Geo menunggu dengan gelisah di kamarnya. Baru sejam yang lalu dia tiba dari kantor. Dalam pesannya, Cindy bilang kalau dia pun sudah berada di taksi menuju rumah tunangannya itu. Ini benar-benar situasi yang tidak menyenangkan bagi Geo.Entah sudah berapa kali dia mondar mandir di dalam kamarnya itu. Mencoba menata kalimat yang nanti akan dia katakan pada kekasihnya saat dia datang. Bagaimana agar Cindy tidak marah dan melakukan perbuatan nekat seperti biasanya saat dia memutuskannya.Walaupun mamanya telah berkata padanya bahwa dia punya rencana untuk mengatasi Cindy, tetap saja Geo belum yakin semua itu akan berhasil. Cindy itu cerdas. Licik, lebih tepatnya. Dia bisa membuat orang lain melakukan apa saja yang dia mau, sementara dia sendiri adalah orang yang tidak bisa dikendalikan. Bagi kehidupan Geo, Cindy adalah seorang pengendali."Kak, ngapain sih mondar mandir gitu?"
Adrian mengajakku memasuki ruangan rapat termewah di kantor almarhum papa. Biasanya ruangan ini memang hanya digunakan untuk rapat-rapat penting direksi.Saat kami datang, semuanya sudah berkumpul disana duduk melingkari meja. Semua petinggi perusahaan telah hadir, termasuk juga Geo, suamiku, yang telah duduk di tempatnya biasa. Di samping kursi direktur utama.Tatapan mata Geo sedikit heran saat melihatku datang bersama Adrian. Ada raut tidak suka disana. Apalagi saat Adrian ternyata juga ikut berada di dalam rapat.Sebenarnya bukan cuma Geo, aku pun sungguh keheranan. Harusnya, jika dia hanya seorang asisten yang ditunjuk papa untuk membimbingku, dia tidak akan selancang dan seberani ini mengikuti rapat. Namun bahkan sampai detik ini pun aku tak pernah tahu siapa sebenarnya dia?Dan nampaknya semua orang juga sedikit bertanya-tanya mengenai hal itu. Apalagi s
"Kita satu ruangan, Sayang," kata lelaki itu sambil berlalu meninggalkanku yang terbengong keheranan."Adrian, apa-apaan Kamu?"Aku mengejar lelaki itu sampai ke mejanya."Kamu jangan kurang ajar, Adrian!" Aku meraih tubuh Adrian dan kuputar paksa tubuh tegapnya itu sampai menghadap ke arahku. Kulihat dia justru memutar dua bola matanya, menyunggingkan senyum yang sangat menyebalkan padaku."Ada apa?" tanyanya santai."Sekarang Kamu jelaskan padaku, sebenarnya kamu itu siapa? Dan apa maksudmu melakukan semua ini? Kamu sudah tau tentang semuanya ini kan? Tentang rapat tadi? Semua yang ada dalam surat wasiat papa?" Kucecar dia dengan banyak pertanyaan.Lama Adrian tak menjawab. Matanya hanya menatapku tak berkedip. Hingga akhirnya dia menunjuk ke kursi di depan meja kerjanya.
"Aku nggak bisa meninggalkan Alma sekarang, Cin," kata lelaki tampan dengan kemeja linen mahal berwarna putih itu, menoleh ke arah wanita di sampingnya. "Kenapa? Apa Kamu mau bilang bahwa Kamu sudah jatuh cinta pada wanita itu sekarang?" tanya wanita cantik dengan rambut ikal panjang dan pakaian kerja seksi di sebelahnya. "Bukan begitu, Cindy ...." Sepertinya lelaki itu berusaha menjelaskan sesuatu, tapi merasa begitu putus asa karena si wanita tidak juga mau memahaminya. "Saat ini Alma sedang berkabung karena kepergian ayahnya. kamu tau itu kan? Aku kasian padanya." "Itu bukan alasan, Geo. Apa Kamu mau bilang bahwa sekarang Kamu tidak peduli dengan hartanya saja, tapi juga orangnya? Lihat dirimu sakarang, Ge. Setelah ayahnya mati, bahkan Kamu masih hanya duduk di posisi sebagai manajer. Mimpimu untuk menjadi direktu
"Kamu jangan macam-macam ya. Jangan mentang-mentang kamu direktur di sini lalu Kamu jadi kurang ajar sama saya. Keluar dari ruangan istri saya!" Geo sedikit emosi dengan tingkah Adrian yang menurutnya keterlaluan itu."Istri Anda? Anda yakin? Bukannya istri Anda ada di ruangan Anda sekarang, Pak Geo?"Adrian tersenyum remeh melihat wajah Geo yang mendadak berubah merah padam dengan pernyataan terakhirnya."Adrian! Tolong tinggalkan kami berdua," kata Alma tiba-tiba. Wanita itu sudah berjalan mendekatinya. Nampak sekali bahwa dia tidak suka Adrian mencampuri urusan kehidupan rumah tangganya.Adrian menoleh ke arahnya. Menatap Alma dengan pandangan bertanya."Tolong tinggalkan kami berdua. Jangan suka mencampuri urusan pribadi orang lain!" Alma menatap tajam ke matanya.Entah apa yang sed
Aku baru ingin meninggalkan rumah menuju kantor setelah berpamitan dengan mama, saat seseorang tergesa-gesa masuk ke dalam rumah di dikejar oleh Pak Kardi, satpam yang berjaga pagi itu di depan rumah kami."Mama?!" pekikku. Wanita yang masih kukenali sebagai mama mertuaku itu, mama Tia, setengah berlari ke arahku dan mamaku menghindari kejaran Pak Kardi."Maaf Bu, saya sudah berusaha mencegahnya, tapi Bu Tia nekat masuk," kata Pak Kardi memegangi mama mertuaku itu, mencegahnya mendekat ke arahku dan mama."Mama mau apa kemari?" tanyaku."Mama ingin menjelaskan sesuatu pada Kamu, Alma. Tolong dengarkan mama. Mama tidak berniat jahat. Jeng Airin, mohon dengarkan saya, Jeng," kata Mama Tia mulai mengoceh."Memangnya apa yang mau mama jelaskan?" tanyaku acuh tak acuh."Geo ... Geo tidak bersalah, Alma. Tolong maaf
Ada seseorang yang bertepuk tangan ketika aku membuka pintu ruanganku. Dan tanpa melihat pun aku sudah tahu siapa orang yang melakukan itu."Bagus, Ibu Direktur. Rapat sepuluh menit lagi dimulai dan Anda baru muncul di kantor," kata suara sinis itu.Tentu saja itu adalah suara Adrian. Siapa lagi orang yang berani mengolok-olok seorang pemilik perusahaan dengan sindiran seperti itu.Saat akhirnya aku berada di dalam ruangan, kulihat dia sedang berdiri menghadap pintu bersandar pada meja kerjaku, sementara tangannya masih juga dalam posisi semula, ditepuk-tepukkan seolah sedang menyambut kedatanganku.Tanpa menghiraukannya, aku segera menuju ke meja kerjaku. Menyiapkan laptop dan berkas-berkas yang kami perlukan untuk rapat kali ini."Kenapa sih, kamu tidak pernah mau mendengarkan perkataanku?" Dia membalikkan badannya menghadapku. Da
Rumah bergaya arsitekstur eropa kuno itu nampak sudah sangat sepi saat Adrian memarkirkan mobilnya di halaman. Saat Adrian kecil, dia sangat senang bermain di halaman rumah yang dulunya terlihat sangat asri dengan tanaman-tanaman bunga yang indah disana. Tapi itu dulu, saat ibunya masih ada, saat usia Adrian sekitar 10 tahun.Setelah papanya mengalami kebangkrutan, perusahaannya ambruk akibat persaingan bisnis yang katanya justru dilakukan oleh sahabatnya sendiri, mama Adrian jatuh sakit. Dan sejak itulah, tak ada lagi tawa keceriaan di rumah itu. Yang tersisa hanya tangisan dan kesepian.Adrian masih ingat saat satu per satu pekerja-pekerja di rumahnya harus diberhentikan karena papanya sudah tidak sanggup lagi membayar upah mereka. Dan akhirnya rumah itu menjadi sangat gersang, tidak terawat. Apalagi saat mamanya akhirnya harus dilarikan ke rumah sakit dan dirawat disana selama berbulan-bulan. Adrian merasa it