memeluk dari belakang. Aku ingin meronta, tetapi terlalu nyaman. Ketika hati dan pikiran tidak sejalan, tentu akan menyakiti diri sendiri.

"Aku masih mencintaimu, Lin. Kenangan di awal kita bertemu dan menikah masih tersentuh di memori."

"Hentikan omong kosongmu, Fan! Aku tahu ini hanya sandiwara karena sedang di rumah ibu, kan?" Suaraku terdengar berat.

Sekarang status berubah jadi istri Rafan lagi. Lelaki itu pikir pernikahan hanyalah permainan yang bisa ditinggal atau dijalani seenak hati. Miris sekali karena mendapat suami sepertinya padahal masih banyak lelaki yang jauh lebih baik. Beruntung ada mertua yang menganggapku putri kandung.

Ketukan di pintu membuat kami tersentak. Mungkin itu ibu yang baru datang, tadi memang hanya aku sendiri di rumah. Sementara ayah, ia ada urusan penting. Rafan bertanya dengan suara pelan, "ibu sudah tahu?" Aku hanya menggeleng, lalu beranjak menuju pintu.

"Ada apa, Bu?" tanyaku seraya mengedipkan mata sebelah kiri agar ibu pura-pura tidak tahu masalah.

"Rafan sudah datang?"

"Iya, Bu." Rafan yang menjawab, tiba-tiba ia merangkulku.

"Kalau begitu makan dulu." Ibu pun berlalu. Sementara Rafan, ia memutar tubuhku menghadapnya. Mata itu sama sekali belum menampakkan binar cinta.

"Suka atau tidak, tetap saja sekarang kamu itu istriku!" tekannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (30)
goodnovel comment avatar
Norazizan Hussain
heroin nya lemah..malas baca
goodnovel comment avatar
Septy Hadiana Wahyunizzar
bucin amat ch jdi cewe ,udah di talak juga masa masih mau udah di hianati jga
goodnovel comment avatar
Rini Efendi
aneh mtk cerai udah dicerai msh menyerahkan keputusan pd mantan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PEREMPUAN MASA LALU   Bab 60

    POV AUTHORBaru saja selesai mandi, Raline merasakan nyeri di bagian pinggangnya. Dia memanggil Rafan dengan suara sangat lemah. Beruntung lelaki itu memang berada di depan kamar. Melihat sang istri kesakitan, dia langsung membopongnya."Kenapa, Sayang?" tanya Rafan khawatir."Sakit, Fan. Kayaknya udah mau lahiran deh!" pekik Raline sambil memejamkan mata. Dia benar-benar lemah.Rafan dengan gerak cepat membawa sang istri ke mobil. Di depan dia bertemu sahabatnya. "Raline mau lahiran, kalian tolong bawa perlengkapan, susul segera!""Oke, Fan!" Mei dan Farah melangkah cepat sementara mobil yang membawa Raline sudah meninggalkan halaman rumah. Ibu Raline memilih tidak ikut karena terlalu takut. Dia berdoa di rumah saja.Setibanya di rumah sakit tepat di ruang persalinan setelah tiga jam menunggu, Raline mengalami kontraksi hebat. Para perawat dan bidan yang sejak tadi menunggu mulai mengecek pembukaan.Sementara di ruang tunggu, Farah d

  • PEREMPUAN MASA LALU   Bab 59

    Mentari pagi telah menyapa begitu hangat. Hujan tadi malam menyisakan genangan yang berangsur hilang. Aku jalan-jalan pagi di depan rumah sambil melafazkan zikir untuk perlindungan dari mata jahat.Sepagi ini pula Rafan menyalakan mesin motor dan melajukan menuju pasar karena harus membeli tiga potong ayam ukuran jumbo. Mei dan Farah itu raja makan sehingga kalau dua potong saja tidak akan cukup.Tidak lupa aku menitip beberapa cemilan juga pada Rafan karena ingat pada Salsa. Ah, bukan sepenuhnya pada anak Mei itu tetapi juga ibu dan sahabat ibunya.“Olaraga, Bu?”Aku menoleh, rupanya itu Diva dan Sita. Baru kali ini aku melihat Diva memakai gamis dan jilbab panjang.“Iya.”“Kamu gak nanya aku mau ke mana?”“Enggak.”“Meski gak nanya aku tahu kamu kepo, Lin. Aku sebenarnya lagi jogging ngikutin calon suami. Ya sudah, bye!”Aku memutar bola mata malas, sungguh ti

  • PEREMPUAN MASA LALU   Bab 58

    “Jika sabar itu ada ujungnya, mungkin aku telah menjauh dari sumber luka. Jika sabar itu tidak berbuah surga, maka tidak mungkin aku terus bermain dalam taman penuh luka. Pun jika sabar menghadapi cobaan bukan bagian dari titah dalam agamaku, maka aku akan berlari dari takdir.”—Putri Raline.***Seperti hari-hari sebelumnya aku hanya bisa banyak bergerak di depan rumah. Rafan membuka toko lebih pagi karena ada Ibu yang membantu kami mengurus rumah. Tidak ada agenda jalan-jalan seperti pasangan pada umumnya.Dulu kami selalu menanti weekend, sekarang semua hari pun sama saja. Tidak harus liburan ke luar juga karena kondisi yang tidak memungkinkan. Ibu hamil sebaiknya banyak di rumah dan olahraga kecil agar proses lahiran lancar.Matahari sudah semakin menyengat, aku kembali masuk dalam kamar karena keringat sudah sedikit membasahi tubuh. Aku langsung masuk kamar mandi agar tubuh segar lagi.Setelah mandi dan mengenakan daster ukura

  • PEREMPUAN MASA LALU   Bab 57

    “Percayalah! Beratnya memaafkan bukanbesarnya kezhaliman orang kepadamu, melainkan hatimu yang kurang luas untuk menampung semua beban.Kala hatimu lapang, kesalahan orang hanyalah warna-warna gelap yang justru memperkaya lukisan di kanvas kehidupanmu.”—S.Aminah Al Attas***“Ibu bahas apa saja sama Rafan?” tanyaku saat Ibu tengah mencuci piring bekas makan tadi.“Ibu bahas semua yang kamu ceritakan. Kenapa memangnya?”“Rafan belum mengajak kamu ngobrol semalam?” tanya Ibu lagi setelah hening dua menit. Ia ikut duduk di kursi meja makan.“Belum, Bu. Aku pura-pura tidur karena mau tahu dulu Ibu bahas apa saja.”Ibu hanya tersenyum, lalu memintaku menyusul Rafan dalam kamar. Tanpa menunggu waktu lagi kaki menuntun diriku masuk kamar.Aku meraih gagang pintu dan membuka perlahan. Rafan terlihat duduk di kursi rias seperti sedang latihan drama atau entahlah.

  • PEREMPUAN MASA LALU   Bab 56

    Jam sepuluh pagi aku baru selesai mandi karena lepas salat subuh tadi ketiduran. Bagaimana tidak tidur, sepanjang malam begadang karena jadi langganan kamar kecil.Setelah makan, aku melangkah pelan ke toko menghampiri Rafan. Butuh beberapa menit baru sampai, ternya sedang sepi. Mungkin baru pulang atau entah.Dari dalam muncul Diva sambil tersenyum manis. “Rafan, sejak kapan ....”“Anu tadi, an–”“Tadi ke sini karena ada satu hal. Kalau begitu aku pulang dulu, ya.”“Fan, jangan lupa. Siang atau sore nanti aku balik,” tambah Diva, lalu melenggang pergi.Aku diam menantikan penjelasan. Namun, lelaki itu hanya bisa menunduk. Entahlah, aku tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya.“Assalamualaikum.”Aku menoleh pada pemilik suara itu. Ia tersenyum, di kantong mata dan beberapa bagian wajahnya tergambar keriput.“Waalaikumussalam, Ibu,&rdqu

  • PEREMPUAN MASA LALU   Bab 55

    [Kamu ke sana jam berapa, Lin?]Pesan WhatsApp pribadi yang dikirim Mei subuh tadi baru aku baca setelah hampir pukul delapan pagi.[Jam delapan, insya Allah, Mei. Kamu sama siapa?][Nebeng sama sepupu. Kebetulan ia mau keluar dan lewatin rumah Farah.][Oke, kalau begitu kita ketemu di sana saja.][Sip.]Aku meletakkan ponsel dan melangkah ke cermin. Sudah bagus dengan make up minimalis. Untung saja Farah ingat kalau aku sedang hamil tua jadi diberi baju ukuran jumbo.Rafan pun telah siap, aku gegas mengambil tas kecil berwarna putih, lalu melangkah ke luar bersama Rafan. Diva berdiri setelah melihat kami.Sejak pukul enam pagi tadi ia sudah ada di sini. Entah ia mandi sebelum subuh atau entahlah. Make up ia poles di ruang tamu, bahkan jilbabnya sekalian. Ia benar-bemar tidak ingin ketinggalan.Aku jadi semakin penasaran seperti apa rupa calon suaminya. Ia memakai dress warna silver untung saja tidak senada dengank

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status