Share

BANGKIT UNTUK PAPA

Perih hati manyaksikan gambar dua insan yang sangat mesra itu di layar ponselku. Apalagi salah satunya adalah suamiku. Sepertinya mataku mulai panas menahan air mata yang terus mendesak ingin bergulir. 

 

Jadi semua kecurigaanku selama ini benar adanya. Bukan hanya sekedar perasaanku yang terlalu peka. Mereka berdua sebenarnya bukan pasangan kakak dan adik angkat seperti yang diakui oleh Geo dan keluarganya. Tapi, mungkinkah mereka adalah pasangan suami istri? Jika bukan, lalu kenapa mereka harus tinggal dalam satu atap?

 

Aku tak bisa lagi menahan diri. Semuanya harus jelas sekarang. Bukan saatnya lagi aku dan keluargaku dibodohi oleh orang-orang yang tidak tahu diri itu.

 

Saat aku tiba tiba bangkit hendak menuju ke ruangan Geo, Adrian yang sedang berada di meja kerjanya nampak kaget.

 

"Ada apa?" tanyanya cemas. Mungkin saat ini mukaku kelihatan begitu menyeramkan hingga dia memandangku begitu serius. Namun aku sama sekali tak menggubrisnya. 

 

Tanpa berkata apapun, aku langsung berjalan ke pintu dan keluar menuju ruangan Geo. Dan Adrian kulihat segera mengikuti di belakangku. Namun, saat sampai di koridor penghubung ruanganku dan ruangan Geo, tiba-tiba seorang petugas keamanan datang tergopoh-gopoh dari ujung koridor. 

 

"Bu Alma!!" Panggilnya dengan nada sangat cemas. Aku dengan kemarahanku yang sedang memuncak dan ingin segera kulampiaskan pada suamiku itu terpaksa berhenti. Adrian yang di belakangku pun tak ayal ikut berhenti. 

 

"Ada apa?" tanya Adrian setelah petugas keamanan itu mendekat. 

 

"Pak Dewo, Bu, beliau baru saja dilarikan ke rumah sakit, tadi tiba-tiba ambruk waktu di lobby! 

 

"Apa??!!! Papa kenapa?" Aku panik. Duniaku menjadi gelap seketika demi mendengar kalimat yang terlontar dari mulut salah seorang staf keamanan itu. Dan kurasa saat ini tubuhku mulai limbung. Adrian yang berdiri tak jauh dariku dengan sigap segera  menangkapku yang nyaris ambruk.

 

"Al, tenang. Kita susul ke rumah sakit. Kamu nggak papa kan?" tanyanya. Aku mengangguk. Lalu dia segera menggandengku untuk berjalan mengikuti si satpam. 

 

Sementara itu dari arah belakang kudengar suara langkah-langkah kaki tergesa yang menyusul kami.

 

"Al! Alma!... Ada apa, Sayang?" Saat aku menoleh Geo dan Cindy ternyata sedang setengah berlari menuju ke arah kami. Geo bergegas menghampiriku dan menyingkirkan tangan Adrian yang berada di pundakku. 

 

"Ada apa?" tanyanya lagi dengan cemas. Wajahnya memindai wajahku yang mungkin saat ini sedang pucat pasi. Tapi kemarahanku padanya yang tadi sempat tertunda tiba-tiba muncul kembali saat melihat mereka berdua. Bayangan kemesraan mereka berdua di layar ponselku tadi muncul kembali di pelupuk mata. Segera kutepis tangannya yang saat ini menempel di bahuku, yang membuatnya begitu kaget. 

 

"Apa pedulimu? Urus saja dia!!" kataku setengah berteriak sambil menunjuk ke arah sekretarisnya dengan daguku. Aku rasa perasaanku padanya sudah tidak bisa ditutup-tutupi lagi. 

 

"Kamu kenapa sih Al?"

 

Aku tak menghiraukan pertanyaannya yang kebingungan dengan sikapku yang mungkin menurutnya berubah menjadi aneh. Segera saja aku melangkah meninggalkan mereka menuju lift. Kondisi Papa lebih penting daripada mengurusi manusia-manusia ini.

 

***

 

Dari kecil aku tak pernah merasakan kekurangan, baik itu materi maupun kasih sayang. Sebagai anak tunggal aku juga belum pernah merasa kehilangan yang begitu besar. 

 

Sungguh tak pernah disangka kejadiannya akan secepat ini. Menunggui Papa di rumah sakit selama beberapa jam dengan perasaan kacau bersama Mama, Geo, Adrian, dan beberapa staf kantor yang mengantar Papa ke rumah sakit, akhirnya kenyataan pahit harus kuhadapi saat dokter mengatakan pada kami bahwa Papa sudah tidak bisa diselamatkan. Beliau terkena serangan jantung saat sedang berada di lobby kantor hendak menunggu sopirnya menjemput.

 

Kondisi kesehatan Papa memang tidak begitu baik beberapa tahun belakangan. Beberapa kali harus keluar masuk rumah sakit dengan keluhan berbagai macam penyakit tuanya. Mungkin untuk itulah kenapa beliau ingin cepat-cepat menikahkanku dengan Geo waktu itu.

 

Kejadian ini begitu memukulku dan Mama. Kehilangan Papa pada saat situasi keruwetan yang sedang terjadi di dalam rumah membuat kami sangat shock. Dunia tiba-tiba menjadi begitu menakutkan di depanku saat ini. Bagaimana aku dan mama harus menjalani kehidupan kami tanpa Papa setelah ini? Sanggupkah aku melanjutkan amanat yang papa beri ke aku malam itu saat kami sedang berbincang di tepi kolam renang? 

 

Mengingat begitu besarnya harapan papa padaku untuk melanjutkan perusahaan yang dia tinggalkan membuatku menjadi kehilangan kewarasan. Untuk menyelamatkan perusahaan dari penyusup-penyusup yang tiba-tiba datang dalam kehidupan keluarga kami, apakah aku sanggup?

 

Aku dan Mama tak bisa berhenti menangis saat prosesi pemakaman papa berlangsung. Bahkan beberapa kali kami jatuh pingsan menangisi kepergian papa yang begitu tiba-tiba. Bahkan untuk sekedar menerima jabat tangan dari para kerabat dan rekan pun kami tak sanggup waktu itu. Sekarang kami berdua adalah dua wanita lemah yang selama ini hanya bergantung hidup sepenuhnya pada papa. 

 

Keterpurukan kami sangat dalam, hingga beberapa hari berikutnya aku bahkan tak sanggup melakukan apapun. 

 

Dan sudah lebih dari seminggu sejak kepergian Papa, aku masih saja betah berdiam diri di dalam kamar. Bahkan aku seperti telah melupakan begitu saja kemarahan yang ingin kulampiaskan pada Geo waktu itu. Kesedihan ini benar-benar memporak porandakan kehidupanku. 

 

Seperti pagi ini pun suasana tetap sama. Geo sudah berangkat ke kantor setelah mencium keningku yang masih tak mau bergeming di ranjang empukku. Beberapa saat kemudian tiba tiba Lastri datang memberitahu bahwa mama menyuruhku turun karena ada tamu yang ingin bertemu. 

 

Dengan malas aku menuruti juga Lastri menuruni tangga. Sedikit kaget saat aku melihat Adrian ternyata sudah ada di kamar tamu berbincang bersama mama. 

 

"Hai Al, kamu sehat kan?" tanyanya saat melihatku datang. 

 

Al? Dia memanggilku Al? Panggilan yang menurutku sedikit aneh, karena seharusnya 'Bu Alma'.

 

"Duduk sini, Al," titah mama menepuk bantalan sofa disampingnya. Kondisi mama memang sudah lebih baik dariku sejak beberapa hari belakangan. 

 

"Ada apa?" tanyaku keheranan. 

 

"Hari ini kamu harus kembali ke kantor." 

 

"Untuk apa?"

 

"Penunjukanmu sebagai direktur utama yang baru tidak bisa ditunda lagi, Al. Harus dilakukan secepatnya," kata Adrian. Aku mengedikkan bahu tanda 'entahlah'.

 

"Adrian benar, Al. Kamu harus cepat kembali ke kantor. Tadi Adrian sudah menceritakan semuanya pada Mama. Semuanya yang pernah diceritakan almarhum papa kamu padanya tentang Geo. Jadi hanya kamu sekarang yang bisa menyelamatkan aset papa, Nak." Kali ini mama yang berbicara. 

 

Mereka berdua kemudian berkata panjang lebar mencekokiku dengan semangat seperti yang dulu pernah dikatakan papa padaku. Malam itu, di tepi kolam renang. 

 

"Aku sudah berjanji pada papamu untuk membantumu. Aku akan berada di sampingmu untuk mendukungmu. Kamu jangan khawatir," kata Adrian, tapi itu justru malah membuatku tertawa.

 

"Kamu ini sebenarnya siapa? Kenapa aku harus percaya bahwa kamu bisa membantu kami?" Dahiku berkerut sambil terus menatap lelaki di depanku itu dengan sangat heran karena rasa percaya dirinya  yang menurutku berlebihan.

 

"Al, kamu tidak perlu mempertanyakan siapa Adrian. Yang jelas papa percaya padanya. Jadi kita pun harus mempercayainya. Mama juga tahu kok siapa Adrian. Kamu harus percaya. Oke?" Begitu kata mama menjawab semua pertanyaanku. Sementara Adrian sendiri tak berkata apapun kecuali hanya anggukan dan ulasan senyum.

 

Dan akhirnya, mau tak mau aku memang harus bangkit demi menyelamatkan apa yang sudah puluhan tahun diperjuangkan oleh papa dalam kehidupannya. Alma Syafa Katharina ... tidak akan lagi menjadi wanita bodoh dan penurut yang mudah dibodohi mulai hari ini. 

 

 

***

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status