Aryan yang sedang berada di teras dengan Yono, memperhatikan mobil Andaru berhenti sejenak untuk menurunkan Dewi lalu melaju kembali."Lah, kenapa jalan lagi?" tanya Aryan pada aspri Yara yang tergesa memasuki rumah Dewi berhenti, membungkuk ke arah Aryan sekilas. "Nona kontraksi, Tuan besar. Bos Daru langsung ke rumah sakit lagi," beber Dewi. Setelah itu dia berlari ke dalam menuju kamar Andaru. Seketika Aryan ikut panik, dia meminta Yono menyiapkan mobil karena akan menyusul pasangan Garvi, konvoi dengan Dewi.Selama di perjalanan, panggilan seluler tak Andaru hiraukan karena terfokus pada Yara yang beberapa kali mendesis kesakitan. "Mo, tolong call kakak, Didin dan mama." Andaru memberi perintah saat mobil mulai masuk ke teras IGD. "Baik, Bos." Bimo mengangguk dan ikut turun ketika Andaru mulai menarik tuas pintu.Sang CEO pun gegas, berlari ke sisi kiri mobil dan membuka pintunya. Dia menggamit pinggang Yara dan menarik perlahan sembari tetap meminta Yara agar mengatur napas.
"Dikit lagi, Sayang. Raaa," bisik Andaru di telinga Yara. "Ara-ku adalah ibu hebat, semangat sambut adek," imbuhnya dengan nada bergetar, antara tega dan tidak.Sesuai arahan dokter, Yara menarik napas pendek sebelum memulai lagi. Dia tetap tenang tanpa teriakan atau jeritan. Hanya hembusan lirih dari mulutnya meski sakit hebat terasa berdenyut di bawah sana. Tatapan mata Yara kini tak lepas dari manik mata elang yang jua tengah memandangnya. Anggukan, belaian dari Andaru juga bisikan salawat di telinga membuat Yara memiliki kekuatan lebih.Air mata sang CEO ikut menetes manakala Yara terisak. "Mas ridho, 'kan?" lirih Yara."Banget, Ra, banget," balasnya sangat pelan dan terisak tak melepas pandangan mereka."Yuk, lagi Bu. Tarik napas pelan, sambil bilang aaahh ya, lembut aja ... lembut." Perintah dokter pada Yara kembali terdengar.Pimpinan Garvi lantas ikut membimbing Yara dan tak lama. "Oeeekkk!" "Mamaaaaaa," lirih Yara lemas dan langsung didekap Andaru. "Alhamdulillah. Ibunya p
"Heh, bocah! Sudah kubilang, kalau mau masuk ruangan ketuk pintu dulu! Apa seniormu tidak mengajarkan SOP, hah?" Yara Falmira tersenyum memamerkan giginya. Tidak lupa, dua jari kanannya terangkat membentuk huruf v. Kemarahan Andaru, bosnya, tidak dia anggap sesuatu hal yang serius."Tadi sudah, Pak. Dua kali ketuk." Wanita berhijab itu menatap berani pada sang atasan, tetapi kemudian kembali menunduk akibat tatapan tajam yang Andaru layangkan. "Mana ada!”"Bener, Pak.” Meski merasa sedikit takut, tetapi gadis itu tetap berjalan mendekati meja sang pimpinan dengan file-file yang sedari tadi dia genggam. “Tapi tidak ada jawaban, jadi saya masuk aja setelah—” "Jawab terus! Yara, kamu tahu 'kan istilah bos tidak pernah salah?" Pria yang kini duduk di kursi kebesarannya menatap tajam. Tangannya terulur, meminta berkas yang akan dia tanda tangani dari sang sekretaris. "Ehm, keliru itu, Pak. Yang benar itu wanita tidak pernah salah!" Sambil cengengesan, Yara memberikan file yang dia ba
"Nggak! Kamu pasti bohong!"Pria sangar bersetelan jins dan kaos tanpa lengan itu menunjukkan beberapa slide foto berupa prosesi memandikan jenazah Jaedy hingga penguburan.“Percuma kabur lagi, ‘dia’ tau di mana kamu," lanjut pria itu dengan seringai tipis di bibirnya.Setelahnya, lelaki tadi menyeringai sinis lalu meninggalkan sang gadis yang terlihat shock. Air mata Yara tumpah. Dia menutup mulut dengan satu telapak tangan agar isakannya tidak terdengar penghuni lain. Gegas, Yara mendorong pagar lalu berlari masuk ke kamarnya. "Aba! Apa di-dia pelakunya?"Malam itu, Yara tidak bisa tidur. Pikirannya penuh, ingin buru-buru pulang ke rumahnya di Semarang. Untuk itu, semalam dia langsung meminta izin cuti pada Andaru.Namun, Yara harus menelan kecewa ketika membaca pesan balasan dari atasannya.["Kerja cuma sehari lagi. Kamu masih punya tanggung jawab yang belum kelar. TITIK!"]Itu artinya, dia tidak bisa cuti dadakan hari ini.Tak lama, gawai pipihnya bergetar kencang. Nama yang mun
“Beliau putri Syarifah Alawiyah, pelanggan usaha almarhum. Maaf tidak memberitahu lebih dulu, kami singgah sejenak mewakili keluarga.”Seolah tahu gestur Yara yang masih terkejut, Santi, sahabatnya mengambil alih menjawab pertanyaan pria tadi.Sebenarnya, Santi-lah putri hubabah yang asli. Bukan Yara. Namun, Santi tahu betul siapa pria di hadapannya ini untuk Yara. Untuk itu, dia cepat-cepat menjalankan sebuah skenario.Pria itu diam, tersenyum dan mengangguk tetapi tatapannya tak lepas dari sosok Yara yang berdiri di belakang Santi.“Maaf, Wan, bukan mahram. Tolong jaga pandangan.” Santi menghalau pandangan pria itu sembari menggandeng Yara menyingkir dari bahaya.Namun, baru beberapa langkah menjauh, pria tadi memanggil dua gadis itu lagi.“Tunggu.” Jantung Yara berdebar hebat kala langkah kaki pria itu kian dekat. Kembali, pria itu tersenyum tipis menatap ke arah Yara. Santi gegas berdiri di hadapan sahabatnya, berusaha melindungi Yara dari pandangan menyelidik pria itu. "Ehm ..
["Ayahmu meninggalkan utang milyaran. Dalam perjanjian kerja menyatakan, bahwa pewaris mempunyai kewajiban untuk melanjutkan piutang tersebut.][Mamamu shock dan jatuh sakit, pulanglah, Sayang, karena menghilang pun percuma. Aku akan tetap menemukanmu."] Yara membaca pesan susulan setelah dirinya tenang. Ingatannya kembali ke masa menjelang kelulusan.Dia pernah mendengar tanpa sengaja, bahwa ayahnya memiliki simpanan khusus, juga sebuah asuransi jaminan hari tua bilamana terjadi satu musibah dengan keluarga Jaedy. Dalam klausa dua polis itu, tersebut nama Yara dan Jazli sebagai penerima dana manfaat. Yara menduga, total uang pertanggungan itu tidak dapat dicairkan sebab dirinya menghilang. "Dia gila, tega sekali. Jangan-jangan, Aba tiada karena dia apa-apakan!" gumam Yara masih menggigit ujung kukunya. "Darimana dia tahu nomerku?" Kepala Yara berdenyut nyeri memikirkan bagaimana cara mencairkan dana itu jika memang kecurigaannya terbukti. Dokumen asli miliknya telah berubah. Pih
"Darimana Anda tahu semua ini?" tatap Yara nanar ke arah Andaru, dia tak percaya dengan data di tangannya. "Nggak mungkin, 'dia' bilang semua aman, tapi ini-" gumam Yara, menggeleng samar.Seringai penuh kemenangan Andaru kian lebar melihat respon sekretarisnya itu. Dia lalu duduk di hadapan Yara seraya menyandarkan punggung serta menopang kaki, seakan mengukuhkan posisinya sebagai pemegang kendali."Deal, kan?" ujarnya.Yara mendongak, meletakkan dokumen tadi di atas meja. Putri Jaedy tidak ingin terlalu kentara bahwa dia terintimidasi oleh Andaru. "Deal apanya?" balas Yara ikut bersedekap disertai tatapan remeh.Cemas, tapi Yara ingin memastikan bahwa dirinya sedang tak melakoni peran dalam pepatah, lepas dari kandang harimau lalu masuk ke mulut buaya darat berdasi bagai sosok di hadapan. "Ekspresi wajahmu itu sudah menjawab semua. Akad akan dilangsungkan besok siang bada duhur. Untuk hal lain, kau baca dulu ini," ucap Andaru dengan muka datar saat menyerahkan satu map ke atas meja.
"Wa alaikumussalaam, Maa-maaa," balas Yara terbata. "Aku nggak mimpi, kan?" Anggukan samar serta senyum Jamila-ibu kandungnya, yang membentangkan kedua lengan, langsung Yara sambut. "Ma-maa!" Dia memeluk erat disertai isakan. "Mama!" sebut Yara berkali-kali."Anakku sayang," balas Jamila. Mendekap sang putri bungsu teriring tetes bening membasuh pipi. "Mama rindu." Jemari yang mulai mengeriput lalu mengusap lembut mulai dari kepala hingga punggung Yara. "Alhamdulillah, kita masih bisa bertemu." Wajah senja itu kemudian terbenam di pundak anak gadisnya.Kedua wanita melebur tangis serta kerinduan. Para pria yang berdiri di sana hanya mengulas senyum samar menyaksikan adegan tersebut. Andaru tahu sebagian kisah masa lalu istrinya itu. Tempo hari, dia meminta Bimo diam-diam menjemput keluarga Yara.Pelukan itupun perlahan terurai. Jamila merangkum wajah ayu putrinya dengan kedua telapak tangan. Memeta setiap inci rupa yang dirindukan. "Cantiknya anak mama." Dia lalu membubuhkan kecupan d