"Ehm, entahlah." Jazli nampak ragu, dia mengendikkan bahu. "Banyak yang kami simpan, Mas. Satu-satunya jawaban akurat hanya dimiliki oleh adikku," ujarnya dengan mimik wajah sendu.Andaru tidak dapat memaksa, betul apa yang dikatakan sang kakak ipar. Kesediaan Yara untuk membuka lukanya perlahan adalah jawaban atas semua ini. Pimpinan Garvi sekalian pamit pada keluarga Yara sebab akan pulang ke Jakarta malam nanti. Dia berencana mampir ke pusara almarhum ayah mertuanya sebelum kembali ke hotel. Bada duhur, Andaru tiba di kamarnya. Dia melihat Yara bergumul dengan selimut, tak semangat seperti biasa. Dini mengatakan bahwa nyonya muda Garvi hanya tiduran di kasur sejak mereka pergi.Dia pun duduk di sisi ranjang, menepuk kaki istrinya dari atas selimut. "Ra, mau jalan?" tawar Andaru.Saat ini, dia mengesampingkan ego, tidak lagi memedulikan gengsi untuk sekedar membagi perhatian kecil. Andaru menggoyangkan pelan betis Yara. "Jajan atau nonton? yuk," imbuhnya."Engh?" Yara menoleh sejen
"Aku temani," ucap Andaru, duduk disamping Yara dan menahan pinggangnya ketika dia hendak bangkit menghindar.Yara memiringkan tubuh menghadap sang suami. "Aku capek, Pak," tandas Yara melotot hingga matanya kian bulat, lalu berganti lirikan tajam ke arah wanita bersetelan formal yang duduk di hadapan mereka. "Lagian sudah malam," bisiknya seraya mengetatkan gigi."Aku ngerti, tapi beliau sudah nunggu kamu, Sayang," tegas Andaru, membuka telapak tangannya menunjuk pada sang terapis. "Sebentar saja untuk malam ini, oke?" bujuknya dengan nada manis.'Cih, Sayang! sandiwara.' Yara menghela napas, ingin mendebat Andaru tapi cemas kondisi pernikahan mereka yang kurang harmonis ikut terbongkar.Wanita paruh baya itu tersenyum ramah, dia memajukan posisi duduknya mengimbangi pasangan Garvi yang terlihat bersitegang."Selamat malam, Nyonya Garvi. Saya Lani, psikolog dari RSPP. Salam kenal," sapanya ramah sembari berdiri menyodorkan tangan untuk berjabat.Yara tak enak hati, dia pun bangun dan
Ketukan di pintu kamar mereka tak dihiraukan Andaru. Dia merasa bersalah pada wanita di hadapannya sehingga sejengkal pun enggan beranjak."Aku ... kotor!" isakan Yara terdengar. "Pergi!" cicitnya. Kedua lengan basah itu kian memeluk tubuhnya."Maaf. Maaf." Andaru mencoba lagi, dia mendekat dan kali ini bertekad takkan melepaskan Yara. "Bilas air hangat, ya. Biar nggak sakit," ucapnya menyalakan kembali kran shower.Lelaki itu tak beranjak, dia bahkan ikut membasahi dirinya. Surai panjang Yara dia rapikan, menyisir pelan menggunakan sisir miliknya di sana. Yara bagai mati rasa. Dia seakan abai mengenali sekitar. Dibiarkannya Andaru melakukan apa yang lelaki itu mau.Guyuran air terhenti. Andaru pergi keluar shower cabin lalu sejurus kemudian kembali membawa pakaian untuk Yara. "Ganti baju, ya." Sang CEO menunggu di luar seraya mengganti pakaiannya yang basah. Namun, saat dia mendorong lagi shower cabin, Yara masih di tempat semula. "Ra! ... aku bantuin?" tawarnya ragu. Hening.And
Saat lift mulai turun, Andaru mengirim pesan pada Yara. "Jangan lupa, bada Maghrib ke Klinik Aruna." Kemudian dia menghubungi Bimo untuk mencari tahu tentang Syaharan, nama seseorang yang tengah berkirim pesan dengan Yara. Dia tadi sempat mengklik profil picturenya."Ya, Bos!" Suara sang asisten menjawab panggilan Andaru."Bim, tolong cari tahu lebih spesifik tentang Syaharan dan Dean Delavar," ujarnya sesaat sebelum pintu lift terbuka. "Ada hubungan apa dengan Yara," pinta sang CEO, seiring langkah meninggalkan lift."Oke. Adalagi?" balas Bimo di seberang."Itu aja," sahutnya. Namun, langkah sang pimpinan berhenti. Andaru teringat seseorang. "Gimana kabar Anton?" ucapnya lagi.Dia lantas melanjutkan arah menuju basement. Satu tangannya masuk ke saku celana sementara satu lagi memegangi ponsel di telinga. "Akan saya cari tahu juga, Bos!" tegas Bimo, ikut teringat dengan si pelaku utama kekacauan keluarga nyonya Garvi.Andaru tiba di mobilnya, dan tak lama dia mulai memacu Porche Bax
Yara mencubiti paha Andaru sebab melontarkan jawaban yang menurutnya kurang pantas. Namun, sang suami malah menggenggam jari lentik itu dan menautkan erat ke sela jemarinya. Lani membuka catatannya, lalu dia melihat ke arah pasangan Garvi. "Ehm, nggak apa," ujarnya tersenyum."Jadi?" balas Andaru, merasa belum menemui korelasi pertanyaannya.Lani menutup buku catatan, meletakkannya ke atas meja. "Anda harus lebih siaga serta sabar, bila Nyonya Yara tengah mengandung ... mood ibu hamil biasanya random," imbuh Lani menatap Andaru.Sang CEO manggut-manggut, dia membawa tautan jemari mereka ke atas pangkuan. "Progres hari ini bagaimana, Dok?" sambungnya.Lani mengatakan akan mengirimkan detail penjelasan tentang sharing hari ini. Namun, dia menegaskan bahwa andil pasangan yang peduli akan berpengaruh besar terhadap proses release.Dari percakapan beberapa kali di antara mereka, pemilihan gambar juga warna, Yara terduga sebagai gadis plegmatis tapi sekaligus memiliki dua karakter unik lai
Yara duduk bersila di lantai. Punggungnya menyandar pada ranjang, dia masih menggenggam ponsel Andaru sambil merenung."Ternyata tangki cintaku kosong, mencari isi hingga lupa alur lalu menjadi sebuah malapetaka," gumam Yara, menengadahkan kepalanya.Andaru tidak betul-betul terlelap, dia hanya memejamkan mata berharap Yara rileks dan mulai terbiasa dengan dirinya, baik dalam jarak dekat, atau bersentuhan."Self-lovenya belum maksimal, Ra. Loving touchnya juga nol." Gadis berambut panjang itu meluruskan kaki, lalu meletakkan kedua tangannya di dada. "Tapi, kan nggak boleh salahin mama," lirihnya.'Nggak gitu, Ara. Bukan salah siapa-siapa, hanya saja saat itu tiada bisa menduga bakal tercipta rasa tak sewajarnya akibat keterbiasaan yang salah.' Andaru mendengar semua keluh kesah gadis itu. Sang pria yang berada di atas ranjang, membuka mata pelan. Dia bergeser ke sisi dimana Yara duduk."Dah malam. Besok mau lembur, kan?" lirih Andaru, mengusap lembut bahu kiri Yara seraya bangun. "Ha
"Yakin lah, janji Allah itu pasti." Aryan menunjuk ke arah jendela sebelum mobil melaju. "Dia itu berasal dari keluarga berpunya, tapi nggak manja," imbuhnya.Andaru menoleh sekilas ke arah kakeknya. "Puji aja teruuusssss," dengus sang cucu.Aryan masih terkagum-kagum pada deretan tulisan di selembar brosur. Cucu mantunya betul-betul memiliki ide tak lumrah sekaligus keberanian untuk maju bersaing.Yara memanfaatkan teknologi, isu, habbit, dan hobi menjadi satu kesatuan sehingga mengundang cuan. Konsep jualannya pun terkesan 'maksa' bahwa pembeli wajib sabar karena hanya dapat menikmati sajian yang dia klaim memiliki rasa lezat itu di rumah.Padahal, stigma bila makanan tak dimakan langsung di tempat, akan mengurangi kelezatannya, kental terdoktrin di masyarakat. Yara menaruh nasib usahanya pada citarasa, melatih sabar juga melawan 'isu' tadi."Memang pantas buat di puji, kok," balas Kakek Aryan. "Dia nggak cuma bisnis dengan manusia, Daru, tapi penciptaNya," sambung pria sepuh dengan
"Ehm ... kita belum kenalan bukan?" ujar Yara, kembali melangkah maju mendekati sang pria masa lalu.Andaru melirik tajam Yara, tapi peringatannya di abaikan sang istri. Dia lalu menarik kedua tangan Afreen yang melingkari leher sembari menegur Yara. "Ra!" sebut Andaru.Yara tetap berjalan lurus, berpura tak mendengar. Lelaki tampan dalam balutan jas hitam itu pun mendekati sang wanita Garvi senyumnya mengembang sempurna.Afreen tak terima mantan suaminya memperhatikan gadis lain, dia lantas menarik lengan Andaru menjauh dari sana. "Ayo, katanya ngajak pulang," ucapnya manja seraya berjalan melenggak lenggok."Dean Delavar," ujarnya menyodorkan tangan ke hadapan Yara."Ra! pulang!" seru Andaru, sambil menahan tarikan Afreen sebelum mencapai pintu ruangan pesta.Yara bergeming terhadap seruan Andaru. Dia membalas salam perkenalan Dean, dengan menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. "Yara Falmira," balasnya. Dia memindai tampilan Dean, dia banyak berubah."Besok jalan, yuk," u